"Selamat datang, Nyonya. Saya tidak tahu kalau Anda pulang hari ini."
Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan Indah, wanita yang menolong Laras."Terima kasih. Aku terpaksa memangkas liburan, karena salah satu pelanggan ekslusif menelepon dan mengatakan beberapa pekerja di sini berulah.""Iya, Nyonya, tapi Anda tenang saja, saya sudah menangani semua." Wanita itu beralih menatap Laras, matanya memindai gadis itu dari kepala hingga kaki, "Dia ....?" tanyanya dengan suara tertahan kepada Indah.Indah memegang lengan Laras. "Namanya Laras. Mulai hari ini dia akan tinggal bersama kita. Tolong kamu antarkan dia ke kamarnya, beri juga dia pakaian baru dan makanan."Indah lalu menoleh ke arah Laras yang hanya diam sejak mengikuti Indah. Dia menganggap wanita itu malaikat penolong yang telah membayar semua biaya operasi dan perawatan sang ayah."Dia Sumi, kalau kamu butuh apa apa panggil saja dia. Sekarang aku mau istirahat dulu, kamu ikut dia, ya."Indah tersenyum setelah melihat anggukan gadis tersebut.Sumi, nama wanita paruh baya itu ikut mengangguk paham. Dia kembali membungkuk ketika Indah berjalan meninggalkan mereka berdua."Mari ikut saya."Sumi membentangkan tangan kanannya menunjuk ke arah tangga untuk mempersilakan Laras untuk mengikuti langkahnya. Wajah Sumi sangat datar, bahkan tidak terlihat sedikit senyum di rautnya. Apalagi nada suaranya sangat dingin membuat Laras gugup. Wajah wanita itu sama sekali tidak ramah, tampak sinis seolah-olah merendahkan. Apa karena dia terlihat berantakan dan seperti pengemis? Karena itu Sumi jijik padanya? Begitu prasangka yang memantul mantul di tempurung kepala Laras.Laras mengikuti langkah Sumi. Mata gadis itu tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya saat pertama kali masuk ke pekarangan rumah Indah. Sebuah rumah lantai tiga dengan tinggi pagar dua kali tinggi orang dewasa menutupi bagian depan bangunan tersebut. Setelah pagar dibuka oleh seorang laki laki berbadan tegap, baru terlihat seluruh pekarangan dari rumah tersebut. Bangunan yang dicat putih dan memiliki pekarangan yang ditanami rumput yang di pangkas rapi. Dari luar bangunan itu terlihat sangat mewah sekaligus nyaman. Laras berpikir apakah Indah memiliki keluarga yang banyak hingga tinggal di rumah sebesar itu? Akan tetapi, dia tidak berani bertanya karena takut menyinggung perasaan wanita yang telah menolongnya.Baru penampakan luar saja sudah membuat Laras terkagun kagum, apalagi saat Indah mengajaknya masuk ke dalam rumah. Desain interior yang mewah dan furniture yang terlihat mahal mengisi rumah tersebut.Langkah Sumi berhenti di lantai tiga. Di sepanjang jalan dari lantai satu dan dua, Laras melihat banyak sekali kamar. Anehnya rumah itu terlihat sangat sepi, seolah olah tidak berpenghuni. Apa rumah ini semacam penginapan, sehingga memiliki banyak kamar? Sekilas gadis itu menghitung setiap lantai memiliki sepuluh kamar, total ada dua puluh kamar bila menggabungkan lantai satu dan dua, sementara di lantai tiga hanya ada empat kamar saja."Ini kamar kamu. Di dalam sudah ada kamar mandi dan perlengkapannya. Nanti saya akan antar pakaian dan makanan kamu." Sumi berujar dengan raut datar dan tidak menatapnya, membuat Laras semakin yakin kalau wanita itu tidak menyukainya. Akan tetapi, dia tetap mengucapkan terima kasih sebelum Sumi beranjak pergi.Sepeninggalan Sumi, Laras masuk dalam