Setelah semua proses pemakaman selesai, Raihanah masih terdiam di ruang tengah. Di ujung sofa, ia merenung cukup lama. Rasa sesak di dada sangat menyiksa sampai membuatnya menghela napas berulang kali.
Abaya putih masih melekat di tubuhnya. Wajah sembab dan hidung memerah serta berair. Meski sudah mempersiapkan diri, tapi rasanya ternyata masih sesakit itu.
Ia menikah dengan Lukman tiga tahun yang lalu. Dua tahun mereka habiskan dengan penuh kebahagiaan dan satu tahunnya lagi habis dengan penyakit yang menimpa pria itu.
Begitu sulit untuk ikhlas kendati akal sehatnya terus menyuruh. Ia mengingat setiap pesan Lukman yang dibungkus dalam percakapan mereka sehari-hari.
Seperti lima bulan yang lalu. Saat Raihanah menyiapkan obat untuk Lukman sementara pria itu memaksakan diri untuk bersandar di sofa meski napasnya terengah-engah.
“Hanah, kalau Abang dipanggil Allah, Hanah mau menikah lagi tidak?”
Raihanah mengerutkan kening cukup dalam sambil menghentikan gerakannya membuka bungkusan obat. Ia bergeser ke sudut sofa untuk melihat wajah Lukman secara jelas.
“Abang kenapa bertanya begitu?” Raihanah tidak senang dengan pernyataan itu.
“Tidak. Di umur berapa pun, Abang pasti bakal dipanggil, ‘kan? Hanah pun begitu, Ummi juga. Semua manusia akan dipanggil oleh Allah kalau sudah tiba waktunya.”
“Ah, begitu ya.” Raihanah kembali membuka bungkusan obat dan mengumpulkannya di atas telapak tangan dengan perasaan yang cukup lega.
“Kalau misal, Abang yang dipanggil duluan. Jika ada pria baik-baik yang ditakdirkan untukmu, maukah Hanah menikah dengannya?”
Menarik napas dalam-dalam, Raihanah menghitung jumlah pil di tangannya sambil memikirkan jawaban dari pertanyaan Lukman. Akhir-akhir ini Lukman sering menanyakan hal-hal aneh.
“Hanah menghormati pria itu, tapi … Abang tahu laki-laki yang Hanah hormati dan cintai hanya Abang.”
Lukman tersenyum miris. “Abang tidak tahu harus merasa senang atau tidak saat mendengarnya.”
Sampai di situ, ingatan Raihanah berhenti. Ia bisa menyimpulkan maksud Lukman menanyakan hal itu. Ternyata Lukman sudah memikirkannya sejak lama.
“Abang sudah berjanji pada orang tuamu. Abang khawatir tidak bisa memenuhi janji itu untuk waktu yang lama.”
Itu adalah sekian banyak perkataan aneh yang diucapkan Lukman seolah dia sudah tahu seberapa lama lagi waktunya di dunia ini.
Hari ini Lukman membuktikannya. Ia tidak mampu menjaga janjinya pada kedua orang tua Raihanah. Namun, Raihanah tidak pernah berekspektasi jika pria itu akan akan menikahkannya dengan laki-laki lain.
“Hanah, sudah dua jam kamu di sini.”
Ramlah datang dari dalam. Masih dengan gamis yang sama. Sama seperti Raihanah, wajah Ummi juga pucat. Lingkaran hitam membias di bawah mata dan mereka sama-sama tahu, bahwa mereka tidak baik-baik saja.
“Sekarang sudah tenang. Semua orang sudah pergi. Rasanya sangat sepi, Ummi. Hanah sedang mencoba membiasakan diri.” Raihanah mengedarkan pandangan pada rumah besar yang keseluruhannya bercat putih itu.
Lebih tepatnya sengaja menghindari tatapan Ummi, sebab air matanya pasti akan bercucuran lagi.
“Membiasakan diri bukan berarti kamu harus melamun selama berjam-jam. Sana mandi. Biar Ummi yang bereskan rumah.”
Raihanah menggeleng cepat. “Mana bisa begitu. Biar Hanah yang beres-beres.”
“Nggak, Ummi aja.” Ummi memberikan tatapan tegasnya. “Ganti baju kamu, udah bau asem itu.” Ummi mengibaskan tangan di depan hidung sambil mengernyit.
Raihanah mencebik berpura-pura kesal sambil bangkit dari sofa. Mendumelkan betapa serakahnya sang ummi yang ingin mengambil semua pekerjaan rumah.
Mereka saling bercanda dan menggoda, mengobrol seperti biasanya tanpa memperlihatkan lubang besar yang menganga itu. Ada celah kosong yang berusaha mereka tutupi.
“Hanah, ini surat terakhir yang diberikan Lukman, sengaja dititipkan ke Ummi. Ummi kasih sekarang saja.”
Tepat di saat Raihanah selesai mandi, Ummi mengetuk pintu dengan gamis yang sudah diganti dengan daster panjang. Tangannya sedikit bergetar. Saat melarikan pandangan ke wajah Ummi, mata wanita itu memerah dan sembab.
