“Pak, saya masih kuliah di sini," bingung Naura kala melihat ekspresi wajah dosen serta teman sekelasnya yang lain.
Suasana canggung memenuhi ruangan kelas, hingga sang dosen akhirnya mengangguk.
"Sepertinya, kamu ke ruang administrasi. Tadi, mereka mengabarkan kamu tidak akan lanjut studi di sini," ucapnya, “jika ada kesalahpahaman, sebaiknya segera kamu urus.”
Mendengar itu, Naura mengangguk.
Dengan rasa malu, dia pun pergi ke ruang administrasi.
Namun belum sampai ke sana, ia dipertemukan dengan Adelia yang menggoyangkan map di tangannya.
“Well, gimana jadinya Naura? Apa kamu masih berkuliah di sini?” ucapnya, lalu tersenyum sinis.
Tangan Naura sontak mengepal, menahan emosi. "Apa kamu yang memberhentikan aku kuliah di sini?!"
Adelia mengangguk. "Iya. Ayah dan Ibu juga enggak peduli kamu kuliah atau enggak. Tapi, aku hanya mengantisipasi enggak ada biaya yang harus orangtuaku bayar."
Ucapan Adelia seolah menyiratkan bahwa orangtua mereka tak sama.
Naura sontak tertunduk lesu. Dia anak kandung, tapi mengapa seperti anak tiri?
Tak ingin larut dalam pertengkaran, Naura memilih pergi.
Dia kini tak ingin melihat wajah kakaknya lagi.
“NAURAA!”
Adelia meneriakan namanya dan sepertinya berusaha mengejar Naura.
Meski mendengar, gadis itu memilih terus berjalan.
Hanya saja, langkahnya terhenti saat seorang pria yang sejak kemarin mengganggu harinya–terdengar.
"Naura …?" panggilnya.
Gadis itu sontak melihat ke sumber suara dan menemukan Arkan berdiri menatapnya.
Entah mengapa, Naura merasa segala emosi berkumpul di tubuhnya.
Terlebih, kala mendengar Adelia yang terus meneriakan namanya.
Dengan air mata yang nyaris tumpah, Naura pun berjalan mendekati Arkan. "Bawa aku pergi dari sini," lirihnya.
"Kumohon," ucapnya lagi.
Arkan sontak menatap Naura dalam.
Tanpa pikir panjang, Arkan membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan Naura masuk ke dalam mobil.
Pria itu lalu mengendarai mobilnya melewati Adelia yang mematung menatap ke arahnya.
****
"Apa dia Kakakmu?" tanya Arkan, tetapi Naura hanya diam.
Melihat itu, Arkan pun merogoh saku.
Dia memberikan ponsel milik Naura.
"Kalau iya, sepertinya dia mengirimkan banyak pesan sejak kemarin. Maaf, aku membuka pesan itu karena aku pikir itu kamu."
Naura terkseiap.
Dia lantas menatap layar ponselnya dan menangis sejadi-jadinya saat membaca pesan dari sang ibu.
[ Maafkan Ibu. Bukannya Ibu enggak sayang sama kamu, tapi, pendidikan Kakak lebih penting karena dia akan menjadi tulang punggung keluarga.]
Naura terlarut dalam perasaanya sendiri, hingga dia tak sadar bahwa Arkan membawanya ke sebuah pantai.
Untungnya, pria itu membiarkannya sendiri.
Sembari mendengar deburan ombak yang menderu, Naura mencoba mengatur perasaannya.
Namun, entah mengapa dia masih saja merasa gamang.
Lamunannya terhenti, kala Arkan tampak berjalan ke arahnya. “Sepertinya, mood-mu sudah kembali,” ujarnya tenang.
Naura hanya mengangguk sembari masih menatap hamparan laut yang begitu luas.
"Berapa nomor rekeningmu?" tanya Arkan tiba-tiba.
Mendengar itu, Naura memutar bola matanya.
Saat ia sudah tenang akan masalahnya dengan Adelia, mengapa ia harus di ingatkan lagi masalah yang membuatnya kesal?
"Memang, berapa uang yang akan Om kirim?"
"Om ....?!" Arkan berdecak kesal.
Dia pikir Naura hanya memanggilnya Om saat dia mabuk saja.
Rupanya, dia masih ingat akan panggilan untuknya.
"Berapa yang kamu minta?" tanya pria itu balik akhirnya.
Naura menoleh, menatap kedua mata Arkan. "Seratus juta," ucapnya asal.
