"Selamat datang, Nyonya. Saya tidak tahu kalau Anda pulang hari ini."Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan Indah, wanita yang menolong Laras. "Terima kasih. Aku terpaksa memangkas liburan, karena salah satu pelanggan ekslusif menelepon dan mengatakan beberapa pekerja di sini berulah.""Iya, Nyonya, tapi Anda tenang saja, saya sudah menangani semua." Wanita itu beralih menatap Laras, matanya memindai gadis itu dari kepala hingga kaki, "Dia ....?" tanyanya dengan suara tertahan kepada Indah.Indah memegang lengan Laras. "Namanya Laras. Mulai hari ini dia akan tinggal bersama kita. Tolong kamu antarkan dia ke kamarnya, beri juga dia pakaian baru dan makanan."Indah lalu menoleh ke arah Laras yang hanya diam sejak mengikuti Indah. Dia menganggap wanita itu malaikat penolong yang telah membayar semua biaya operasi dan perawatan sang ayah. "Dia Sumi, kalau kamu butuh apa apa panggil saja dia. Sekarang aku mau istirahat dulu, kamu ikut dia, ya."Indah tersenyum setelah melihat an
Aku tidak mau, Buk!" Laras terus menangis memohon kemurahan hati Indah. Alih-alih merasa kasihan, wajah malaikat Indah yang tadi ditampakkan di rumah sakit, kini sekonyong konyong berubah menjadi wajah ib-lis."Tidak ada penolakan! Aku sudah menghabiskan banyak uang untukmu, jadi kau harus melakukan apa yang aku perintahkan," bentak Indah dengan nada pongah. Wanita itu menggerakkan jarinya sebagai isyarat memerintahkan beberapa pelayan untuk menanggalkan pakaian yang dikenakan Laras dan mengganti dengan gaun yang dia berikan tadi.Laras mencoba memberontak. Akan tetapi, sekuat apa pun dia menolak tenaga gadis itu kalah kuat dengan tenaga para pelayan Indah, sehingga pakaian lama yang dikenakan oleh Laras robek besar. Gadis itu menangis, memohon, dan menghiba, tetapi Indah malah tertawa dan mengejek gadis tersebut."Sekarang kau menolak dan menangis histeris seperti ini. Akan tetapi, nanti setelah kau melakukan pekerjaan pertama dan kedua, kau akan tertawa lebar sambil mengibaskan uan
"Baiklah, ini hitungan teakhir." Si wanita sampai di hitungan ke tujuh. Dia lanjut menghitung. " delapan, sembilan, sepu ....""Lima ratus juta." Suara keras terdengar menyela hitungan wanita berambut pirang tersebut."Wow! Penawaran yang sangat fantastis," ujar si wanita dengan wajah ceria. Bukan di saja yang terkejut. Indah malah sangat bersemangat mendengar penawaran sangat tinggi tersebut, sejak dia mulai melelang gadis gadis perawan baru kali ini dia mendapatkan harga setinggi itu. Tidak terkecuali semua orang yang ada di sana, mereka menoleh ke belakang ke tempat arah suara terdengar.Tampak seorang laki laki sedang duduk menikmati minumannya. Dia sama sekali tidak terusik dengan tatapan semua orang padanya, terbukti dia kembali menuangkan sampanye ke dalam gelasnya. Sementara di sebelahnya berdiri seorang pemuda berpakaian necis. Suara tadi berasal darinya."Anda yakin Tuan?" tanya si wanita tadi, dia melihat laki laki itu mengangguk. "Coba Anda ulangi agar semua yang ada di si
Aku mengerjap beberapa kali ketika terbangun. Tanganku memijit dahi sedikit ditekan karena rasa penggar di kepala. Sial! Terlalu banyak minum semalam sampai mabuk berat. Semua gara gara wanita itu. Mengapa dia sangat keras kepala dan selalu menentangku? Parahnya aku tidak bisa bersikap tegas padanya sehingga dia leluasa dalam bersikap. Semua karena perjanjian sialan itu. Harusnya aku masih melajang sampai sekarang, tetapi demi Ayah aku terpaksa menerima pernikahan dengan putri sahabatnya.Andai orang-orang tahu aku sekacau ini karena wanita itu, pasti mereka akan menertawakanku. Namaku Rakasena, seorang laki laki bertubuh tegap dengan otot-otot keras terbentuk di beberapa bagian berkat latihan rutin di gym. Parasku tampan. Aku bukan seorang narsistik juga tak pandai meninggikan diri sendiri. Apa yang aku katakan benar adanya. Aku memiliki Ibu asli Prancis dan Ayah berdarah Sunda tulen. Bahkan, aku memiliki dua kewarganegaraan. Masa kecil dan remaja aku habiskan di negara Paman Sam, s
