Share

2. Profesional

Wanita berjilbab itu kini memutar tubuhnya menghadap sang pria bule dengan wajah dingin. "Sehebat-hebatnya kamu, orang hanya ingin melihat kamu di atas ranjang," ucapnya ketus.

"Hei, jaga mulutmu, ya! Itu hanya peran, bukan sungguhan!"

"Bukan sungguhan? Oya? Apa kamu tidak bersentuhan? Melihat tubuhnya? Tidak merasakan hal yang aneh ketika berada dalam satu ranjang?" Dara bertubi-tubi menjejalinya dengan pertanyaan yang menyindir dan pedas.

Sempat terdiam sambil menelan ludah karena kalimat wanita ini seperti menelan jangi dirinya, Erick geram. "Ini hanya pekerjaan. Aku berusaha profesional!" tangkisnya lugas.

"Mmh! Profesional?" Ejek sang wanita, melipat tangan di dada. "Jadi kalau kamu diminta untuk disorot tanpa pakaian, apa kamu akan melakukannya? Bagaimana bisa ada orang pintar membodohimu dengan kalimat 'profesional', dan dengan uang yang banyak sehingga kamu tunduk padanya?"

"Ini bukan masalah uang. Ini semata-mata pekerjaan," elak Erick lirih. Seketika, ia lelah menerangkan pada wanita ini.

"Dan kau nyaman dengan itu? Lalu kenapa kau mencariku?" Dara balik bertanya dengan nada tajam.

"Dia ingin mengubah image playboy-nya, Mbak. Lagipula Mas Erick ini selalu memilih film yang akan dibintanginya. Tidak semua film yang dimainkan ada unsur dewasanya, tapi dia memilih berdasarkan jalan cerita. Salah satu novel Mbak kebetulan ada yang masuk dalam kriteria bagus menurutnya, makanya, Mbak kami hubungi." Terang manajer Erick berusaha menengahi. Sedikit bingung juga artisnya tiba-tiba diomeli oleh seorang author dengan berani, padahal ia penulis yang belum punya nama.

"Terima kasih, tapi aku tak tertarik. Aku tidak mau mengotori novelku dengan aktor yang menurutku tidak cocok memainkannya." Wanita itu tetap menolak Erick dengan keras.

Pria indo itu mendengus kesal. "Lalu kau bilang novelmu tak punya adegan dewasanya, begitu? Itu rasanya tak mungkin! Bagaimana kau akan menulis cerita tentang hubungan suami istri tanpa menulis adegan dewasanya?"

"Bisa!"

"Hah! Novel seperti itu takkan laku di pasaran kalau kamu terlalu memegang prinsip kuno seperti itu!" Kembali Erick mengejeknya.

"Tidak apa-apa, karena pada dasarnya Tuhanlah yang memberi aku rejeki. Kamu pikir kamu bisa terkenal dan kaya, karena apa? Karena usaha dan kerja kerasmu? Kalau begitu kamu salah. Itu karena izin dari Allah hingga kamu bisa jadi seperti sekarang ini. Tanpa izin darinya, seberapa kerasnya pun kamu berusaha, kau takkan bisa jadi sekaya dan seterkenal sekarang!"

Sang pria bule itu seketika resah. Kata-kata itu mengingatkannya pada seseorang. "Kamu, sama saja dengan penulis lainnya. Munafik! Bagaimana kalau ada seorang produser yang akan membeli novelmu, tapi ia minta ada adegan dewasanya dan ia akan memberimu uang yang banyak. Bukankah itu rezeki juga?" sindirnya lagi.

Dara mengerut hidungnya dengan mata menyipit, demi mendengar sindiran yang terdengar acak itu. Ia menatap aneh pada pria ini. "Berarti kamu belum mengerti arti rezeki yang sesungguhnya. Percuma aku bicara dengan orang sepertimu," sahutnya dengan wajah sebal. Ia kemudian meninggalkan kedua pria itu.

"Hei, aku di sini membantumu ya, dasar author sombong!" teriak Erick yang makin naik darah.

Dara kembali memutar tubuhnya dengan cepat karena panas mendengar ucapan sang pria. Dengan wajah dingin dan sorot mata yang tajam, ia mengangkat telunjuknya ke atas. "Tanpa seorang penulis, seorang artis sepertimu bukanlah siapa-siapa. Camkan itu!" ucapnya penuh penekanan. Setelah itu sang wanita meninggalkan ruangan dengan langkah pasti.

Erick mengepalkan kedua tangan dengan erat, karena geram. Bisa-bisanya ada seorang penulis yang mengajarinya tentang kehidupan. Walaupun umurnya terlihat lebih tua, tapi wanita itu bukan siapa-siapa. Tidak terkenal dan kaya seperti dirinya. Lalu kenapa Dara menolak dirinya?

"Breng sek! Dia pikir dirinya siapa? Orang suci?" Erick masih saja mengomel.

