Share

5. Surat Terakhir

Setelah semua proses pemakaman selesai, Raihanah masih terdiam di ruang tengah. Di ujung sofa, ia merenung cukup lama. Rasa sesak di dada sangat menyiksa sampai membuatnya menghela napas berulang kali. 

Abaya putih masih melekat di tubuhnya. Wajah sembab dan hidung memerah serta berair. Meski sudah mempersiapkan diri, tapi rasanya ternyata masih sesakit itu. 

Ia menikah dengan Lukman tiga tahun yang lalu. Dua tahun mereka habiskan dengan penuh kebahagiaan dan satu tahunnya lagi habis dengan penyakit yang menimpa pria itu. 

Begitu sulit untuk ikhlas kendati akal sehatnya terus menyuruh. Ia mengingat setiap pesan Lukman yang dibungkus dalam percakapan mereka sehari-hari.

Seperti lima bulan yang lalu. Saat Raihanah menyiapkan obat untuk Lukman sementara pria itu memaksakan diri untuk bersandar di sofa meski napasnya terengah-engah. 

“Hanah, kalau Abang dipanggil Allah, Hanah mau menikah lagi tidak?”

Raihanah mengerutkan kening cukup dalam sambil menghentikan gerakannya membuka bungkusan obat. Ia bergeser ke sudut sofa untuk melihat wajah Lukman secara jelas. 

“Abang kenapa bertanya begitu?” Raihanah tidak senang dengan pernyataan itu. 

“Tidak. Di umur berapa pun, Abang pasti bakal dipanggil, ‘kan? Hanah pun begitu, Ummi juga. Semua manusia akan dipanggil oleh Allah kalau sudah tiba waktunya.”

“Ah, begitu ya.” Raihanah kembali membuka bungkusan obat dan mengumpulkannya di atas telapak tangan dengan perasaan yang cukup lega.

“Kalau misal, Abang yang dipanggil duluan. Jika ada pria baik-baik yang ditakdirkan untukmu, maukah Hanah menikah dengannya?”

Menarik napas dalam-dalam, Raihanah menghitung jumlah pil di tangannya sambil memikirkan jawaban dari pertanyaan Lukman. Akhir-akhir ini Lukman sering menanyakan hal-hal aneh. 

“Hanah menghormati pria itu, tapi … Abang tahu laki-laki yang Hanah hormati dan cintai hanya Abang.”

Lukman tersenyum miris. “Abang tidak tahu harus merasa senang atau tidak saat mendengarnya.”

Sampai di situ, ingatan Raihanah berhenti. Ia bisa menyimpulkan maksud Lukman menanyakan hal itu. Ternyata Lukman sudah memikirkannya sejak lama. 

“Abang sudah berjanji pada orang tuamu. Abang khawatir tidak bisa memenuhi janji itu untuk waktu yang lama.”

Itu adalah sekian banyak perkataan aneh yang diucapkan Lukman seolah dia sudah tahu seberapa lama lagi waktunya di dunia ini.

Hari ini Lukman membuktikannya. Ia tidak mampu menjaga janjinya pada kedua orang tua Raihanah. Namun, Raihanah tidak pernah berekspektasi jika pria itu akan akan menikahkannya dengan laki-laki lain. 

“Hanah, sudah dua jam kamu di sini.” 

Ramlah datang dari dalam. Masih dengan gamis yang sama. Sama seperti Raihanah, wajah Ummi juga pucat. Lingkaran hitam membias di bawah mata dan mereka sama-sama tahu, bahwa mereka tidak baik-baik saja. 

“Sekarang sudah tenang. Semua orang sudah pergi. Rasanya sangat sepi, Ummi. Hanah sedang mencoba membiasakan diri.” Raihanah mengedarkan pandangan pada rumah besar yang keseluruhannya bercat putih itu. 

Lebih tepatnya sengaja menghindari tatapan Ummi, sebab air matanya pasti akan bercucuran lagi. 

