Wanita berjilbab itu kini memutar tubuhnya menghadap sang pria bule dengan wajah dingin. "Sehebat-hebatnya kamu, orang hanya ingin melihat kamu di atas ranjang," ucapnya ketus.
"Hei, jaga mulutmu, ya! Itu hanya peran, bukan sungguhan!""Bukan sungguhan? Oya? Apa kamu tidak bersentuhan? Melihat tubuhnya? Tidak merasakan hal yang aneh ketika berada dalam satu ranjang?" Dara bertubi-tubi menjejalinya dengan pertanyaan yang menyindir dan pedas.Sempat terdiam sambil menelan ludah karena kalimat wanita ini seperti menelan jangi dirinya, Erick geram. "Ini hanya pekerjaan. Aku berusaha profesional!" tangkisnya lugas."Mmh! Profesional?" Ejek sang wanita, melipat tangan di dada. "Jadi kalau kamu diminta untuk disorot tanpa pakaian, apa kamu akan melakukannya? Bagaimana bisa ada orang pintar membodohimu dengan kalimat 'profesional', dan dengan uang yang banyak sehingga kamu tunduk padanya?""Ini bukan masalah uang. Ini semata-mata pekerjaan," elak Erick lirih. Seketika, ia lelah menerangkan pada wanita ini."Dan kau nyaman dengan itu? Lalu kenapa kau mencariku?" Dara balik bertanya dengan nada tajam."Dia ingin mengubah image playboy-nya, Mbak. Lagipula Mas Erick ini selalu memilih film yang akan dibintanginya. Tidak semua film yang dimainkan ada unsur dewasanya, tapi dia memilih berdasarkan jalan cerita. Salah satu novel Mbak kebetulan ada yang masuk dalam kriteria bagus menurutnya, makanya, Mbak kami hubungi." Terang manajer Erick berusaha menengahi. Sedikit bingung juga artisnya tiba-tiba diomeli oleh seorang author dengan berani, padahal ia penulis yang belum punya nama."Terima kasih, tapi aku tak tertarik. Aku tidak mau mengotori novelku dengan aktor yang menurutku tidak cocok memainkannya." Wanita itu tetap menolak Erick dengan keras.Pria indo itu mendengus kesal. "Lalu kau bilang novelmu tak punya adegan dewasanya, begitu? Itu rasanya tak mungkin! Bagaimana kau akan menulis cerita tentang hubungan suami istri tanpa menulis adegan dewasanya?""Bisa!""Hah! Novel seperti itu takkan laku di pasaran kalau kamu terlalu memegang prinsip kuno seperti itu!" Kembali Erick mengejeknya."Tidak apa-apa, karena pada dasarnya Tuhanlah yang memberi aku rejeki. Kamu pikir kamu bisa terkenal dan kaya, karena apa? Karena usaha dan kerja kerasmu? Kalau begitu kamu salah. Itu karena izin dari Allah hingga kamu bisa jadi seperti sekarang ini. Tanpa izin darinya, seberapa kerasnya pun kamu berusaha, kau takkan bisa jadi sekaya dan seterkenal sekarang!"Sang pria bule itu seketika resah. Kata-kata itu mengingatkannya pada seseorang. "Kamu, sama saja dengan penulis lainnya. Munafik! Bagaimana kalau ada seorang produser yang akan membeli novelmu, tapi ia minta ada adegan dewasanya dan ia akan memberimu uang yang banyak. Bukankah itu rezeki juga?" sindirnya lagi.Dara mengerut hidungnya dengan mata menyipit, demi mendengar sindiran yang terdengar acak itu. Ia menatap aneh pada pria ini. "Berarti kamu belum mengerti arti rezeki yang sesungguhnya. Percuma aku bicara dengan orang sepertimu," sahutnya dengan wajah sebal. Ia kemudian meninggalkan kedua pria itu."Hei, aku di sini membantumu ya, dasar author sombong!" teriak Erick yang makin naik darah.Dara kembali memutar