"Ya, itu udah normal, Bang. Mungkin sekitar dua tiga hari lagi.""Mmh." Pria itu melanjutkan sarapannya dengan menyuap sereal. "Kenapa tidak buat saja, Kae. Di rumah. Buat saja apa yang ingin kamu makan." Ia mengganti topik pembicaraan. "Malas, Bang. Aku soalnya ngejar nulis setor bab tiap hari, Bang.""Mmh." Pria itu berhenti mengunyah dan menatap ke arah Kae. "Kamu bukannya tidak bisa masak, ya?"Wanita itu menunduk. "Ya, itu salah satunya.""Kae, memasak itu mudah. Kenapa kamu gak coba? Coba saja yang mudah dulu seperti menggoreng kentang atau telur."Kae mengangkat kepalanya dan mengerutkan hidungnya. "Aku pernah bikin tapi hangus."Erick tergelak. "Kae, ya ampun. Aku tidak tahu kamu tidak bisa masak."Sang istri tidak marah. Ia santai saja menanggapi. "Aku gak begitu suka di dapur, Bang.""Ok, nanti kita masak sama-sama, mau?" bujuk sang pria. "Ya, sudah," jawab Kae dengan malas. Erick mengeluarkan dompetnya. "Ini, kamu ambil sendiri saja duitnya." Ia menyodorkan kartu ATM. "K
Dari cara Kae memilih pakaian, Erick yakin istrinya anak orang kaya. Sebab tidak mungkin, saat datang ke toko, langsung mendatangi sebuah rak dengan merek mahal dan langsung memilih kecuali ia sudah sering memakai merek itu. Namun Erick tak mungkin menanyakan hal itu pada sang istri, karena Kae masih amnesia. "Kamu suka dua-duanya? Beli saja.""Bukannya butuh satu?""Daripada bolak-balik beli. Kamu harus punya cadangan, Kae. Barangkali setelah ini ada pesta atau undangan di tempat lain, mmh?"Kae kemudian melepas pakaian itu dan keduanya mengantri di tempat pembayaran. "Bang, aku masih pegang kartu Abang.""Kartu itu untukmu. Nanti kalau sudah habis, aku transfer lagi. Aku masih punya kartu yang lain." Erick mengangkat kartu hitamnya. Setelah membayar, pria itu membawa Kae ke restoran di lantai atas. Mereka memilih restoran Sunda karena istrinya suka makanan pedas, bahkan lahap makannya walaupun makan dengan sayur kangkung, bakwan dan sambal uleg. Saat mengambil nasi, Erick menahann
Di novel Kae sering membaca bahwa salah satu gerbang perselingkuhan adalah, tidak mampunya seseorang memberi keturunan dan cerita seperti itu banyak di novel online yang dibacanya. Rasanya tak ada cinta yang abadi setelah bertemu masalah ini. Satu-satunya cara agar tak bersedih adalah, kembali ke kehidupannya yang terdahulu. Seburuk apa pun itu, agar ia tak perlu merasa terbebani saat harus berpisah dari Erick.Erick sebenarnya serba salah. Melihat istrinya diam, ia ingin menghiburnya tapi ia takut kembali salah bicara. Pria itu menyadari, akibat pertanyaannya waktu itu, Kae jadi pendiam dan tampak murung. Karena itu ia hanya bisa memperhatikan saja sang istri tak bersuara dan terus-terusan memandangi jendela selama perjalanan. Di pantai Erick membawa istrinya main di tepi laut. Mereka mengumpulkan kerang. Sepertinya kesedihannya terobati sampai sebuah keluarga kecil datang. Ada keluarga muda yang membawa anak laki-lakinya yang berumur sekitar dua tahun untuk main pasir. "Kae, ada a
Suara kedua orang itu memenuhi kepala Kae. Keras dan lembut. Ia memegangi kepalanya karena pusing. Sekuat tenaga ia menggeleng-gelengkan kepala, tapi suara itu tak kunjung pergi. Kae buru-buru memasukkan ponsel dan dompet itu ke dalam tas dan menyimpan tas itu ke dalam laci. Dengan sempoyongan ia pergi kembali ke kamar. Di kamar ia berbaring di ranjang. Samar-samar beberapa potongan adegan muncul dalam ingatan. Matanya menyipit karena kepalanya masih berdenyut. Ia lamat-lamat memijit dahinya. Pelan-pelan potongan adegan itu membuat ingatannya kembali, hingga sebuah adegan kecelakaan membuat ia terkejut dan terduduk. "Hah!" Tiba-tiba tubuhnya jatuh lemas dan terhempas ke ranjang.****Erick berjalan mondar-mandir di depan meja sambil meletakkan ponsel di telinga tapi orang yang dituju tak kunjung menjawab. Padahal ia menelepon untuk kedua kalinya. "Ayo, Kae. Angkat ... Jangan bikin aku khawatir," gumamnya resah. Namun hingga dering terakhir, telepon itu tak juga diangkat. Erick menur