kamar. Dia tertegun memperhatikan seluruh ruangan yang dicat dengan nuansa serba putih. Ada satu tempat tidur berukuran besar yang di alasi sprei putih. Satu meja rias juga lemari besar dengan empat pintu yang terbuat dari kayu jati menempel di dinding kamar. Ruangan tersebut juga dilengkapi dengan pendingin ruangan, karena begitu masuk kulit gadis tersebut langsung terasa sejuk. Laras berjalan mendekati jendela besar yang terletak di samping tempat tidur. Tangannya menyibak tirai putih yang menutupi jendela tersebut, dari sana dia bisa melihat ke arah jalan raya yang sangat padat dengan lalu lalang kendaraan. Gadis itu mengembuskan nafas pelan, mulai hari ini dia berjanji akan bekerja dengan sangat keras agar bisa mengumpulkan uang untuk perawatan ayahnya dan menabung agar bisa memiliki rumah sendiri.Laras menyudahi lamunannya dan memutuskan masuk ke dalam kamar mandi. Dia tersenyum melihat kamar mandi yang hanya ada di dalam cerita cerita novel fiksi. Kamar mandi itu sangat luas dan bersih, terdapat sebuah bathup di paling sudut. Tersedia kran untuk air panas dan dingin, juga wastafel dengan kaca yang lebar dan besar sehingga bisa menampilkan wajahnya dengan jelas. Gadis itu bercermin dan meraba mukanya, pantas saja Sumi terlihat tidak menyukainya, dia benar benar tampak kacau. Lingkaran hitam di bawah kelopok matanya terlihat jelas. Wajahnya kuyu dan pucat, dia seumpana anak kucing sekarat dan buruk karena dicampakkan oleh sang Tuan. Bahkan, dia bisa mencium aroma tubuhnya sendiri yang bercampur dengan lumpur. Laras menanggalkan seluruh kain yang menutup tu-buhnya hingga tampak polos. Dia membuka kran air hangat juga menuangkan sabun cair dalam bathup. Gadis itu mandi sambil menggosok tubuh dengan busa yang tersedia di sana sambil tersenyum. Rasanya ini adalah pertanda baik untuk kehidupan yang akan datang. Indah sangat baik, pastinya wanita itu juga akan memberikan pekerjaan yang baik pula. Manik mata cokelat terang Laras berbinar terang membayangkan sebentar lagi semua impiannya akan terwujud.*"Ini kamu pakai." Sumi menyerahkan gaun terusan bertali sphageti berwarna putih untuk dipakai gadis tersebut. Bagian bawahnya hanya sepanjang setengah paha, terdapat rumbai rumbai halus di bagian bawah mengelilingi pahanya."Aku harus pakai ini?" Laras tampak keberatan karena menurutnya pakaian itu terlalu terbuka. Bagian dari pinggul sampai paha transparant, hingga bila dipakai tubuhnya akan terlihat jelas."Iya. Ini perintah Nyonya," jawab Sumi dengan nada dingin. Dia juga menunjukkan kain penutup area sensitif untuk Laras. "Dan ini." Dia mengulurkan pada gadis tersebut."Aku tidak bisa memakainya," lirih Laras pelan. Dia matanya bila mengenakan pakaian itu sama saja dia tidak berpakaian.Sumi mendengkus kesal. "Tidak usah sok suci, bukankah kau datang ke rumah ini untuk bekerja sebagai pelacur?"Mata Laras terbelalak, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang amat sangat. "Ti, tidak! Aku memang ingin bekerja, tapi bukan sebagai pela-cur. Ini pasti salah ...."Sumi menatap gadis itu tajam. Dia mencoba menelisik wajah Laras mencari tahu apakah gadis itu jujur atau tidak."Nyonya Indah tidak menceritakan apa pekerjaanmu?" tanya Sumi lagi.Laras menggeleng pelan, matanya mulai tampak berkaca-kaca. "Aku bertemu Buk Indah di jalan, dia menolong mengantar Ayahku ke rumah sakit. Dia mengatakan akan memberiku pekerjaan