Arkan terdiam sesaat sebelum akhirnya ia memberikan ponselnya. "Tulis nomor rekeningmu."
"Hah? Serius?" Naura benar-benar tak percaya ada pria yang memberikan uang sesuai yang dia minta.
"Tulis nomor rekeningmu," ulang Arkan tak mau ditentang.
Hal ini membuat Naura langsung mengambil ponsel Arkan dan mengetik nomor rekeningnya.
"Anda tidak bercanda, kan?" Meski demikian, ia masih memastikan karena tak ingin dibohongi.
Arkan mendengus, kesal. "Serius, aku juga bisa membayar biaya kuliahmu kalau kamu mau," ucapnya tanpa menoleh pada Naura sama sekali.
Perempuan itu sontak menutup bibirnya dengan kedua tangannya.
Dia masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar!
Bahkan, ia bergegas membuka ponselnya saat melihat notif masuk.
[Rp. 200,000,000.00 baru saja ditransfer ke rekeningmu!]
"Oh my God," lirih Naura tanpa sadar.
Arkan menahan senyum. "100 juta untuk malam panjang kita dan 100 juta untuk kesepakatan kita."
Deg!
"Kesepakatan apa?"
"Jadilah kekasihku."
Naura terdiam. Dia mencoba mencerna ucapan Arkan.
Seolah mengetahui kebimbangannya, pria itu tiba-tiba berbicara, "Hanya kekasih palsu. Aku lelah karena orang tuaku terus memintaku menikah."
"Tunggu, bukannya Om punya banyak teman wanita? Kenapa Om enggak minta tolong ke mereka saja?" bingung Naura.
"Bukan urusanmu. Yang jelas, aku akan membayar kuliahmu sampai lulus kalau kamu bersedia menjadi kekasih palsuku."
Mendengar itu, Naura sontak mencebikkan bibirnya mendengar ucapan Arkan.
Hanya saja, tawaran dikuliahkan sungguh menarik perhatiannya!
“Bagaimana?” ulang Arkan tak sabar.
"Mau ... Aku mau, asalkan Om bayar uang kuliahku sampai lulus," putus Naura.
Hanya menjadi kekasih palsu, harusnya mudah bukan?
Apalagi, Arkan sudah membayar di muka untuk kesepakatan mereka.
Melihat itu, Arkan menahan senyum. "Oke, kalau begitu mulai hari ini kamu tinggal di apartemenku."
"Hah …?” bingung Naura, “bukannya hanya jadi kekasih palsu? Kenapa harus tinggal di apartemen Om.”
“Aku ini bukan teman tidur juga, kan?" tambahnya lagi.
Arkan tertawa lebar.
Dia tak percaya jika Naura sepolos itu.
Status palsu ini hanyalah kiasan agar ia bisa dekat dengan Naura dan memilikinya.
Tapi, tak mungkin Arkan mengatakannya.
Bisa-bisa, Naura langsung kabur.
"Orang tuaku pasti akan mencari tahu tempat tinggalmu. Jadi lebih baik kamu tinggal di apartemenku untuk berjaga-jaga,” bohong Arkan pada akhirnya.
“Tenang saja, lagi pula kita tidak akan tinggal di apartemen yang sama,"
Mendengar itu, Naura terdiam.
Sepertinya, dia memikirkan konsekuensi dari kesepakatan ini lebih dalam.
"Kalau gitu…..”
“Kalau gitu, aku setuju," ucapnya sembari mengangguk. Hal ini membuat Arkan terkejut. "Semudah itu?" tanyanya–memastikan. "Om tahu kan kalau aku dibuang oleh keluargaku sendiri. Lalu, Om bersedia membiayai kuliahku dan memberikan tempat tinggal. Kurasa itu tak masalah." Arkan sontak memalingkan wajahnya. "Uang memang bisa menyelesaikan segalanya," batinnya tak percaya dengan tingkah polos Naura. Diperhatikannya perempuan itu yang tampak mengetik sesuatu di ponselnya. Tak lupa, Naura seperti sedang membubuhkan tanda tangan di sana. "Ini, tolong ditandatangani, sebagai bukti sah kesepakatan kita," ucapnya mendadak. Arkan mengambil ponsel Naura. Sesaat ia membaca sebuah kerja sama yang sepertinya tidak ada memberatkannya. Senyum miring tampak di wajah pria tampan itu. "Oke, aku setuju." *** Setelah itu, Arkan berniat mengantarkannya. Namun, Naura menolak. Dia ingin mentraktir Lala malam ini. Jadi, dia meminta Arkan mengantarkan Naura ke pusat perbelanjaan. Untungnya, “keka
"Om?" panggil Naura mulai tak nyaman.Hanya saja, pandangan Arkan masih tak lepas dari Naura. Ia kagum melihat Naura yang berpakaian sederhana, tetapi memiliki aura yang begitu mengagumkan. "Om!" ucapnya lebih kencang.Menahan rasa malu, Naura pun bertanya, "Bagaimana sifat Ibu Om?" Arkan sontak sadar. Dia pun berdehem lalu berkata, "Cerewat dan galak. Dia enggak suka wanita yang kampungan dan berkomentar asal. Dia juga gak terlalu suka wanita cantik dengan dandanan menor." Naura mengangguk. Melihat ketenangannya, Arkan kini yang bingung. "Sepertinya kamu terlihat begitu tenang?" "Hm ... Sifatnya seperti ibuku, aku bisa menanganinya. Aku yakin Ibu Om akan suka sama aku karena aku enggak cantik." Arkan tersenyum. Dia tak menyangka jika wanita yang ada di sampingnya itu terlalu polos. Untungnya tak lama, mobil mereka pun sampai di halaman rumah megah yang baru Naura lihat seumur hidupnya. "Di dalam kamu enggak perlu bicara, cukup aku saja," peringat Arkan begitu keluar dari mo
"Iya, aku sangat puas. Lagipula, aku sudah bilang jangan menjodohkan aku dengan wanita-wanita manja seperti itu." Arkan berkata dengan santai. Dia tak bermaksud kurang ajar pada sang ibu. Hanya saja, Sinta memang sulit menerima keputusannya dan selalu mau ikut campur. Bahkan, Arkan dapat melihat sang ibu kini mencebikkan bibirnya lalu menoleh ke arah Naura. “Malam, Tante,” ucap Naura memberinya salam. Melihat kepolosan Naura, wanita itu segera memalingkan wajahnya. "Menyebalkan!" gerutunya pelan, lalu pergi. Tentunya, itu masih bisa didengar oleh Naura. Namun, gadis itu tak ambil pusing. Toh, ia memang ia tak perlu mendekatkan diri dengan Sinta karena ia hanya di kontrak menjadi kekasih palsu Arkan. "Argh ... kenapa dia tak berbicara soal uang," desis Naura.*** "Maaf atas sifat Ibuku," ujar pria itu kala keduanya sudah di mobil. Naura sontak menoleh dan tersenyum. "Enggak masalah, aku terbiasa diabaikan dan dianggap enggak ada." “Ini mah kecil,” ucapnya lagi. Arkan menga
Pagi-pagi sekali, Naura terkejut sekaligus merasakan berat di perutnya. Perlahan ia membuka matanya dan melihat sebuah tangan yang melingkar tepat di atas perutnya! Bola matanya mengikuti arah tangan dan tepat disamping bahunya ia melihat wajah pria yang ia kenal. "Argh ...!" Naura refleks menjerit sekaligus mendorong tubuh Arkan dari atas ranjang. Terdengar suara debuman. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Arkan berdiri di tepi ranjang. "Ke-kenapa Om ada di sini?" tanya Naura gugup. "Ini kamarku, kenapa kamu ada di sini?" Arkan malah balik bertanya. Seketika Naura menutup matanya ketika melihat Arkan hanya menggunakan bokser. "Argh ... mataku ternodai." Arkan mengerutkan dahinya mendengar ucapan Naura. "Om ditutup dulu, nanti kalau ada yang lihat dikira lagi ngapain." Arkan menunduk. Dia memang terbiasa mengenakan bokser jika tidur dan itu hal biasa bagi Arkan. "Ini apartemen, enggak ada orang yang bisa masuk sembarangan kecuali kamu. Cepat mandi buatkan aku sarapan!" Tanp
