“Saya nikahkan dan kawinkan Engkau, Baskara Jayakusuma bin Haji Agus Jayakusuma dengan Andini Prameswari binti Kuntoaji dengan mas kawin dua ratus gram emas mulia dibayar tunai!"
Ucap Paman Adi sambil menjabat tangan laki-laki yang sedang menjalani ijab qabul. Beliau menjadi wali nikahku, mewakili Ayah yang telah tiada.
“Saya terima, nikah dan kawinnya Andini Prameswari binti Kuntoaji dengan mas kawin tersebut, tunai!” jawab lelaki yang duduk bersanding denganku, tanpa jeda sejenakpun.
Hatiku semakin berdegup saat namaku disebut dalam acara yang menegangkan ini. Bisa-bisanya aku menyetujui pernikahan yang sama sekali tidak kuinginkan. Padahal kami baru sekali bertemu. Itupun aku tidak berani menatap wajahnya sama sekali.
"Bu.."aku memeluk Ibuku dengan erat.
Nafasku seperti terhenti.
"Maafkan Ibumu, Andini, maafkan Ibu..." berkali-kali Ibu meminta maaf padaku. Tangsinya tak tertahan lagi.
“Ibu tidak punya pilihan…” Bisiknya sambil mengelus-elus pundakku.
Aku tahu jika pernikahan ini hanyalah sebuah janji agar keluarga kami tutup mulut. Tidak mengangkat kasus kecelakaan Ayah ke pihak berwajib dengan jalur hukum.
**
"Bu, Andini pamit dulu,, kapan-kapan Andini akan mengunjungi ibu dan adik-adik..."
Kuraih pelukan Ibu yang hangat untuk memberikanku kekuatan.
Aku memeluk Ibu dan adik-adikku bergiliran satu per satu. Wajah mereka tampak berat untuk melepasku.
"Kakak, hati-hati..."
Adikku pun terasa berat untuk kutinggalkan.
“Jaga dirimu baik-baik. Taatlah pada suamimu!” pesan terakhir Ibu sebelum aku benar-benar keluar dari rumah.
Aku berjalan menuju halaman depan sambil sesekali menoleh ke arah mereka. Sebuah tas koper besar berisi barang-barangku sudah siap untuk aku bawa menuju mobil.
"Mbak Andini, mari masuk ke dalam mobil..." Sopir keluarga suamiku, Pak Ali, membukakan pintu dan kemudian memasukkan koper dalam bagasi belakang.
Dengan berat hati aku harus meninggalkan rumah di saat belum agenap seminggu Ayah meninggal dunia. Aku berusaha duduk dengan tenang meski hatiku masih belum bisa menerima semuanya.
“Kenapa lama sekali berpamitan…” Sambut lelaki yang duduk lebih dulu di dalam mobil.’
Siapa lagi kalau bukan Baskara, yang kini sudah berstatus sebagai suamiku. Aku tak menjawab ucapannya dengan sepatah katapun.
"Kita langsung ke villa, Pak Ali!" Perintahnya.
"Baik Tuan!' Pak Ali dengan sigap menstarter mobil dan perjalanan kami pun dimulai.
Sepintas aku masih bisa melihat pintu gerbang rumah dan kedua adikku yang berlarian mengejar mobil. Air mataku meleleh lagi.
Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam. Sesekali aku membuka ponselku, melihat foto kenangan dengan Ayah. Bahkan aku melihat isi chat terakhirku dengan ayah. Rindu. Rindu sekali.
Entah bagaimana keadaan Ayah saat ini. Aku hanya bisa mengenang memori dengannya saat masih bersama dulu.
Tak terasa, aku tertidur lelap dalam perjalanan. Karena semenjak acara pernikahan berlangsung, aku belum tertidur barang semenitpun. Badanku terasa penat dan letih.
"Halo, Mama, aku hari ini ada kunjungan kerja ke luar kota."