dan membayar biaya rumah sakit Ayahku."Melihat air muka Laras yang memucat, wanita paruh baya itu menghela napas panjang. Sekarang dia mengerti kalau gadis itu sudah diti-pu oleh sang Nyonya."Harusnya kau tidak sepolos itu." Suara Sumi berubah lembut. Tadinya dia pikir Laras sama saja dengan gadis-gadis yang datang ke rumah ini. Kebanyakan mereka malas bekerja keras, lalu memilih menjadi pela-cur. Menurut mereka pekerjaannya enak, tidak capek, dan menghasilkan banyak uang, karena itu dia bersikap ketus tadi."Lalu bagaimana, Buk? Aku tidak mau jadi pela-cur." Suara Laras terdengar bergetar, air matanya mulai menetes karena rasa takut.Sumi menggeleng. "Maaf, siapa saja yang sudah masuk ke tempat ini tidak akan bisa keluar tanpa ijin dari Nyonya." Dia berbalik lalu berjalan keluar.Laras mengejar wanita paruh baya itu, dia memegang tangannya dan memohon. "Tolong aku, Buk. Aku tidak mau jadi pela-cur." Air matanya semakin banjir di pipi."Maaf, saya tidak bisa membantu. Mungkin sudah takdirmu begini.""Tolong, Buk, tolong saya!" Laras terus memohon, tetapi sia-sia, karena Sumi sudah mengunci pintu kamarnya.Setelah mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya dan dari mana dia berasal, keinginan untuk menjauh dari Sena semakin kuat. Jika dulu dia ragu untuk pergi karena tidak mau membawa anaknya dalam kesengsaraan, tetapi kini dia justru bisa memberikan kehidupan yang baik untuk anaknya. Apakah pikiran Sena akan berubah kalau mengetahui bahwa mereka memiliki hubungan keluarga? Laras mengusir harapan-harapan semu itu, dia rasa percuma mengharapkan Sena. Bahkan, sampai sekarang laki-laki itu tidak pernah mengabarinya. Apakah Sena tidak tahu kalau dia mengalami musibah? Apakah tidak terbetik keinginan di dada laki-laki itu untuk bertanya kabarnya saja? Atau setidaknya keadaan anaknya. Namun, sepertinya berlibur bersama sang istri adalah prioritas si lelaki sekarang, membuat Laras semakin tahu diri di mana posisinya di hati laki-laki tersebut. "Sekarang apa keputusanmu?" Pertanyaan Randy beberapa waktu yang lalu membuat Laras berpikir lebih dalam. "Kini kau punya segalanya. Kau tidak perlu lagi
Laras meraba perutnya dengan pikiran menerawang. Nyaris saja dia kehilangan calon bayi karena kecerobohan sendiri. Beruntung janinnya sangat kuat sehingga bisa bertahan meski terjatuh dan berguling lalu terhempas ke lantai. Helaan napas gadis itu terdengar berat. Pandangannya pun berlabuh ke luar jendela. Langit tampak mendung pagi ini, serupa dengan hatinya yang digelayuti sendu. Kesepian juga rindu berdesakan memenuhi setiap sendi rongga dadanya, menuntut mencari jalan keluar. Sebaris nama terus saja hadir menggoda benaknya, meski gadis itu telah berusaha melupa, tetapi tetap saja sulit menggerus dari ceruk kepala."Laras ...."Laras menoleh ketika mendengar pintu kamar terbuka dan seseorang memanggil namanya. Da tersenyum dengan mata berembun melihat sang ayah berjalan menghampiri. Air mata gadis itu jatuh begitu saja. Saat ini dia memang sangat membutuhkan sosok sang ayah yang kerap ada setiap kali dia merasa sedih. Laki-laki itu akan selalu memeluknya dan mengatakan kalau semua b
