Mataku terbuka perlahan. Melihat sosoknya dari dekat. Rupanya ini bukan mimpi.
"Andini!" Sosok itu memanggilku.
Siapa yang malam-malam begini mendatangiku? Apakah itu....
Ya, sosok yang mendekat itu adalah Baskara.
"Ayo, bangunlah. Cepat!"
Ia tertawa sinis dan menjelma menjadi monster yang menyeramkan saat malam.
Ia meraih tanganku dan membangunkanku dengan paksa karena aku sama sekali tidak beraksi dengan upayanya membangunkanku tadi. Emosinya mulai naik.
"Andini, cepat bangun... Atau kamu mau aku melakukannya saat kamu tidur?"
"Tuan, apa yang Tuan lakukan malam-malam di kamar saya?" suaraku masih parau.
Aku memberanikan diri untuk menepis tangannya yang sejak tadi mencengkeramku. Sementara mataku masih belum mampu terbuka sepenuhnya.
Segera kutarik selimutku sekuatnya untuk melindungi tubuhku.
"Aku juga tahu ini sudah malam!" Ia tertawa sinis.
Wajahnya seperti orang yang sedang kerasukan.
"Tuan jangan mendekat! Atau saya akan berteriak..." aku mulai menangis ketakutan. Tanganku bergetar.
"Kalau kamu bisa, berteriaklah sesuka hatimu. Mak Ijah dan Pak Gun tidak akan mendengarkanmu. Mereka tidur di belakang. Hahahahahaha...." tawanya memenuhi seisi ruangan.
Mataku terpejam. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Lelaki itu membuka kancing baju yang dikenakannya satu per satu. Hingga akhirnya ia melempar kemeja putih itu begitu saja di atas lantai
"Mendekatlah..." Ia berjalan menuju ke arahku.
Entah dia sedang memerintah atau menakut-nakutiku. Bukankah di dalam kontrak tidak boleh melakukan kontak fisik? Jikalau aku melakukannya, tentu hal yang ingin aku lakukan adalah memukulnya.
"Saa..yaaa akan telepon polisi!" Tubuhku bergetar dan jantungku makin berdebar.
Mendengar ucapanku, ia malah semakin emosi dan bergegas menarik lenganku. Kesabarannya sudah habis.
"Kamu tahu, kamu harus memuaskanku malam ini!" ia menarik rambutku dengan kuat. Tangannya masih mencengkeramku.
“Tuan, ingatlah… pernikahan kita hanya pernikahan sementara. Bukan sungguhan…” gumamku.
Semakin dekat dengannya, aroma aneh semakin menyengat hidungku. Aku yakin, ini pasti aroma minuman keras.
Astaga! Betul dugaanku. Baskara sedang mabuk. Tanpa berpikir panjang, segera kukeluarkan jurus andalanku saat di situasi membahayakan seperti ini.
Plakkkk...aku menampar pipi kanannya dengan tangan kananku sekuat tenaga.
"Tuan, saya bukan manusia murahan untuk memuaskan nafsumu!" Nafasku tersengal-sengal.
Tamparan itu seolah membuka kedua matanya dan membuatnya tersadar dari pengaruh alkohol.
"Tuan jangan sekali-kali mencoba menyentuh saya...Kalau tidak...." aku mengambil sebuah botol minuman dari meja nakas.
"Kalau tidak, apa? Apa yang akan kau lakukan padaku, ha??"
Dengan cepat tangannya menggenggam kedua pergelangan tanganku. Saat ini aku nyaris tidak bisa bergerak. Ia mendekapku dengan sangat kuat.
"Ini akibat dari ulah manusia yang tidak patuh padaku."
Tangannya yang kuat, mulai menyentuh pundakku. Hanya hitungan detik ia menyobek lengan bajuku.
Ia tertawa dengan keras lagi, memecah keheningan malam yang sunyi.
"Kamu mau melawanku? Ha? Berani kamu melawanku?" ia membisikkan kalimat ancaman padaku.
"Sakit sekali... Tuan!" aku merintih kesakitan.
"Buang saja kerudungmu, karena kamu pasti sudah bukan gadis lagi.” Umpatnya.
Aku berusaha melawan dengan sekuat tenaga. Namun sayang, aku malah semakin sakit karena cengkeramannya justru semakin kuat.
"Akhirnya aku bisa melihat rambutmu yang hitam ini...."
Ia membuang kerudungku ke lantai. Kembali menciumi seluruh rambutku.
Seketika bulu kudukku merinding. Aku semakin ketakutan.
"Toloooong....."
Kugerakkan tubuhku agar aku bisa lepas dari jeratannya. Nyatanya ia malah makin menjadi-jadi.
Ia menindih tubuhku dan melepaskan semua pakaianku dengan paksa.
"Diamlah...Kenapa mulutmu tak pernah bisa diam!"
Aku menangis sejadinya. Sementara ia bagaikan sedang kerasukan setan, ia terus melampiaskan keinginannya hingga membuat tubuhku tak berdaya. Tuhan, maafkan aku.
