Home / Romansa / Istri Sumbangan / 7. Hanya Menebus Utang

Share

7. Hanya Menebus Utang

Author: Mustacis
last update Last Updated: 2023-08-24 14:28:34

Fathul menahan napas. Sejak dulu, ibunya dicap sebagai perebut suami orang, dirinya pun diperlakukan sebagai anak yang harus tahu diri. Karena itu, ia wajib melunasi semua utangnya sekali lagi dengan cara menikahi wanita itu.

 

Raihanah melihat Fathul mengangguk pelan sambil mengucapkan kata ‘ya’ yang terdengar samar. Raihanah tertegun. Ia pikir pria itu akan menolak, sebab sampai saat ini, raut wajahnya amat tertekan. Ia tampak tidak suka berada di tempat ini.

 

“Alhamdulillah. Kalau begitu, Nak Fathul bisa menunggu selama 130 hari. Jika kau ingin berkunjung dan berkenalan dengan Hanah, aku akan mendampingi.”

 

Fathul terdiam seperti biasanya. Tidak pernah terpikir akan kembali datang untuk mengunjungi wanita bernama Raihanah itu. Memangnya untuk apa?

 

Suasana rumah Malik pun terasa pengap dan tidak nyaman.

 

“Sebenarnya juga tidak masalah kau sering berkunjung. Kau adalah bagian keluarga Malik. Menjenguk ibumu yang sedang berduka juga sangat bagus. Bukan begitu, Dik Ramlah?”

 

Fathul melihat Ramlah memalingkan muka. Bahkan jika diundang oleh wanita itu pun, Fathul tidak akan datang. Dia tahu Ramlah tidak akan sudi dijenguk olehnya.

 

“Maaf, Ustadz. Saya terburu-buru. Ada pekerjaan penting yang harus saya urus.”

 

Tanpa menunggu reaksi Ustadz Ridwan, Fathul berdiri lalu menyalami pria yang wajahnya selalu terlihat tenang itu.

 

“Oh iya, hati-hati ya, Nak.”

 

Suara sepatu pantofel-nya mengetuk lantai kediaman Malik. Rasanya melegakan saat Fathul berhasil keluar dari pintu dan menghirup udara luar.

 

“Tunggu!”

 

Ia menoleh hanya untuk menemukan Raihanah yang tiba-tiba menghampirinya. Ada setetes keringat yang jatuh menimpa pipi mulusnya.

 

“Kita belum pernah bicara berdua.” Wanita itu sedang menghirup udara untuk menenangkan pernapasannya sambil menundukkan pandangan.

 

“Bukannya tidak boleh?” Fathul menanggapi dengan santai. Setidaknya itulah yang dia rasakan.

 

Namun, Raihanah melihatnya dengan cara yang berbeda. Kening pria itu mengerut kasar, kedua alisnya menekuk seperti tidak suka. Garis-garis rahangnya semakin menajam seperti hendak melahap Raihanah.

 

Sepertinya dia amat terburu-buru.

 

“Ah, ana diperbolehkan menghampiri sebentar karena kita sedang berada di luar.” Raihanah mundur dua langkah.

 

“Ada apa?” Lagi-lagi ekspresi Fathul tampak tidak senang, lebih tepatnya seperti geram.

 

Namun, alih-alih takut, Raihanah tetap tidak mundur. Sejak tadi dia penasaran. “Kenapa diterima?” tanyanya.

 

“Tidak boleh?”

 

Untuk pertama kalinya, Raihanah ikut mengerutkan kening. “Ana pikir antum akan menolaknya.”

 

“Kamu berharap begitu?”

 

Tanpa sadar Raihanah menampakkan ekspresi tidak setuju. “Kalau antum tidak suka–”

 

“Saya buru-buru.”

 

Raihanah tertegun saat Fathul memutar tubuh dan meninggalkannya begitu saja. Ia tidak paham sama sekali alasan pria itu menerima perjodohan ini. Jika memang tidak suka, Fathul bisa membatalkannya.

 

Raihanah tidak mau menikah dengan pria yang membencinya. Itu akan jadi masalah besar nantinya.

 

Maka, dengan nekat ia mengejar pria itu sebelum Fathul sempat menyalakan mesin mobil. Raihanah masuk ke kursi belakang tanpa pikir panjang. Saat itu juga, Fathul menghentikan gerakannya,

 

“Ana masih belum selesai bicara.”

