Kepalaku terasa berat dan mataku tak sanggup untuk kubuka. Aku merasa remuk redam di sekujur tubuhku. Kakiku pun tak bisa kugerakkan dengan leluasa. Sendi-sendi ini terasa terhimpit satu sama lain.
“Aahhh…” Erangku.
“Kamu sudah bangun? Syukurlah…” suara seorang wanita mendekatiku.
Di mana aku? Kulihat sekeliling. Apakah aku sudah di alam kubur?
“Pak Gun, dia sudah siuman.” Seseorang yang tadi akhirnya mengabarkanku pada Pak Gun.
Tunggu, Pak Gun? Berarti aku masih hidup dan aku masih di area dekat villa. Ya Tuhan, semalam aku berencana kabur dan gagal.
Lalu… bagaimana bisa aku berakhir di tempat ini? Dan kepalaku terasa sangat berat.
“Terima kasih Bu Bidan, sudah merawat Mbak Andini semalaman.” Jelas itu adalah suara Pak Gun. “Akan saya bawa Kembali ke villa.”
“Tunggu, Pak. Saya tidak mau kembali ke villa.” Elakku.
Aku tak mau jika harus berhadapan dengan Baskara lagi. Bagiku, lebih baik mati daripada harus kembali. Toh semalam aku sudah bertarung dengan maut untuk berupaya menjauhinya.
“Mbak Andini, sebaiknya ikut dengan Pak Gun saja. Di Puskesmas sini, tidak ada yang menjaga dua puluh empat jam. Semalam saya ke sini juga diberi tahu tukang ronda yang menemukan Mbak Andini di ujung sungai saat patroli. Jadi sebaiknya… ikut saja dengan Pak Gun. Lebih aman.”
“Iya, Mbak Andini sebaiknya pulang. Mak Ijah sudah menunggu sejak tadi. Daripada nanti kena marah Tuan Muda.” Jelas Pak Gun.
Kemudian membisikiku,”Jika Tuan Muda sampai tahu Mbak Andini kabur, dia tidak segan-segan untuk melakukan sesuatu pada keluargamu. Jadi, sebaiknya kita harus segera Kembali. Tuan Muda akan kembali ke sini secepatnya.”
Setelah diyakinkan oleh Bu Bidan dan Pak Gun, luluh hatiku. Aku harus kembali ke villa itu.
“Terima kasih, Bu Bidan.”
Beliau mengangguk. Lalu membantuku naik mobil yang dikemudikan oleh Pak Gun.
Perjalanan kembali ke villa cukup jauh. Tak terasa kemarin hingga semalam, aku sudah sejauh ini berjalan.
“Tuan Muda langsung pesan tiket pulang saat tahu Mbak Andini terjatuh hingga ke tepi sungai.” Ucapan Pak Gun membuatku terkejut.
Bukankah seharusnya dia kembali akhir pekan nanti?
“Oh…” balasku singkat. Kepalaku masih terasa berat.
“Siapa yang memberitahunya?” tanyaku sambil sesekali memijit kepala dengan tanganku.
“Mak Ijah. Beliau khawatir sekaligus takut jika terjadi apa-apa pada Mbak Andini.”
**
Layar besar berukuran 55 inch di hadapanku sedang menayangkan berita terkini tentang selebriti. Kuharap dengan melihat infotainment, rasa bosan dan kesalku bisa sedikit teralihkan.
"Akhir-akhir ini kabar pernikahan pengusaha muda keturunan ningrat, Baskara Kusumawijaya menjadi buah bibir di kalangan selebriti tanah air. Pasalnya kedekatannya dengan model internasional, Laura Wright tidak hanya sekedar kabar burung.
Salah satu selebritis kita mengaku sudah mendapatkan undangan mewah dari mempelai wanita. Ia mengabadikan di sosial medianya sebagai salah satu apresiasinya sebagai teman dekat Laura. Keduanya... ..."
