Setelah kedatangan Ustadz Ridwan, Ummi juga ikut keluar dari kamarnya. Ustadz Ridwan membawa beberapa santrinya sebagai saksi, sembari meminta maaf karena ia datang lewat tiga puluh menit dari janjinya. Fathul mesti menunggu satu setengah jam. “Alhamdulillah, kita kembali bersua di tempat ini. Sudah lewat 123 hari sejak Nak Lukman meninggalkan kita. Hari ini kita berkumpul untuk mendengar kembali keputusan Nak Fathul.”Fathul duduk dengan kaki terbuka lebar. Kedua tangannya ia satukan di atas paha. Tatapannya lurus ke depan, tajam dengan ekspresi yang dingin. Kemeja dan celana hitamnya semakin menambah aura gelap pria itu. Orang-orang menunggu jawabannya. Ramlah terlihat was-was dan Raihanah menahan napas. Kedua wanita itu pasti mengharapkan kata ‘tidak’ dari mulutnya.“Saya tetap menerima.”Suasana menjadi sangat hening. Hanya Ustadz Ridwan dan ketiga santrinya yang terlihat tenang. “Dengan beberapa syarat kecil.”Maka semakin terbitlah kerutan di antara kedua alis Ramlah. “Meni
Satu langkah lagi, maka Raihanah sudah meninggalkan kediaman Malik yang telah menampungnya selama lebih dari tiga tahun. Rumah yang menjadi saksi suka dan dukanya selama menikah dengan Lukman. Ada pria yang menunggunya di luar sana dan pria itu bukanlah Lukman. Raihanah mencoba mempertahankan senyum di hadapan Ummi dan Ustadz Ridwan sembari menenteng tas kecil bersama satu buah koper. “Hanah baik-baik saja. Ummi tidak perlu khawatir.”Kekhawatiran Ummi terlihat jelas dari wajahnya yang berkerut masam. Sudah berulang kali ia membujuk Ummi untuk ikut dengannya bersama Fathul, tapi Ummi menolak, sebab tidak ingin meninggalkan rumah Malik. Namun, Raihanah tahu arti di balik penolakan itu. Ditolehkannya kepalanya sekilas pada Fathul yang menunggu di samping mobil. Ekspresi lelaki itu tidak pernah berubah, datar dan kaku. “Nak Hanah, hari esok itu selalu berbeda. Tidak ada yang sama. Jika hari ini kau merasa buruk, tidak ada jaminan esok juga akan buruk. Begitu pun sebaliknya.”Raihana
Raihanah ditinggalkan sendirian di dalam kamar yang pencahayaannya kurang ini. Ia tidak tahu mengapa Fathul semarah itu. Apakah karena Raihanah menyelonong masuk ke kamarnya atau mungkin … ia tidak ingin Raihanah berlama-lama tinggal di sini?Raihanah sempat panik karena tiba-tiba Fathul membanting pintu kamarnya di tengah pembicaraan mereka. Ia sampai tidak sadar sudah menerobos ke kamar pria itu. Baru sekarang ia merasakan bahwa kamar yang luas ini terasa pengap. Meski siang, tapi tidak banyak cahaya yang menerangi karena gorden tidak dibuka. Matanya tidak sengaja tertambat pada ranjang yang berantakan. Lemari di sampingnya terbuka dan baju-baju di dalamnya acak-acakan. Ia juga melihat meja kerja yang penuh dengan buku. Beberapa berhamburan di lantai serta kertas-kertas laporan yang tergeletak begitu saja. Raihanah menggigit bibir, menahan diri untuk tidak langsung meluncur membereskan kekacauan itu, sebab ini bukan kamarnya. Dia bahkan mengepalkan tangan erat-erat, gemas dengan
Fathul ingin menghancurkan kepercayaan diri itu. Ia ingin mengikis keangkuhan yang tergambar dari sorot mata itu. Wanita ini bukanlah siapa-siapa. Hanya perempuan yang tak lagi diinginkan Lukman dan diberikan padanya. Ia muak sekali. Utang-utangnya pada keluarga Malik telah lunas ketika dia menikahi Raihanah. Selesai. Bukan berarti wanita ini bisa mengatur dirinya maupun rumahnya seenaknya. Fathul maju dan membangun tembok yang sangat tinggi, melindungi dirinya sendiri dari anggota keluarga Malik yang lagi-lagi mencoba menguasainya. “Sudah saya tekankan di awal, kamu tidak perlu melakukan apa pun. Cukup diam di sini, karena apa pun yang kamu lakukan, saya tidak akan luluh. Saya mengorbankan kehidupan saya untuk menikahimu, harusnya kamu tahu diri.”Ah, andai saja Lukman mendengarnya. Fathul ingin pria itu tahu, seberapa muak dirinya dengan Malik. Raihanah menunduk dan bahunya tampak melemas. Fathul menarik napas untuk menyingkirkan perasaan aneh yang menyertai kemarahannya. “Kar
Fathul mengais-ngais kesadarannya agar tetap terjaga. Entah sejak kapan dia tumbang sampai tidak sadarkan diri. Setiap satu tahun sekali, dia pasti akan demam parah. Jika sudah begitu, hanya Toro yang dia hubungi untuk membawakannya obat dan makanan.Sekarang ia tidak perlu melakukan itu, karena saat dia bangun Raihanah sudah berdiri di ambang pintu, bahkan sampai memberinya bubur dan obat. Saat rasa sakit di kepala semakin menghantam, Fathul memejamkan mata rapat-rapat. Telinganya berdenging dan rasanya ia ingin ambruk kembali ke tempat tidur. Namun, Raihanah pasti akan masuk lagi beberapa menit kemudian dan bersikeras ikut campur.Diliriknya nakas yang berada di samping kanannya. Jaraknya cukup jauh. Ia mesti memutari ranjang. Fathul mencoba menjejakkan kaki kembali ke lantai. Kepalanya tiba-tiba tersengat hingga membuatnya kembali duduk. Fathul memijit kening. Meski begitu, ia tetap mencoba bangkit dan bertumpu pada pinggiran ranjang hingga akhirnya bisa meraih mangkuk bubur itu.