Aku terbangun saat Baskara berbicara lewat handphone. Suara tegasnya membangunkanku. Kepalaku terasa berat.
"Iya Ma, besok aku pulang. Fitting baju pengantin besok lusa saja. Hari ini aku mau istirahat sekalian di villa saja.” Tukasnya sambil sesekali melirik ke arahku.
“Akad nikah? Sudah selesai sejak tadi. Iya, Laura belum tahu. Mungkin besuk saja kami fitting baju untuk acara.” Jelasnya lagi.
Dia tahu kalau aku sudah terbangun. Atau mungkin dia sengaja menelpon dengan suara keras agar aku tidak keenakan tidur di mobilnya.
Setelah menutup telponnya, dia memutar badannya menghadapku.
“Nyenyk tidurnya, Nyonya Baskara? Sepanjang perjalanan kamu bahkan tidak bergerak. Baru pertama kali naik mobil ber-AC, hah?” kalimatnya meluncur begitu saja dari mulutnya.
Sekali lagi aku terdiam. Tak kuasa menjawab kalimat yang terasa mengiris hatiku. Dan aku memilih untuk memejamkan mataku lagi, agar dia tak lagi menyakitiku.
**
"Kamarmu di sini!" lelaki itu memberhentikanku di depan pintu kamar di lantai satu.
Koper hitam milikku sudah diletakkan di depannya.
"Baik, Pak!" jawabku sambil mengangguk.
"Jangan panggil aku dengan Pak! Panggil aku Tuan saja! Kamu mengerti??" bentaknya.
Aku mengangguk lagi. Bahkan kini aku makin tahu apa statusku di matanya. Hubungan Tuan dan Pembantu.
"Kamu cukup tinggal di sini, tidak usah kemana-mana. Kalau butuh sesuatu bisa panggil Mak Ijah dan Pak Gun, mereka berdua penjaga villa ini..." tukasnya kaku.
"Bagaimana kalau saya mau pulang?" kuberanikan untuk bertanya sambil menundukkan kepala.
"Jangan berpikir untuk kabur!" Kalimatnya makin meninggi.
Kabur? Apakah aku seorang tawanan?
"Ibu dan adikmu sudah aku beri uang dua milyar, itu sudah lebih dari cukup untuk membelimu!"
Aku terdiam.
Entah apa yang ada di hati dan kepalaku saat ini. Aku sama sekali tidak bisa memikirkan apa-apa. Kembali terngiang kata-kata jika aku sudah dijual. Aku sudah dijual pada lelaki kejam yang sejak pertama kali bertemu sudah menyakitiku.
Apakah aku seorang budak baginya?
**
"Mbak Andini, ayo makan malam. Sudah Mak Ijah siapkan..."
Tanpa aku sadari, Mak Ijah sudah membuka pintu kamarku.
“Maaf Mbak, saya sudah mengetuk pintu tadi, tapi Mbak Andini tidak mendengar ya mungkin ketiduran…”
Aku mengangguk. Sejak datang ke ruangan ini, aku hanya termenung menghadap ke arah jendela luar. Melihat hijauhnya pemandangan.
“Mari, Tuan Baskara sudah menunggu di meja makan.”
Aku mengikutinya dari belakang. Sekalipun masih sedikit tersisa sakit hati atas ucapan dan perlakuan Baskara padaku. Tak punya banyak pilihan, aku harus menurutinya.
Kakiku berhenti melangkah saat mendapatinya duduk sambil melihatku dengan tatapan amarah.
"Duduklah!" perintahnya.
Di hadapan kami sudah tersaji makanan yang berlimpah dengan beraneka ragam menu. Jika ini terjadi saat Ayah masih ada, tentu aku sudah menyantap semua makanan ini bersama adik-adikku. Lain halnya dengan sekarang.
"Baca ini dan cepat tanda tangan!"
Aku mengambil secarik kertas dan mulai membaca satu demi satu kalimat yang tertulis di atasnya.
