Home / Romansa / Istri Simpanan Tuan Muda / BAB 2 PERNIKAHAN TANPA HATI

Share

BAB 2 PERNIKAHAN TANPA HATI

Author: Liliput
last update Last Updated: 2023-07-04 15:41:16

“Saya nikahkan dan kawinkan Engkau, Baskara Jayakusuma bin Haji Agus Jayakusuma dengan Andini Prameswari binti Kuntoaji dengan mas kawin dua ratus gram emas mulia dibayar tunai!"

Ucap Paman Adi sambil menjabat tangan laki-laki yang sedang menjalani ijab qabul. Beliau menjadi wali nikahku, mewakili Ayah yang telah tiada.

“Saya terima, nikah dan kawinnya Andini Prameswari binti Kuntoaji dengan mas kawin tersebut, tunai!” jawab lelaki yang duduk bersanding denganku, tanpa jeda sejenakpun.

Hatiku semakin berdegup saat namaku disebut dalam acara yang menegangkan ini. Bisa-bisanya aku menyetujui pernikahan yang sama sekali tidak kuinginkan. Padahal kami baru sekali bertemu. Itupun aku tidak berani menatap wajahnya sama sekali.

"Bu.."aku memeluk Ibuku dengan erat.

Nafasku seperti terhenti.

"Maafkan Ibumu, Andini, maafkan Ibu..." berkali-kali Ibu meminta maaf padaku. Tangsinya tak tertahan lagi.

“Ibu tidak punya pilihan…” Bisiknya sambil mengelus-elus pundakku.

Aku tahu jika pernikahan ini hanyalah sebuah janji agar keluarga kami tutup mulut. Tidak mengangkat kasus kecelakaan Ayah ke pihak berwajib dengan jalur hukum.

**

"Bu, Andini pamit dulu,, kapan-kapan Andini akan mengunjungi ibu dan adik-adik..."

Kuraih pelukan Ibu yang hangat untuk memberikanku kekuatan.

Aku memeluk Ibu dan adik-adikku bergiliran satu per satu. Wajah mereka tampak berat untuk melepasku. 

"Kakak, hati-hati..."

Adikku pun terasa berat untuk kutinggalkan. 

“Jaga dirimu baik-baik. Taatlah pada suamimu!” pesan terakhir Ibu sebelum aku benar-benar keluar dari rumah.

Aku berjalan menuju halaman depan sambil sesekali menoleh ke arah mereka. Sebuah tas koper besar berisi barang-barangku sudah siap untuk aku bawa menuju mobil.

"Mbak Andini, mari masuk ke dalam mobil..." Sopir keluarga suamiku, Pak Ali, membukakan pintu dan kemudian memasukkan koper dalam bagasi belakang.

Dengan berat hati aku harus meninggalkan rumah di saat belum agenap seminggu Ayah meninggal dunia. Aku berusaha duduk dengan tenang meski hatiku masih belum bisa menerima semuanya.

“Kenapa lama sekali berpamitan…” Sambut lelaki yang duduk lebih dulu di dalam mobil.’

Siapa lagi kalau bukan Baskara, yang kini sudah berstatus sebagai suamiku. Aku tak menjawab ucapannya dengan sepatah katapun.

"Kita langsung ke villa, Pak Ali!" Perintahnya.

"Baik Tuan!' Pak Ali dengan sigap menstarter mobil dan perjalanan kami pun dimulai.

Sepintas aku masih bisa melihat pintu gerbang rumah dan kedua adikku yang berlarian mengejar mobil. Air mataku meleleh lagi.

Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam. Sesekali aku membuka ponselku, melihat foto kenangan dengan Ayah. Bahkan aku melihat isi chat terakhirku dengan ayah. Rindu. Rindu sekali.

Entah bagaimana keadaan Ayah saat ini. Aku hanya bisa mengenang memori dengannya saat masih bersama dulu.

Tak terasa, aku tertidur lelap dalam perjalanan. Karena semenjak acara pernikahan berlangsung, aku belum tertidur barang semenitpun. Badanku terasa penat dan letih.

"Halo, Mama, aku hari ini ada kunjungan kerja ke luar kota."

Aku terbangun saat Baskara berbicara lewat handphone. Suara tegasnya membangunkanku. Kepalaku terasa berat.

"Iya Ma, besok aku pulang. Fitting baju pengantin besok lusa saja. Hari ini aku mau istirahat sekalian di villa saja.” Tukasnya sambil sesekali melirik ke arahku.

“Akad nikah? Sudah selesai sejak tadi. Iya, Laura belum tahu. Mungkin besuk saja kami fitting baju untuk acara.” Jelasnya lagi.

Dia tahu kalau aku sudah terbangun. Atau mungkin dia sengaja menelpon dengan suara keras agar aku tidak keenakan tidur di mobilnya.

