Erick menoleh ke dalam rumah. Ia melihat Kae berada di lantai atas bersama dua pria yang menculiknya tadi. "Kae ...." Pria itu memutar kepalanya kembali ke arah ayah Kae. "Pak, sebenarnya kami mau ke sini setelah berkunjung ke rumah ibu Mila tapi Bapak langsung membawa lari Kae ... eh, Mila ke sini, jadi terpaksa kami menyusul.""Kenapa kalian menikah tanpa restuku? Apa yang kalian sembunyikan?" Pandangan ayah Kae terlihat sinis. "Itulah kenapa kami mendatangi kalian berdua. Ibu dan Bapak.""Maksudmu?" Mukid mengerutkan keningnya. "Mantan istriku juga tidak tahu?""Bisakah kita masuk ke dalam dan bicara baik-baik?"Pria paruh baya itu kini mengerut alias, tanda tidak senang. 'Berani-beraninya dia menyuruhku masuk ke dalam rumah. Apa dia tidak takut pada wajahku yang galak ini? Mmh, hebat juga Mila memilih laki-laki. Dia punya jiwa kepemimpinan, tapi sayang ... dia hanya setan! Iblis yang menggoda keimanan keluargaku!'Walau begitu Mukid masuk ke dalam bersama dengan Erick dan babysit
"Hasilnya nanti akan keluar 10 hari lagi ya, Pak," sahut suster yang tersipu-sipu melihat ketampanan aktor yang sudah lama tidak terdengar kabarnya ini. "Oh, iya. Terima kasih, Sus.""Sama-sama." Suster itu melirik Kae yang tengah diambil sampel darahnya. Ia juga melirik Lily. "Eh, itu istrinya ya, Pak?""Iya, itu istri Saya.""Oh, Bapak sudah nikah ya?"Tiba-tiba ayah Kae mendekat. Ia terganggu melihat Erick beramah tamah dengan suster itu. Ia berdehem sedikit keras membuat suster itu ketakutan. Apalagi melihat wajah sangar Mukid. Setelah itu Erick mengajak makan di kantin. Namun Mukid terlihat tidak senang karena melihat pria bule itu santai saja bersamanya, seakan-akan ia telah menerima bule itu sebagai menantunya. "Hei, kenapa kamu seakan tidak merasa ada masalah di antara kita!" ucapnya kesal. "Oh, jadi aku harus bagaimana?" tanya Erick bingung. "Aku lapar.""Huh, benar-benar tamu tak tahu malu! Lain kali, kau tanyakan dulu padaku karena aku adalah tuan rumahnya!" "Oh, begitu
"Ini 'kan kamar putriku!" Mukid tak kalah sewot. "Tapi putrimu sudah menikah, Pak. Tolong, lain kali ketuk pintu kalau mau masuk.""Ini rumahku sendiri, kenapa aku harus mengikuti peraturanmu, heh!" Pria paruh baya itu gemas sendiri. Ia bergerak ke pintu tapi kemudian kembali. "Aku sebenarnya ingin mengajak kalian sholat Subuh berjamaah di bawah tapi sudahlah ...." Ia kembali pergi. "Eh, Pak!" panggil Erick. "Kami akan turun. Kita akan sholat berjamaah bersama. Tunggu saja."Mukid yang mendengar itu kemudian keluar dan menutup pintu. Ia dongkol karena sempat melihat tubuh atletis pria muda itu. 'Tubuhnya membuatku merasa semakin tua saja. Huh!'Hampir setengah jam pria paruh baya itu menunggu dan akhirnya keduanya menyusul turun. "Ini sudah hampir terang, ya!" sindirnya. "Maafkan kami, Pak." Erick melirik istrinya yang menunduk. Ia sudah selesai mandi dari tadi tapi karena menunggu Kae mengeringkan rambut .... "Eh, biar aku yang jadi imam di depan.""Apa kau bisa?" Mukid menatap
Mobil mendatangi kerumunan pegawai yang sedang mengumpulkan kelapa sawit yang sudah dipottong. Mereka memasukkannya ke dalam truk bak terbuka di bagian belakang. Truknya lumayan besar tapi isi di bak terbuka itu sudah penuh hingga membumbung tinggi ke atas. Mukid dan Erick turun sedang bodyguard pria paruh baya itu menepikan mobilnya di samping. Ayah Kae berdiri di belakang truk dan memeriksa muatan. "Hei, ini tutupnya gak bener ini! Coba betulin lagi. Nanti kalau lepas bisa membahayakan orang lain."Baru saja pria itu bicara, seorang pegawai yang berpakaian santai, mencoba membetulkan penutup bak belakang dari samping. Namun alih-alih terkunci, penutup itu malah terbuka karena terdorong isinya yang banyak, sehingga tumpukan kelapa sawit itu menimpa Mukid. "Ah!!"Erick yang berada dekat situ sempat menghindari tapi ia tak sempat menyelamatkan sang mertua. "Pak!"Para pekerja yang berada di sana terkejut. Mereka semua berusaha menolong pemilik kebun itu dengan menepikan kelapa sawit
"Tidak apa-apa, Sayang. Bapak hanya luka ringan saja, tapi ternyata dia juga punya darah tinggi. Jadi dokter menyarankan untuk istirahat di rumah sakit sampai darah tingginya turun. Itu saja." Erick berusaha meredakan ketakutan sang istri. "Bener Ayah gak papa, Bang?" tanya Kae memastikan. Ia masih meletakkan ponselnya di samping telinga dan menoleh pada bayi Lily dalam gendongan babysitter yang sedikit rewel. "Lily dari tadi gelisah terus. Badannya panas. Biar aku bawa ke rumah sakit saja sekalian tengok Ayah.""Eh, Kae ...." Pria bule itu menegakkan tubuhnya, tapi sambungan telepon telah ditutup. Ia segera mematikan ponselnya dan menatap asisten sang mertua. "Maaf, Diki. Istri Saya mau ke rumah sakit. Aku harus mendampinginya di sana.""Oh, baik, Pak."Erick berdiri dan segera keluar dari ruangan. Ia bergegas ke rumah sakit dan masuk ruang perawatan Mukid, di mana Kae telah duduk di sana sambil meratapi sang ayah yang sedang sakit. Mukid diam membisu. Ia bingung menghadapi sang ana
"Aku pun tak bisa hidup tanpamu, tapi aku tidak mau seperti Ayahmu yang menculik kamu dari orang tuamu.""Tapi, bukankah anak yang sudah menikah itu milik pasangannya?""Andai aku tega melakukannya, Kae." Erick mengusap pucuk kepala istrinya. "Kita hanya bisa membujuknya.""Ya Allah ... mudah-mudahan ada jalan.""Semoga saja." Pria itu mengecup kening sang istri. "Sudah. Waktunya tidur. Sudah malam."****Erick terkejut ketika masuk ke dalam ruang perawatan Mukid pagi itu. Pria paruh baya itu sedang berusaha duduk di lantai. "Bapak jatuh?" Sang pria bule meletakkan tas yang dibawanya di atas ranjang. Ia menolong sang mertua untuk kembali ke ranjang. "Kepalaku pusing. Padahal aku hanya ingin ke kamar mandi.""Bapak sudah sholat subuh?""Sudah.""Lalu?""Aku hanya ingin cuci muka.""Oh. Aku bawakan baju ganti. Bapak mau mandi?"Mukid menatap wajah Erick. "Eh, tidak usah. Nanti saja sama suster.""Bapak mau dimandikan suster?" Erick tersenyum di kulum. Mertuanya itu tersenyum kecut.
"Aku habis dari rumah sakit, Kae.""Menemui Ayah?"Erick berjalan gontai mendatangi ranjang. "Aku tidak tahu apa yang diinginkan Bapakmu. Seakan aku ditarik ulur terus sama dia," keluh pria itu pada istrinya. Ia menghempaskan bokkongnya di ranjang. "Oh, Sayang. Tapi kamu gak dimarahin, 'kan?" ucap Kae manja sambil mendekat dan menyentuh wajah suaminya. Walaupun letih, wajah tampan pria itu tetap mempesona. Tumbuh bulu-bulu halus di sekitar rahang membuat wajahnya terlihat lebih matang. "Abang gak cukur jenggot?""Abang lupa bawa pencukur jenggot Abang karena buru-buru ke sini. Apa Abang terlihat jelek?""E-emh." Kae menggeleng. "Abang tambah ganteng dan dewasa.""Masa?" Erick meraba dagu dan rahangnya. "Kamu suka?"Sang istri mengangguk dengan senyum manisnya. Matanya terus memperhatikan wajah sang suami. Erick mendekatkan wajahnya. "Jangan bohong ...," tanyanya lembut. "Mh-mh." Kini Kae mengangguk. "Coba kiss dulu."Kae memberi kecupan singkat membuat pria itu memperhatikan bibir
"Aku malas sarapan.""Lily ...." Kae yang duduk di samping suaminya sibuk menyendoki nasi goreng. "Sarapan itu penting. Kamu sering gak sarapan sampai badanmu kurus begitu." Ia kemudian beralih ke samping. Kae mengambil sepotong kentang goreng dari piring yang berbeda dan celingak-celinguk mencari seseorang di bawah. "Gio!"Seorang bocah kecil berlari-lari ke arah Kae. Pipinya tembam dengan rambut sedikit ikal. Ia berkulit sawo matang. Gio kemudian menggigit potongan kentang yang disodorkan sang ibu padanya. Bocah itu kembali berlari ke tempat semula, di mana ia sedang main mobil-mobilan di lantai. "Kalau kamu telat, biar Papa yang antar.""Ngak boleh!" Lily langsung merajut. "Nanti ada yang ngambil Papa Lily!"Erick dan Kae hanya senyum di kulum. Seorang pria paruh baya keluar dari kamarnya tak jauh dari ruang tengah. "Ayo Lily, kakek antar sekolah.""Mama, bekal Lily mana, Ma?" Lily menyodorkan punggungnya. Si kecil Gio berdiri dan berlari-lari ke meja makan dengan kaki kecilnya