Sebuah mobil yang berlari kencang, berhenti mendadak, tapi bukan berarti bisa menghindari tabrakan. Tubuh sang wanita sempat terpelanting ke kaca depan mobil sebelum akhirnya menggelinding jatuh ke trotoar. Sopir ojol yang melihat kejadian itu, kaget. Ia kabur bersama motornya demi menghindari masalah.
Pengendara mobil tentu saja syok. Ia tak lain adalah Erick. Sempat bingung harus berbuat apa, akhirnya ia mencoba turun.'A-aku menabrak orang? Jelas-jelas aku lihat orang itu mental ke kaca mobilku, tapi apa dia baik-baik saja?' Perlahan Erick bergerak ke depan. Ia sedikit gemetar karena ia belum pernah menabrak orang sebelumnya dan ia khawatir akan keadaannya.Sesosok tubuh tergeletak tepat di depan mobil. Tubuh itu tertelungkup, tapi ia yakin itu perempuan karena memakai jilbab. Yang anehnya, ia melihat orang itu punya pakaian yang sama dengan seseorang yang ditemuinya hari ini. Benarkah? Eh ....Masih dalam kebingungan, ia berjongkok. Tubuh itu belum bergerak. Hari sudah mulai gelap dan tempat itu sepi karena ia melewati jalan alternatif ke luar kota. Karena itu ia ngebut agar cepat sampai tujuan. Alih-alih sampai, ia malah menabrak orang.Orang ini tiba-tiba saja muncul dari rimbunan pohon hingga ia tak sempat mengelak. Sekarang, apa mungkin wanita ini adalah wanita yang sama yang ditemuinya tadi? Hah ....Ia memberanikan diri melihat tubuh itu dengan seksama. Tidak ada darah yang terlihat. 'Ya Allah, jangan sampai aku menghilangkan nyawa orang. Aku takut sekali, ini.' Kembali tangannya gemetar ketika mencoba membalik tubuh wanita itu. Benar saja. Ia adalah Dara, penulis yang ditemuinya tadi, tapi kenapa mereka bertemu lagi dengan cara begini? "Ya Allah, apa yang telah aku lakukan?" Pria itu menjenggut rambutnya karena frustasi.Erick memperhatikan tubuh gempal wanita ini. Tak terlihat luka di tubuh Dara karena berpakaian tertutup, apalagi ia tak sadarkan diri. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. Perlahan ia mengulurkan kedua jari ke depan hidung Dara. 'Dia bernapas? Ah, syukurlah.'Tiba-tiba dari dahi Dara mengeluarkan da rah segar. Seketika Erick panik. 'Ya Allah ... selamatkan dia, Tuhan. Selamat dia. Aku berjanji akan membuatnya bahagia. Apapun itu, jadi selamat dia.' Dengan cepat pria itu menggendong wanita itu dengan kedua tangan dan membawanya ke jok belakang. Ia melajukan mobilnya dengan kencang. Kebetulan ia tahu rumah sakit terdekat dari tempat itu.Sesampainya di rumah sakit, Dara mendapatkan penanganan serius karena Erick mengatakan bahwa Dara adalah korban kecelakaan. Seorang suster mendatanginya. "Maaf, Mas. Apa Mas yang akan bertanggung jawab dengan korban?""Oh, iya."Suster itu menyerahkan tas Dara pada Erick. "Mas siapanya?""Eh, Saya ... pacarnya," sahut sang pria sambil mengambil tas itu.Sang suster mengerut dahi karena ia tahu ia berhadapan dengan seorang artis terkenal. Sepengetahuannya, pacar Erick adalah model terkenal, bukan wanita ini. "Mas bukannya Erick Adrian?"Itulah yang ditakutkan Erick, tapi ia harus bertanggung jawab. Ia tak bisa lari dari kenyataan. "Eh, iya ... tapi dia pacarku yang sekarang, Sus. Bagaimana keadaannya?" Namun kemudian, ia menyesal. Bagaimana kalau Dara bangun dan menyangkal semua? Ia begitu bingung, harus bohong dari mana."Oh, maaf, Mas. Masih diperiksa. Mas sebaiknya