Raihanah tahu, isi amplop putih itu bukanlah kabar yang baik.
“Setelah itu, keluarlah untuk makan malam. Ummi sudah masakkan sop kol kesukaan kamu.”
Ummi memutar tubuh dengan badan yang tegap. Memperlihatkan ketegaran yang palsu, sebab Raihanah bisa membayangkan seberapa banyak Ummi menangis dan meratap. Ummi selalu saja begitu. Bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.
Mengabaikan rasa pening di kepala, Raihanah kembali menutup pintu kamar. Duduk di tepi ranjang hanya untuk mendapati hatinya yang meragu. Ada ranjau berbahaya di dalam amplop itu yang akan membuat perasaannya semakin amburadul. Raihanah sangat yakin.
Jari-jari lentiknya membuka lipatan kertas. Di bagian atas muncul kalimat pembuka.
-Surat terakhir-
Hanya dengan itu, dada Raihanah tertusuk dengan sangat cepat. Ia tidak berani membuka lipatan selanjutnya. Pendingin ruangan yang tidak menyala menambah rasa panas di sekujur tubuh.
Raihanah, istriku.
Ini adalah déjà vu yang sangat perih. Saat Abang menyaksikanmu menangisi kedua orang tuamu yang sedang meregang nyawa di rumah sakit. Ketika mereka memberi Abang pesan terakhir untuk menikahimu detik itu juga.Sejak saat itu, Abang berjanji untuk memberimu rumah yang nyaman dan aman, rumah yang kamu senangi, rumah yang meskipun tidak ada Abang di dalamnya, kamu akan tetap tersenyum.
Saat kamu membaca surat Abang ini, maka kamu pasti sudah mendengar kembali pesan terakhir dari orang yang akan menghilang dari hidupmu, pesan terakhir dari Abang.
Janganlah menangis terlalu lama, Raihanah. Abang tidak menginginkannya. Abang titipkan Raihanah pada adik Abang dengan harapan Raihanah akan mendapatkan rumah yang nyaman. Dengan begitu, Abang tidak akan malu jika bertemu dengan orang tuamu nanti.
Di mana pun Abang berada, meski tidak lagi bernapas di dunia ini, Abang akan selalu mencintai Raihanah.
Sampai di situ, tangan Raihanah gemetar hebat. Matanya berembun sampa-sampai deretan huruf yang ditulis agak berantakan itu menjadu buram. Matanya terasa pedih seperti baru saja diolesi saos.
Ternyata Lukman sudah merencanakannya dari jauh-jauh hari. Niatnya telah ia matangkan untuk menikahkan Raihanah dengan adiknya.
“Tapi istri seperti Raihanah tidak pantas disumbangkan. Dia terlalu baik dan nyaris sempurna untuk diberikan pada adik tiri rendahan seperti saya.”Sampai di situ, Fathul memutar tubuhnya kembali dan cepat-cepat meninggalkan kamar sebelum sempat melihat ekspresi bersalah di wajah Ramlah. Dulu saat menatap anak itu, diam-diam Ramlah memberikan tatapan penghakiman agar anak itu sadar bahwa ibunya sudah merebut tiang rumah orang lain. Tapi sepertinya apa yang dia lakukan dulu begitu membekas di hati anak itu hingga sekarang. “Bang Misan, kebaikan yang kau berikan pada orang lain, menciptakan luka di hati banyak orang.”Hati Ramlah terenyuh. Matanya terasa pedih menahan genangan air yang siap tumpah. “Selama puluhan tahun, kupikir kau sengaja mendua karena aku tak cukup cantik dalam pandanganmu, tak cukup baik, dan tidak cukup sempurna menjadi istrimu. Ternyata kau hanya membantu wanita itu dan tak pernah menyentuhnya sekalipun. Maaf karena telah berburuk sangka selama puluhan tahun
Fathul mengetuk pintu kamar sebelah sembari memegang nampan berisi sup ayam, nasi, dan segelas air. “Masuk.” Ia perlahan mendorong pintu dan menemukan Ramlah yang sedang berjalan dengan hati-hati sambil berpegangan pada dinding. Sepertinya ia baru saja dari kamar mandi. Fathul berdiri mematung sampai Ramlah duduk di tepi ranjang. Mata mereka bertemu dan saling berpandangan. Fathul menemukan kepasrahan dalam mata wanita itu. “Tidak usah repot-repot.” Fathul meletakkan nampan di atas nakas lalu mengambil bungkusan obat di laci ketiga. Satu per satu butiran pil ia keluarkan dari kemasannya. Lima butir obat diberikannya pada Ramlah. “Hanah tidak bersalah," ucap Fathul tiba-tiba.Ramlah mematung dengan gelas di tangan kiri dan obat di tangan kanan. Dilihatnya tekad yang besar di mata anak itu. “Sayalah yang mengejarnya lebih dulu. Saya yang jatuh cinta dengannya pertama kali.” “Melihatmu repot-repot datang untuk menjelaskan itu, membuatku seperti mertua yang egois dan jahat.”“Mesk
“Aku cukup kaget karena Nak Fathul tiba-tiba menghubungi dan meminta bertemu. Bagaimana kabar istrimu?”Di mushola pesantren Al-Jannah—tempat yang sama saat dia melakukan akad pernikahan bersama Raihanah—Fathul menemui Ustadz Ridwan. Senyum pria yang sebaya dengan Misan Malik itu selalu saja terlihat bijak. Setiap kali melihatnya, Fathul sering kali teringat dengan Misan.“Saya minta maaf kalau sudah menyita waktu Ustadz.”“Nak Fathul adalah putra dari sahabatku, tidak mungkin aku menolak. Nah, kapan pun kamu meminta untuk bertemu, Insya Allah aku akan selalu menyediakan waktu.”“Terima kasih, Ustadz.” Fathul mendapatkan tepukan ringan yang terasa hangat di punggung. Ia memperbaiki posisi duduk, menunduk dalam-dalam dan memasang wajah yang serius. “Sebagai istri yang diamanatkan oleh Lukman agar saya menjaganya, bolehkah saya menaruh perasaan padanya, Ustadz?”Ustadz Lukman menatapnya lama lalu sekejap kemudian bernapas lega. “Tak ada yang salah dengan mencintai istri sendiri, Nak.
