Share

Bab 2 : Sekat Tak Kasatmata

Kuremas kertas di tangan, berkali-kali mengusap perut yang masih rata. Hamil dua Minggu dan aku tidak menyadarinya?

Taksi online yang sempat kupesan membawa kesadaran yang sempat mengambang kembali ke raga. Gegas aku membayar upah taksi, lalu turun setelah mobil sampai di kediaman Pak Zaidan.

Rumah tampak kosong saat salam yang kuberi hanya dibalas kebisuan. Rumah minimalis dengan dua lantai itu, seolah mengabarkan padaku bahwa penghuninya sedang berada di luar.

Entah urusan apa yang membawa Pak Zaidan pergi meninggalkan aku sendirian di rumah sakit. 

Mungkin ini jawaban dari kebingungan yang sempat menggorogotiku tadi. Buru-buru aku masuk ke kamar yang terdapat di sisi tangga. Menaruh hasil pemeriksaan yang sudah diremas membentuk bulatan masuk ke kotak perhiasan. Perhiasan yang dulunya menjadi mas kawin yang hingga kini belum pernah kupakai. Cincin pernikahan pun sengaja aku lepas agar tidak memancik api curiga orang-orang. Kotak perhiasan berwarna kuning keemasan itu, aku letakkan ke dalam kotak sepatu, lalu menaruhnya di tumpukan selimut tepat di bagian paling bawah lemari.

Dahi sampai berkeringat dengan napas memburu. Jemariku masih gemetar selesai menyimpan bukti lab itu. Pikiran pecah ke mana-mana.

Bagaimana kalau sampai Ibu Mareta tahu soal ini? Wanita single parents itu pasti akan marah besar. Mana sudi dia punya menantu seorang pembantu dan yatim-piatu sepertiku. Apalagi kalau sampai dia tahu, seorang pembantu ini tengah mengandung keturunannya. 

Aku tidak ingin berakhir di kolong jembatan. Uang tabungan belum cukup untuk menghidupiku dan anak ini nanti. 

Masih hangat di ingatan, saat delapan bulan lalu tanpa belas kasih, Bu Mareta mengusir seorang pembantu dan putrinya dari rumah Pak Zaidan karena kedapatan masuk ke kamar Tuan Zaidan hanya memakai tank top dan celana pendek sepaha. Memang sudah beberapa kali putri dari pembantu itu memperlihatkan gelagat ketertarikannya pada Tuan Zaidan. Sayang, saat itu perilaku kurang sopannya tertangkap basah oleh Bu Mareta yang datang bertamu dan langsung naik ke lantai atas.

Teringat jelas wajah kaget Pak Zaidan yang baru keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk saat gadis dan ibunya dimarahi Ibu Mareta tepat di depan pintu kamar Pak Zaid. Bahkan tanpa perasaan, Bu Mareta mencaci-maki gadis itu di depan semua pekerja dan mengusir mereka. Tidak peduli malam itu hujan deras mengguyur kota Bandung.

Terlepas dari reaksi Bu Mareta nanti, aku tidak bisa membayangkan wajah syok Pak Zaidan. Tentu aku masih ingat tujuan dia menikahiku. Jelas bukan untuk mendapatkan keturunan.

"Oke, tenang, Reen. Kamu hanya perlu tenang." Aku mengusap dada seraya mengatur napas.

Setelah ini, aku mungkin harus membakar hasil lab itu.

***

Malam ini tidak seperti biasanya. Pak Zaidan yang biasa pulang di atas jam sembilan, bahkan sampai jam sepuluh malam, kini pulang selesai azan Isya berkumandang. Selepas dari Masjid, dia bahkan langsung makan makanan yang telah kuhidangkan dan langsung menyusulku ke kamar.

Aku membiarkannya duduk bersandar menguasai kasur. Sambil menyisir rambut yang masih setengah basah, aku meliriknya dari cermin. Entah apa yang dia lakukan di handphone dengan mimik serius itu. Setelah mengoles krim malam dan serum, aku meraih hairdryer untuk mengeringkan rambut hitam panjang yang tadi dikeramas.

Hingga sebuah tangan menyentakku. Dengan cepat hairdryer berpindah ke tangannya. Aku hanya diam melirik Pak Zaidan dari cermin. Menyaksikan sendiri wajah tampan itu terlihat serius membelai satu per satu rambutku.

"Lain kali keringkan pakai handuk. Keseringan pakai hairdryer bisa bikin rambut kering dan mudah rontok."

Aku bergumam, tidak tahu harus merespon apa. Perlakuannya terlalu tiba-tiba.

