Tiga hari berlalu sejak pemakaman Lukman. Raihanah layaknya robot yang menampilkan senyum tipis saat menyambut kedatangan Ustadz Ridwan. Di depan pintu yang sangat lebar itu, Fathul muncul di belakangnya dengan raut datar tanpa senyum sedikit pun.
Baru kali ini Raihanah bisa melihat jelas seperti apa rupa adik suaminya itu. Jika Lukman berambut ikal dengan kulit cerah dan bersih, maka Fathul memiliki kulit kecokelatan dengan wajah seperti perpaduan Turki dan Indonesia.
Dia tidak setinggi Lukman, hanya saja caranya berjalan sangatlah tegap, pun saat ia duduk. Tubuhnya lebih berotot dan sorot matanya dingin seperti tidak peduli pada sekitar.
Tatap mata, ragam ekspresi, serta cara bicaranya sangat berbeda dengan Lukman yang hangat dan lembut.
Raihanah meletakkan satu cangkit teh di hadapan Ustadz Ridwan lalu menggeser cangkir lainnya untuk Fathul. Lelaki itu tidak menngucapkan apa-apa seperti Ustadz Ridwan yang mengucapkan terima kasih.
“Untuk memulai, alangkah baiknya kita berdoa dulu, agar Allah merahmati kita. Tujuan kami datang ke sini untuk menyelesaikan segala perkara dan amanat yang sudah dititipkan Lukman.”
Ustadz Ridwan memimpin doa. Sekilas pandangan Raihanah tak sengaja tertumbuk pada Fathul yang tak mengangkat kedua tangan. Pandangan mereka bertemu dan lelaki itu menatapnya sangat tajam. Raihanah sempat terpaku sebelum kembali menunduk, fokus pada doanya.
“Alhamdulillah, kita sudahi doanya. Sesungguhnya … segala yang ada pada diri kita adalah titipan, kepunyaan Sang Maha Kuasa. Ikhlas memang sulit, tapi kita perlu belajar setiap hari. Insya Allah, segalanya akan terganti dengan yang lebih baik.”
Ustadz Ridwan mengedarkan pandangan pada tiga orang yang berada di lingkaran sofa. Mereka adalah orang-orang yang telah kehilangan berkali-kali. Ada yang berpura-pura tegar, ada yang bersandiwara baik-baik saja, ada pula yang menekan kesakitan sampai terlihat seperti tidak merasakan apa-apa.
“Pertama-tama, soal warisan. Lukman menyerahkan 1/6 untuk ibunya sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Allah. Raihanah mendapatkan ¼ dari semua harta yang dimiliki Lukman karena Nak Hanah tidak memiliki seorang anak. Sisanya akan diberikan untuk pembangunan pesantren dan masjid serta disumbangkan kepada anak-anak yatim.”
Raihanah tidak mengharapkan apa-apa soal warisan itu. Tak ada kelegaan ataupun rasa senang karena dia mendapat bagian yang paling banyak.
“Dan untuk adiknya, Fathul Makkah–”
Raihanah terpaku untuk sekian detik. Nama lengkapnya adalah Fathul Makkah? Dengan rasa penasaran, diliriknya pria itu. Jika saja Fathul terlihat mudah didekati, Raihanah barangkali akan melontarkan pujian tentang namanya yang indah.
“Sebuah perusahaan yang dulu sempat kau kelola. Ambillah untuk dirimu sendiri. Lukman merasa kau sanggup mengembangkannya.”
Raihanah melihat rahang Fathul yang mengeras, seperti tengah menahan marah. Bahu pria itu tiba-tiba menegang.
“Apa ada yang merasa keberatan? Tolong dinyatakan sekarang, agar tak ada lagi masalah di kemudian hari.”
Diam-diam Fathul menyeringai. Lagi-lagi Lukman berusaha menegaskan jika Fathul bukanlah siapa-siapa. Hanya seorang anak yang tahu-tahu dipungut di jalanan oleh Misan Malik, yang bebas dia permainkan dan manfaatkan sesuka hatinya.
“Lebih daripada pembagian harta, Lukman ingin mewariskan akhlak yang baik kepada kalian berdua. Jangan contoh sikapnya yang tidak terpuji, tapi junjunglah ajaran-ajaran baik yang almarhum tinggalkan. Sembahlah Allah dan tetaplah menutup aurat apa pun yang terjadi.”
Raihanah maupun Ummi sama-sama mengangguk, menyetujui segala warisan yang lelaki itu tinggalkan. Bahkan tanpa warisan harta pun, Raihanah tidak keberatan sama sekali. Mungkin yang membuat hatinya meragu hanya satu hal.“Karena Nak Hanah sudah setuju, sekarang giliran Nak Fathul. Setujukah untuk menunaikan amanat dari kakakmu?”
……….Sesuap ilmu:
Hukum pembagian warisan menurut Islam.Ibu, bapak, kakek, nenek berhak mendapatkan 1/8Suami (jika tidak memiliki anak): ½Suami (jika memiliki anak): ¼Istri (jika tidak punya anak): ¼ Istri (jika punya anak): 1/8Anak laki-laki: Dua kali bagian anak perempuan.Tidak boleh warisan dibagi sama rata meskipun itu adalah wasiat. Warisan harus dibagi dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah.
Fathul menahan napas. Sejak dulu, ibunya dicap sebagai perebut suami orang, dirinya pun diperlakukan sebagai anak yang harus tahu diri. Karena itu, ia wajib melunasi semua utangnya sekali lagi dengan cara menikahi wanita itu.Raihanah melihat Fathul mengangguk pelan sambil mengucapkan kata ‘ya’ yang terdengar samar. Raihanah tertegun. Ia pikir pria itu akan menolak, sebab sampai saat ini, raut wajahnya amat tertekan. Ia tampak tidak suka berada di tempat ini.“Alhamdulillah. Kalau begitu, Nak Fathul bisa menunggu selama 130 hari. Jika kau ingin berkunjung dan berkenalan dengan Hanah, aku akan mendampingi.”Fathul terdiam seperti biasanya. Tidak pernah terpikir akan kembali datang untuk mengunjungi wanita bernama Raihanah itu. Memangnya untuk apa?Suasana rumah Malik pun terasa pengap dan tidak nyaman.“Sebenarnya juga tidak masalah kau sering berkunjung. Kau adalah bagian keluarga Malik. Menjenguk ibumu yang sedang berduka juga sangat bagus. Bukan begitu, Dik Ramlah?”Fathul melihat R
Mata bulat itu mengerjap. Bulu matanya yang panjang bergerak-gerak. Fathul harap ini adalah pembicaraan pertama dan terakhir mereka. Ia tidak ingin berurusan lebih jauh dengan anggota keluarga Malik. “Rumah saya tidak sebesar rumah Malik untuk menjaga dan melindungimu.”Ia tidak ingin wanita ini berharap apa-apa, sebab dia memang tidak punya apa-apa. Alih-alih mengangguk paham atau bersendu ria, Raihanah malah memicing berani. “Ana tidak perlu dilindungi dan dijaga. Ana pun tidak berharap lebih kepada orang lain. Yang ingin ana perjelas bukan kesediaan antum melindungi ana. Jika pernikahan ini membebani dan mengganggu untuk antum, maka jangan lakukan.”Fathul tertegun. Ia berdiri tegak dan menjauhkan wajah. Wanita ini menerobos masuk ke mobilnya bukan untuk menuntut pertanggung jawaban untuk menjadi suami yang baik?Raihanah menunduk, terlihat seperti merasa bersalah. “Permintaan Bang Lukman sangat tiba-tiba dan terburu-buru. Dia tidak berpikir dengan jernih. Jangan diterima kalau i
Setelah kedatangan Ustadz Ridwan, Ummi juga ikut keluar dari kamarnya. Ustadz Ridwan membawa beberapa santrinya sebagai saksi, sembari meminta maaf karena ia datang lewat tiga puluh menit dari janjinya. Fathul mesti menunggu satu setengah jam. “Alhamdulillah, kita kembali bersua di tempat ini. Sudah lewat 123 hari sejak Nak Lukman meninggalkan kita. Hari ini kita berkumpul untuk mendengar kembali keputusan Nak Fathul.”Fathul duduk dengan kaki terbuka lebar. Kedua tangannya ia satukan di atas paha. Tatapannya lurus ke depan, tajam dengan ekspresi yang dingin. Kemeja dan celana hitamnya semakin menambah aura gelap pria itu. Orang-orang menunggu jawabannya. Ramlah terlihat was-was dan Raihanah menahan napas. Kedua wanita itu pasti mengharapkan kata ‘tidak’ dari mulutnya.“Saya tetap menerima.”Suasana menjadi sangat hening. Hanya Ustadz Ridwan dan ketiga santrinya yang terlihat tenang. “Dengan beberapa syarat kecil.”Maka semakin terbitlah kerutan di antara kedua alis Ramlah. “Meni
Satu langkah lagi, maka Raihanah sudah meninggalkan kediaman Malik yang telah menampungnya selama lebih dari tiga tahun. Rumah yang menjadi saksi suka dan dukanya selama menikah dengan Lukman. Ada pria yang menunggunya di luar sana dan pria itu bukanlah Lukman. Raihanah mencoba mempertahankan senyum di hadapan Ummi dan Ustadz Ridwan sembari menenteng tas kecil bersama satu buah koper. “Hanah baik-baik saja. Ummi tidak perlu khawatir.”Kekhawatiran Ummi terlihat jelas dari wajahnya yang berkerut masam. Sudah berulang kali ia membujuk Ummi untuk ikut dengannya bersama Fathul, tapi Ummi menolak, sebab tidak ingin meninggalkan rumah Malik. Namun, Raihanah tahu arti di balik penolakan itu. Ditolehkannya kepalanya sekilas pada Fathul yang menunggu di samping mobil. Ekspresi lelaki itu tidak pernah berubah, datar dan kaku. “Nak Hanah, hari esok itu selalu berbeda. Tidak ada yang sama. Jika hari ini kau merasa buruk, tidak ada jaminan esok juga akan buruk. Begitu pun sebaliknya.”Raihana
Raihanah ditinggalkan sendirian di dalam kamar yang pencahayaannya kurang ini. Ia tidak tahu mengapa Fathul semarah itu. Apakah karena Raihanah menyelonong masuk ke kamarnya atau mungkin … ia tidak ingin Raihanah berlama-lama tinggal di sini?Raihanah sempat panik karena tiba-tiba Fathul membanting pintu kamarnya di tengah pembicaraan mereka. Ia sampai tidak sadar sudah menerobos ke kamar pria itu. Baru sekarang ia merasakan bahwa kamar yang luas ini terasa pengap. Meski siang, tapi tidak banyak cahaya yang menerangi karena gorden tidak dibuka. Matanya tidak sengaja tertambat pada ranjang yang berantakan. Lemari di sampingnya terbuka dan baju-baju di dalamnya acak-acakan. Ia juga melihat meja kerja yang penuh dengan buku. Beberapa berhamburan di lantai serta kertas-kertas laporan yang tergeletak begitu saja. Raihanah menggigit bibir, menahan diri untuk tidak langsung meluncur membereskan kekacauan itu, sebab ini bukan kamarnya. Dia bahkan mengepalkan tangan erat-erat, gemas dengan
Fathul ingin menghancurkan kepercayaan diri itu. Ia ingin mengikis keangkuhan yang tergambar dari sorot mata itu. Wanita ini bukanlah siapa-siapa. Hanya perempuan yang tak lagi diinginkan Lukman dan diberikan padanya. Ia muak sekali. Utang-utangnya pada keluarga Malik telah lunas ketika dia menikahi Raihanah. Selesai. Bukan berarti wanita ini bisa mengatur dirinya maupun rumahnya seenaknya. Fathul maju dan membangun tembok yang sangat tinggi, melindungi dirinya sendiri dari anggota keluarga Malik yang lagi-lagi mencoba menguasainya. “Sudah saya tekankan di awal, kamu tidak perlu melakukan apa pun. Cukup diam di sini, karena apa pun yang kamu lakukan, saya tidak akan luluh. Saya mengorbankan kehidupan saya untuk menikahimu, harusnya kamu tahu diri.”Ah, andai saja Lukman mendengarnya. Fathul ingin pria itu tahu, seberapa muak dirinya dengan Malik. Raihanah menunduk dan bahunya tampak melemas. Fathul menarik napas untuk menyingkirkan perasaan aneh yang menyertai kemarahannya. “Kar
Fathul mengais-ngais kesadarannya agar tetap terjaga. Entah sejak kapan dia tumbang sampai tidak sadarkan diri. Setiap satu tahun sekali, dia pasti akan demam parah. Jika sudah begitu, hanya Toro yang dia hubungi untuk membawakannya obat dan makanan.Sekarang ia tidak perlu melakukan itu, karena saat dia bangun Raihanah sudah berdiri di ambang pintu, bahkan sampai memberinya bubur dan obat. Saat rasa sakit di kepala semakin menghantam, Fathul memejamkan mata rapat-rapat. Telinganya berdenging dan rasanya ia ingin ambruk kembali ke tempat tidur. Namun, Raihanah pasti akan masuk lagi beberapa menit kemudian dan bersikeras ikut campur.Diliriknya nakas yang berada di samping kanannya. Jaraknya cukup jauh. Ia mesti memutari ranjang. Fathul mencoba menjejakkan kaki kembali ke lantai. Kepalanya tiba-tiba tersengat hingga membuatnya kembali duduk. Fathul memijit kening. Meski begitu, ia tetap mencoba bangkit dan bertumpu pada pinggiran ranjang hingga akhirnya bisa meraih mangkuk bubur itu.
Fathul berakhir dengan disuapi lagi. Baru kali ini ia diberikan perawatan penuh ketika sakit. Rasanya aneh, bahkan di rumah sakit saja perawatannya tidak seintens ini. Dengan telaten Raihanah mengusap bekas kuah sup yang membasahi sekitar bibirnya. Fathul ingin menolak, tapi dia akan terlihat seperti orang yang tidak tahu berterima kasih.“Habis. Bagus.” Wanita itu tersenyum lebar sambil memperlihatkan isi mangkuk yang sudah kosong.Fathul menerima segelas air yang diulurkan Raihanah. Lebih dari rasa sakit yang sejak tadi menerjang kepalanya dan rasa tidak enak di badan, Fathul merasakan hal yang mengganjal. Keberadaan Raihanah yang duduk di pinggir ranjangnya dan menyiapkan obat terasa asing, tapi tidak membahayakan. Tidak pula terasa canggung.Setelah meminum tiga pil, Fathul menarik napas. Menambatkan pandangannya pada Raihanah yang sedang membereskan bungkusan obat.“Kenapa melakukan ini?” Suaranya masih serak dan tenggorokan Fathul terasa sakit setiap kali dia mengeluarkan suar