tubuhnya dengan cepat karena panas mendengar ucapan sang pria. Dengan wajah dingin dan sorot mata yang tajam, ia mengangkat telunjuknya ke atas. "Tanpa seorang penulis, seorang artis sepertimu bukanlah siapa-siapa. Camkan itu!" ucapnya penuh penekanan. Setelah itu sang wanita meninggalkan ruangan dengan langkah pasti.Erick mengepalkan kedua tangan dengan erat, karena geram. Bisa-bisanya ada seorang penulis yang mengajarinya tentang kehidupan. Walaupun umurnya terlihat lebih tua, tapi wanita itu bukan siapa-siapa. Tidak terkenal dan kaya seperti dirinya. Lalu kenapa Dara menolak dirinya?"Breng sek! Dia pikir dirinya siapa? Orang suci?" Erick masih saja mengomel.Sebenarnya terjebak di tengah pertengkaran antara Erick dan Dara membuat manajer Erick bingung. Ia tak bisa membela salah satunya. "Mas 'kan yang minta untuk bermain dalam film religi, tapi sepertinya sulit, Mas. Mas sudah terlanjur punya image playboy dan pernah main film dewasa, jadi author novel religi manapun pasti menolaknya," keluh pria berambut cepak itu. "Atau, Mas mau aku carikan yang lain, yang bisa menerima kondisi Mas apa adanya?"Erick menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan. Ia mengusap rambut berombaknya ke belakang. Pria bule ini sudah lama bingung dengan kehidupannya. Walau dikelilingi kekayaan yang berlimpah, ia tak nyaman. Dirinya merasa hampa. Apa mungkin ia harus main film lagi?Padahal, apa yang tidak ia miliki? Pacar yang cantik, apartemen, kekayaan yang terus bertambah. Namun di dalam hatinya, dirinya merasa kosong. Ia merindukan seseorang tapi orang itu sudah tak bisa lagi ada untuknya.Beberapa saat pria indo itu terdiam. Manajernya bingung harus berkata apa. Ia hanya menunggu keputusan Erick tentang langkah selanjutnya, tapi ternyata, ia tak tahan untuk menunggu lama. "Jadi gimana, Mas?""Aku sebenarnya ingin mengundurkan diri dari dunia keartisan," ucap Erick setengah menggumam."Apa? Wah, Mas. Lagi laku-lakunya, lho! Sudah, jangan berpindah image saja, memang kenapa? Ini cuma image, semua artis juga begitu. Di dalam kehidupan pribadi, Mas religius 'kan gak masalah. Justru image ini membawa banyak keuntungan untuk hidup Mas. Sudah, teruskan saja," bujuk manajernya lagi.Erick melihat pria itu sekilas sambil menyugar rambutnya dari samping dengan kedua tangan. "Beri aku waktu untuk berpikir. Aku ingin cuti setahun.""Apa?" Sang manajer melebarkan matanya."Ayolah, Dani. Aku lelah bermain film, apalagi aku sedang memulai bisnisku di luar kota."Pria bernama Dani itu terdiam sesaat. Daripada salah satu artisnya yang paling bersinar itu pergi, lebih baik ia menyetujui permintaan cuti Erick. "Ok, kamu boleh cuti, tapi jangan lama-lama, ya, ok?" Ia masih berusaha membujuk pria bule ini agar tetap membawa keuntungan bagi agensinya.****Di sebuah kantor yang sibuk, seorang wanita berjilbab sedang asyik menelepon orang tuanya. "... sudah ya, Bu. Aku kerja dulu." Dara menutup telepon, dan mengganti layar. Ia memeriksa pesan dari atasannya. Sebuah alamat terpampang di sana yang sejak tadi ditunggunya, tapi ia tak mengenali daerah itu.Ia mendorong kursi berodanya ke samping, di mana temannya Lana tengah duduk sambil mengerjakan tugas di laptop kantor. "Lan, kamu tahu daerah ini, gak?"Wanita berambut sebahu itu mengambilnya. Setelah membaca, ia menggelengkan kepala. "Aku gak tau. Sepertinya daerah pinggir kota. Kenapa gak naik ojol aja?""Ya udah, aku naik ojol aja. Kirain kamu tau, biar jadi penunjuk jalan, pakai mobil kantor," sahutnya sambil tersenyum."Ah, ogah. Dijadiin supir lagi, pasti.""Dara tertawa lepas. 