Presenter berbaju merah menyala itu membacakan narasi sekaligus menampilkan tayangan Laura dan Baskara yang sedang berada di salah satu pantai di Bali. Keduanya nampak harmonis dan tersenyum bahagia berdua. Mata Baskara sudah cukup mengisyaratkan apa yang sedang dia rasakan saat bersama wanita keturunan Inggris-Indonesia itu.
Klik. Kumatikan televisi yang hanya berisi gosip murahan.
“Mbak Andini, Tuan Baskara sudah sampai di depan.” Mak Ijah mengkode sambil tergopoh-gopoh membawakanku baju ganti.
“Pakai ini. Jangan pakai baju yang lusuh begitu, Mbak.”
Wanita sepuh itu masih belum menyerah juga. Dia ingin aku berdandan layaknya istri yang baik saat menyambut suami pulang.
“Tapi, Mak… saya…” belum selesai aku mengatakan apa yang ingin aku sampaikan, pintu ruang keluarga terbuka.
“Well, kamu rupanya punya sembilan nyawa. Setelah bergulung-gulung di pinggir sungai, kamu masih hidup dan tidak cacat sama sekali. Kupikir mungkin dirimu lebih cocok sebagai bodyguard atau stuntman di film laga daripada sebagai istri simpananku.” Sindir Baskara.
Baru datang sekitar lima detik, suasana villa sudah mulai memanas. Kenapa setiap kali melihatnya, aku ingin sekali membalas pernyataannya dan secepatnya memukul atau melemparkan sesuatu.
“Kalau kedatanganmu hanya untuk mengejekku lagi, pergilah. Kembalilah kepada Laura. Kalian akan menikah.” Gerutuku.
“Andini, apakah kau cemburu pada Laura?” Baskara memulai pembicaraan di luar topik. “Kamu tidak rela aku menikah dengannya, bukan?”
Emosiku sudah mendidih.
“Siapa yang cemburu? Justru aku kasihan pada Laura. Dia akan menikahi lelaki busuk yang mirip binatang liar.”
Mendengar ucapan balasanku, Baskara mendekat dan mengangkat tangan kanannya.
“Tampar saja! Biar sekalian aku mati di sini.” Aku makin tak bisa menahan emosi.
Setelah dia menginjak-injak harga diriku dengan mengatakan membeliku, lalu memperlakukan aku lebih rendah daripada wanita murahan, kini dia akan melanjutkan serangan fisik.
“Tampar! Kenapa berhenti. Bagimu diriku tidak lebih berharga dari sebuah handuk. Buang setelah kau selesai memakainya…” lanjutku.
Jika difilmkan, adegan kami mirip dengan film laga saat pemain utama ditantang untuk berkelahi oleh penjahat. Dan penjahatnya adalah aku.
“Dasar kamu…” matanya memelototiku.
“Tuan Muda, ada panggilan dari Nona Laura. Beliau khawatir Tuan.” Pak Gun datang sambil berlari membawa handphone milik Basraka.
Dia pun segera keluar untuk mengangkat teleponnya.
“Hey, Laura. Yes, baby…”
Aku tak lagi mendengar apa yang mereka perbincangkan setelahnya. Tangisku pecah lagi dan kuputuskan untuk masuk ke kamar tidurku.
Kurebahkan badanku yang masih dipenuhi lebam dan terasa ngilu. Entah mana yang lebih menyakitkan, memiliki suami seperti Baskara atau terjatuh semalam.
**
“Iya, sudah aku kirimkan file yang perlu direvisi. Nanti malam kita meeting online via zoom saja. Baik. Iya. Secepatnya kerjakan revisinya, Hans. Iya. Nanti hubungi aku lagi.”
Baskara masih sibuk dengan satu panggilan ke panggilan yang lain. Jari tangannya tak pernah berhenti memainkan mouse laptop yang berada di hadapannya.
Dia begitu sibuk bekerja.
Sedangkan aku, memainkan makanan dengan garpu dan sendok. Sungguh selera makanku telah sirna semenjak dia tiba.
Kuletakkan sendok dan garpu ke atas piring. Pelan-pelan aku bangkit dari tempat dudukku.
“Mau ke mana?” Baskara menutup telepon dan perhatiannya mengarah kepadaku.