Fathul berakhir dengan disuapi lagi. Baru kali ini ia diberikan perawatan penuh ketika sakit. Rasanya aneh, bahkan di rumah sakit saja perawatannya tidak seintens ini. Dengan telaten Raihanah mengusap bekas kuah sup yang membasahi sekitar bibirnya. Fathul ingin menolak, tapi dia akan terlihat seperti orang yang tidak tahu berterima kasih.“Habis. Bagus.” Wanita itu tersenyum lebar sambil memperlihatkan isi mangkuk yang sudah kosong.Fathul menerima segelas air yang diulurkan Raihanah. Lebih dari rasa sakit yang sejak tadi menerjang kepalanya dan rasa tidak enak di badan, Fathul merasakan hal yang mengganjal. Keberadaan Raihanah yang duduk di pinggir ranjangnya dan menyiapkan obat terasa asing, tapi tidak membahayakan. Tidak pula terasa canggung.Setelah meminum tiga pil, Fathul menarik napas. Menambatkan pandangannya pada Raihanah yang sedang membereskan bungkusan obat.“Kenapa melakukan ini?” Suaranya masih serak dan tenggorokan Fathul terasa sakit setiap kali dia mengeluarkan suar
Kantor InstaFood cukup minimalis jika dilihat dari luar. Namun, saat Raihanah masuk, ada banyak orang yang berlalu lalang di lobi, entah membawa dokumen, troli makanan, gadget, dan segelas kopi. Hari yang sangat sibuk. Namun, mereka masih sempat menoleh padanya, menatap Raihanah aneh seperti melihat orang asing yang tiba-tiba masuk ke wilayah mereka, membawa rantang pula. Seisi lobi bernuansa Pinjerest, tenang dan estetik. Dipenuhi warna putih dan warna-warna pastel. Ia mendorong pintu kaca yang di atasnya tertulis ‘pusat informasi’ mungkin sama dengan meja resepsionis. Namun, baru kali ini Raihanah menemukan meja resepsionis yang berada dalam ruangan yang dikelilingi dinding kaca sehingga mudah melihatnya dari luar. Di dalam ruangan transparan itu, ada beberapa sofa dan meja juga, seperti ruang tunggu. “Assalamu’alaikum, Mbak.”“Wa’alaikumsalam, ada yang bisa kami bantu, Bu?” Untuk sejenak petugas yang berseragam sangat rapi di balik meja menengok ke luar. “Sudah ada kartu akses
Raihanah baru saja melepas mukenanya ketika terdengar suara pintu yang terbuka. Tubuhnya dengan cepat merespons dan buru-buru keluar kamar. Seperti dugaannya, ia mendapati Fathul yang berjongkok sambil melepas sepatu. Pria itu mengangkat mata sekilas, meliriknya tajam lalu bangkit, menghampiri Raihanah sembari memberikan rantang dan bungkusan. Baru kali ini Raihanah merasa gugup ketika menerima bekas bekal. Sebab besar kemungkinan isi rantang dan bungkusan itu masih utuh. “Oh, ini ringan.”Ia cukup terkejut. Ditatapnya Fathul dengan mulut menganga. Satu pertanyaan muncul di benaknya. Semua makanan ini tidak dibuang, ‘kan? “Sisanya saya simpan dan makan di sore hari.”Raihanah tidak menemukan tanda kebohongan di wajah Fathul. “Ana pikir antum menolak untuk memakannya.”Kedua alis pria itu mengerut. “Kalau berpikir begitu, kenapa memasak untuk saya? Ah, kenapa sampai mengantarkan makanan ke kantor?”Di luar dugaan, Raihanah tersenyum. Bukan senyum canggung yang sedang mencari jawab