"Tuan, apa Anda mendengar kabar tentang Tuan Sena?" Maria menghampiri Randy yang berdiri di dekat brankar tempat Larslas terbaring. Gadis itu baik-baik saja, pun bayi yang usianya baru hitungan minggu. Laras hanya mengalami shock yang membuatnya harus beristirahat. "Pelankan suaramu ....," desis Randy melirik ke arah Laras. Dia tidak ingin gadis itu mendengar kabar apa pun tentang Sena. Maria mengatupkan bibirnya rapat. Dia mengikuti Randy ketika laki-laki memberi isyarat padanya keluar dari kamar tempat Laras di rawat. "Mulai hari ini jangan pernah ada nama Sena lagi. Kesepakatan antara Laras dan dia sudah berakhir, ingat itu!" Randy memperingatkan Maria. Wanita itu mengangguk. Dia masih ingat ketika Randy menyuruhnya memberi kabar kepada Sena bahwa Laras keguguran. Dia menyetujuinya karena hanya itu satu-satunya cara untuk membawa gadis tersebut pergi dari rumah orang tua Sena. Maria tidak ingin Laras mengalami nasib sepertinya. Lagi pula dia sangat yakin gadis itu adalah darah
"Maaf, Nyonya, Anda tidak boleh masuk!"Okta membentangkan tangannya ketika Eva memaksa masuk ke dalam ruangan steril, di mana Sena ditempatkan setelah mendapat tindakan operasi. Kecelakaan tunggal yang dialami laki-laki tersebut menyebabkan dia mengalami patah tulang tangan dan kaki. Tidak itu saja, kepalanya mengalami luka parah karena air bag di mobilnya tidak berfungsi dengan baik saat terjadi benturan."Kau tidak berhak melarangku! Aku istrinya!" Eva memelotot memarahi Okta. Dia menepis tangan asisten Sena itu agar bisa masuk.Namun, Okta jauh lebih tegas. Dia memberi isyarat agar dua orang bodyguard yang berjaga di depan pintu untuk menarik Eva menjauh."Lepaskan!" Eva berseru dan menepis keras tangan dua bodyguard yang memegang lengannya. "Jauhkan tangan kotor kalian dariku.""Nyonya, ini rumah sakit. Saya harap Anda tidak membuat keributan." Lagi Okta memberi peringatan dengan raut datar."Kau memang tidak tahu diri!" Eva menuding ke arah Okta dengan jari menunjuk runcing, mat
Sena membiarkan Eva berkonsultasi dengan dokter di dalam ruangannya, sebabd dia menyerahkan semua urusan kepada para ahli yang tentu lebih mengetahui seluk-beluk dari proses bayi tabung. Lagi pula Sena tidak terlalu kuat mencium aroma obat-obatan di dalam ruangan dokter tersebut, jadi dia memilih untuk menghirup udara segar dengan berjalan menyusuri selasar rumah sakit. Mata Sena melihat seorang laki-laki sedang mendorong kursi roda yang diduduki wanita hamil membuat ingatannya melayang kepada Laras. Dia tersenyum membayangkan seperti apa wajah anaknya kelak. Imajinasinya terjeda ketika ponselnya berbunyi penanda pesan masuk dari aplikasi WhatsApp. Dahi Sena berkerut ketika melihat nomor pengirim tidak tersimpan di kontaknya. Dia segera membuka pesan yang dikirimkan oleh nomor yang tidak dikenal tersebut. Seketika rahang laki-laki itu mengeras, Sena meremas ponselnya dengan sangat erat melihat foto-foto Laras bersama Randy terlihat sangat akrab. Di mana sepupunya itu sedang menggeng
"Randy, ini air esnya!"Randy menoleh ketika mendengar suara Laras, membuat Maria bernapas lega, wanita itu segera undur diri dengan jantung berdebar."Makasih, ya." Randy menerima air yang disodorkan Laras, dia duduk kembali ke sofa di sisi gadis itu."Aku masih belum mengerti hubunganmu dengan Sena. Kalau kalian bersaudara tiri apa dia tahu?" Laras kembali bertanya, karena otaknya ruwet memikirkan silsilah keluarga kedua lelaki itu.Randy menggeleng. "Aku yakin tidak tahu, karena sejak lahir dia tinggal di luar negeri bersama keluarganya. Ayahku juga tidak berminat menceritakan hal-hal pribadi dengan saudaranya itu." Dia menjeda kata-katanya, "eeem ... sebenarnya hubungan Ayah angkatku dan Ayah Sena tidak baik. Keduanya baru dekat setelah Kakek meninggal."Laras mulai mengerti. Ternyata runutan keluarga Sena tidak sesulit yang dia pikirkan. Mengingat laki-laki itu kembali kesedihan hadir di dada gadis tersebut. Sekuat apa pun gadis itu mencoba tetap saja dia tidak bisa mengenyahkan
Tanpa terasa pesawat yang ditumpangi oleh Sena dan Eva mendarat di bandar udara Changi Singapura, setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lima puluh menit. Bandara internasional Changi adalah bandara sipil utama di Singapura. Pemerintah negara yang terkenal dengan patung kepala singa itu terus memperbaiki fasilitas salah satu bandara terbesar di Asia Tenggara tersebut. Sena membiarkan Eva bergelayut manja di lengannya saat mereka keluar dari gerbang kedatangan yang tidak terlalu ramai, karena pesawat mendarat saat matahari baru saja naik ke cakrawala. Ditambah lagi karpet yang sengaja di pasang untuk meredam suara sehingga suasana bandara tidak terlalu bising. Di sepanjang jalan gerbang kedatangan yang dilewati, mata dimanjakan oleh pemandangan hijau dari tanaman yang sengaja ditanam oleh pengelola.Di pintu keluar mereka sudah ditunggu oleh seorang sopir yang memang sudah dipersiapkan oleh Okta untuk mengantar jemput selama keduanya di sana. Sang asisten juga sudah menyiapkan ho
"Sen, mau ke mana?" Eva bersuara lembut memanggil laki-laki itu ketika hendak beranjak dari kursi. Mereka baru saja selesai makan malam yang khusus di masak oleh wanita tersebut Steak daging terderloin dengan tingkat kematangan medium rare yang diberi olesan saus barbeque, rebusan kentang, wortel, dan buncis menjadi menu makan malam favorit Sena."Aku mau ke ruang kerja, ada yang harus kukerjakan," jawab laki-laki itu singkat sambil meletakkan serbet yang digunakan mengelap bibirnya."Sayang ...." Eva menghampiri Rakasena yang berdiri di sebelah kursi yang baru dia duduki. "Apa kau lupa kalau aku ingin bicara sesuatu denganmu?" Wanita itu menatap suaminya dengan sorot memohon."Maaf, aku lupa. Apa yang ingin kau bicarakan?"Eva menggamit lengan Sena dan menuntun laki-laki itu berjalan pelan-pelan menuju tangga. "Aku sudah memikirkan tentang rencana kita mengusahakan bayi tabung. Aku juga sudah berkonsultasi dengan dokter dan mempercepat waktunya." Eva tersenyum dan menoleh ke arah Se
"Makasih banyak, Sen."Laras menunduk sembari melihat barang-barang belanjaan yang ada di dalam kantong belanjaan kertas. Andai saja tidak dicegah, mungkin saja laki-laki itu sudah memborong semua isi toko, belum apa-apa Sena sudah menghabiskan uang sepuluh juta rupiah. Orang kaya memang tidak pernah memikirkan berapa jumlah uang yang dibelanjakan karena mereka seolah-olah memiliki kekayaan yang tidak habis-habis."Tidak perlu, aku membelikan untuk anakku." Sena menjawab sambil merogoh saku celana bahannya. Dia menyerahkan sebuah kotak kecil ke hadapan Laras. "Aku punya hadiah untukmu."Mata Laras berkedip-kedip ketika Sena membuka kotak dari bahan beludru berwarna hitam. Seuntai kalung dari emas putih tampak berkilauan."I ... ini untuk aku?"Sena mengangguk. Dia menuntun Laras menuju meja rias, lalu mendudukkan gadis itu di sana. Dia kemudian mengambil kalung setelah meletakkan kotaknya di atas meja rias yang terbuat dari kaca.Laras menyampirkan rambutnya ketika Sena memakaikan kal