“Bukan urusanmu.” Jawabku singkat.
“Aku tidak mau mendapatkan aduan lagi dari Mak Ijah kalau kamu sakit.” Paparnya sambil menutup laptop dan mendekatiku.
“Sudah, aku hanya budak di sini. Tidak usah pura-pura perhatian.” Aku menjauh. Meski kakiku masih sedikit terasa sakit saat kugunakan untuk melangkah.
“Andini, bisakah kamu bekerja sama denganku? Menurutlah. Aku sudah mengganti pasal-pasal dalam perjanjian kita.” Jelasnya lagi.
“Gantilah semaumu. Dan tambahkan sekalian, kalau kamu boleh menyakitiku sepuasmu. Aku tidak boleh melawan.” Secepat mungkin aku pergi dari meja makan.
Hari berganti hari, Baskara masih berada di villa dan belum terlihat tanda-tanda akan pulang ke kota.
“Mak Ijah, makanannya tolong bawa ke kamar. Saya sulit berjalan kalau harus ke meja makan.” Pesanku saat Mak Ijah mengambil baju-baju kotor milikku.
“Baik, Mbak Andini… ada pesan lagi?”
Tangannya membawa satu keranjang berisi pakaian dan tak lupa sprei yang sudah selesai digantinya tadi pagi.
“Sekalian, tolong belikan saya buku-buku baru saat Pak Gun ke kota. Yang buku-buku di villa ini semuanya sudah selesai saya baca.”
**
“Pak Gun, bolehkah saya meminjam handphonenya?”
Pak Gun pun berjalan ke arahku sambil melihat kanan kiri.
“Boleh. Mbak Andini mau menghubungi siapa?” diberikannya handphone itu padaku.
Aku lupa sudah berapa lama tidak lagi memegang benda ini. Mungkin sudah sekitar satu setengah bulan semenjak menikah dengan Baskara.
“Pak, saya mau mengirim pesan pada Ibu, nanti kalau ada balasan, tolong sampaikan ke saya ya?”
Hanya nomor Ibuku yang aku hafal di luar kepala. Selainnya, aku tak pernah mengingat.
“Baik, Mbak. Nanti akan saya sampaikan lagi.”
Sesaat setelah aku kembali ke kamar, Pak Gun memanggilku.
“Mbak. Ini ibunya menelpon… Mbak Andini mau menerima sekarang?”
Aku begitu gembira saat tahu Ibuku melepon.
“Iya Pak. Saya…”
Belum sampai handphone itu pada tanganku, Baskara sudah muncul dari pintu depan.
“Andini, kamu mau menghubungi siapa? Pacarmu?” dia merebut handphone milik Pak Gun.
“Bukan, itu Ibuku.” Tangkasku.
“Jangan bohong. Kamu sudah terbukti pandai berbohong dan melarikan diri.” Baskara makin menjadi-jadi.
Sungguh dirinya sangat berbeda saat bersamaku. Tempramen. Sangat berkebalikan dengan saat dia bersama Laura.
“Halo…” suara dari seberang sana terdengar.
“Halo, Ibu…”
Baskara mengambil kembali handphone-nya dan terdengar suara lelaki.
“Halo, Andini… ini aku, Prasetia.”
Aku merasa bodoh saat tidak mengetahui keberadaan lelaki itu di rumah. Mata Baskara sudah semakin menyala, seakan siap menerkamku sewaktu-waktu. Di sini aku merasa bahwa setelah ini bisa-bisa nyawaku tak terselamatkan lagi.
"Baskara, aku tidak bohong... Aku tidak tahu kalau..." Belum sempat kuselesaikan kalimatku, Baskara sudah menggelandang tubuhku ke arah kamar tidurnya.
"Sudahlah, aku tak butuh penjelasanmu." Nafasnya makin memburu. "Aku mau kita selesaikan semua urusan kita di kamar, agar tidak ada yang mendengar leluconmu."
Aku pasrah pada apapun yang dia lakukan karena tak lagi punya energi untuk melawan, meski saat keluar nanti aku sudah tak bernyawa lagi...Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej