Iringan mobil Ahem dan Affan sudah sampai di perempatan. Mereka mulai ke luar dari pedesaan menuju jalan raya, jalur propinsi.
Ahem mengambil arah belok kiri dan Affan mengambil arah belok kanan. Kini mereka berpencar menuju arah hidup yang berlawanan.
Ada rasa sakit dihati Ahem yang tak bisa digambarkan. Dia harus menyerahkan orang yang paling di cintainya bersama dua buah hatinya dibawa lelaki lain. Lelaki yang memilik cinta dan pengorbanan yang lebih besar dari dirinya.
"Kamu pantas mendapatkan lelaki sebaik Affan yang mencintaimu dengan tulus. Yang siap memasang badan mempertaruhkan hidupnya buatmu, Ishi! Semoga dia juga mencintai anak-anak kita seperti dia mencintaimu, Ishi!" batin Ahem.
Tak terasa matanya berair dan meleleh di pipinya. Segera dia berpaling menatap jauh ke luar menyembunyikan air matanya. Bayi mungil yang diberi nama Salsha Bella sedang dalam pangk
Ahem sudah mengambil keputusan yang menyakiti dirinya sendiri. Tapi itu sudah dipikirkannya dengan matang demi kebahagiaan Ishita dan kedua bayinya. Hanya Affan lelaki yang punya begitu cinta besar untuk Ishita. Dan Ahem tahu betul kalau Affan bisa mengorbankan pada saja demi orang yang dicintainya. Apalagi wanita itu adalah Ishita, seorang gadis yang baik hati dan cantik jelita. Ahem mau meyakinkan bahwa Ririn benar-benar sudah pulang dengan selamat. Karena ponselnya belum bisa dihubungi. Dan ayah Herlambang juga sedang mengkhawatirkan Ririn. Ahem tidak memberitahu kepada Herlambang kalau Ririn sedang disandera. Karena kesehatan Herlambang belum membaik. "Ahem, mau kemana kamu?" tanya Intan yang menghampirinya ketika Ahem akan masuk mobil. "Aku ingin memastikan apa benar kamu sudah antarkan Ririn pulang ke rumah?" jawab Ahem ketus. "Masak kamu tidak percaya sama papaku?" tanya Intan kecewa. "Sama sekali tidak! Kamu maupun papa kamu sama saja!
Di dalam mobil Ahem mencoba menghubungi Intan dengan emosi yang meluap-luap. Dret ... Dret ... Dret ...! ponsel Intan berdering. "Kamu lagi dimana, Ahem?" tanya Intan basa-basi. "Tidak perlu basa-basi, Intan! Dimana Ririn?" hardik Ahem berteiak. "Harusnya dia sudah pulang, ada apa?" "Bohong!" teriak Ahem geram. "Tapi papaku sudah melepaskannya, Ahem! Kalau dia belum kembali mungkin saja dia masih kemana begitu. Dia kan bukan anak kecil, siapa tahu dia janjian sama pacarnya." kata Intan cerocos. "Lihat berita di internet sekarang juga! Kalau benar jenazah yang ditemukan di piggir hutan itu Ririn, siap-siap kamu dan papamu masuk bui." Ahem dengan marah menggertak. "Jenazah? Ada jenazah di pinggir hutan? Apa maksudnya? Bagaimana kamu menuduh kami pelakunya sih? Kamu yakin dia Ririn?" Intan membantahnya dan meyakinkan kalau dia tidak tahu-menahu. "Yang pasti Ririn belum sampai ke rumah, Intan. Dan jenazah yang ditem
Upacara pemakaman Ririn sudah selesai. Para pelayat sudah pulang tanpa tersisa, tinggal Ahem seorang. Dia tertegun menatap batu nisan yang bertuliskan Ririn Anggita Binti Herlambang. Suasana lokasi pemakaman begitu sepi mencekam, ada rasa sakit dan sesal di hati Ahem. Dia menyayangi Ririn seperti adiknya sendiri, apalagi dia anak tunggal tidak punya adik semungil Ririn. Dret ... Dret ... Dret ...! Suara getar ponsel di sakunya. Dia melihat siapakah yang meneleponnya. Ternyata profil Hendrakusuma. "Iya Pa," sapa Ahem begitu teleponnya diangkat. "Ahem, ayahmu ...," kata Hendrakusuma pelan. Sontak Ahem beranjak bangun, rasa debar-debar tiba-tiba muncul. Ketakutan tiba-tiba merangsuk ke hatinya. Dia ingat Ayahnya sedang sakit di rumah sakit. Bagaimana kalau terjadi sesuatu? "Ada apa dengan ayah, Pa?" tanya Ahem gugup dan penasaran. "Ayahmu meninggal dunia, Ahem. Penyumbatan pembuluh darah ke jantung," kita Hendrakusuma menjelaskan.