Sebuah kontrak pernikahan. Kontrak macam apa ini?
Semua poinnya adalah aturan dalam pernikahan kami. Pernikahan yang sah berlangsung selama satu tahun. Dan setelah itu, kami akan cerai dan terdapat larangan untuk berhubungan kontak secara fisik.
"Kamu paham, kan?" ia kembali mengernyitkan dahi menunggu jawaban dariku.
Aku mengangguk.
“Tuan, apa gunanya kita menikah jika setelah itu kita berpisah?" tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di benakku.
Baskara tertawa lepas. Seakan menertawakan pertanyaanku yang lebih mirip pertanyaan anak usia sekolah dasar.
"Aku hanya ingin keluargamu tidak banyak bertanya. Agar mereka semua diam. Agar nama baik keluargaku tidak rusak karena kecelakaan itu!" Baskara makin meninggi.
“Tuan, uang dua miliar itu sudah membuat mereka tutup mulut, lantas mengapa kita harus melakukan pernikahan ini?” serangku.
Jantungku hampir melompat. Tidak hanya karena nada bicaranya yang makin tinggi, tetapi karena pernikahanku ini hanyalah upaya agar keluargaku tutup mulut!
“Diam! Kamu sepertinya belum mengenal baik keluargamu.” Bentaknya.
Aku terdiam seketika.
"Kamu seperti Pamanmu itu, terlalu banyak bicara!" imbuhnya lagi. "Apakah orang yang dari golongan kelas bawah memang lebih suka banyak bicara dari pada melakukan sesuatu? hah?"
"Paman Adi adalah adik kandung ayahku, Apa salahnya dia bicara seper...."
"DIAAAM...."
Lelaki itu mendobrak meja hingga piring yang tersaji dan gelas-gelas bergetar hebat.
"Kamu cukup hanya membaca dan tanda tangan. Jangan banyak bertanya lagi!"
Tanpa sepatah kata lagi ia langsung pergi meninggalkan meja makan. Terdengar hentakan kakinya yang cepat dan beberapa saat kemudian ia membanting pintu depan dengan sangat keras.
Aku menangis sendirian.
Kupandangi setiap dinding dari villa ini yang berisikan foto-foto Baskara dan keluarganya.
"Ayaaahhh...." aku berteriak sambil menangis. Jantungku berdenyut tidak karuan. "Ayaaah...."
"Mbakkk...Mbak Andini harap tenangkan diri..." Mak Ijah berusaha mengelus-elus kedua pundakku.
Seolah kehadiran Mak Ijah menjadi pengganti kedua orang tuaku.
"Mbak, Tuan Baskara itu orangnya baik. Dia begini karena dia pun dalam kondisi terjepit Mbak. Sama seperti Mbak Andini, dia terpaksa melakukan pernikahan ini…” pinta Mak Ijah.
Entah angin apa yang membawaku untuk langsung mengambil pulpen di sambaing kertas dan menandatangani perjanjian itu.
**
Malam yang semakin larut membuatku urung terpejam. Andai saja aku bisa menghubungi Ibu dan menceritakan semuanya. Ah, sudahlah.
Lagi-lagi kupandangi semua kenangan tentang Ayah. Bahkan pertemuan terakhirku dengannya sangat biasa, tidak ada tanda-tanda aneh yang membuat aku yakin akan berpulang selamanya.
Rasanya baru kemarin aku ke sekolah diantar-jemput menggunakan motor kesayangannya. Dan sekarang hanya tinggal kenangan.
"Huhhhffffhhh..." aku menghela nafas panjang.
Terdengar suara deru kendaraan berhenti di depan rumah. Kubuka tirai jendela dengan hati-hati. Karena posisi kamarku sangat dekat dengan area parkir depan. Jangan sampai seseorang mengetahui aku belum tidur di malam selarut ini.