Memangnya sejak kapan dia memperhatikan rambutku? Hampir sepuluh bulan menikah, dia hanya datang ke kamar untuk menid*riku, lalu pergi setelah kebutuhannya tersalurkan. 

Selesai dengan rambut, jemarinya bertengger nyaman di bahuku. Tatapan tajam netra legam itu menusuk melalui pantulan cermin. Satu tangannya mengusap-usap bahu hingga ke lengan.

Melihat gelagatnya, sepertinya aku mulai peka maksud dari sikap lelaki berusia 27 tahun ini.

"Ai, saya—"

"Lakukan, Pak!" 

Tatapanku tajam menelisik matanya melalui kaca di meja rias. Hingga kubiarkan dia bertindak sesukanya padaku. 

Sebagai istri, jiwa dan raga adalah hak penuh suami. Aku bisa apa selain berkata iya di setiap permintaannya atas diriku.

"Ai," bisiknya di telinga saat kami selesai dengan ibadah malam, berbaring saling membagi selimut. 

Deru napasnya menyapu tengkuk menimbulkan sensasi aneh. Aku membiarkannya memeluk dari belakang. Tangan kekar itu mengusap perutku, hal yang akhir-akhir ini sering dia lakukan. Namun, kali ini menimbulkan efek menyenangkan di dalam sana. Seolah ada sesuatu yang ikut merasakan sentuhan lembut itu.

"Sekali lagi, saya mau usaha saya cepat membuahkan hasil!"

Aku tertegun, tak dapat memahami ucapannya setelah tubuhku dibalik paksa hingga terlentang. Bukan sekali, tapi dia menghabisi hingga seinci pun tidak ada yang tersisa. Aku lemah di bawah rengkuhannya, membiarkan kepalaku bersandar nyaman di dada bidang pria itu.

"Pak," bisikku lemah tepat di dadanya.

"Ya?" 

Sahutannya lembut dan serak. Usapan di kepala terasa amat nyaman sampai mataku ingin terpejam dibuatnya.

"Kalau nanti, Bapak sudah bosan dengan tub*h saya, bilang, ya." Agar nanti saya bisa pergi dengan tenang.

Dia tak menjawab, hanya mengusap kepalaku sambil sesekali menciumnya. Rengkuhan tangan kekar Pak Zaidan mengerat bahkan rasanya nyaris mencekik tubuh ringkih ini.

Dalam pelukannya aku tersenyum mulai menyelami alam mimpi. Mengenang kembali ke masa putih abu-abu.

***

"Gendut!"

"Zareen, kamu kok, kayak mayat hidup berjalan?"

"Hei, Endut!"

Candaan-candaan dan tawa itu selalu hadir di mana pun aku berada. Seolah akan kurang rasanya tanpa kata-kata itu jika ada aku di sana. 

Rangkaian cemoohan menjadi cemilanku sehari-hari. Entah di sekolah atau di rumah. Tidak sedikit keluarga atau sepupu yang menjadikan kata serupa sebagai bahan candaan. Aku? Aku hanya diam sambil tertawa mendengarnya.

Biarkan mereka bahagia dengan hinaan itu padaku. 

Hidup hanya permainan Tuhan. Tugas manusia hanya memerankan dan memenangkan permainan itu.

Setidaknya itu harapan yang selalu kutanamkan dalam-dalam, bahkan hingga ke alam bawah sadar. Kadang kala, Ibu sering melihatku tersenyum di tidur malamku alih-alih menangis seperti korban bully kebanyakan.

Semua terasa biasa, sebelum aku mengenal murid pindahan dari Jakarta. Zaidan Arkana Malik namanya. Lelaki sepantaranku yang usianya delapan bulan di atasku. Dia pria baik, setidaknya itu yang dapat aku baca melalui kacamata sebagai seorang perempuan.

Kata orang, kan, wanita itu dibekali ilmu intuisi mendarah daging yang tiada tandingannya. Begitu juga caraku memandangnya. Pakai intuisi.

Dorongan dari belakang membuatku nyaris jatuh. Gegas aku menoleh ke samping, melihat Fani dan sekawannya yang baru saja menabrak bahuku.

"Eh, hei, Ndut! Minta satu, ya!" Fani berlalu dengan satu-satunya sosis yang kupunya.

Aku hanya tersenyum melihatnya, lalu menghela napas dalam melihat nasi yang cuman secentong dengan garga 5.000-an sudah bertahta di tanah. Pandangan kembali jatuh pada dua tempe goreng dan sambal yang tersisa di piring. 

