Share

BAB 2 PERNIKAHAN TANPA HATI

“Saya nikahkan dan kawinkan Engkau, Baskara Jayakusuma bin Haji Agus Jayakusuma dengan Andini Prameswari binti Kuntoaji dengan mas kawin dua ratus gram emas mulia dibayar tunai!"

Ucap Paman Adi sambil menjabat tangan laki-laki yang sedang menjalani ijab qabul. Beliau menjadi wali nikahku, mewakili Ayah yang telah tiada.

“Saya terima, nikah dan kawinnya Andini Prameswari binti Kuntoaji dengan mas kawin tersebut, tunai!” jawab lelaki yang duduk bersanding denganku, tanpa jeda sejenakpun.

Hatiku semakin berdegup saat namaku disebut dalam acara yang menegangkan ini. Bisa-bisanya aku menyetujui pernikahan yang sama sekali tidak kuinginkan. Padahal kami baru sekali bertemu. Itupun aku tidak berani menatap wajahnya sama sekali.

"Bu.."aku memeluk Ibuku dengan erat.

Nafasku seperti terhenti.

"Maafkan Ibumu, Andini, maafkan Ibu..." berkali-kali Ibu meminta maaf padaku. Tangsinya tak tertahan lagi.

“Ibu tidak punya pilihan…” Bisiknya sambil mengelus-elus pundakku.

Aku tahu jika pernikahan ini hanyalah sebuah janji agar keluarga kami tutup mulut. Tidak mengangkat kasus kecelakaan Ayah ke pihak berwajib dengan jalur hukum.

**

"Bu, Andini pamit dulu,, kapan-kapan Andini akan mengunjungi ibu dan adik-adik..."

Kuraih pelukan Ibu yang hangat untuk memberikanku kekuatan.

Aku memeluk Ibu dan adik-adikku bergiliran satu per satu. Wajah mereka tampak berat untuk melepasku. 

"Kakak, hati-hati..."

Adikku pun terasa berat untuk kutinggalkan. 

“Jaga dirimu baik-baik. Taatlah pada suamimu!” pesan terakhir Ibu sebelum aku benar-benar keluar dari rumah.

Aku berjalan menuju halaman depan sambil sesekali menoleh ke arah mereka. Sebuah tas koper besar berisi barang-barangku sudah siap untuk aku bawa menuju mobil.

"Mbak Andini, mari masuk ke dalam mobil..." Sopir keluarga suamiku, Pak Ali, membukakan pintu dan kemudian memasukkan koper dalam bagasi belakang.

Dengan berat hati aku harus meninggalkan rumah di saat belum agenap seminggu Ayah meninggal dunia. Aku berusaha duduk dengan tenang meski hatiku masih belum bisa menerima semuanya.

“Kenapa lama sekali berpamitan…” Sambut lelaki yang duduk lebih dulu di dalam mobil.’

Siapa lagi kalau bukan Baskara, yang kini sudah berstatus sebagai suamiku. Aku tak menjawab ucapannya dengan sepatah katapun.

"Kita langsung ke villa, Pak Ali!" Perintahnya.

"Baik Tuan!' Pak Ali dengan sigap menstarter mobil dan perjalanan kami pun dimulai.

Sepintas aku masih bisa melihat pintu gerbang rumah dan kedua adikku yang berlarian mengejar mobil. Air mataku meleleh lagi.

Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam. Sesekali aku membuka ponselku, melihat foto kenangan dengan Ayah. Bahkan aku melihat isi chat terakhirku dengan ayah. Rindu. Rindu sekali.

Entah bagaimana keadaan Ayah saat ini. Aku hanya bisa mengenang memori dengannya saat masih bersama dulu.

Tak terasa, aku tertidur lelap dalam perjalanan. Karena semenjak acara pernikahan berlangsung, aku belum tertidur barang semenitpun. Badanku terasa penat dan letih.

"Halo, Mama, aku hari ini ada kunjungan kerja ke luar kota."

Aku terbangun saat Baskara berbicara lewat handphone. Suara tegasnya membangunkanku. Kepalaku terasa berat.

"Iya Ma, besok aku pulang. Fitting baju pengantin besok lusa saja. Hari ini aku mau istirahat sekalian di villa saja.” Tukasnya sambil sesekali melirik ke arahku.

“Akad nikah? Sudah selesai sejak tadi. Iya, Laura belum tahu. Mungkin besuk saja kami fitting baju untuk acara.” Jelasnya lagi.

Dia tahu kalau aku sudah terbangun. Atau mungkin dia sengaja menelpon dengan suara keras agar aku tidak keenakan tidur di mobilnya.

Setelah menutup telponnya, dia memutar badannya menghadapku.

“Nyenyk tidurnya, Nyonya Baskara? Sepanjang perjalanan kamu bahkan tidak bergerak. Baru pertama kali naik mobil ber-AC, hah?” kalimatnya meluncur begitu saja dari mulutnya.

Sekali lagi aku terdiam. Tak kuasa menjawab kalimat yang terasa mengiris hatiku. Dan aku memilih untuk memejamkan mataku lagi, agar dia tak lagi menyakitiku.

**

"Kamarmu di sini!" lelaki itu memberhentikanku di depan pintu kamar di lantai satu.

Koper hitam milikku sudah diletakkan di depannya.

"Baik, Pak!" jawabku sambil mengangguk.

"Jangan panggil aku dengan Pak! Panggil aku Tuan saja! Kamu mengerti??" bentaknya.

Aku mengangguk lagi. Bahkan kini aku makin tahu apa statusku di matanya. Hubungan Tuan dan Pembantu. 

"Kamu cukup tinggal di sini, tidak usah kemana-mana. Kalau butuh sesuatu bisa panggil Mak Ijah dan Pak Gun, mereka berdua penjaga villa ini..." tukasnya kaku.

"Bagaimana kalau saya mau pulang?" kuberanikan untuk bertanya sambil menundukkan kepala.

"Jangan berpikir untuk kabur!" Kalimatnya makin meninggi. 

Kabur? Apakah aku seorang tawanan?

"Ibu dan adikmu sudah aku beri uang dua milyar, itu sudah lebih dari cukup untuk membelimu!"

Aku terdiam. 

Entah apa yang ada di hati dan kepalaku saat ini. Aku sama sekali tidak bisa memikirkan apa-apa. Kembali terngiang kata-kata jika aku sudah dijual. Aku sudah dijual pada lelaki kejam yang sejak pertama kali bertemu sudah menyakitiku.

Apakah aku seorang budak baginya?

**

"Mbak Andini, ayo makan malam. Sudah Mak Ijah siapkan..." 

Tanpa aku sadari, Mak Ijah sudah membuka pintu kamarku.

“Maaf Mbak, saya sudah mengetuk pintu tadi, tapi Mbak Andini tidak mendengar ya mungkin ketiduran…”

Aku mengangguk. Sejak datang ke ruangan ini, aku hanya termenung menghadap ke arah jendela luar. Melihat hijauhnya pemandangan.

“Mari, Tuan Baskara sudah menunggu di meja makan.”

Aku mengikutinya dari belakang. Sekalipun masih sedikit tersisa sakit hati atas ucapan dan perlakuan Baskara padaku. Tak punya banyak pilihan, aku harus menurutinya.

Kakiku berhenti melangkah saat mendapatinya duduk sambil melihatku dengan tatapan amarah.

"Duduklah!" perintahnya. 

Di hadapan kami sudah tersaji makanan yang berlimpah dengan beraneka ragam menu. Jika ini terjadi saat Ayah masih ada, tentu aku sudah menyantap semua makanan ini bersama adik-adikku. Lain halnya dengan sekarang.

"Baca ini dan cepat tanda tangan!"

Aku mengambil secarik kertas dan mulai membaca satu demi satu kalimat yang tertulis di atasnya.

Sebuah kontrak pernikahan. Kontrak macam apa ini?

Semua poinnya adalah aturan dalam pernikahan kami. Pernikahan yang sah berlangsung selama satu tahun. Dan setelah itu, kami akan cerai dan terdapat larangan untuk berhubungan kontak secara fisik.

"Kamu paham, kan?" ia kembali mengernyitkan dahi menunggu jawaban dariku.

Aku mengangguk.

“Tuan, apa gunanya kita menikah jika setelah itu kita berpisah?" tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di benakku.

Baskara tertawa lepas. Seakan menertawakan pertanyaanku yang lebih mirip pertanyaan anak usia sekolah dasar.

"Aku hanya ingin keluargamu tidak banyak bertanya. Agar mereka semua diam. Agar nama baik keluargaku tidak rusak karena kecelakaan itu!" Baskara makin meninggi.

“Tuan, uang dua miliar itu sudah membuat mereka tutup mulut, lantas mengapa kita harus melakukan pernikahan ini?” serangku.

Jantungku hampir melompat. Tidak hanya karena nada bicaranya yang makin tinggi, tetapi karena pernikahanku ini hanyalah upaya agar keluargaku tutup mulut!

“Diam! Kamu sepertinya belum mengenal baik keluargamu.” Bentaknya.

Aku terdiam seketika.

"Kamu seperti Pamanmu itu, terlalu banyak bicara!" imbuhnya lagi. "Apakah orang yang dari golongan kelas bawah memang lebih suka banyak bicara dari pada melakukan sesuatu? hah?"

"Paman Adi adalah adik kandung ayahku, Apa salahnya dia bicara seper...."

"DIAAAM...." 

Lelaki itu mendobrak meja hingga piring yang tersaji dan gelas-gelas bergetar hebat.

"Kamu cukup hanya membaca dan tanda tangan. Jangan banyak bertanya lagi!"

Tanpa sepatah kata lagi ia langsung pergi meninggalkan meja makan. Terdengar hentakan kakinya yang cepat dan beberapa saat kemudian ia membanting pintu depan dengan sangat keras.

Aku menangis sendirian.

Kupandangi setiap dinding dari villa ini yang berisikan foto-foto Baskara dan keluarganya.

"Ayaaahhh...." aku berteriak sambil menangis. Jantungku berdenyut tidak karuan. "Ayaaah...."

"Mbakkk...Mbak Andini harap tenangkan diri..." Mak Ijah berusaha mengelus-elus kedua pundakku.

Seolah kehadiran Mak Ijah menjadi pengganti kedua orang tuaku.

"Mbak, Tuan Baskara itu orangnya baik. Dia begini karena dia pun dalam kondisi terjepit Mbak. Sama seperti Mbak Andini, dia terpaksa melakukan pernikahan ini…” pinta Mak Ijah.

Entah angin apa yang membawaku untuk langsung mengambil pulpen di sambaing kertas dan menandatangani perjanjian itu.

**

Malam yang semakin larut membuatku urung terpejam. Andai saja aku bisa menghubungi Ibu dan menceritakan semuanya. Ah, sudahlah.

Lagi-lagi kupandangi semua kenangan tentang Ayah. Bahkan pertemuan terakhirku dengannya sangat biasa, tidak ada tanda-tanda aneh yang membuat aku yakin akan berpulang selamanya.

Rasanya baru kemarin aku ke sekolah diantar-jemput menggunakan motor kesayangannya. Dan sekarang hanya tinggal kenangan.

"Huhhhffffhhh..." aku menghela nafas panjang.

Terdengar suara deru kendaraan berhenti di depan rumah. Kubuka tirai jendela dengan hati-hati. Karena posisi kamarku sangat dekat dengan area parkir depan. Jangan sampai seseorang mengetahui aku belum tidur di malam selarut ini.

Betapa terkejutnya aku, pada saat yang sama, Baskara yang baru keluar dari mobil juga melihat ke arah jendela kamarku.

"Tidak…” gumanku lirih.

"Tenang, dia tidak  mungkin melihatku..." lagi-lagi aku berusaha membohongi hatiku sendiri.

Sorot matanya yang tajam, membuatku ketakutan. Aku yakin, dia pasti bisa melihatku dari sorot cahaya lampu dari luar kamar yang menembus kaca jendela kamarku.

Jantungku makin berdebar.

Segera kuraih selimut dan mencoba memejamkan mata.

Tok...tok...tok..

Seseorang mengetok pintu kamarku. Aku pura-pura sudah tidur.

Tapi tunggu dulu, aku lupa mengunci pintu kamar.

Kreekkk...

Terdengar seseorang membuka pintu kamarku. Derap langkah kaki itu perlahan makin mendekat ke arahku. Makin terdengar dengan jelas. Aku belum berani membuka selimut tebal yang menutupi tubuhku.

Jantungku kembali berdebar. Rasa ketakutan mulai menghantuiku.

Perlahan tangan itu membuka selimut, dan akhirnya aku bisa melihatnya dengan jelas.

"Aku tahu kamu belum tidur saat ini!"

Tangannya yang dingin menyentuh pipiku. Seketika aku merasa tersengat aliran listrik dengan cepat.

"Bangunlah...."

Astaga. Lelaki itu kini sudah berada tepat di sampingku. Wajahnya yang bersinar sudah tepat berada di depan mukaku, seutuhnya!

Apa yang dia akan lakukan padaku sekarang?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nurildini
lanjut aq suka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status