'Kan ntar aku traktir, dan bebas tugas dari kantor karena nemenin aku," godanya lagi.Lana tertawa pelan. "Ya udah, pergi sana! Ntar keburu sore lho," usir temannya mengingatkan."Iya, iya."****"Mas, kok kita lewat sini?" Dara bertanya pada supir ojol karena mereka masuk ke daerah hutan yang penuh pepohonan. Hari sudah menjelang malam, dan ia tidak tahu sedang berada di mana."Motong jalan, Mbak. Biar cepat," sahut pria di depannya.Namun di depan tak terlihat apa-apa selain pepohonan yang gelap. Haruskah wanita ini percaya, sedang dari navigasi di ponsel pria itu menunjukkan bahwa mereka sudah keluar dari jalur yang ditentukan, dan jalur yang sekarang tidak diketahui arahnya. "Tunggu sebentar, Mas."Pria itu menghentikan motornya. Segera Dara turun dari motor. Namun, bukannya bicara, wanita itu langsung balik badan dan lari. Ia tak mau terjadi apa-apa dengan dirinya. Satu-satunya yang terpikirkan olehnya saat itu adalah lari!"Eh, Mbak!"Dara tak mengindahkan. Ia berlari ke arah tempat mereka masuk sambil melepas helm dan membuangnya di jalan. Ia begitu ketakutan."Mbak!"Saat wanita itu menoleh, motor itu mengejarnya. Ia berusaha berlari kencang. Terlihat jalan raya di depannya. Ia mulai bernapas lega tapi ...."Ah!"Sebuah mobil yang berlari kencang, berhenti mendadak, tapi bukan berarti bisa menghindari tabrakan. Tubuh sang wanita sempat terpelanting ke kaca depan mobil sebelum akhirnya menggelinding jatuh ke trotoar. Sopir ojol yang melihat kejadian itu, kaget. Ia kabur bersama motornya demi menghindari masalah. Pengendara mobil tentu saja syok. Ia tak lain adalah Erick. Sempat bingung harus berbuat apa, akhirnya ia mencoba turun. 'A-aku menabrak orang? Jelas-jelas aku lihat orang itu mental ke kaca mobilku, tapi apa dia baik-baik saja?' Perlahan Erick bergerak ke depan. Ia sedikit gemetar karena ia belum pernah menabrak orang sebelumnya dan ia khawatir akan keadaannya. Sesosok tubuh tergeletak tepat di depan mobil. Tubuh itu tertelungkup, tapi ia yakin itu perempuan karena memakai jilbab. Yang anehnya, ia melihat orang itu punya pakaian yang sama dengan seseorang yang ditemuinya hari ini. Benarkah? Eh .... Masih dalam kebingungan, ia berjongkok. Tubuh itu belum bergerak. Hari sudah mulai g
"Me-nikah?" Kae membulatkan matanya yang sayu. Erick memulai aktingnya, memasang wajah sedih dan mulai membuat kedua netranya berkaca-kaca. "Maafkan aku, Kae. Aku yang membuatmu begini. Saat kau ngambek, kau berlari keluar dari mobil dan tidak melihat ada mobil yang sedang melaju kencang. Kau tertabrak mobil itu. Dibanding mengejar mobil itu, aku lebih memilih membawamu ke rumah sakit, Kae. Maafkan aku." Pria bule itu menundukkan kepala agar terlihat penuh penyesalan. Wanita itu melongo mendengar pengakuan Erick. Semua makin terlihat membingungkan. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi ini semua. Pria itu sendiri, sedang memikirkan strategi berikutnya. Ia melakukan dengan mulus di hadapan dokter dan suster yang kebetulan ada di sana. Keduanya terharu melihat kesungguhan dan tanggung jawab yang coba Erick emban. Sang pria mengeratkan genggaman, dan kembali menatap ke arah kedua netra Kae dengan sendu. "Kau bilang kau tak mau pacaran, kau ingin menikah saja, tapi waktu itu aku ta