Setelah sholat Subuh Affan selalu memutar lantunan ayat Alquran dengan keras untuk dinikmati bersama kedua anaknya, Saga dan Tiffa. Sebelum mengawali kegiatannya, itu rutinitas Affan yang dilakukan bersama anak-anaknya. Dua tahun lebih mereka tinggal di Singapura, dengan keadaan Ishita yang masih koma. Dia hidup bersama dua bodyguard dan dua pembantu rumah tangga. Ada perusahaan papanya yang sedang dikelola di sini. Bahkan Ahem juga mempercayakan anak perusahaannya kepadanya. Affan tiba-tiba ingin memutar lagu-lagu Bollywood setelah lantunan Surrah Arrohaman selesai. Dia memutar lagu Kal Ho Na Ho, sekejap Affan teringat bahwa itu adalah lagu kesayangan Ishita. Suara yang dominan di biola dan piano menggetarkan hati Ishita. Ibu muda yang koma karena melahirkan itu mendadak terbelalak matanya. Bola matanya membulat berkeliling mengitari seluruh ruangan. Dia mendapati dua anak kecil sedang bermain di dekatnya. Dua bocah kecil itu terbelalak kemudian berter
Seorang utusan dari anak cabang perusahaan Ahem datang ke rumah Affan. "Bos, saya dari Perusahaan Insan Mulia ingin menyampaikan berita dari Indonesia," kata seorang pegawai. "Berita apa, Pak?" "Ini ada telepon dari kantor pusat, Pak," kata seseorang itu sambil menyerahkan ponselnya. "Affan, kenapa ponselmu tidak pernah kamu on sih?" tanya Ahem. Affan terperanjat sekali, seperti mimpi mendengar suara Ahem di ponsel. "Ahem? Kau kah? Ada kabar apa, Ahem? Maaf ponselku sudah kubuang. Kamu mencariku pasti karena ada berita penting," tanya Affan penasaran. "Bagaimana keadaan anak-anak dan Ishita, Affan?" tanya Ahem balik. "Mereka baik-baik saja, Ishita baru saja sadar dari koma." "Sekian lamanya dia baru sadar?" sahut Ahem. "Iya Ahem. Baru seminggu ini dia sadar. Keadaan anak-anakmu juga baik-baik saja, mereka lucu-lucu," jawab Affan. "Tidak Affan, mereka anak-anak kamu. Kamu yang sudah memberi
Affan tidak menceritakan kalau Ishita sedang amnesia. Berita mengenai kematian Ririn dan ayahnya juga belum bisa disampaikan. Dia harus mencari moment yang tepat. Kini Affan menyewa rumah untuk di tempati selama menunggu keadaan aman. Affan menyekolahkan Ishita dan anak-anaknya di sekolah musik di India. Saat itu, Ishita dan Affan sedang sholat dhuhur berjamaah di Masjid Agung di India. Kebetulan jaraknya tak jauh dari rumahnya. Ishita menolong seorang ibu yang hampir terpeleset saat mengambil air wudhu. "Ibu, mari kutolong, ibu mau wudhu kan?" tanya Ishita dengan ramah. "Iya Nak, ibu mau wudhu," jawab ibu itu. Ishita segera menggandeng wanita setengah abad lebih itu. Setelah selesai wudhu, mereka pun masuk untuk mengikuti sholat jamaah. Mereka mengambil barisan kaum wanita di belakang. Dan Ishita mengambil tempat tepat di samping ibu itu. Setelah selesai sholat mereka pun membereskan alat sholat. "Kamu
Akhirnya Nazim mengantar Ishita dan Affan untuk sekolah musik dan dancer yang terkenal di India. Dia juga mengenalkan sedini mungkin kepada kedua anaknya Saga dan Tifa. Hubungan mereka semakin dekat seperti saudara. Tujuh tahun sudah Ishita dan Affan hidup di India. Affan masih juga sering ke Singapura untuk urusan bisnisnya. "Ishi, kamu ingat nggak bahwa kamu punya seorang adik wanita bernama, Ririn?" tanya Affan mulai memancingnya. "Iya aku ingat Ririn, Mas Affan. Ayahku juga aku bisa mengingatnya. Bagaimana kabar mereka berdua?" tanya Ishita setelah dia mulai bisa mengingatnya. "Sejak kapan kamu bisa mengingat mereka, Ishi?" tanya Affan kaget. "Aku tidak sadar, Mas Affan. Sejak kapan aku bisa mengingatnya?" jawab Ishita ragu. "Kalau dia mengingat segalanya, bagaimana? Untung aku selama ini tidak pernah menyentuhnya. Aku pura-pura mengalami kecelakaan dan tidak bisa lagi menjalankan tugasku sebagai suami. Sungguh tragis hidupku, kena
Affan segera terbang ke Singapura, ada rapat dewan pemegang saham. Dijadwalkan lima hari di Singapura, sehingga pada saat Nazim dan Ishita dan kedua anaknya ke Indonesia dia tidak bisa menemaninya. Tapi sebelumnya Affan berbicara kepada Ishita dan Nazim kalau Ishita jangan sampai dikenali siapapun di Indonesia. Karena banyak musuh bisnisnya yang sedang mengincar keluarganya. Itu alasannya kenapa mereka harus berada di luar negeri untuk jangka waktu yang panjang. "Percayalah Affan, aku akan jaga anak dan istri kamu baik-baik. Tapi begitu urusanmu di Singapura selesai, kamu harus segera menyusul kita ke Indonesia," pesan Nazim kepada Affan. Sekalipun ragu melepaskan Ishita dan anak-anaknya ke Indonesia, tapi Affan tak lelah selalu memantaunya. Saat jam istirahat rapat pun sedang break Affan mencoba video call, "Iya halo sayang?" sapa Ishita sambil melambaikan tangannya. "Ishi, jaga dirimu dan anak-anak baik-baik ya? Ingat kamu harus terus