“Membiasakan diri bukan berarti kamu harus melamun selama berjam-jam. Sana mandi. Biar Ummi yang bereskan rumah.” 

Raihanah menggeleng cepat. “Mana bisa begitu. Biar Hanah yang beres-beres.”

“Nggak, Ummi aja.” Ummi memberikan tatapan tegasnya. “Ganti baju kamu, udah bau asem itu.” Ummi mengibaskan tangan di depan hidung sambil mengernyit. 

Raihanah mencebik berpura-pura kesal sambil bangkit dari sofa. Mendumelkan betapa serakahnya sang ummi yang ingin mengambil semua pekerjaan rumah. 

Mereka saling bercanda dan menggoda, mengobrol seperti biasanya tanpa memperlihatkan lubang besar yang menganga itu. Ada celah kosong yang berusaha mereka tutupi. 

“Hanah, ini surat terakhir yang diberikan Lukman, sengaja dititipkan ke Ummi. Ummi kasih sekarang saja.”

Tepat di saat Raihanah selesai mandi, Ummi mengetuk pintu dengan gamis yang sudah diganti dengan daster panjang. Tangannya sedikit bergetar. Saat melarikan pandangan ke wajah Ummi, mata wanita itu memerah dan sembab. 

Raihanah tahu, isi amplop putih itu bukanlah kabar yang baik. 

“Setelah itu, keluarlah untuk makan malam. Ummi sudah masakkan sop kol kesukaan kamu.”

Ummi memutar tubuh dengan badan yang tegap. Memperlihatkan ketegaran yang palsu, sebab Raihanah bisa membayangkan seberapa banyak Ummi menangis dan meratap. Ummi selalu saja begitu. Bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. 

Mengabaikan rasa pening di kepala, Raihanah kembali menutup pintu kamar. Duduk di tepi ranjang hanya untuk mendapati hatinya yang meragu. Ada ranjau berbahaya di dalam amplop itu yang akan membuat perasaannya semakin amburadul. Raihanah sangat yakin.

Jari-jari lentiknya membuka lipatan kertas. Di bagian atas muncul kalimat pembuka. 

-Surat terakhir-

Hanya dengan itu, dada Raihanah tertusuk dengan sangat cepat. Ia tidak berani membuka lipatan selanjutnya. Pendingin ruangan yang tidak menyala menambah rasa panas di sekujur tubuh. 

Raihanah, istriku. 

Ini adalah déjà vu yang sangat perih. Saat Abang menyaksikanmu menangisi kedua orang tuamu yang sedang meregang nyawa di rumah sakit. Ketika mereka memberi Abang pesan terakhir untuk menikahimu detik itu juga.

Sejak saat itu, Abang berjanji untuk memberimu rumah yang nyaman dan aman, rumah yang kamu senangi, rumah yang meskipun tidak ada Abang di dalamnya, kamu akan tetap tersenyum. 

Saat kamu membaca surat Abang ini, maka kamu pasti sudah mendengar kembali pesan terakhir dari orang yang akan menghilang dari hidupmu, pesan terakhir dari Abang. 

Janganlah menangis terlalu lama, Raihanah. Abang tidak menginginkannya. Abang titipkan Raihanah pada adik Abang dengan harapan Raihanah akan mendapatkan rumah yang nyaman. Dengan begitu, Abang tidak akan malu jika bertemu dengan orang tuamu nanti. 

Di mana pun Abang berada, meski tidak lagi bernapas di dunia ini, Abang akan selalu mencintai Raihanah.

Sampai di situ, tangan Raihanah gemetar hebat. Matanya berembun sampa-sampai deretan huruf yang ditulis agak berantakan itu menjadu buram. Matanya terasa pedih seperti baru saja diolesi saos. 

Ternyata Lukman sudah merencanakannya dari jauh-jauh hari. Niatnya telah ia matangkan untuk menikahkan Raihanah dengan adiknya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status