 

Dalam anggapan Fathul, Raihanah adalah wanita lembut yang penurut. Namun, hari ini anggapannya patah begitu saja. Raihanah bahkan menatapnya lewat kaca spion tengah dengan kedua mata yang tegas.

 

“Kalau antum tidak suka, jangan diterima.”

 

“Situasi dan kondisi mana yang memungkinkan saya untuk menyukai kamu dalam waktu tiga hari ini?”

 

Ia melihat Raihanah menahan napas. Sejujurnya, dia tidak ingin mengobrol lebih jauh dengan wanita ini. Akan menyulitkan jika Raihanah juga bersikap angkuh seperti Lukman. 

 

“Ana … hanya ingin meluruskan.” Raihanah memalingkan muka dari kaca spion. “Ana tidak ingin mengganggu kehidupan antum nantinya.”

 

Kira-kira apa arti wanita ini bagi Lukman? Mengapa begitu mudahnya dia memberikan Raihanah padanya? Padahal sepertinya Raihanah diperlakukan dengan baik dalam keluarga Lukman.

 

“Bukan kamu yang memutuskan, tapi suamimu.”

 

“Bang Lukman memang memberikan amanat, tapi–”

 

Raihanah tidak mampu memprediksi ketika Fathul tiba-tiba membanting pintu mobilnya dan keluar lalu membuka pintu belakang secara kasar. Raihanah tertegun saat pria itu berdiri di sampingnya dengan tatapan seperti hendak mencincangnya.

 

Amanat. Fathul membenci kata itu. Karena sebuah kata itu, hidupnya kacau balau. Pertama-tama, ia dibawa ke keluarga Malik karena amanat dari ibunya. Kedua, ia mesti menebus semua utang budinya karena amanat Misan Malik, dan sekarang yang ketiga. Ia harus menikahi seorang perempuan yang bahkan tidak dirinya kenal.

 

Fathul membenci mata yang menatapnya aneh dan ketakutan itu. Ia mencondongkan kepala mendekat pada wanita itu hingga Raihanah mundur dan beringsut ke samping.

 

“Jangan pernah berharap apa-apa. Saya hanya menebus utang dan menerima pemberian untuk yang terakhir kalinya. Jadi, kamu cukup diam di sisi saya.”

 

 

........

 

Sesuap ilmu:

Amanat boleh tidak dipenuhi jika tidak sesuai dengan syariat Islam.

 

Masa iddah perempuan ada tiga:

>> Wanita yang ditalak: menunggu 3 kali suci (3bulan)

>> Wanita yang suaminya meninggal: 4 bulan 10 hari (130 hari)

>> Wanita yang hamil: menunggu sampai dia melahirkan.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
alfira ananda
Alhamdulillah nambah sesuap ilmu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Sumbangan   43. Hati yang Hangat

    “Tapi istri seperti Raihanah tidak pantas disumbangkan. Dia terlalu baik dan nyaris sempurna untuk diberikan pada adik tiri rendahan seperti saya.”Sampai di situ, Fathul memutar tubuhnya kembali dan cepat-cepat meninggalkan kamar sebelum sempat melihat ekspresi bersalah di wajah Ramlah. Dulu saat menatap anak itu, diam-diam Ramlah memberikan tatapan penghakiman agar anak itu sadar bahwa ibunya sudah merebut tiang rumah orang lain. Tapi sepertinya apa yang dia lakukan dulu begitu membekas di hati anak itu hingga sekarang. “Bang Misan, kebaikan yang kau berikan pada orang lain, menciptakan luka di hati banyak orang.”Hati Ramlah terenyuh. Matanya terasa pedih menahan genangan air yang siap tumpah. “Selama puluhan tahun, kupikir kau sengaja mendua karena aku tak cukup cantik dalam pandanganmu, tak cukup baik, dan tidak cukup sempurna menjadi istrimu. Ternyata kau hanya membantu wanita itu dan tak pernah menyentuhnya sekalipun. Maaf karena telah berburuk sangka selama puluhan tahun