Kedua mata Kae mulai redup. Kedua pria itu kembali bicara. Dokter itu menepuk bahu Erick. "Alihkan saja pembicaraan ke arah lain agar istri bapak tidak banyak pikiran," bisiknya saat mendekatkan kepala. "Bicarakan hal-hal yang menyenangkan.""Baik, dok." Pria bule itu mengangguk. "Untuk hari ini, aman. Kalau ada apa-apa, tinggal panggil suster.""Ok, dok."Suster dan dokter itu pun pergi. Erick kembali menemani sang istri. Ia merapikan selimut Kae karena sang istri sudah tertidur. Erick mencondongkan tubuhnya ke depan dan mengecup dahi Kae dengan lembut. Ia mengusap pucuk kepala sang istri dengan penuh kasih sayang. "Kae ...," desahnya lirih. ****Kae terbangun saat Erick tengah sibuk melihat ponselnya. Ia melihat sekeliling. Wanita itu masih berada di dalam kamar perawatan. Erick tak sengaja melihat istrinya terbangun. "Oh, Kae. Kau sudah bangun. Kau lapar? Apa kepalamu masih pusing?"Kae menggeleng. Gorden yang ditutup menandakan hari sudah malam. "Apa Abang di sini terus dari ta
Wanita paruh baya itu bergegas datang dari dapur. "Ada apa, Tuan?""Kae ke mana, Bik?" tanya Erick. "Keluar.""Keluar?" Kening pria itu berkerut. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya untuk menelepon. "Tumben, pagi-pagi sudah keluar," gumamnya. Telepon tersambung. Pada saat itu Kae masih berada di dalam taksi, bersandar menatap ke arah jendela. Ada bekas air mata di kedua kelopak mata dan ia terkejut mendengar dering telepon dari dalam tasnya. Dering itu berasal dari ponsel baru miliknya. Kae memeriksa tas. Seperti dugaannya, Erick menelepon. Segera ia mematikan ponsel. Saat ini ia ingin menyendiri. Ia tak tahu apa yang diinginkan saat ini, yang penting ia jauh dari Erick. Kae takut keputusan berikutnya dipengaruhi dengan keberadaan sang suami. Sakit hatinya harus meninggalkan Erick tapi ini untuk kebaikan mereka berdua. Ia harus tetap bertahan walau tanpa sang suami di sisinya. Erick menurunkan ponsel dari telinga. Ia terkejut. Kenapa Kae mematikan ponselnya? Ia kembali menyambungka
"Tidak, Mbak. Saya sudah bilang di sesi wawancara, karena itu Saya di sini.""Lagi pula yang dibutuhkan yang muda," kata wanita itu yang masih mencari-cari kesalahan Kae. Kae yang sudah tak lagi memakai cadar hanya bisa menghela napas. "Kalau Mbak gak puas, Mbak ke HRD aja."Wanita itu sebenarnya kesal, Kae terus-terusan menjawab ucapannya tapi ia tak bisa apa-apa karena Kae telah mematahkan semua ucapannya. "Ok, mungkin staf marketing lagi dibutuhkan banyak sehingga menerima orang diluar dari kriteria seharusnya." Begitulah cara wanita berambut panjang ini menyelamatkan wajahnya. Wanita ini kemudian melangkah ke depan dengan wajah angkuh. "Baiklah, kita mulai saja. Namaku Rika dan aku adalah Marketing Manager di sini."****Erick tengah duduk di saung yang berada di kebun tehnya. Angin sepoi-sepoi tak ia rasakan karena pikirannya tengah melayang entah ke mana. Memandangi hamparan kebun teh dan sinar mentari yang masuk sedikit ke dalam saung yang sedikit remang-remang itu. 'Kae, ap
"Sekarang aku tidak ingin main film. Kalau iklan aku mau. Oya, kamu tahu cara menghubungi penulis Dara siapa itu namanya ...." Erick mencoba mengingat-ingat nama pena istrinya. "Dara Jamilah? Entahlah. Sebentar aku cari dulu." Pria muda itu kemudian mencari nomor telepon wanita itu di ponselnya. "Ah, ada. Mas Erick mau apa?" Ia menoleh pada artis bule yang kini tampak lebih kurus dari sebelumnya. "Bisa kau suruh datang. Mmh ... mungkin bertemu di luar. Di restoran mungkin.""Kenapa? Mas, mau bertemu lagi dengannya?""Jangan beri tahu, aku yang ingin bertemu, ok?""Ok." Pria berambut cepak itu mencoba menghubungi, tapi tak seperti yang diharapkan. Nomor itu tak bisa dihubungi. "Kayaknya udah ganti nomor, Mas."Erick menghela napas. Ia menyentuh bibirnya. "Bagaimana dulu kamu mendapatkan nomornya?""Oh, aku memberikan nomorku di kolom komentar novelnya. Coba aku tanya lagi." Dani kembali menyalakan ponselnya. Ia membuka aplikasi novel tempat Kae menulis, tapi kembali ia kecewa. "Oh, s