Setelah menutup telponnya, dia memutar badannya menghadapku.

“Nyenyk tidurnya, Nyonya Baskara? Sepanjang perjalanan kamu bahkan tidak bergerak. Baru pertama kali naik mobil ber-AC, hah?” kalimatnya meluncur begitu saja dari mulutnya.

Sekali lagi aku terdiam. Tak kuasa menjawab kalimat yang terasa mengiris hatiku. Dan aku memilih untuk memejamkan mataku lagi, agar dia tak lagi menyakitiku.

**

"Kamarmu di sini!" lelaki itu memberhentikanku di depan pintu kamar di lantai satu.

Koper hitam milikku sudah diletakkan di depannya.

"Baik, Pak!" jawabku sambil mengangguk.

"Jangan panggil aku dengan Pak! Panggil aku Tuan saja! Kamu mengerti??" bentaknya.

Aku mengangguk lagi. Bahkan kini aku makin tahu apa statusku di matanya. Hubungan Tuan dan Pembantu. 

"Kamu cukup tinggal di sini, tidak usah kemana-mana. Kalau butuh sesuatu bisa panggil Mak Ijah dan Pak Gun, mereka berdua penjaga villa ini..." tukasnya kaku.

"Bagaimana kalau saya mau pulang?" kuberanikan untuk bertanya sambil menundukkan kepala.

"Jangan berpikir untuk kabur!" Kalimatnya makin meninggi. 

Kabur? Apakah aku seorang tawanan?

"Ibu dan adikmu sudah aku beri uang dua milyar, itu sudah lebih dari cukup untuk membelimu!"

Aku terdiam. 

Entah apa yang ada di hati dan kepalaku saat ini. Aku sama sekali tidak bisa memikirkan apa-apa. Kembali terngiang kata-kata jika aku sudah dijual. Aku sudah dijual pada lelaki kejam yang sejak pertama kali bertemu sudah menyakitiku.

Apakah aku seorang budak baginya?

**

"Mbak Andini, ayo makan malam. Sudah Mak Ijah siapkan..." 

Tanpa aku sadari, Mak Ijah sudah membuka pintu kamarku.

“Maaf Mbak, saya sudah mengetuk pintu tadi, tapi Mbak Andini tidak mendengar ya mungkin ketiduran…”

Aku mengangguk. Sejak datang ke ruangan ini, aku hanya termenung menghadap ke arah jendela luar. Melihat hijauhnya pemandangan.

“Mari, Tuan Baskara sudah menunggu di meja makan.”

Aku mengikutinya dari belakang. Sekalipun masih sedikit tersisa sakit hati atas ucapan dan perlakuan Baskara padaku. Tak punya banyak pilihan, aku harus menurutinya.

Kakiku berhenti melangkah saat mendapatinya duduk sambil melihatku dengan tatapan amarah.

"Duduklah!" perintahnya. 

Di hadapan kami sudah tersaji makanan yang berlimpah dengan beraneka ragam menu. Jika ini terjadi saat Ayah masih ada, tentu aku sudah menyantap semua makanan ini bersama adik-adikku. Lain halnya dengan sekarang.

"Baca ini dan cepat tanda tangan!"

Aku mengambil secarik kertas dan mulai membaca satu demi satu kalimat yang tertulis di atasnya.

Sebuah kontrak pernikahan. Kontrak macam apa ini?

Semua poinnya adalah aturan dalam pernikahan kami. Pernikahan yang sah berlangsung selama satu tahun. Dan setelah itu, kami akan cerai dan terdapat larangan untuk berhubungan kontak secara fisik.

"Kamu paham, kan?" ia kembali mengernyitkan dahi menunggu jawaban dariku.

Aku mengangguk.

“Tuan, apa gunanya kita menikah jika setelah itu kita berpisah?" tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di benakku.

Baskara tertawa lepas. Seakan menertawakan pertanyaanku yang lebih mirip pertanyaan anak usia sekolah dasar.

"Aku hanya ingin keluargamu tidak banyak bertanya. Agar mereka semua diam. Agar nama baik keluargaku tidak rusak karena kecelakaan itu!" Baskara makin meninggi.

“Tuan, uang dua miliar itu sudah membuat mereka tutup mulut, lantas mengapa kita harus melakukan pernikahan ini?” serangku.

Jantungku hampir melompat. Tidak hanya karena nada bicaranya yang makin tinggi, tetapi karena pernikahanku ini hanyalah upaya agar keluargaku tutup mulut!

“Diam! Kamu sepertinya belum mengenal baik keluargamu.” Bentaknya.

Aku terdiam seketika.

"Kamu seperti Pamanmu itu, terlalu banyak bicara!" imbuhnya lagi. "Apakah orang yang dari golongan kelas bawah memang lebih suka banyak bicara dari pada melakukan sesuatu? hah?"

"Paman Adi adalah adik kandung ayahku, Apa salahnya dia bicara seper...."

"DIAAAM...." 

Lelaki itu mendobrak meja hingga piring yang tersaji dan gelas-gelas bergetar hebat.

"Kamu cukup hanya membaca dan tanda tangan. Jangan banyak bertanya lagi!"

Tanpa sepatah kata lagi ia langsung pergi meninggalkan meja makan. Terdengar hentakan kakinya yang cepat dan beberapa saat kemudian ia membanting pintu depan dengan sangat keras.

Aku menangis sendirian.

Kupandangi setiap dinding dari villa ini yang berisikan foto-foto Baskara dan keluarganya.

"Ayaaahhh...." aku berteriak sambil menangis. Jantungku berdenyut tidak karuan. "Ayaaah...."

"Mbakkk...Mbak Andini harap tenangkan diri..." Mak Ijah berusaha mengelus-elus kedua pundakku.

Seolah kehadiran Mak Ijah menjadi pengganti kedua orang tuaku.

"Mbak, Tuan Baskara itu orangnya baik. Dia begini karena dia pun dalam kondisi terjepit Mbak. Sama seperti Mbak Andini, dia terpaksa melakukan pernikahan ini…” pinta Mak Ijah.

Entah angin apa yang membawaku untuk langsung mengambil pulpen di sambaing kertas dan menandatangani perjanjian itu.

**

Malam yang semakin larut membuatku urung terpejam. Andai saja aku bisa menghubungi Ibu dan menceritakan semuanya. Ah, sudahlah.

Lagi-lagi kupandangi semua kenangan tentang Ayah. Bahkan pertemuan terakhirku dengannya sangat biasa, tidak ada tanda-tanda aneh yang membuat aku yakin akan berpulang selamanya.

Rasanya baru kemarin aku ke sekolah diantar-jemput menggunakan motor kesayangannya. Dan sekarang hanya tinggal kenangan.

"Huhhhffffhhh..." aku menghela nafas panjang.

Terdengar suara deru kendaraan berhenti di depan rumah. Kubuka tirai jendela dengan hati-hati. Karena posisi kamarku sangat dekat dengan area parkir depan. Jangan sampai seseorang mengetahui aku belum tidur di malam selarut ini.

Betapa terkejutnya aku, pada saat yang sama, Baskara yang baru keluar dari mobil juga melihat ke arah jendela kamarku.

"Tidak…” gumanku lirih.

"Tenang, dia tidak  mungkin melihatku..." lagi-lagi aku berusaha membohongi hatiku sendiri.

Sorot matanya yang tajam, membuatku ketakutan. Aku yakin, dia pasti bisa melihatku dari sorot cahaya lampu dari luar kamar yang menembus kaca jendela kamarku.

Jantungku makin berdebar.

Segera kuraih selimut dan mencoba memejamkan mata.

Tok...tok...tok..

Seseorang mengetok pintu kamarku. Aku pura-pura sudah tidur.

Tapi tunggu dulu, aku lupa mengunci pintu kamar.

Kreekkk...

Terdengar seseorang membuka pintu kamarku. Derap langkah kaki itu perlahan makin mendekat ke arahku. Makin terdengar dengan jelas. Aku belum berani membuka selimut tebal yang menutupi tubuhku.

Jantungku kembali berdebar. Rasa ketakutan mulai menghantuiku.

Perlahan tangan itu membuka selimut, dan akhirnya aku bisa melihatnya dengan jelas.

"Aku tahu kamu belum tidur saat ini!"

Tangannya yang dingin menyentuh pipiku. Seketika aku merasa tersengat aliran listrik dengan cepat.

"Bangunlah...."

Astaga. Lelaki itu kini sudah berada tepat di sampingku. Wajahnya yang bersinar sudah tepat berada di depan mukaku, seutuhnya!

Apa yang dia akan lakukan padaku sekarang?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nurildini
lanjut aq suka
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Simpanan Tuan Muda   EPILOG

    Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.

  • Istri Simpanan Tuan Muda   BAB 134 MENYATU LAGI (LAST EPISODE)

    ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h

  • Istri Simpanan Tuan Muda   BAB 133 KECELAKAAN NAAS (2 LAST EPISODE)

    ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk

  • Istri Simpanan Tuan Muda   BAB 132 TERKUCILKAN (3 LAST EPISODE)

    BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.

  • Istri Simpanan Tuan Muda   BAB 131 KEHILANGAN CINTA

    ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes

  • Istri Simpanan Tuan Muda   BAB 130 HILANG BAYANG

    BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status