Share

6. Mandi

Author: Ingflora
last update Last Updated: 2024-03-27 09:00:04

Otak pria bule itu berpikir cepat. Apakah ia harus berterus terang atau berbohong? Ia kemudian memulainya dengar suara yang dipelankan. "Sangkal saja. Aku di sini sibuk dengan pekerjaan baruku. Tolong tangani ya?"

"Oh, begitu. Ok. Baiklah."

Setelah mematikan ponselnya ia kembali masuk ke dalam kamar. Erick kini sudah berada di rumah dan Kae berada di kamarnya. Diperhatikannya sang istri begitu senang dengan barang-barang yang dibawa Nina dan Bona. Nina memperlihatkan barang-barang yang dibawa, sedang Bona yang merapikan pakaian di dalam lemari.

"Bang, ini mukenanya bagus banget. Bahannya lembut." Kae menyentuh bahan mukena dan mengusapkannya ke wajah. Senyumnya terukir seiring ia merasakan kelembutan bahan mukena itu di pipinya.

"Oh, syukurlah kalau kau suka," sahut Erick senang.

"Barang-barang lainnya akan datang lewat pengiriman," imbuh Nina dari samping.

"Ada lagi?" tanya sang pria yang meletakkan kedua tangan di saku celananya sambil sedikit membungkuk, membuat Nina seketika sadar diri.

Wanita itu berdehem sebentar. "Eh, sementara cukup, rasanya."

"Nanti akan kutransfer uangnya. Beritahu saja rinciannya."

"Ok. Siap, Bos."

Kae sedikit bingung dengan percakapan mereka. Apalagi Nina pamit dan mengajak serta Bona. Keduanya pergi sambil membawa tas besar milik mereka beserta sampah-sampah pembungkus lainnya.

Kae melipat mukena sedang Erick merapikan pakaian yang tersisa. Pria itu ternyata cekatan merapikan rak baju dan membereskan kamar yang berantakan. Ia kemudian mendatangi istrinya. "Kamu belum mandi, 'kan?"

"Eh?"

"Ayo, aku mandikan."

"Apa?" Wanita itu langsung menyilang tangan di dada dengan wajah khawatir.

"Kenapa? Ada yang aneh?" Erick terlihat bingung.

"Kau ... mau mesum ya."

"Apa? Kae ... aku suamimu!"

"Iya, tapi aku belum ingin eh ... berhubungan intim denganmu dulu. A-aku belum mengenalmu. Aku eh, katanya aku boleh menganggapmu kakak?"

'Aduh, wanita ini ... siapa juga yang ingin berhubungan intim dengannya? Aku menikah dengannya juga terpaksa karena ingin mengelabui semua orang. Melihat tubuh wanita tanpa sehelai benang pun juga biasa. Tidak ada anehnya!' "Aku bilang "mandi" bukan yang lainnya!" jawab pria ini kesal.

"Tapi aku malu. Masa malu saja tidak boleh!" Kae tak kalah galak dengan wajah memerah. "Aku tidak mengenalmu. Apa aku tidak boleh merasakan takut!" Ia memukul tubuh suaminya dan mulai menangis.

Erick menangkap kedua tangan istrinya dan mulai merasa bersalah. Ia menghela napas. Pria itu duduk di tepi ranjang dan kemudian mendekap Kae dengan lembut. Perlahan tangis istrinya berhenti. Walaupun tadi Kae terlihat senang tapi ternyata ia masih gamang dengan keadaan di sekitar. Ia belum sepenuhnya percaya pada Erick.

"Aku hanya memandikanmu. Tidak akan melakukan hal lain. Percayalah padaku," ucap Erick lembut.

Tidak ada jawaban apa-apa dari mulut Kae. Pria itu melepas pelukan sambil memperhatikan wajahnya. "Kamu apa nyaman gak mandi dari tadi malam, hah?"

Kae menatap sang suami. Biar bagaimanapun, pria ini telah jadi suaminya dan berhak meminta haknya, tapi kini Erick berjanji untuk tidak melakukan selain membantunya mandi. Persis seperti perjanjian dulu di awal akan menikah. Apa setidaknya ia harus mulai belajar percaya padanya? Sebab sejauh ini Erick telah membuktikan kata-katanya. Wanita itu kemudian menghapus sisa-sisa air mata di pipi. "Aku malu, Mas."