mengurus administrasi, agar kita bisa cepat menanganinya.""Ok, baiklah. Tapi tolong, selamatkan dia ya, Sus." Erick sampai memegangi tangan suster itu, memohon. Wajahnya terlihat begitu khawatir."Apa dia korban kecelakaan? Sebaiknya Mas melapor ke polisi juga. Untuk sekarang, Mas sebaiknya mengurus administrasi dulu saja."Erick kemudian mengurus administrasi. Hanya saja, ketika ingin menulis data Dara, ia kebingungan. Ia baru sadar kalau selama ini hanya tahu nama pena penulis itu, sedang nama aslinya, ia tidak tahu. Pria itu kemudian memeriksa isi tas Dara dan melihat ponsel wanita itu yang layarnya telah retak. Namun, ponsel itu masih bisa dinyalakan. Setelah memeriksanya beberapa saat ...."Kaemila Adjani." Erick juga memeriksa KTP wanita itu dan mendapatkan nama yang sama. Tak lama, ia menyelesaikan administrasi dan kembali ke tempat semula. Ia menunggu dengan cemas.Banyak hal yang berputar di kepalanya. Bagaimana kalau wanita ini sadar dan menuntutnya, atau tulang di tubuh wanita itu ada yang retak atau patah? Belum lagi ia begitu takut keberadaannya di tempat itu dicium media. Ini semua gara-gara ia mengenakan kacamata hitam ketika menyetir tadi. Padahal ia hendak melepasnya karena hari menjelang malam, tapi ia terlambat membuka dan terjadilah kecelakaan itu. Sungguh, menyesal sekarang tak ada gunanya.Suster itu kembali keluar dari pintu di hadapannya. "Mas, pasiennya sudah siuman."Seketika Erick panik. Ia tak tahu apa ia harus bersandiwara atau jujur apa adanya. Ia kemudian menimbang-nimbang sambil berjalan mengikuti suster itu masuk ke kamar perawatan. Di sana ada seorang dokter dan Dara terbaring lemah di atas ranjang brankar. Sebelum mendatangi sang wanita, dokter itu datang mendekat."Eh, begini ya? Ada berita buruk. Kecelakaan ini bisa dibilang cukup parah. Dari pinggang ke bawah dia lumpuh dan dia juga hilang ingatan."Erick melongo. Haruskah ia senang atau sedih? Wanita itu hilang ingatan tapi juga lumpuh.Dokter itu menepuk bahu sang artis. "Aku dengar dia pacarmu ya? Mungkin dia tidak ingat siapa dirimu." Ia menunduk prihatin.'Itu lebih baik! Eh, tapi bukan maksudku mensyukurinya, tapi aku akan bertanggung jawab tanpa harus kena omelannya. Dia tidak akan menyebarkan ke publik apa yang terjadi antara aku dan dia agar nama baikku tetap terjaga. Tapi ... bagaimana cara meredam gosip yang akan timbul setelah ini, sebab pencari berita akan mencari tahu siapa Kaemila sebenarnya.Aku sebenarnya tidak tahu siapa dia, tapi dia masih lajang. Sebaiknya aku menikah saja dengannya agar media tidak usil mencari tahu tentang Kaemila, dan saat Kae sadar dia tidak akan menuntutku. Dengan begitu kita bisa cerai baik-baik.'Kemudian dengan mantap ia melangkah menemui Kae. Wanita itu terbaring di ranjang dengan wajah pucat dan lemah. Kepalanya diperban. Kae terlihat bingung saat Erick duduk di tepi ranjang sambil menatap ke arahnya. "Kamu siapa?" tanyanya pelan.Erick masih mencari tahu kebenaran wanita ini hilang ingatan, dari kedua manik mata cantik milik sang wanita. Ia baru menyadari, wanita yang bertubuh sedikit gemuk itu punya mata cantik yang membuatnya menarik. "Kau tak ingat aku?"Mata indah itu menyusuri lekuk wajah tampan pria di hadapan. Ia sama sekali tak ingat apa pun tentang pria ini. Kenapa ia bisa lupa? Siapa dia?"Kae." Untuk pertama