"Kamu laki-laki, Bang. Kepala keluarga. Kamu harusnya menuntun istrinya ke jalan yang benar. Kalau aku masuk neraka, Abang yang diminta pertanggungjawabannya lho!"
"Lho, kok aku? Sendiri-sendirilah!" Pria itu terbangun karena kesal."Aku istri Abang!""Apa hubungannya?" Mulut pria bule itu merengut."Di dalam agama islam, dosa istri, suami yang tanggung," ucap Kae tegas."Enak aja ....""Ini bener, Bang!"Erick menatap istrinya yang berada di sampingnya. Kantuknya tiba-tiba hilang karena dongkol, tapi mendengar kata-kata Kae membuatnya tertegun sesaat. "Ck!" Ia mengusap kasar wajahnya. "Iya ...." Jawabnya dengan malas. Pria itu kemudian mengangkat sedikit punggung sang istri karena ingin menarik tangannya tapi kemudian .... "Ah!""Kenapa, Bang?" Kae memperhatikan lengan Erick yang terlihat kaku sebelah dan mata suaminya itu terpejam menahan sakit."Tanganku kram!"Sang istri meraih lengan pria itu dan memijitnya pelan. "Kram ya."Netra Erick sedikit terbuka walaupun ia masih memamerkan gigi putihnya, tapi pijitan itu setidaknya mengurangi rasa nyeri pada lengan yang ditindih oleh tubuh istrinya yang gemuk itu, semalaman. Pelan-pelan, rasa nyeri itu hilang. Ia mulai bernapas lega."Udah?" Kae menghentikan pijatannya."Mmh." Sang pria menarik tangannya dan mengecek kram di sepanjang lengan kanannya itu. "Makasih.""Sudah, sekarang Abang sholat.""Sebentar." Erick sedikit merengut. Walau dalam keadaan rambut yang berantakan, ia tetap terlihat tampan. Bahkan baju kemejanya yang kusut akibat dipakai tidur, tidak mengurangi ketampanannya. "Aku bisa 'kan, tidur sebentar. Aku masih ngantuk, Kae." Pria ini masih menawar."Aku mau sholat. Kalau Abang gak mau sholat, tidur aja di sofa sana," usir istrinya, karena dia tidak bisa sholat di tempat tidur kalau Erick masih di sana.Pria itu turun dengan mulut masih mengerucut. Ia duduk di sofa sambil memperhatikan Kae tayamum. Namun ketika istrinya kesulitan mengambil jilbab instannya di meja nakas, Erick terpaksa kembali berdiri dan membantunya. Ia juga membantu memasangkan jilbab."Makasih."Kae sebenarnya kesal karena suaminya tidak langsung sholat. Itu ditunjukkan dengan mulut yang merengut ketika dibantu memasangkan jilbab, sehingga mau tak mau Erick mengalah."Ya udah, aku sholat.""Kamu jadi imam, dong!"Pria itu menghela napas. "Ya udah." Ia kemudian ke kamar mandi dan wudhu. Setelah itu keluar dan melirik ruangan itu. Ternyata sholat menghadap ke jendela. Itu terlihat dari tanda panah di langit-langit ruangan. Erick kemudian menggendong istrinya dan memindahkannya ke sofa. Ia menggeser meja agar bisa sholat di depan.Seusai sholat, pria itu menggendong lagi istrinya untuk kembali ke ranjang. Di saat bersamaan, terdengar suara ketukan di pintu dan seorang petugas masuk membawa baki makanan. "Oh, mau dibawa ke mana pasiennya, Pak?" sahut petugas wanita itu. Ia meletakkan sebuah baki di meja nakas."Oh, kami baru selesai sholat berjamaah." Terang Erick yang sudah berada di tepi ranjang.Petugas itu membantu menepikan selimut dan kemudian menutup kaki pasien dengan selimut itu ketika Kae duduk di atas ranjang. "Ada sarapan pagi buat yang nunggu pasien juga.""Oh, terima kasih."