  • Istri Sumbangan   42. Istri yang Tak Pantas Disumbangkan

    Fathul mengetuk pintu kamar sebelah sembari memegang nampan berisi sup ayam, nasi, dan segelas air. “Masuk.” Ia perlahan mendorong pintu dan menemukan Ramlah yang sedang berjalan dengan hati-hati sambil berpegangan pada dinding. Sepertinya ia baru saja dari kamar mandi. Fathul berdiri mematung sampai Ramlah duduk di tepi ranjang. Mata mereka bertemu dan saling berpandangan. Fathul menemukan kepasrahan dalam mata wanita itu. “Tidak usah repot-repot.” Fathul meletakkan nampan di atas nakas lalu mengambil bungkusan obat di laci ketiga. Satu per satu butiran pil ia keluarkan dari kemasannya. Lima butir obat diberikannya pada Ramlah. “Hanah tidak bersalah," ucap Fathul tiba-tiba.Ramlah mematung dengan gelas di tangan kiri dan obat di tangan kanan. Dilihatnya tekad yang besar di mata anak itu. “Sayalah yang mengejarnya lebih dulu. Saya yang jatuh cinta dengannya pertama kali.” “Melihatmu repot-repot datang untuk menjelaskan itu, membuatku seperti mertua yang egois dan jahat.”“Mesk

  • Istri Sumbangan   41. Semakin Jatuh Cinta

    “Aku cukup kaget karena Nak Fathul tiba-tiba menghubungi dan meminta bertemu. Bagaimana kabar istrimu?”Di mushola pesantren Al-Jannah—tempat yang sama saat dia melakukan akad pernikahan bersama Raihanah—Fathul menemui Ustadz Ridwan. Senyum pria yang sebaya dengan Misan Malik itu selalu saja terlihat bijak. Setiap kali melihatnya, Fathul sering kali teringat dengan Misan.“Saya minta maaf kalau sudah menyita waktu Ustadz.”“Nak Fathul adalah putra dari sahabatku, tidak mungkin aku menolak. Nah, kapan pun kamu meminta untuk bertemu, Insya Allah aku akan selalu menyediakan waktu.”“Terima kasih, Ustadz.” Fathul mendapatkan tepukan ringan yang terasa hangat di punggung. Ia memperbaiki posisi duduk, menunduk dalam-dalam dan memasang wajah yang serius. “Sebagai istri yang diamanatkan oleh Lukman agar saya menjaganya, bolehkah saya menaruh perasaan padanya, Ustadz?”Ustadz Lukman menatapnya lama lalu sekejap kemudian bernapas lega. “Tak ada yang salah dengan mencintai istri sendiri, Nak.

  • Istri Sumbangan   40. Menerima Seutuhnya

    “Akhirnya aku menemukan rumahku.” Raihanah tertegun, dia uraikan pelukan mereka untuk mencari tahu maksud perkataan pria itu. Yang ia tangkap pertama kali adalah tatapan hangat nan intens yang Fathul lemparkan padanya. “Aku tidak tahu, tapi kamu seolah selalu bisa mengerti semua isi hatiku dengan baik. Apa rahasianya, hm?” Raihanah tak mampu mengantisipasi serangan perasaan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Harusnya ia tak melangkah sejauh ini. Mestinya dia tidak memberikan harapan sebesar itu pada Fathul. Jari pria itu mengusap pipinya. Entah kapan kening mereka tiba-tiba menyatu hingga ia bisa merasakan embusan napas Fathul di wajahnya. “Apakah aku diizinkan?” Raihanah memejamkan mata, merasakan pergolakan batin yang hebat dalam dirinya. Sekarang dia adalah istri Fathul, istri yang sah secara agama dan negara. Saat pria itu menyentuhnya, Raihanah merasa baik-baik saja. Ia merasa tak keberatan. Maka Raihanah mengangguk pelan. Membiarkan kala Fathul membuka mukenanya hingga h