"Kamu laki-laki, Bang. Kepala keluarga. Kamu harusnya menuntun istrinya ke jalan yang benar. Kalau aku masuk neraka, Abang yang diminta pertanggungjawabannya lho!""Lho, kok aku? Sendiri-sendirilah!" Pria itu terbangun karena kesal. "Aku istri Abang!""Apa hubungannya?" Mulut pria bule itu merengut. "Di dalam agama islam, dosa istri, suami yang tanggung," ucap Kae tegas. "Enak aja ....""Ini bener, Bang!"Erick menatap istrinya yang berada di sampingnya. Kantuknya tiba-tiba hilang karena dongkol, tapi mendengar kata-kata Kae membuatnya tertegun sesaat. "Ck!" Ia mengusap kasar wajahnya. "Iya ...." Jawabnya dengan malas. Pria itu kemudian mengangkat sedikit punggung sang istri karena ingin menarik tangannya tapi kemudian .... "Ah!""Kenapa, Bang?" Kae memperhatikan lengan Erick yang terlihat kaku sebelah dan mata suaminya itu terpejam menahan sakit. "Tanganku kram!"Sang istri meraih lengan pria itu dan memijitnya pelan. "Kram ya."Netra Erick sedikit terbuka walaupun ia masih memame
Otak pria bule itu berpikir cepat. Apakah ia harus berterus terang atau berbohong? Ia kemudian memulainya dengar suara yang dipelankan. "Sangkal saja. Aku di sini sibuk dengan pekerjaan baruku. Tolong tangani ya?""Oh, begitu. Ok. Baiklah."Setelah mematikan ponselnya ia kembali masuk ke dalam kamar. Erick kini sudah berada di rumah dan Kae berada di kamarnya. Diperhatikannya sang istri begitu senang dengan barang-barang yang dibawa Nina dan Bona. Nina memperlihatkan barang-barang yang dibawa, sedang Bona yang merapikan pakaian di dalam lemari. "Bang, ini mukenanya bagus banget. Bahannya lembut." Kae menyentuh bahan mukena dan mengusapkannya ke wajah. Senyumnya terukir seiring ia merasakan kelembutan bahan mukena itu di pipinya. "Oh, syukurlah kalau kau suka," sahut Erick senang. "Barang-barang lainnya akan datang lewat pengiriman," imbuh Nina dari samping. "Ada lagi?" tanya sang pria yang meletakkan kedua tangan di saku celananya sambil sedikit membungkuk, membuat Nina seketika s
Membantunya mandi saja, Kae sudah berdecak kagum dengan garis-garis di tubuh sang suami, apalagi berganti pakaian. Pria itu seperti tidak ingat ada seseorang wanita yang wajahnya merah padam melihat seluruh lekuk tubuhnya. "Kae, aku mau pergi kerja dulu ya?""Ke mana, Bang?""Pabrik.""Abang kerja di pabrik?""Mau lihat pekerja dulu.""Oh." Namun kemudian. "Abang mandor?"Pria itu tersenyum lebar dan mendatangi Kae di ranjang, membuat wanita itu sedikit berdebar karena terkejut. Kancing baju yang belum dipasang seluruhnya membuat Kae bisa melihat lagi garis bahu pria itu yang atletis. Apalagi bau aroma parfum maskulin yang menyeruak lembut. Pria itu baru saja memakainya sebelum mengenakan kemeja. "Bukan. Abang pemiliknya." Setelah itu ia mengancingkan baju kemejanya. "Oh ...." Kae mencoba membantu. Ia meraih kancing berikutnya sehingga sang pria hanya diam dan membiarkan Kae menyelesaikan sisanya. Erick begitu senang sang istri merapikan bajunya. Diperhatikannya gerakan mata Kae yan