****Erick merapikan cadar istrinya. Pria itu kini menatap Kae sambil menggenggam tangannya. "Ingat, cadar dan jilbabnya tak boleh dibuka kecuali izin dariku. Jadi kalau ada yang ingin membuka cadarmu, walaupun itu untuk pemeriksaan kesehatan, tidak boleh ya. Tunggu aku kembali.""Tapi bagaimana kalau dokter yang minta?" tanya Kae bingung. Ia meraih tangan suaminya."Suruh mereka telepon aku.""Bagaimana kalau Abang kasih aku HP, biar bisa telepon Abang."Erick melirik tas Kae yang berada di atas meja. "Aku hanya punya satu HP. HPmu juga rusak, mau aku servis. Sudah, lakukan saja seperti yang aku bilang." Ia kembali menggenggam tangan sang istri. "Gak papa, mereka gak akan maksa. Kita 'kan VIP.""Tapi jangan lama-lama ya." Dari kedua netranya, Kae terlihat cemas. Kembali, ia meraih tangan sang suami."Enggak, cuma sebentar kok." Pria itu berdiri dan meraih tas milik sang istri. Sempat ia menoleh pada istrinya sekali lagi sebelum pergi. "Tenang saja. Sebaiknya kamu istirahat." Erick memakai kacamata hitamnya begitu keluar dari rumah sakit.Beberapa orang menghampirinya ketika melangkah ke arah mobil. "Maaf, Mas Erick ya?"Erick menoleh sekilas. Mereka membawa alat perekam. Ia sudah tahu dengan siapa ia berhadapan."Katanya Mas sudah menikah?""Pacarnya kecelakaan?""Bagaimana keadaannya, Mas?"Erik tak menjawab. Ia membuka pintu mobil dan masuk, tapi ia membuka jendela kaca di sampingnya. "Maaf ya, Saya sedang buru-buru.""Tapi Mas ...."Tidak didengar lagi pertanyaan yang datang berikutnya karena ia menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya. Ia meninggalkan para wartawan di tempat itu.Ternyata wartawan telah mencium keberadaannya di sana. Ia harus secepatnya membawa Kae keluar dari rumah sakit, atau mereka akan mengetahui masalah kecelakaan itu. Erick sangat geram sampai-sampai ngebut di jalan.****Erick masuk ke dalam ruang perawatan itu bersama dua orang wanita. Kae bingung dibuatnya. Kedua wanita itu tersenyum ke arahnya."Kae, ini temanku. Nina dan Bona. Aku bawa mereka untuk bantu kamu."Kedua wanita itu mendekati brankar, mengikuti Erick. Mereka menunggu pria itu bicara. "Kae, mereka akan bantu kamu belanja.""Belanja?" Kedua mata istrinya membulat sempurna."Iya. Aku ingin membelikanmu pakaian dan barang-barang pribadi lainnya. Jakarta itu jauh kalau hanya mengambil barang-barangmu. Lebih baik beli yang baru.""Semuanya?""Tidak apa-apa, Kae. Aku sanggup membelikannya.""Oh." Setelah hilang keterkejutannya, ia kembali bicara. "Oh, iya. Dokter tadi mencari kamu.""Aku? Ok. Kamu dengan mereka dulu ya." Erick kemudian meninggalkan ruangan dan mencari dokter di tempat prakteknya. Di sana sedang ada antrean tapi ia bisa segera masuk setelah lapor ke suster di sana. Kebetulan pasien berikutnya belum masuk dan ia membuka kaca mata hitamnya di dalam ruangan sehingga tidak ada pengunjung yang mengenalinya. Walaupun begitu, postur tubuh bulenya tetap menjadi perhatian orang, jadi tetap saja ada yang penasaran kenapa ia pakai kacamata hitam di dalam rumah sakit."Bagaimana dengan istriku, dok?"Pria berjas putih itu menyodorkan amplop berukuran besar. "Ini hasil rontgen kepala, pinggul serta kakinya. Istri Anda sudah boleh pulang. Besok usahakan datang untuk terapi.""Kenapa tidak hari ini saja?""Dokter untuk terapinya tidak ada untuk hari ini.""Haa ...." Erick menghela napas. "Memangnya ahli terapinya tidak datang tiap hari?""Iya. 'Kan pasiennya jarang, jadi tidak tiap hari," imbuh dokter itu lagi."Apa Saya bisa minta nomor teleponnya saja, biar dia datang ke rumah?""Oh, tidak bisa begitu. Itu sudah peraturan rumah sakit.""Aku akan bayar dua kali lipat, plus ongkos ke rumahku. Apa dia tidak tertarik?" Erick mencondongkan tubuhnya ke depan dengan senyum lebar.****Erick memperhatikan istrinya tengah sibuk dengan teman barunya. Nina dan Bona di kamar. Nina berperawakan sedang dengan rambut sebahu yang diwarnai pirang sedang Bona berperawakan sedikit gemuk mirip Kae hanya saja tubuhnya pendek. Kae termasuk tinggi dengan tinggi badan 160 senti. Kedua teman Erick ini adalah penata rias yang membantunya mencarikan pakaian atau barang lainnya.Terdengar dering telepon yang berasal dari ponsel Erick. Pria itu segera menyalakan ponselnya dan bergerak keluar ruangan. Ia melakukan itu karena managernya yang menelepon. "Halo.""Aku mendengar gosip, kau sudah menikah. Aku juga dengar pacarmu kecelakaan. Apa ini semua benar? Bukankah Tarra pergi ke Paris?"Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka
Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar
Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend
"Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan
Lily kemudian ke kamar mandi bersama Sasti. Gio terlihat sudah tak sabar. "Gio, kamu mau juga? Sini Mama bukain bajunya."Bocah laki-laki itu mendatangi Kae, tapi bertepatan dengan itu terdengar tangis bayi dari kamar sebelah. "Biar Gio sama aku saja." Erick menarik Gio ke arahnya. Sang istri terlihat lega. Ia kemudian keluar kamar. ****Sasti mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Ia rajin bekerja terutama mengurus anak-anak. Tidak butuh waktu lama, Lily dan Gio mulai dekat dengannya. Walaupun begitu, Lily tetap menjaga jarak, sama seperti Mukid. Karena terlalu dekat dengan kakeknya, sedikit banyak ia meniru tingkah laku pria paruh baya itu. "Mbak, baju kaosku yang warna pink mana?" Lily mencarinya di dalam lemari. "Mungkin masih belum kering, Kakak," sahut Sasti yang sibuk menemani Gio bermain. "Jadi, aku pakai yang mana?""Pakai yang lain, 'kan banyak. Bagus-bagus lagi." Gadis itu akhirnya berdiri dan mencoba mencarikan. "Ini bagaimana?" Ia memperlihatkan baju yang lain berwarn
Lily mengintip ibunya menyusui sang bayi. Ia terlihat heran. "Kenapa Mama nyussu adek? Kenapa Gio enggak?"Kae tersenyum. "Karena kalau keluarnya dari rahim Mama, itu sudah dikasih Allah plus sussunya," bisiknya. "Oh ...."Bayi Abi sedikit terganggu hingga berhenti menyussu. Ia melirik sang ibu dan Lily, tapi tak lama kembali menyussu. Pipinya mulai tembam dan betah menyusu lama. Di kulitnya yang mirip Kae, ia punya manik mata sedikit kecoklatan. Tangannya mempermainkan kerah baju ibunya, sedang dahinya tampak mulai berkeringat. "Ma, Dedek Abi kok keringetan? Memangnya sussu Mama anget?" bisik Lily penasaran. Kae kembali mengulum senyum. Memang anak kecil seusia Lily keingintahuannya banyak hingga banyak bertanya. Kae tentu saja akan memberikan informasi sebisa mungkin dengan tidak berbohong karena itu ia membekali dirinya dengan pengetahuan. "Bukan sussunya yang anget tapi badan Mama. Jadi dengan sendirinya sussunya jadi anget."Lily mengangguk-angguk dan memperhatikan bayi itu.