"Tidak apa-apa kita mulai pelan-pelan saja ya. Senyamannya." Pria itu mulai melepas kancing baju istrinya dan melucuti pakaian itu satu persatu. Kae pasrah. Setelah itu Erick membuka baju kemejanya.

"Eh, kau mau apa?" Sang istri kembali menyilang tangan di depan dada, curiga.

"Tentu saja aku tak mau basah. Ayo!" Erick menggendong istrinya di kedua tangan dan membawanya ke kamar mandi. Di sana ternyata ada bak mandi panjang hingga Kae bisa didudukkan di dalam.

Sebenarnya wanita itu tak menyadari suaminya hampir menangis ketika sekilas melihat tubuh istrinya. Memori itu kembali datang, Erick hampir tak tahan mengingatnya. Saat mendudukkan istrinya di dalam bak, pria itu akhirnya memeluk leher istrinya erat hingga Kae terkejut.

"Bang?"

Tubuh pria itu bergetar. Air mata pun jatuh. Ia seperti berusaha bertahan tapi tak sanggup.

Kae sampai memegangi tubuh suaminya dan merasakan getarannya. "Bang?" tanyanya lembut.

"Kae, kau jangan ma ti ya, kau jangan ma ti."

Tentu saja wanita itu terkejut mendengar ucapan suaminya. "Bang, kamu kenapa?"

Erick dengan pelan melepas pelukan. Kini Kae bisa melihat air mata yang sudah mengalir di pipi sang suami. Pria itu kini terlihat canggung. "Maaf." Ia menghapus air matanya dengan kasar.

"Abang kenapa?" Kae kini melongo melihat pria yang biasanya terlihat biasa saja, kini menangis tanpa sebab di hadapannya.

"Eh, aku hanya tiba-tiba teringat ibuku. Dia sakit parah. Waktu SMP aku membantu Daddy memandikannya. Kadang bergantian dengan saudaraku yang lain. Eh ... aku hanya tiba-tiba teringat itu."

"Oh." Wanita itu terkejut mendengar cerita itu. Ia tidak tahu suaminya punya kisah pilu di dalam hidupnya. "Kakiku memang lumpuh tapi masih bisa sembuh, kok. Jangan khawatir," ucapnya menyemangati. Ia menepuk-nepuk tangan sang suami.

"Iya, tentu saja." Erick berusaha menepis kesedihannya. Kini ia membersihkan sisa-sisa air matanya dengan cepat. Kemudian ia beralih pada keran yang berselang. Ia meraihnya dan memberikan pada sang istri. "Ini. Kamu bisa basahi tubuhmu, 'kan? Nanti aku sabuni."

Kae menurut. Ternyata mereka bisa bekerjasama sehingga acara mandi untuk wanita itu benar-benar menyenangkan. Setelah itu pria itu menggendong istrinya kembali dan membawanya keluar kamar mandi.

"Mana handuknya?" tanya Kae bingung. Ia masih dalam keadaan basah dibawa keluar kamar mandi.

"Aku lupa. Kau ambil sendiri ya?" Erick mendatangi lemari pakaian dan Kae membukanya. Istrinya mengambil sendiri handuk dari lemari. Ketika ia hendak mengambil pakaian, pria itu menjauhkannya dari lemari dan membaringkan sang istri di ranjang. "Aku saja yang ambil. Nanti bajumu basah. Keringkan dulu badanmu."

"Ck!" Kae terlihat sebal. "Aku mau pakai baju piyama ya."

"Sesiang ini?"

"Aku 'kan hanya di tempat tidur!" kilah wanita itu sedikit cemberut.

"Ok, ok."

Sebentar kemudian, Kae telah berpakaian. Pria itu juga menyisir rambut istrinya. Itu membuat Kae melirik suaminya ketika di sisir. "'Kan aku hanya di tempat tidur?"

"Bukan berarti rambutmu harus berantakan, 'kan?"

Wanita ini merasa suaminya sangat menyayanginya. Melakukan apa pun untuknya, padahal ia belum memberikan apa pun pada sang suami. Bahkan kewajibannya. "Kamu tidak marah kita belum melakukan malam pertama, Bang?"

"Eh, tidak." 'Tidak ada keinginan juga aku melakukan itu.' Namun Erick berusaha mengalihkan pembicaraan. "Kita makan siang ya. Kamu mau makan siang di sini?" Ia menyentuh rambut istrinya yang lembut.

"'Kan aku susah duduk di kursi keras." Memang keadaan Kae tidak bisa duduk tegak. Ia harus bersandar.

"Ya, sudah."

Keduanya kemudian makan di kamar. Erick menemani istrinya makan karena mungkin butuh bantuan. Seperti mengambilkan gelas minum. Pria itu sangat sabar. Bahkan ketika ia sedang makan, ia akan mengambilkan gelas minum ketika sang istri memintanya. Sungguh, sikap Erick membuat hati sang istri perlahan-lahan luluh. Pria itu juga pelan-pelan mulai menyukai perannya.

'Apa begini rasanya punya istri? Sama sekali tidak buruk. Makan ada yang menemani, tidur juga. Bahkan punya tempat bercerita. Sejatinya punya istri itu tidak harus cantik, yang penting nyaman bersamanya.'

Seusai makan siang, Erick berganti pakaian. Ia dengan santai berganti pakaian di depan sang istri. Kae berdebar-debar melihat otot tubuh suaminya yang memang dipelihara dengan baik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Simpanan Sang Idola   65. Terbaik

    Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka

  • Istri Simpanan Sang Idola   64. Pulang

    Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar

  • Istri Simpanan Sang Idola   63. Ibu

    Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend

  • Istri Simpanan Sang Idola   62. Pindah

    "Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan

  • Istri Simpanan Sang Idola   61. Sakit

    Lily kemudian ke kamar mandi bersama Sasti. Gio terlihat sudah tak sabar. "Gio, kamu mau juga? Sini Mama bukain bajunya."Bocah laki-laki itu mendatangi Kae, tapi bertepatan dengan itu terdengar tangis bayi dari kamar sebelah. "Biar Gio sama aku saja." Erick menarik Gio ke arahnya. Sang istri terlihat lega. Ia kemudian keluar kamar. ****Sasti mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Ia rajin bekerja terutama mengurus anak-anak. Tidak butuh waktu lama, Lily dan Gio mulai dekat dengannya. Walaupun begitu, Lily tetap menjaga jarak, sama seperti Mukid. Karena terlalu dekat dengan kakeknya, sedikit banyak ia meniru tingkah laku pria paruh baya itu. "Mbak, baju kaosku yang warna pink mana?" Lily mencarinya di dalam lemari. "Mungkin masih belum kering, Kakak," sahut Sasti yang sibuk menemani Gio bermain. "Jadi, aku pakai yang mana?""Pakai yang lain, 'kan banyak. Bagus-bagus lagi." Gadis itu akhirnya berdiri dan mencoba mencarikan. "Ini bagaimana?" Ia memperlihatkan baju yang lain berwarn

  • Istri Simpanan Sang Idola   60. Pembantu Baru

    Lily mengintip ibunya menyusui sang bayi. Ia terlihat heran. "Kenapa Mama nyussu adek? Kenapa Gio enggak?"Kae tersenyum. "Karena kalau keluarnya dari rahim Mama, itu sudah dikasih Allah plus sussunya," bisiknya. "Oh ...."Bayi Abi sedikit terganggu hingga berhenti menyussu. Ia melirik sang ibu dan Lily, tapi tak lama kembali menyussu. Pipinya mulai tembam dan betah menyusu lama. Di kulitnya yang mirip Kae, ia punya manik mata sedikit kecoklatan. Tangannya mempermainkan kerah baju ibunya, sedang dahinya tampak mulai berkeringat. "Ma, Dedek Abi kok keringetan? Memangnya sussu Mama anget?" bisik Lily penasaran. Kae kembali mengulum senyum. Memang anak kecil seusia Lily keingintahuannya banyak hingga banyak bertanya. Kae tentu saja akan memberikan informasi sebisa mungkin dengan tidak berbohong karena itu ia membekali dirinya dengan pengetahuan. "Bukan sussunya yang anget tapi badan Mama. Jadi dengan sendirinya sussunya jadi anget."Lily mengangguk-angguk dan memperhatikan bayi itu.

  • Istri Simpanan Sang Idola   59. Akhirnya

    Beberapa saat kemudian, Kae dipindah ke ruang perawatan. Ia dipasang infus setelah siuman. Wajahnya terlihat pucat. "Mau dengar yang mana dulu? Berita baik atau buruk?" Erick terlihat bingung mendengar pertanyaan sang dokter. "Maksudnya apa, dok?""Ada satu masalah lagi yang menyebabkan kami sedikit lama memeriksanya.""Iya?" Namun ketika dokter itu masih terdiam dan memberi reaksi untuk memilih, pria bule itu terpaksa memilih. "Bagaimana kalau kabar buruknya dulu.""Istri Anda dalam kondisi lemah. Rahimnya tidak kuat. Hampir saja dia keguguran.""Apa?" Erick melebarkan kedua mata. "Ke ... guguran?" Ia melongo. "Iya, untung saja selamat. Jadi ....""Yang benar, dok?" Erick meraih bahu dokter pria itu dan mengguncang-guncangnya. Terukir senyum di bibir pria bule ini. "Istri Saya hamil ... istri Saya hamil?" "Iya, Pak. Iya. Tapi dia harus bed rest karena kondisi rahimnya yang lemah. Dia tak boleh turun dari tempat tidur untuk waktu yang lama.""Baik, dok, akan aku usahakan."Dokt

  • Istri Simpanan Sang Idola   58. Sakit

    "Itu 'kan waktu pertama kali kita bertemu." Erick menggelengkan kepalanya. Rasanya sulit bicara dengan Tarra karena wanita itu bicara berdasarkan situasinya. "Apa menurutmu dia mau tinggal dengan orang asing?" "Aku 'kan ibunya." "Apa dia bicara denganmu semalam?" "Oh, belum saja." Pria bule itu mendengus mendengar jawaban-jawaban dari Tarra. "Begini." Erick mengangkat kedua tangan. "Apa kau pernah bertemu dengan buyutmu?" Wanita cantik itu mengerut kening. "Oh, mereka sudah tidak ada ketika aku lahir." "Kalau misalnya mereka masih hidup, Maukah kamu tinggal dengannya?" "Aku 'kan belum pernah bertemu?" Hidung wanita cantik itu berkerut. Begitulah bicara dengan wanita cantik ini. Butuh usaha keras karena Erick selalu kesulitan bicara, bahkan untuk hal yang mudah karena otaknya tak sampai. Sesuai dengan yang banyak dibicarakan orang, bahwa wanita cantik itu tidak pintar. "Seandainya. Seandainya nih ... kamu punya kesempatan bertemu dengan buyutmu. Maukah kau tinggal

  • Istri Simpanan Sang Idola   57. Makan Malam

    Rumah Tarra sangat mewah. Mirip istana walau hanya gedung dua lantai. Rumah itu dihiasi dengan barang-barang mahal dan bergaya Renaisans. Bahkan langit-langitnya dilukiskan dengan gambar orang-orang jaman itu. Wanita itu membawa mereka ke sebuah ruang makan dengan meja kayu besar berukir. Ada sebuah lukisan buah-buahan di salah satu dinding dengan meja tertata rapi dengan peralatan makan dan lauk. Tarra mempersilakan Erick dan keluarganya untuk duduk. suami-istri itu duduk dengan mengapit kedua anaknya. Seorang pria bule berambut hitam kecoklatan turun lewat anak tangga sambil memegangi pagar besi yang diukir indah. Ia melangkah sambil memperhatikan tamu yang sudah datang. Pandangannya tertuju pada anak perempuan berkerudung yang duduk di samping Erick. Gio yang berkulit sedikit gelap, sulit terlihat dari meja karena kurang tingginya hingga luput dari pandangan. Saat suami Tarra berdiri dekat meja, barulah ia bisa melihat bocah laki-laki itu. Sang pria tersenyum lebar, membuat waja

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status