Ya, makan itu ajalah. Sabar, sudah jam dua belas lewat empat puluh ini. Sedikit lagi jam tiga lima belas juga pulang ke rumah. Aku bisa makan sepuasnya.

Sebelum kembali melanjutkan langkah mencari kursi kosong, aku merunduk hendak mengambil botol tumbler yang tadi ikut jatuh saat Fani menubruk dari belakang. Belum sempat menggapai botol minum itu, sebuah tangan lebih dulu meraihnya.

"Nih, lain kali hati-hati."

Senyumku terulas menerima botol itu, lalu memandang haru punggung tegap yang baru saja berlalu bersama teman-temannya.

Itu kali pertama anak baru bernama Zaidan Arkana Malik menegurku. Setelahnya, tidak ada lagi sapaan atau satu kata dua patah darinya untukku. Bahkan saat kami tidak sengaja berpapasan, dia hanya lewat begitu saja. Melirik pun seolah enggan.

Meski sikapnya sedingin itu, tapi aku tetap mengklaim dirinya adalah anak yang baik. Sebaik dia mengambilkan botol minumku yang jatuh karena Fani. 

Hari-hari berlalu dan aku masih jadi Zareen yang sama. Anak supir angkot yang beruntung bisa masuk SMA elite di Bandung melalui jalur undangan dan prestasi. Aku pun, tetap Zareen yang penuh olokan dari teman sejawatnya.

"Reen, kerjain PR-ku dong."

Alis mengernyit melihat pria itu. Kenapa dia selalu meminta bantuan anak IPS sepertiku untuk mengerjakan soal kimianya? 

"Maaf, Ri, aku enggak bisa," kataku tidak enak hati sambil menekan perut dari bawah meja. Mungkin karena sudah dua hari ini aku suka menunda makan.

Bukan suka sih, tepatnya tidak punya uang jajan. Mau bawa bekal, persediaan di dapur sudah habis, sekalinya ada harus mengirit. 

"Aelah, hayuklah! Aku traktir makan sepuasnya, deh. Mau, ya?"

Wih, mataku langsung berbinar. Namun, rasa membelit di perut rupanya tidak singkron dengan isi kepala. 

Aku menggeleng kembali menolak. Namun, Haris tetap memaksa hingga akhirnya suara bel membuatnya menyerah dengan sedikit menendang kaki meja kesal. Reaksi Haris cukup membuatku takut.

Usai bel istirahat berbunyi, aku gegas ke toilet memuntahkan isi perut yang hanya berisi air dan teh manis yang sempat kuseduh tadi pagi. Berakhir aku duduk sendiri di kelas sambil merebahkan kepala di meja. Rasanya perutku seperti dibelit tali tambang. Perih!

"Nih. Lain kali bawa bekal sama obat!" 

Mataku masih mengerjap lambat menatap obat maag cair dan bekal lengkap dengan botol minum di meja. Hingga pandangan mengarah pada pintu di mana Zaidan menghilang.

Senyumku sontak mengembang.

"Kan, dia baik."

"Iya, kamu itu baik. Terlalu baik malah buat aku yang bukan apa-apa ini." Kubelai lembut wajahnya yang terpejam damai.

Senyumku tersungging getir mengingat masa sekolah dulu. Kami yang berjarak, siapa sangka kini sedekat ini meski jarak itu masih terasa kental membentang di antara kami. Sebuah penyekat tak kasatmata.

Siapa sangka, teman sekelasku yang amat dingin, tapi punya sejuta cara dalam memberi perhatian kecil menjadi majikanku, lalu merangkap menjadi seorang suami.

Sejak awal menikah dengannya, aku sudah siap untuk dicerai. Namun, sepuluh bulan mengemban status istri meski diam-diam, perasaanku mulai berat melepaskan. Ada sesuatu yang mengikat, tetapi tak aku pahami.

"Kalau aku harus melepaskan, sementara aku enggak sanggup bagaimana?" gumamku entah pada siapa.

Denting jam seolah berbisik menyadarkanku yang selalu asik dengan segala pikiran yang menjerat. Melihat jarum menunjukkan pukul dua lewat dua puluh menit, gegas aku turun dari kasur. 

Salat malam sepertinya jauh lebih baik ketimbang aku mengawan dengan segala macam was-was. Bukankah salat jalan pemecah permasalahan duniawi? Aku yakin Allah bisa memberi solusi untuk semua problema hamba-Nya. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
jd babu merangkap istri simpanan pemuas nafsu. harusnya bayaran mu dobel tu reen dan melebihi bayaran lonte. terlalu goblok
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status