Kini Arkan memarkirkan mobilnya di parkiran kampus.Namun, Naura masih diam di kursinya tanpa membuka sabuk pengaman seperti yang Arkan lakukan."Kenapa kamu diam saja. Ayo, keluar!""Tunggu!" Naura memegang tangan Arkan yang hendak keluar dari mobilnya. "Aku takut, kalau aku keluar sama Om nanti mahasiswa yang lain menggosipkan aku yang enggak-enggak," sambungnya.Arkan menghela napasnya. "Kamu tinggal bilang kalau aku pacar kamu."Dengan kasar Naura memukul lengan Arkan begitu kencang. "Pacar, nanti mereka pikir sugar baby-nya Om.""Ya sudah, kamu tinggal bilang aku ini Om-mu." Naura mengangkat tangannya seperti ingin memukul Arkan, namun segera di tahan oleh Arkan. "Maksudku kamu tinggal bilang aku Om dari Ibu atau Ayahmu, gampang kan," sambungnya.Naura mengangguk, ia baru kepikiran dengan alasan yang logis baik di mata guru serta teman di kampusnya.Ia pun keluar dari mobil bersama Arkan. Hampir semua siswa yang kenal dengan Naura terus menatap ke arahnya.Namun, bukan Naura
Sementara itu, aroma masakan Naura mulai menyeruak ke seisi ruangan.Perempuan cantik itu segera mengambil sendok lalu mencicipi masakannya sendiri.Meski rasanya agak aneh di lidah Naura, tetapi dia tetap tenang.Dicobanya untuk menambahkan lagi sedikit garam dan bumbu penyedap."Gimana rasanya atau memang seperti ini rasanya?" tanya Naura pada dirinya sendiri.Ia mematikan kompor lalu melihat kembali video memasak."Sudah sesuai resepnya harusnya si enak," gumamnya.Tak lama Naura mendengar seseorang membuka pintu apartemen. Ia yakin jika Arkan pulang dari kantornya. Naura pun bergegas menuangkan masakannya ke dalam piring lalu menyajikannya ke atas meja. "Om sudah pulang, mau makan dulu?"Arkan menoleh ke arah masakan yang sudah tersedia di meja."Aku mau mandi. Saat aku selesai mandi, dapur sudah harus bersih enggak berantakan seperti itu, mengerti!" "Iya."Brak!Naura terperanjat sembari mengusap dada. "Argh, dia begitu menyebalkan. Enggak bisa apa nutup pintu pelan-pelan!"N
Suara alarm sama sekali tak membangunkan Naura yang sedang terlelap tidur.Padahal ia menyalakan alarm perlima menit sekali ketika sudah jam enam pagi. Hingga akhirnya suara Arkan lah yang menjadi alarm baginya."Hei, bangun. Ini udah siang Naura ...!"Seketika Naura terbangun dan mendapati Arkan berdiri di depan wajahnya dengan membawa air yang siap di lempar ke wajahnya."Ap-apa yang sedang Om lakukan?"Arkan berdecak, ia menurunkan lagi tangannya melihat Naura bangun. Padahal dia sudah bersiap menyiramkan air ke wajahnya jika tak kunjung bangun."Cepat bangun, buatkan sarapan!" Setelah mengatakan itu Arkan menarik tangan Naura lalu memberikan air yang sebelumnya ia bawa. "Cuci wajahmu!"Naura yang nyawanya belum semua terkumpul hanya memegangi bak kecil pemberian Arkan. Perlahan Naura beranjak dari ranjang lalu pergi ke kamar mandi yang berada di seberang lemari pakaiannya. Selesai mencuci wajahnya, Naura bergegas ke dapur saat ia mencium aroma masakan yang begitu nikmat menurutny
Naura merasakan kebas ditangannya setelah menampar wajah Adelia hingga ia mengaduh kesakitan. "Tutup mulutmu. Kamu enggak berhak menghakimi hidup orang lain apa lagi kamu enggak pernah berada di posisi dia." Adelia mengusap pipinya yang terasa sakit lalu menatap Naura dengan tajam. "Beraninya kamu menamparku!" "Jelas aku berani karena aku enggak salah. Lagi pula untuk apa kamu datang ke sini, hah. Ingin mencari tahu kenapa aku bisa kembali kuliah di sini?" "Kuliah, jadi benar Naura kembali kuliah," batin Adelia. "Yang benar saja. Aku ke sini hanya ingin mengatakan kepadamu jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di rumah setelah aku pergi ke Amerika."Naura berdecak lalu berkata, "Kamu enggak usah khawatir. Aku enggak akan pernah menginjakkan kakiku lagi di sana. Baik ada kamu atau pun enggak ada." "Baguslah, ini lihat." Adelia memberikan kertas dan langsung di ambil oleh Naura. Betapa terkejutnya Naura melihat kartu keluarga yang sudah tidak ada namanya lagi. "Coba lihat, Pap