Kae begitu senang melihat berbagai macam pedagang tersebar di pinggir jalan. Bahkan ia memperhatikan salah satu toko yang menarik perhatiannya. "Bang, kita ke sana ya?""Apa? Toko itu?" Erick melihat ke arah mana telunjuk istrinya diarahkan. "Iya."Pria bule itu mendorong kursi roda Kae menyebrangi jalan sambil memperhatikan kendaraan yang lewat dan melihat kiri kanan, sebab kendaraan sedang banyak. Kemudian mereka masuk ke toko tersebut. Saat itu sedang tidak banyak pengunjung, tapi tetap saja kedatangan mereka menjadi perhatian karena Erick yang bule dan juga ... tentu saja, artis. Beberapa pengunjung berbisik-bisik. 'Ah, aku lupa bawa kacamata hitamku,' gumam pria itu. Ia berusaha tak peduli dan mendorong kursi roda sesuai keinginan sang istri. "Bang, mau lihat yang itu," tunjuk Kae. Keduanya mendatangi sebuah rak kue dan roti. Kae sedikit curiga melihat banyak orang di sekeliling berbisik dan menatap ke arahnya. 'Kenapa mereka menatap ke arahku? Apa karena aku naik kursi roda?
Semua karyawan di lantai itu melihat Erick mendorong kursi roda menuju lift. Baru kali itu mereka melihat pemilik perusahaan yang baru, membawa istrinya. Tadinya mereka tidak percaya bule itu punya istri karena mereka tahu pria itu memang masih lajang, tapi mendengar kemarin pemilik menyatakan dirinya sudah menikah, mereka heran. Sebab sehari-hari Erick tidak pernah terlihat berhubungan dengan wanita mana pun. Bahkan sejak dulu. Ya, perusahaan itu adalah milik ayah Erick. Sejak ayahnya pindah ke Amerika ikut kakak laki-lakinya yang sudah menikah, sang ayah memberikan perusahaan itu pada Erick. Hanya saja, pria itu tak pernah mengurusnya. Untung perusahaan berjalan dengan sistem yang bagus, sehingga tanpa ada pemiliknya pun perusahaan tetap berjalan. Semua karyawan menatap ke arah Kae yang bercadar. Berbagai dugaan muncul karena Erick yang terkenal ramah tapi berkepribadian tertutup, disukai banyak wanita. Namun sulit bagi mereka untuk mendekati Erick karena sikap misteriusnya ini. K
Para pemetik teh terkejut mendengarnya. Terutama gadis itu. Ia telah sempat memarahi Kae hingga wajahnya tegang. Sang gadis tak menyangka, wanita yang berada di dalam saung itu adalah istri pemilik kebun teh tempat ibunya bekerja. Ketika Erick hendak membuka pintu mobil, gadis berkepang dua itu buru-buru meletakkan bawaannya di saung dan mengejar pria itu. Gadis itu membantu Erick membuka pintu. "Terima kasih." Sang pria mendudukkan istrinya ke dalam mobil dan menutup pintu. Beberapa pemetik teh mendekat. Mereka melihat iba pada Erick dan Kae. Mereka tidak tahu bos mereka punya istri lumpuh. "Sakit apa, Pak?""Apa kecelakaan?""Eh ...." Erick tersenyum. "Do'akan saja biar cepat sembuh, ya?" Kemudian ia naik ke mobil. Satu-satu orang mulai berdatangan keluarga yang membawa makanan untuk pekerja teh, tapi para pemetik teh pandangannya hanya tertuju pada mobil Erick. Mereka mengiringi mobil hingga bergerak menjauh. Mereka juga melambaikan tangan. "Cepat sembuh ya, Bu!""Semoga cepa