Lama Rakasena terdiam menatap keluar melalui jendela ruang kerjanya. Kata kata Okta terus terngiang-ngiang di tempurung kepalanya, bahwa gadis yang dia tiduri masih perawan. Harusnya dia tidak memerlukan masalah itu terlalu dalam, bukankah gadis itu tidak rugi apa pun? Dia tak menyentuh tidak pula meminta uangnya kembali.Sena, begitu dia dipanggil bisa mendengar pintu ruang kerjanya dibuka dari luar, tetapi dia abai karena tahu siapa yang masuk ke dalam ruangannya. Dia memerintahkan asistennya memanggil mucikari pemilik rumah bordir tempat gadis itu dilelang. Dia ingin melakukan satu penawaran dengan wanita bernama Indah itu."Tuan, Nyonya Indah sudah di sini." Okta memberitahu kedatangan wanita itu. Dia segera meninggalkan ruang kerja Sena setelah melihat isyarat laki laki tersebut, lalu menutup pintu rapat.Indah tersenyum. Dia tidak mengira seorang Rakasena mau bertemu dengannya. Siapa yang tidak mengenal laki laki itu. Sena sangat terkenal di antara pada pengusaha dan termasuk mi
Laras tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya ketika manik mata Sena tepat menatap ke arahnya. Laki laki itu tidak melakukan apa apa, tetapi mampu membuat sekujur tubuhnya merinding. Gadis tersebut menunduk dan saling menggenggam jari-jarinya sekadar menenangkan jantung yang berdegup kencang. Berkali-kali Laras menelan ludah, atsmosfer di dalam ruangan itu benar benar membuatnya sesak, seolah-olah oksigen di sekitarnya semakin menipis setiap detik."Kau!" Suara Sena akhirnya terdengar menggema di dalam ruang kerjanya itu, "mendekat padaku."Laras masih diam dengan kepala masih menunduk, meski ingin bergerak tetapi kakinya seakan terpasak ke lantai."Apa kau tuli? Atau kau perlu diseret hingga bisa bergerak?" Lagi, terdengar suara Sena bernada dingin dan datar.Laras kembali menelan salivanya dengan susah payah. Dia memaksakan kaki melangkah menghampiri Sena yang berdiri menjulang membelakangi kaca. Postur laki-laki itu tinggi besar dengan tubuh kekar. Laras merasa seperti kurcaci sekara
Sena berdeham untuk menghilangkan rasa canggungnya. Dia mengalihkan pandangan sekadar menghalau rasa kagum yang mencoba masuk ke dalam dadanya. Dia tidak boleh menggunakan hati ketika bersama gadis itu. Berkali kali Sena mengingatkan dirinya sendiri kalau Laras hanyalah alat baginya untuk membuktikan dominasinya dan untuk membuat seseorang menyadari kalau dia bisa melakukan apa yang dia mau. Namun, setiap kali bersama Laras selalu saja ada geleyar asing yang merambat pelan masuk ke dalam dadanya. Apalagi setiap kali manik mata mereka bertemu. Ada rasa nyaman yang membuat laki laki tersebut tak ingin menjauh."Tuan." Sapaan dari Laras membuat fokus Sena kembali kepada gadis tersebut. Dia mengangkat dagu memperlihatkan wajah pongah."Ikut aku." Sena berbalik setelah memberi perintah.Laras dengan patuh mengekori Sena. Mau tidak mau matanya terpasak pada bahu lebar dan punggung tegak si laki laki. Tanpa sadar bibir gadis tersebut tersenyum, pasti menyenangkan bila bersandar di sana. Lara
Kaki Laras terseok-seok mengikuti langkah lebar Sena. Laki-laki itu menarik tangan gadis tersebut setelah keduanya sampai di kediamannya kembali. Entah apa yang membuat Sena kesal, yang pasti sejak pulang dari pesta rahang lelaki itu mengeras hingga Laras tak berani untuk menatap saja."Malam ini kau tidur di sini!" Sena menarik gadis itu masuk ke dalam kamarnya lalu menghempas gadis itu ke atas tempat tidur.Laras mengaduh karena keningnya terbentur kepala ranjang. Alih-alih merasa bersalah, Sena malah mencengkeram dagu gadis tersebut, memaksa wajah Laras mendongak menatapnya."Kau harus ingat kalau kau adalah milikku. Setiap gerakanmu, apa yang kau lakukan, dengan siapa kau bicara, bahkan apa yang harus dipikirkan otakmu akulah yang mengatur. Kau mengerti?!" geram Sena dengan sorot mata menajam.Laras mengangguk pelan. Tubuh gadis itu gemetar karena gentar melihat kemarahan Sena. Ketakukan dengan cepat menyergap dadanya membuat buliran bening seketika tergenang di pelupuk matanya. D