Sebenarnya terjebak di tengah pertengkaran antara Erick dan Dara membuat manajer Erick bingung. Ia tak bisa membela salah satunya. "Mas 'kan yang minta untuk bermain dalam film religi, tapi sepertinya sulit, Mas. Mas sudah terlanjur punya image playboy dan pernah main film dewasa, jadi author novel religi manapun pasti menolaknya," keluh pria berambut cepak itu. "Atau, Mas mau aku carikan yang lain, yang bisa menerima kondisi Mas apa adanya?"

Erick menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan. Ia mengusap rambut berombaknya ke belakang. Pria bule ini sudah lama bingung dengan kehidupannya. Walau dikelilingi kekayaan yang berlimpah, ia tak nyaman. Dirinya merasa hampa. Apa mungkin ia harus main film lagi?

Padahal, apa yang tidak ia miliki? Pacar yang cantik, apartemen, kekayaan yang terus bertambah. Namun di dalam hatinya, dirinya merasa kosong. Ia merindukan seseorang tapi orang itu sudah tak bisa lagi ada untuknya.

Beberapa saat pria indo itu terdiam. Manajernya bingung harus berkata apa. Ia hanya menunggu keputusan Erick tentang langkah selanjutnya, tapi ternyata, ia tak tahan untuk menunggu lama. "Jadi gimana, Mas?"

"Aku sebenarnya ingin mengundurkan diri dari dunia keartisan," ucap Erick setengah menggumam.

"Apa? Wah, Mas. Lagi laku-lakunya, lho! Sudah, jangan berpindah image saja, memang kenapa? Ini cuma image, semua artis juga begitu. Di dalam kehidupan pribadi, Mas religius 'kan gak masalah. Justru image ini membawa banyak keuntungan untuk hidup Mas. Sudah, teruskan saja," bujuk manajernya lagi.

Erick melihat pria itu sekilas sambil menyugar rambutnya dari samping dengan kedua tangan. "Beri aku waktu untuk berpikir. Aku ingin cuti setahun."

"Apa?" Sang manajer melebarkan matanya.

"Ayolah, Dani. Aku lelah bermain film, apalagi aku sedang memulai bisnisku di luar kota."

Pria bernama Dani itu terdiam sesaat. Daripada salah satu artisnya yang paling bersinar itu pergi, lebih baik ia menyetujui permintaan cuti Erick. "Ok, kamu boleh cuti, tapi jangan lama-lama, ya, ok?" Ia masih berusaha membujuk pria bule ini agar tetap membawa keuntungan bagi agensinya.

****

Di sebuah kantor yang sibuk, seorang wanita berjilbab sedang asyik menelepon orang tuanya. "... sudah ya, Bu. Aku kerja dulu." Dara menutup telepon, dan mengganti layar. Ia memeriksa pesan dari atasannya. Sebuah alamat terpampang di sana yang sejak tadi ditunggunya, tapi ia tak mengenali daerah itu.

Ia mendorong kursi berodanya ke samping, di mana temannya Lana tengah duduk sambil mengerjakan tugas di laptop kantor. "Lan, kamu tahu daerah ini, gak?"

Wanita berambut sebahu itu mengambilnya. Setelah membaca, ia menggelengkan kepala. "Aku gak tau. Sepertinya daerah pinggir kota. Kenapa gak naik ojol aja?"

"Ya udah, aku naik ojol aja. Kirain kamu tau, biar jadi penunjuk jalan, pakai mobil kantor," sahutnya sambil tersenyum.

"Ah, ogah. Dijadiin supir lagi, pasti."

"Dara tertawa lepas. 'Kan ntar aku traktir, dan bebas tugas dari kantor karena nemenin aku," godanya lagi.

Lana tertawa pelan. "Ya udah, pergi sana! Ntar keburu sore lho," usir temannya mengingatkan.

"Iya, iya."

****

"Mas, kok kita lewat sini?" Dara bertanya pada supir ojol karena mereka masuk ke daerah hutan yang penuh pepohonan. Hari sudah menjelang malam, dan ia tidak tahu sedang berada di mana.

"Motong jalan, Mbak. Biar cepat," sahut pria di depannya.

Namun di depan tak terlihat apa-apa selain pepohonan yang gelap. Haruskah wanita ini percaya, sedang dari navigasi di ponsel pria itu menunjukkan bahwa mereka sudah keluar dari jalur yang ditentukan, dan jalur yang sekarang tidak diketahui arahnya. "Tunggu sebentar, Mas."

Pria itu menghentikan motornya. Segera Dara turun dari motor. Namun, bukannya bicara, wanita itu langsung balik badan dan lari. Ia tak mau terjadi apa-apa dengan dirinya. Satu-satunya yang terpikirkan olehnya saat itu adalah lari!

"Eh, Mbak!"

Dara tak mengindahkan. Ia berlari ke arah tempat mereka masuk sambil melepas helm dan membuangnya di jalan. Ia begitu ketakutan.

"Mbak!"

Saat wanita itu menoleh, motor itu mengejarnya. Ia berusaha berlari kencang. Terlihat jalan raya di depannya. Ia mulai bernapas lega tapi ....

"Ah!"

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status