Ingin rasanya aku mati sekarang, agar secepatnya aku bisa berkumpul dengan ayah kembali.
**
Badanku terasa pegal dan sakit. Air mataku menetes tiada henti. Aku hanya bisa menangis. Kudapati tubuhku serasa hina dan kotor.
Perlahan, kulepaskan lengan yang kekar dan kuat itu. Aku berjalan menuju kamar mandi.
Benar saja. Semua wajahku penuh dengan derai air mata.
Kunyalakan shower dengan kecepatan maksimal dan air panas. Aku ingin menghilangkan seluruh jejak kejahatan yang dilakukan oleh lelaki jahat itu.
Aku diperlakukan seperti budak untuk pemuas nafsunya saja.
Guyuran air hangat tidak membuat air mataku berhenti, Lagi-lagi aku merasa jijik dengan tubuhku sendiri. Kupukul lengan dan pahaku.
"Jahat..jahat..jijik... Kamu benar-benar manusia jahat, Baskara. Tunggu saja, suatu saat Tuhan pasti menghukummu. Kamu tega! Kamu tega!" aku merasa tubuhku kotor dan hina.
Kubasuh tubuhku berkali-kali hingga aku merasa benar-benar bersih. Namun sialnya, aku tetap merasa sentuhan lelaki itu. Setiap kali aku mengingatnya, aku merasakan tubuhku kembali kotor dan penuh dengan dosa,
"Tidaaakk...." aku puaskan untuk berteriak sekuatnya di kamar mandi. Semua emosiku beradu dengan bunyi gemericik air shower yang mengalir tanpa henti.
**
Setelah selesai membersihkan tubuhku, aku berjalan mengendap menuju tempat pakaian di almari sebelah dipan. Aku berjalan bak pencuri.
Kreekkk...
Kubuka pintu lemari dengan hati-hati.
Aku melihat lelaki itu masih tertidur pulas di bed besar. Kuambil baju dan celana panjang yang berada di tumpukan baju bawah. Tidak lupa aku mengambil kerudung instan warna hitam.
"Kenapa terburu-buru... Mau ke mana kamu? Mau aku disiplinkan lagi?"
Tangan lelaki itu sudah meraih handuk di kepalaku. Ia kembali melepaskannya dan membuat rambutku yang setengah basah kembali terurai,
"Hey! Dengarkan kalau aku bicara padamu!" Kata-katanya terdengar makin jelas. Rupanya makin mendekat padaku.
Jantungku kembali berdegup kencang. Rasa takut mulai mengalir mengikuti arah aliran darahku ke seluruh tubuh.
"Kenapa kamu tidak menemaniku tidur, hah?" ia membisikkan lirih di telinga kananku.
"Maaf Tuan, sebentar lagi subuh. Saya harus ...." jawabku.
"Cepat lepaskan handukmu..." Perintah Baskara layaknya majikan pada pembantu.
Kembali kupegang dengan erat handuk yang melindungi tubuhku. Ini adalah satu-satunya perlindunganku dari mata Baskara yang sudah terlihat liar lagi.
"Mau apa kamu! Jangan dekati aku. Jangan macam-macam padaku." aku kembali berlari menjauhinya.
"Hah sombong sekali kamu! Ingat kamu sudah tidak gadis lagi.. hahahahaha...."
Mendengar kalimat kotor itu keluar dari mulutnya, air mataku kembali menetes.
"Menangislah sepuasmu! Menangis lagi.... hahahahaha.."
Kupikir Baskara adalah psikopat juga, dia menikmati saat melihat aku ketakutan dan menangis akibat ulahnya.
Cuih..
"Kau jahatt!!!" aku meludahinya.
"Sini kamu!" Perintahnya.
Dia mendekatiku, kembali mengambil paksa handukku dan melepaskannya. Sekali lagi dia membuatku kembali menjadi budak pemuas nafsu hewannya. Aku hanya bisa diam. Karena melawan berarti hanya akan menambah siksaan dan hukuman. Meski yang kutahu, di pasal perjanjian pernikahan kami, tidak boleh ada kontak fisik sama sekali.
**
Allahu akbar...Allaaahu akbar...
Astaga, ini sudah masuk waktu subuh. Terdengar suara adzan berkumandang, sayup-sayup dari kejauhan.
Kuhempaskan tubuh Baskara yang menindihku ke arah berlawanan. Ia masih tak sadarkan diri.
Kembali aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku yang penuh dengan lebam. Semalaman aku tidak memejamkan mata barang sedetikpun.
Aku tidak mau terus-terusan seperti ini. Aku harus mencari jalan keluar. Sebuah pikiran untuk melarikan diri terlintas di kepalaku, terlebih saat melihat monster itu tertidur pulas seperti mayat hidup.
Bukankah besok Baskara akan pulang ke rumahnya? Kupikir ini adalah saat yang tepat untuk menjalankan rencanaku.
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej