Share

BAB 3 MALAM MENCEKAM

Mataku terbuka perlahan. Melihat sosoknya dari dekat. Rupanya ini bukan mimpi. 

"Andini!" Sosok itu memanggilku. 

Siapa yang malam-malam begini mendatangiku? Apakah itu....

Ya, sosok yang mendekat itu adalah Baskara.

"Ayo, bangunlah. Cepat!"

Ia tertawa sinis dan menjelma menjadi monster yang menyeramkan saat malam.

Ia meraih tanganku dan membangunkanku dengan paksa karena aku sama sekali tidak beraksi dengan upayanya membangunkanku tadi. Emosinya mulai naik.

"Andini, cepat bangun... Atau kamu mau aku melakukannya saat kamu tidur?"

"Tuan, apa yang Tuan lakukan malam-malam di kamar saya?" suaraku masih parau.

Aku memberanikan diri untuk menepis tangannya yang sejak tadi mencengkeramku. Sementara mataku masih belum mampu terbuka sepenuhnya.

Segera kutarik selimutku sekuatnya untuk melindungi tubuhku.

"Aku juga tahu ini sudah malam!" Ia tertawa sinis.

Wajahnya seperti orang yang sedang kerasukan.

"Tuan jangan mendekat! Atau saya akan berteriak..." aku mulai menangis ketakutan. Tanganku bergetar.

"Kalau kamu bisa, berteriaklah sesuka hatimu. Mak Ijah dan Pak Gun tidak akan mendengarkanmu. Mereka tidur di belakang. Hahahahahaha...." tawanya memenuhi seisi ruangan.

Mataku terpejam. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

Lelaki itu membuka kancing baju yang dikenakannya satu per satu. Hingga akhirnya ia melempar kemeja putih itu begitu saja di atas lantai

"Mendekatlah..." Ia berjalan menuju ke arahku.

Entah dia sedang memerintah atau menakut-nakutiku. Bukankah di dalam kontrak tidak boleh melakukan kontak fisik? Jikalau aku melakukannya, tentu hal yang ingin aku lakukan adalah memukulnya.

"Saa..yaaa akan telepon polisi!" Tubuhku bergetar dan jantungku makin berdebar.

Mendengar ucapanku, ia malah semakin emosi dan bergegas menarik lenganku. Kesabarannya sudah habis.

"Kamu tahu, kamu harus memuaskanku malam ini!" ia menarik rambutku dengan kuat. Tangannya masih mencengkeramku.

“Tuan, ingatlah… pernikahan kita hanya pernikahan sementara. Bukan sungguhan…” gumamku.

Semakin dekat dengannya, aroma aneh semakin menyengat hidungku. Aku yakin, ini pasti aroma minuman keras.

Astaga! Betul dugaanku. Baskara sedang mabuk. Tanpa berpikir panjang, segera kukeluarkan jurus andalanku saat di situasi membahayakan seperti ini.

Plakkkk...aku menampar pipi kanannya dengan tangan kananku sekuat tenaga.

"Tuan, saya bukan manusia murahan untuk memuaskan nafsumu!" Nafasku tersengal-sengal.

Tamparan itu seolah membuka kedua matanya dan membuatnya tersadar dari pengaruh alkohol.

"Tuan jangan sekali-kali mencoba menyentuh saya...Kalau tidak...." aku mengambil sebuah botol minuman dari meja nakas.

"Kalau tidak, apa? Apa yang akan kau lakukan padaku, ha??"

Dengan cepat tangannya menggenggam kedua pergelangan tanganku. Saat ini aku nyaris tidak bisa bergerak. Ia mendekapku dengan sangat kuat.

"Ini akibat dari ulah manusia yang tidak patuh padaku."

Tangannya yang kuat, mulai menyentuh pundakku. Hanya hitungan detik ia menyobek lengan bajuku.

Ia tertawa dengan keras lagi, memecah keheningan malam yang sunyi.

"Kamu mau melawanku? Ha? Berani kamu melawanku?" ia membisikkan kalimat ancaman padaku.

"Sakit sekali... Tuan!" aku merintih kesakitan.

"Buang saja kerudungmu, karena kamu pasti sudah bukan gadis lagi.” Umpatnya.

Aku berusaha melawan dengan sekuat tenaga. Namun sayang, aku malah semakin sakit karena cengkeramannya justru semakin kuat.

"Akhirnya aku bisa melihat rambutmu yang hitam ini...."

Ia membuang kerudungku ke lantai. Kembali menciumi seluruh rambutku.

Seketika bulu kudukku merinding. Aku semakin ketakutan.

"Toloooong....."

Kugerakkan tubuhku agar aku bisa lepas dari jeratannya. Nyatanya ia malah makin menjadi-jadi.

Ia menindih tubuhku dan melepaskan semua pakaianku dengan paksa.

"Diamlah...Kenapa mulutmu tak pernah bisa diam!" 

Aku menangis sejadinya. Sementara ia bagaikan sedang kerasukan setan, ia terus melampiaskan keinginannya hingga membuat tubuhku tak berdaya. Tuhan, maafkan aku.

Ingin rasanya aku mati sekarang, agar secepatnya aku bisa berkumpul dengan ayah kembali.

**

Badanku terasa pegal dan sakit. Air mataku menetes tiada henti. Aku hanya bisa menangis. Kudapati tubuhku serasa hina dan kotor.

Perlahan, kulepaskan lengan yang kekar dan kuat itu. Aku berjalan menuju kamar mandi.

Benar saja. Semua wajahku penuh dengan derai air mata.

Kunyalakan shower dengan kecepatan maksimal dan air panas. Aku ingin menghilangkan seluruh jejak kejahatan yang dilakukan oleh lelaki jahat itu.

Aku diperlakukan seperti budak untuk pemuas nafsunya saja.

Guyuran air hangat tidak membuat air mataku berhenti, Lagi-lagi aku merasa jijik dengan tubuhku sendiri. Kupukul lengan dan pahaku.

"Jahat..jahat..jijik... Kamu benar-benar manusia jahat, Baskara. Tunggu saja, suatu saat Tuhan pasti menghukummu. Kamu tega! Kamu tega!" aku merasa tubuhku kotor dan hina.

Kubasuh tubuhku berkali-kali hingga aku merasa benar-benar bersih. Namun sialnya, aku tetap merasa sentuhan lelaki itu. Setiap kali aku mengingatnya, aku merasakan tubuhku kembali kotor dan penuh dengan dosa,

"Tidaaakk...." aku puaskan untuk berteriak sekuatnya di kamar mandi. Semua emosiku beradu dengan bunyi gemericik air shower yang mengalir tanpa henti.

**

Setelah selesai membersihkan tubuhku, aku berjalan mengendap menuju tempat pakaian di almari sebelah dipan. Aku berjalan bak pencuri.

Kreekkk...

Kubuka pintu lemari dengan hati-hati.

Aku melihat lelaki itu masih tertidur pulas di bed besar. Kuambil baju dan celana panjang yang berada di tumpukan baju bawah. Tidak lupa aku mengambil kerudung instan warna hitam.

"Kenapa terburu-buru... Mau ke mana kamu? Mau aku disiplinkan lagi?"

Tangan lelaki itu sudah meraih handuk di kepalaku. Ia kembali melepaskannya dan membuat rambutku yang setengah basah kembali terurai,

"Hey! Dengarkan kalau aku bicara padamu!" Kata-katanya terdengar makin jelas. Rupanya makin mendekat padaku.

Jantungku kembali berdegup kencang. Rasa takut mulai mengalir mengikuti arah aliran darahku ke seluruh tubuh.

"Kenapa kamu tidak menemaniku tidur, hah?" ia membisikkan lirih di telinga kananku.

"Maaf Tuan, sebentar lagi subuh. Saya harus ...." jawabku. 

"Cepat lepaskan handukmu..." Perintah Baskara layaknya majikan pada pembantu.

Kembali kupegang dengan erat handuk yang melindungi tubuhku. Ini adalah satu-satunya perlindunganku dari mata Baskara yang sudah terlihat liar lagi.

"Mau apa kamu! Jangan dekati aku. Jangan macam-macam padaku." aku kembali berlari menjauhinya.

"Hah sombong sekali kamu! Ingat kamu sudah tidak gadis lagi.. hahahahaha...."

Mendengar kalimat kotor itu keluar dari mulutnya, air mataku kembali menetes.

"Menangislah sepuasmu! Menangis lagi.... hahahahaha.." 

Kupikir Baskara adalah psikopat juga, dia menikmati saat melihat aku ketakutan dan menangis akibat ulahnya.

Cuih..

"Kau jahatt!!!" aku meludahinya.

"Sini kamu!" Perintahnya.

Dia mendekatiku, kembali mengambil paksa handukku dan melepaskannya. Sekali lagi dia membuatku kembali menjadi budak pemuas nafsu hewannya. Aku hanya bisa diam. Karena melawan berarti hanya akan menambah siksaan dan hukuman. Meski yang kutahu, di pasal perjanjian pernikahan kami, tidak boleh ada kontak fisik sama sekali.

**

Allahu akbar...Allaaahu akbar...

Astaga, ini sudah masuk waktu subuh. Terdengar suara adzan berkumandang, sayup-sayup dari kejauhan.

Kuhempaskan tubuh Baskara yang menindihku ke arah berlawanan. Ia masih tak sadarkan diri.

Kembali aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku yang penuh dengan lebam. Semalaman aku tidak memejamkan mata barang sedetikpun.

Aku tidak mau terus-terusan seperti ini. Aku harus mencari jalan keluar. Sebuah pikiran untuk melarikan diri terlintas di kepalaku, terlebih saat melihat monster itu tertidur pulas seperti mayat hidup.

Bukankah besok Baskara akan pulang ke rumahnya? Kupikir ini adalah saat yang tepat untuk menjalankan rencanaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status