Share

BAB 4 MELARIKAN DIRI

BAB 4

"Pak Gun, saya balik dulu, Jaga dan awasi Andini...” Komando Baskara pada Pak Gun, penjaga villa setelah selesai mengemas barang bawaannya.

Aku berdiri mematung di dekat pintu. Melihat untuk yang terakhir kali sebelum lelaki itu pergi.

“Jangan sampai dia kabur. Akhir pekan nanti saya ke sini. Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi saya. Sekalian cek juga perkembangan proyek rumah baru. Saya tidak mau mandor-mandornya curang seperti waktu membangun villa ini dulu.”

Rumah baru? Oh, rupanya yang dimaksud proyek itu adalah rumah baru. Mungkin untuk tempat tinggal selir-selir Baskara.

“Kenapa kamu sejak tadi terdiam? Kamu senang pastinya kalau aku tidak ada di sini.”

Kali ini Baskara berjalan mendekatiku. Baiklah, aku harus menahan emosi karena hari ini juga hari terakhirku berada di sini.

“Jangan mencoba untuk kabur. Di depan ada dua security yang selama dua puluh empat jam akan menjaga villa. Dan proyek rumah baru juga tidak jauh dari sini. Kamu dalam pengawasan banyak orang, Andini. Ingat itu!”

“Sa..saya,,, “ bibirku kelu tak mampu melanjutkan kata-kata.

“Diamlah. Aku tahu isi kepalamu. Kamu pasti sudah berencana untuk kabur. Tempat ini jauh dari perkampungan warga. Kalaupun kamu berhasil kabur, anjing-anjing liar di perkebunan sudah siap untuk menyerangmu. Pikirkan baik-baik…” Baskara mengancamku.

Pancaran kemenangan terpancar jelas dari kedua maniknya.

“Dan satu lagi…” Pesannya sambil meletakkan ibu jarinya ke bibirku yang sedikit gemetar,”jadilah istri yang baik, menunggu suaminya pulang kembali…”

Aku teringat kejadian malam-malam sebelumnya. Memori menjijikkan itu muncul lagi. Bisa-bisanya dia merendahkanku. Aku benar-benar ingin dia segera pergi sekarang.

**

Sekitar empat jam setelah Baskara meninggalkan villa, kuputuskan untuk melihat kondisi sekeliling. Tentu aku tidak bisa kabur jika tidak tahu menahu seluk beluk villa ini.

Dua penjaga benar-benar ada di gerbang depan. Pintu depan memang cukup tertutup sehingga sulit untuk memantau keadaan luar.

Aku hanya bisa melihat jalan yang posisinya lebih rendah dari lahan villa. Itupun nampak hanya penghijauan tanaman teh. Bukan perumahan. Benar yang dikatakan Baskara.

“Mbak Andini… kenapa?” Mak Ijah membuyarkan lamunanku.

“Nggak apa-apa, Mak…” cepat-cepat aku menjawabnya.

“Dari tadi melamun saja. Kangen rumah?” Senyumnya membuatku semakin rindu pada Ibuku.

“Oh, iya…”

Bukan hanya kangen, tapi ingin kabur dari sini, Mak. Aku sudah tidak tahan disekap di sini. Meskipun semuanya serba ada.

“Wajar, pengantin baru memang seperti itu. Bagaimana dengan Tuan Baskara? Mbak Andini sudah berbaikan?” Selorohnya sambil tersenyum menyembunyikan sesuatu.

“Berbaikan bagaimana? Mak Ijah tahu sendiri saya sering disakiti. Mak… saya tidak mencintainya. Dan pernikahan ini hanyalah sandiwara untuk tutup mulut.” Jelasku.

Agar Mak Ijah tahu siapa sebenarnya majikannya dan kuharap dia akan berpihak padaku.

“Yang sabar, Mbak Andini. Keluarga Kuntoaji sebenarnya keluarga yang baik. Hanya saja ya itu… sedang apes karena terjadi kecelakaan. Tuan Baskara saat itu mungkin sedang banyak pikiran. Dia mau menikah.”

Tiba-tiba Mak Ijah berhenti. Saat menyadar apa yang dia katakan.

“Menikah?” aku sedikit tidak percaya. Apakah orang sejahat dan sekasar Baskara memiliki seorang kekasih?

Kuingat-ingat saat di telepon, Baskara memang sempat membicarakan soal fitting baju pengantin.

“Menikah dengan siapa Mak?” aku semakin penasaran.

Sebelum aku kabur dari sini, harus aku kumpulkan fakta-fakta perlindungan jika sewaktu-waktu aku tertangkap atau hal buruk terjadi.

“Aduh, ini bukan hak Mak Ijah menyampaikan. Tapi… sebaiknya Mbak Andini diam ya...”

Aku memaksa diriku untuk mendengarkan kisahnya serta bersiap mendengarkan apa yang tidak ingin aku dengarkan.

“Laura adalah cinta pertama Tuan Baskara.” Entah mendengar pernyataan Mak Ijah, ada gurat kecewa di hatiku.

Meskipun Baskara telah menyakitiku lahir dan batin, namun mendengar ada sosok lain yang menjadi penguasa hatinya, aku terluka.

“Hubungan mereka sudah lama. Dulunya Tuan Besar melarang Tuan Baskara untuk dekat dengan Laura, karena dia keturunan perempuan yang dicintai oleh Tuan Besar.”

“Maksud Mak Ijah bagaimana?” aku bingung.

“Apakah maksudnya Tuan Besar, ayah Baskara mencintai Ibu dari Laura? Begitukah?” tanyaku lagi setelah mencerna kalimatnya.

“Iya, Ibu Laura adalah wanita yang dicintai Tuan Agus Jayakusuma, beliau sangat terkejut ketika tahu putranya menyukai anak dari wanita yang pernah merendahkan dan menolaknya dulu.”

Keluarga yang rumit. Kuhela nafas Panjang, semoga aku segera keluar dari lingkaran yang tak berujung ini.

**

Sore hari menjelang malam, beberapa orang nampak sibuk mengantarkan beberapa material ke villa. Rupanya villa juga akan direnovasi di bagian dapur belakang.

Pak Gun terlihat sibuk membantu mengatur jalur kendaraan pengangkut material bersama satu orang security depan. Berarti villa sedang sedikit longgar. Bahkan pintu gerbang depan pun terbuka lebar.

Jujur saja, kalau tidak sedang menjadi tawanan, aku pasti sangat menikmati tidur di tempat mewah seperti ini. Udaranya bersih dan tidak banyak kebisingan suara. Sesekali aku mendengar auman anjing atau suara sekawanan burung yang terbang hilir-mudik ke sana kemari.

Kubawa sebuah tas kresek hitam dengan beberapa potong roti yang kuambil dari dapur tadi. Serta jaket untuk jaga-jaga karena malam hari akan sangat dingin Ketika di luar rumah.

"Mbak Andini, ini Tuan muda lagi telepon. Apa Mbak Andini memerlukan sesuatu?" tanya Pak Gun sambil tergopoh-gopoh mencariku.

Aku menggeleng. Hanya memberikan isyarat.

"Baik Tuan, Mbak Andini tidak memerlukan apa-apa. Sebentar..."

Pak Gun nampak menekan sesuatu di ponselnya.

"Biarkan aku bicara padanya...." suara di seberang sana mulai terdengar di telingaku setelah Pak Gun menyalakan loudspeaker handphone.

"Baik Tuan..." jawab Pak Gun sambil memberikan ponselnya padaku.

"Kamu butuh sesuatu?" ia mulai mengajakku bicara.

"Tidak..." aku menjawab sambil menggeleng.

"Barangkali kamu perlu barang yang harus dibeli?" ia bertanya lagi.

"Tidak..."

Diluar dugaan, kenapa mendadak dia menjadi perhatian padaku? Apakah ini hanya sebuah prank agar aku tidak kabur dari sini…

"Aku sedang berbaik hati padamu, kamu malah tidak menghargaiku seperti ini..." ia nampak kesal oleh jawaban-jawaban yang kujawab.

"Sayang, sepertinya aku lebih suka warna merah marun ini, aku terlihat lebih seksi, bukan?" terdengar suara wanita manja di dekatnya.

Oh, itu pasti Laura.

"Kamu telepon siapa? Pak Gun? Penjaga villa itu?.” Dia bertanya lagi. Nada bicaranya masih sama, manja dan menggoda.

"Iya sudah selesai..." Baskara menjawab dan seketika mematikan panggilan.

Kemudian aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi.

"Mbak Andini, itu tadi Nona Laura." Pak Gun seolah menghiburku sambil mengambil ponselnya. “Calon istri Tuan Baskara. Apa Tuan muda pernah bercerita soal ini?”

"Tidak Pak..." jawabku.

"Mereka sedang liburan ke Bali, sepertinya tadi sedang di toko oleh-oleh ya, Tuan menanyakan apakah Mbak Andini ingin sesuatu.”

Aku tersenyum kecut. Sengaja pamer kemesraan.

**

“Mau ke mana Mbak Andini?” security depan memergokiku melewati gerbang depan.

“Mau buang sampah, Pak.” Kutunjukkan keresek hitam yang sebetulnya berisi perbekalanku.

Pintu masih terbuka.

Beberapa truk material berlalu lalang sehingga penjaga tidak fokus pada keberadaanku. Dia ikut masuk ke dalam dengan truk yang baru saja datang.

Ini adalah kesempatanku. Aku tutup pintu gerbang dan secepatnya berlari menjauh.

Baru berjalan beberapa ratus meter saja, aku sudah sangat kelelahan. Kuhentikan truk yang baru saja keluar dari villa.

“Pak, bisakah saya ikut menumpang?” kuberanikan diri untuk izin bergabung dengan sopir truk.

“Neng dari mana? Mau ke mana?” tanyanya.

Sepertinya dia bukan orang jahat. Wajahnya penuh dengan senyuman.

“Saya mau ke perbatasan. Yang ada jalur bis.”

“Boleh. Ayuk naik, Neng…”

Aku berusaha naik ke kursi depan. Cukup tinggi dan seumur-umur ini baru pertama kalinya aku menumpang di truk besar.

“Saya kebetulan ke arah kota, Neng. Tapi cukup jauh… Neng asli sini?”

Pertanyaan basa-basi. Namun kujawab semeyakinkan mungkin. Aku tak ingin membuatnya curiga. Aku mengaku punya saudara di sini dan sekarang harus pulang.

Hari mulai gelap saat di tengah perjalanan. Suasana mulai dingin dan sepi. Jalan ini memang hanya khusus untuk area perkebunan dan betul yang dikatakan Baskara, tidak banyak rumah penduduk. Hanya villa-villa privat milik orang-orang kaya atau juragan perkebunan.

**

“Pak, kenapa berhenti di sini? Ini kan masih di tengah perkebunan?” Tanyaku.

“Ini… saya ada keperluan.” Jawabnya sambil tersenyum.

“Oh, mau buang air, Pak?” bisikku.

“Iya Neng, sekalian, ini dingin sekali… Saya mau minta tolong, Neng…”

“Minta tolong apa, Pak?” tanyaku. Aku ikut turun dari truk.

“Bisa nggak Neng, bikin saya malam ini… terhibur gitu, soalnya Bapak lagi kedinginan…”

Aku mulai paham dengan arah pembicaraannya. Semua laki-laki sama.

“Bisa, Pak.” Jawabku. Aku sedikit gugup.

“Tapi, saya buang hajat dulu ya.. setelah itu saya akan penuhi keinginan Bapak…” jawabku.

Dia mengangguk dengan senyuman nakal. Kulangkahkan kaki perlahan-lahan menuruni perkebunan. Kucari jalan untuk lari darinya.

“Neng… kok lama?” suaranya terdengar mencariku.

Sementara aku terus melangkah. Menjauh. Sejauh-jauhnya.

“Neng… jangan kabur, Neng… sini Neng…” jeritnya. Aku mempercepat langkah dengan sisa-sisa tenaga.

Brukkk…..

Kakiku tersangkut dan akupun terjatuh. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku terguling di gelapnya malam di antara jajaran pohon perkebunan. Badanku beradu dengan kerasnya tanah dan bebatuan.

Tuhan, aku hanya bisa pasrah jika ini adalah akhir dari segalanya. Tiba-tiba aku ingat pesan Baskara untuk tetap tinggal di villa, apakah kini telah menjadi seorang istri durhaka?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status