“Akhirnya aku menemukan rumahku.” Raihanah tertegun, dia uraikan pelukan mereka untuk mencari tahu maksud perkataan pria itu. Yang ia tangkap pertama kali adalah tatapan hangat nan intens yang Fathul lemparkan padanya. “Aku tidak tahu, tapi kamu seolah selalu bisa mengerti semua isi hatiku dengan baik. Apa rahasianya, hm?” Raihanah tak mampu mengantisipasi serangan perasaan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Harusnya ia tak melangkah sejauh ini. Mestinya dia tidak memberikan harapan sebesar itu pada Fathul. Jari pria itu mengusap pipinya. Entah kapan kening mereka tiba-tiba menyatu hingga ia bisa merasakan embusan napas Fathul di wajahnya. “Apakah aku diizinkan?” Raihanah memejamkan mata, merasakan pergolakan batin yang hebat dalam dirinya. Sekarang dia adalah istri Fathul, istri yang sah secara agama dan negara. Saat pria itu menyentuhnya, Raihanah merasa baik-baik saja. Ia merasa tak keberatan. Maka Raihanah mengangguk pelan. Membiarkan kala Fathul membuka mukenanya hingga h
Untuk pertama kalinya setelah memutuskan tinggal di apartemen ini, akhirnya Raihanah bisa berdiri sebagai makmum. Di depannya Fathul mengangkat tangan sebagai permulaan sholat mereka. Punggung pria itu tampak tegang. Suaranya bergetar ketika memulai bacaan Al-Fatihah. Dalam tundukan kepalanya, Raihanah sempat terpaku mendengar lantunan ayat yang indah, merdu dengan tajwid yang benar dan pelafalan yang jelas.Fathul sudah sangat lama tidak melakukannya. Rasanya seperti berada dalam kegelapan. Namun, tak menyesakkan sama sekali. Pikirannya tenang dan tak tercampur dengan apa pun. Aliran darahnya bagai air yang mengalir pelan. Ini adalah gelap yang menenangkan. Seusai doa diaminkan, pria itu berbalik. Memperlihatkan wajahnya yang sendu dengan sorot mata yang kebingungan. Napasnya terhela dengan berat. Ia menatap Raihanah seolah meminta pendapat soal caranya mengimami. Raihanah meraih tangan Fathul dan mengecupnya, menempelkannya di kening cukup lama dan mendoakan dalam hati semoga Fat
Raihanah bangun di sepertiga malam dan mendapati ada lengan yang melingkar di perutnya. Untuk waktu yang lama ia terdiam kaku. Mengingat dirinya sedang di posisi apa sebelum tidur. Seingatnya Fathul menautkan jari jemari mereka seperti kemarin malam lalu mengobrol sejenak kemudian tertidur. Jantung Raihanah hampir mencelos keluar. Ia bekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara apa pun. Perlahan dengan tangan gemetar, Raihanah mencoba melepaskan belitan Fathul. Mengangkat lengan yang berat itu dengan hati-hati. Fathul bergerak. Spontan Raihanah berhenti. Setelah memastikan Fathul tidak bergerak lagi, ia meletakkan tangan pria itu sambil berusaha tidak membuat suara apa pun.Ia mengambil wudhu lalu menggelar sajadah di samping ranjang. Menunaikan Tahajud dan mendoakan agar Fathul diberikan hidayah dan keberanian untuk menggapai iman. “Ya Malik, Ya Quddus, hamba memohonkan hidayah dan petunjuk untuk suami hamba.” Diliriknya Fathul yang tengah tertidur dengan lelap. “Dia bukan pria yang