kalinya, Erick menyebut nama asli wanita itu.Sang wanita mengerut dahi. "Kae? Siapa Kae?""Namamu Kae. Apa kau tak ingat dirimu?"Dengan pelan, Kae menggeleng. Bukan saja dirinya, kenapa ia sampai di kamar itu saja ia tak ingat. Yang ia tahu, kakinya tak bisa digerakkan. Diagnosa dokter, kakinya lumpuh."Bagaimana dengan aku, pacarmu.""Pacar?" Kedua netra wanita itu membola. Pria tampan ini pacarnya? Benarkah?"Iya."Kae masih terlihat bingung, tidak tahu harus berkata apa. Semuanya tampak baru. Dokter, suster bahkan pria yang mengaku pacarnya ini. Haruskah ia percaya? "Maaf, aku tidak tahu, tapi aku benar-benar tidak tahu. Kenapa aku ada di sini?""Kau kecelakaan Kae. Aku menolongmu.""Kau menolongku?"Sebelum wanita itu bertanya lebih jauh, Erick mengalihkan perhatian. Pria itu melirik dokter yang masih berdiri di sana. "Dok, berapa lama orang bisa hilang ingatan?""Mmh. Tergantung. Ada yang cepat, beberapa hari bisa sembuh. Ada ju—""Terima kasih dok." Pria tampan itu segera beralih pada Kae. Ia meraih tangan sang wanita. "Kae, maukah kau menikah denganku?"Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka
Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar
Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend
"Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan
Lily kemudian ke kamar mandi bersama Sasti. Gio terlihat sudah tak sabar. "Gio, kamu mau juga? Sini Mama bukain bajunya."Bocah laki-laki itu mendatangi Kae, tapi bertepatan dengan itu terdengar tangis bayi dari kamar sebelah. "Biar Gio sama aku saja." Erick menarik Gio ke arahnya. Sang istri terlihat lega. Ia kemudian keluar kamar. ****Sasti mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Ia rajin bekerja terutama mengurus anak-anak. Tidak butuh waktu lama, Lily dan Gio mulai dekat dengannya. Walaupun begitu, Lily tetap menjaga jarak, sama seperti Mukid. Karena terlalu dekat dengan kakeknya, sedikit banyak ia meniru tingkah laku pria paruh baya itu. "Mbak, baju kaosku yang warna pink mana?" Lily mencarinya di dalam lemari. "Mungkin masih belum kering, Kakak," sahut Sasti yang sibuk menemani Gio bermain. "Jadi, aku pakai yang mana?""Pakai yang lain, 'kan banyak. Bagus-bagus lagi." Gadis itu akhirnya berdiri dan mencoba mencarikan. "Ini bagaimana?" Ia memperlihatkan baju yang lain berwarn
Lily mengintip ibunya menyusui sang bayi. Ia terlihat heran. "Kenapa Mama nyussu adek? Kenapa Gio enggak?"Kae tersenyum. "Karena kalau keluarnya dari rahim Mama, itu sudah dikasih Allah plus sussunya," bisiknya. "Oh ...."Bayi Abi sedikit terganggu hingga berhenti menyussu. Ia melirik sang ibu dan Lily, tapi tak lama kembali menyussu. Pipinya mulai tembam dan betah menyusu lama. Di kulitnya yang mirip Kae, ia punya manik mata sedikit kecoklatan. Tangannya mempermainkan kerah baju ibunya, sedang dahinya tampak mulai berkeringat. "Ma, Dedek Abi kok keringetan? Memangnya sussu Mama anget?" bisik Lily penasaran. Kae kembali mengulum senyum. Memang anak kecil seusia Lily keingintahuannya banyak hingga banyak bertanya. Kae tentu saja akan memberikan informasi sebisa mungkin dengan tidak berbohong karena itu ia membekali dirinya dengan pengetahuan. "Bukan sussunya yang anget tapi badan Mama. Jadi dengan sendirinya sussunya jadi anget."Lily mengangguk-angguk dan memperhatikan bayi itu.