Betapa terkejutnya aku, pada saat yang sama, Baskara yang baru keluar dari mobil juga melihat ke arah jendela kamarku.
"Tidak…” gumanku lirih.
"Tenang, dia tidak mungkin melihatku..." lagi-lagi aku berusaha membohongi hatiku sendiri.
Sorot matanya yang tajam, membuatku ketakutan. Aku yakin, dia pasti bisa melihatku dari sorot cahaya lampu dari luar kamar yang menembus kaca jendela kamarku.
Jantungku makin berdebar.
Segera kuraih selimut dan mencoba memejamkan mata.
Tok...tok...tok..
Seseorang mengetok pintu kamarku. Aku pura-pura sudah tidur.
Tapi tunggu dulu, aku lupa mengunci pintu kamar.
Kreekkk...
Terdengar seseorang membuka pintu kamarku. Derap langkah kaki itu perlahan makin mendekat ke arahku. Makin terdengar dengan jelas. Aku belum berani membuka selimut tebal yang menutupi tubuhku.
Jantungku kembali berdebar. Rasa ketakutan mulai menghantuiku.
Perlahan tangan itu membuka selimut, dan akhirnya aku bisa melihatnya dengan jelas.
"Aku tahu kamu belum tidur saat ini!"
Tangannya yang dingin menyentuh pipiku. Seketika aku merasa tersengat aliran listrik dengan cepat.
"Bangunlah...."
Astaga. Lelaki itu kini sudah berada tepat di sampingku. Wajahnya yang bersinar sudah tepat berada di depan mukaku, seutuhnya!
Apa yang dia akan lakukan padaku sekarang?
Mataku terbuka perlahan. Melihat sosoknya dari dekat. Rupanya ini bukan mimpi. "Andini!" Sosok itu memanggilku. Siapa yang malam-malam begini mendatangiku? Apakah itu....Ya, sosok yang mendekat itu adalah Baskara."Ayo, bangunlah. Cepat!"Ia tertawa sinis dan menjelma menjadi monster yang menyeramkan saat malam.Ia meraih tanganku dan membangunkanku dengan paksa karena aku sama sekali tidak beraksi dengan upayanya membangunkanku tadi. Emosinya mulai naik."Andini, cepat bangun... Atau kamu mau aku melakukannya saat kamu tidur?""Tuan, apa yang Tuan lakukan malam-malam di kamar saya?" suaraku masih parau.Aku memberanikan diri untuk menepis tangannya yang sejak tadi mencengkeramku. Sementara mataku masih belum mampu terbuka sepenuhnya.Segera kutarik selimutku sekuatnya untuk melindungi tubuhku."Aku juga tahu ini sudah malam!" Ia tertawa sinis.Wajahnya seperti orang yang sedang kerasukan."Tuan jangan mendekat! Atau saya akan berteriak..." aku mulai menangis ketakutan. Tanganku be
BAB 4"Pak Gun, saya balik dulu, Jaga dan awasi Andini...” Komando Baskara pada Pak Gun, penjaga villa setelah selesai mengemas barang bawaannya.Aku berdiri mematung di dekat pintu. Melihat untuk yang terakhir kali sebelum lelaki itu pergi.“Jangan sampai dia kabur. Akhir pekan nanti saya ke sini. Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi saya. Sekalian cek juga perkembangan proyek rumah baru. Saya tidak mau mandor-mandornya curang seperti waktu membangun villa ini dulu.”Rumah baru? Oh, rupanya yang dimaksud proyek itu adalah rumah baru. Mungkin untuk tempat tinggal selir-selir Baskara.“Kenapa kamu sejak tadi terdiam? Kamu senang pastinya kalau aku tidak ada di sini.”Kali ini Baskara berjalan mendekatiku. Baiklah, aku harus menahan emosi karena hari ini juga hari terakhirku berada di sini.“Jangan mencoba untuk kabur. Di depan ada dua security yang selama dua puluh empat jam akan menjaga villa. Dan proyek rumah baru juga tidak jauh dari sini. Kamu dalam pengawasan banyak orang, Andini
Kepalaku terasa berat dan mataku tak sanggup untuk kubuka. Aku merasa remuk redam di sekujur tubuhku. Kakiku pun tak bisa kugerakkan dengan leluasa. Sendi-sendi ini terasa terhimpit satu sama lain. “Aahhh…” Erangku. “Kamu sudah bangun? Syukurlah…” suara seorang wanita mendekatiku. Di mana aku? Kulihat sekeliling. Apakah aku sudah di alam kubur? “Pak Gun, dia sudah siuman.” Seseorang yang tadi akhirnya mengabarkanku pada Pak Gun. Tunggu, Pak Gun? Berarti aku masih hidup dan aku masih di area dekat villa. Ya Tuhan, semalam aku berencana kabur dan gagal. Lalu… bagaimana bisa aku berakhir di tempat ini? Dan kepalaku terasa sangat berat. “Terima kasih Bu Bidan, sudah merawat Mbak Andini semalaman.” Jelas itu adalah suara Pak Gun. “Akan saya bawa Kembali ke villa.” “Tunggu, Pak. Saya tidak mau kembali ke villa.” Elakku. Aku tak mau jika harus berhadapan dengan Baskara lagi. Bagiku, lebih baik mati daripada harus kembali. Toh semalam aku sudah bertarung dengan maut untuk berupaya
Aku pasrahkan sepenuhnya diriku pada Baskara. Energiku belum sepenuhnya pulih. Badan yang terasa dibanting berkali-kali dengan tulangku yang serasa patah satu persatu. Mau memberontak dengan kalimatpun aku tak sanggup lagi. “Bunuh aku saja!” Pintaku untuk terakhir kali. “Apa?” Baskara terkejut. “Aku ingin penderitaanku selesai.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. “Ah, di mana seninya hidup, Andini, iika aku harus menghabisimu sekarang? Aku lebih menikmati dirimu sebagai mainanku yang bisa mengobati rasa bosan kapanpun aku mau.” Gumamnya tanpa merasa ada yang salah dari kalimatnya sedikitpun. Ingin sekali aku berteriak dan memakinya, namun diriku hanya sanggup menyaring kalimat itu sehingga tetap terjebak di dalam hati. “Andini…” Ibu jarinya meraba pipiku. Sungguh di luar dugaan. “Baskara, tolong… aku ingin semuanya selesai.” Bisikku. “Sssst… apa maksudmu? Kamu ingin segera menjadi Nyonya Baskara juga seperti Laura? Ck, ck, ck…” Aku menggeleng. “Lalu, apa maumu
Dugaanku tidak salah. Hal yang sesungguhnya tidak ingin aku saksikan akan terjadi. Sebuah nama terpampang di kertas undangan mewah berbalut warna emas dan merah. Kedua netraku masih terpaku pada tiap foto hasil jepretan fotografer handal ibukota. Baskara Jayakusuma bersanding dengan nama Laura Wright Danardi. Hatiku pecah berkeping. Baru semalam rasanya rasa cinta itu muncul dan berbunga. Tiba-tiba layu seketika. “Lho, Mbak Andini sudah baca undangannya?” Mak Ijah membangunkanku dari lamunan. Seketika aku letakkan kembali undangan mewah ke atas meja. Air mata sebisanya kutahan. “Eh, anu. Tadi Tuan Baskara berpesan, akhir pekan ini untuk mengajak Mbak Andini juga menghadiri pesta pernikahan Tuan Muda.” Pak Gun menyela. Setelah dia memindahkan beberapa pot bunga keluar ruangan, Pak Gun mendekati kami. “Apa sebaiknya Mbak Andini segera siap-siap saja, siapa tahu ada barang yang dibutuhkan untuk dibeli.” Hanya senyuman yang bisa aku berikan sebagai jawaban kali ini. Kepalaku seper
“Tante, Apakah aku mengganggu?”Wanita berparas ayu itu menyambut kedatangannya dengan pelukan.“Bayu! Kapan kamu datang?”Keduanya berpelukan. Seketika dia melupakan keberadaanku.“Ijah, bawa dia pergi. Akan aku selesaikan urusan ini di lain waktu.” Pesannya.Mak Ijah secepatnya mengajakku keluar.“Kita selamat, Mbak. Untung ada Tuan Bayu.” Nafasnya lega.“Siapa Bayu?” tanyaku sambil berjalan mensejajari Mak Ijah. “Apa dia keponakan ibu Baskara?”Mak Ijah mengangguk. “Dia keponakan kesayangan Nyonya Besar. Anak dari kakak Tuan Haji Agus, ayah Tuan Baskara.“Sepertinya beliau orang baik. Begitu perhatian dengan keponakannya.” Gumamku.“Kita tunggu dulu Pak Gun di sini. Tadi Pak Gun sudah menyiapkan satu kamar untuk Mbak Andini istirahat.”Tak berselang lama, Pak Gun datang membawa sebuah kartu di tangannya.“Mbak Andini, istirahat dulu di sini. Tuan Baskara bilang sebaiknya menginap saja daripada kelelahan. Semua keluarga besar juga di sini menginap di lantai atas.”“Maksudnya?” aku k
ANDINI's Point of View (POV) Mak Ijah tergopoh-gopoh menyusulku ke kamar. Bisa kusaksikan sendiri kalau nafasnya seakan mau putus. Sebetulnya aku kasihan melihatnya. Tapi aku harus tetap bertahan dengan rencana utamaku. Sudah cukup aku diatur-atur oleh Baskara dan keluarganya. “Mak, semua barang sudah saya packing. Sekarang tinggal check out. Pak Gun suruh siapkan mobilnya.” Perintahku dengan nada yang sengaja kubuat agar terkesan marah. “Mbak… Mbak Andini jangan marah ya…” bisiknya sambil mengelus-elus rambutku yang terurai panjang. “Mak, saya sudah tidak tahan di sini. Melihat keluarga Tuan Baskara yang semena-mena…” Mak Ijah melanjutkan packingku memasukkan beberapa barang ke tasnya. “Mau tidak mau, suka atau tidak suka… kita yang sudah dibeli waktunya oleh mereka, tidak boleh banyak mengeluh. Mak Ijah tidak bisa menolong apa-apa. Mak Ijah juga tak punya kuasa.” Mendengar nasehat tulusnya, aku terdiam. Sejuta kalimat yang sudah kurangkai padam. “Ayo, kita segera pulang ke
BASKARA’S POV Jam tangan Rolez melingkar di lengan kiriku telah menunjukkan pukul sebelas malam. Sengaja aku tidak mengganti pakaian setelah acara selesai. Hanya jas yang aku tanggalkan dan telah kugantung di dekat pintu masuk kamar. Kuhela nafas panjang setelah akhirnya kulalui hari ini. Rangkaian acara pesta yang sebenarnya lebih ingin aku skip, namun demi kebahagiaan Laura, aku rela melakukannya. “Sayang…” suara manja istriku, Laura mulai terdengar dari kamar mandi. Pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Sosok cantik seperti bidadari itu muncul. “Iya, Sayang?” sapaku dan bangkit dari sofa tempatku duduk sejak tadi. “Hmmm… bisakah kamu bantu aku melepas pakaianku? Sejak tadi aku kesulitan…” Entah itu maksudnya menggodaku atau benar-benar ingin meminta bantuanku. Ada sensasi lain saat Laura mengatakan ini sekarang. “Baiklah…” Bagaikan binatang buas yang mendatangi buruannya, aku dalam sepersekian detik sudah ada di belakangnya. Mencoba mencari di mana kait baju dan resleting yan