  • Istri Sumbangan   39. Menemukan Rumahku

    Untuk pertama kalinya setelah memutuskan tinggal di apartemen ini, akhirnya Raihanah bisa berdiri sebagai makmum. Di depannya Fathul mengangkat tangan sebagai permulaan sholat mereka. Punggung pria itu tampak tegang. Suaranya bergetar ketika memulai bacaan Al-Fatihah. Dalam tundukan kepalanya, Raihanah sempat terpaku mendengar lantunan ayat yang indah, merdu dengan tajwid yang benar dan pelafalan yang jelas.Fathul sudah sangat lama tidak melakukannya. Rasanya seperti berada dalam kegelapan. Namun, tak menyesakkan sama sekali. Pikirannya tenang dan tak tercampur dengan apa pun. Aliran darahnya bagai air yang mengalir pelan. Ini adalah gelap yang menenangkan. Seusai doa diaminkan, pria itu berbalik. Memperlihatkan wajahnya yang sendu dengan sorot mata yang kebingungan. Napasnya terhela dengan berat. Ia menatap Raihanah seolah meminta pendapat soal caranya mengimami. Raihanah meraih tangan Fathul dan mengecupnya, menempelkannya di kening cukup lama dan mendoakan dalam hati semoga Fat

  • Istri Sumbangan   38. Cerita di Sepertiga Malam

    Raihanah bangun di sepertiga malam dan mendapati ada lengan yang melingkar di perutnya. Untuk waktu yang lama ia terdiam kaku. Mengingat dirinya sedang di posisi apa sebelum tidur. Seingatnya Fathul menautkan jari jemari mereka seperti kemarin malam lalu mengobrol sejenak kemudian tertidur. Jantung Raihanah hampir mencelos keluar. Ia bekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara apa pun. Perlahan dengan tangan gemetar, Raihanah mencoba melepaskan belitan Fathul. Mengangkat lengan yang berat itu dengan hati-hati. Fathul bergerak. Spontan Raihanah berhenti. Setelah memastikan Fathul tidak bergerak lagi, ia meletakkan tangan pria itu sambil berusaha tidak membuat suara apa pun.Ia mengambil wudhu lalu menggelar sajadah di samping ranjang. Menunaikan Tahajud dan mendoakan agar Fathul diberikan hidayah dan keberanian untuk menggapai iman. “Ya Malik, Ya Quddus, hamba memohonkan hidayah dan petunjuk untuk suami hamba.” Diliriknya Fathul yang tengah tertidur dengan lelap. “Dia bukan pria yang

  • Istri Sumbangan   37. Takluk

    “Katanya lo telat hari ini–yang mana nggak pernah lo lakuin selama kerja di kantor ini–dan lebih gilanya lo bilang tadi pagi lo nyiapin waktu buat dengerin omelan istri. What the–” Toro melongo hebat ketika melihat ekspresi dingin yang runtuh seperti gurun es yang disinari cahaya matahari itu. Rahang Toro hampir mencapai lantai. “Apa gerangan yang terjadi?” Dipasangnya ekspresi paling serius. Fathul malah cuek. “Apa ada masalah? Belum pernah diomeli istri, ya?” Toro memasang ekspresi jijik. Kenapa ada orang yang terlihat sebangga itu habis diomeli istri? “Ngomel mah tiap hari, tapi perasaan gue nggak pernah senyum-senyum begitu habis diomelin. Lo ada masalah kejiwaan apa gimana? Istrinya Lukman bikin lo pusing tiap hari, ya?”“Dia istriku, bukan lagi istri Lukman.”Toro mengernyit. Seingatnya beberapa bulan yang lalu, saat Toro juga menyebut Raihanah sebagai istri Lukman, Fathul tidak menampakkan respons apa pun. Kenapa pria itu malah mengeraskan wajah sekarang?“Oke, sakarepmu.”

  • Istri Sumbangan   36. Omelan Istri

    Setelah mengantar Ummi kembali ke kamar, Raihanah menarik kaki ke kamar Fathul saat mendengar suara berisik dari dalam. Kamar pria itu sangat berantakan. Pakaian, kertas-kertas, dan buku bertebaran. Didapatinya Fathul sedang berdiri dengan kemeja yang kerahnya terangkat dan tidak terkancing sepenuhnya serta rambut yang belum tertata. Pria itu menyorotnya dengan bingung. “Butuh bantuan?”Fathul melirik lantai di sekitarnya dan merasa sedikit malu. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. “Saya cari dasi.” “Dasi warna apa?” Raihanah maju, menunduk di antara laci-laci lemari pria itu. “Abu-abu gelap. Mungkin ketinggalan di tempat laundry.”Fathul mendapatkan helaan napas Raihanah lima detik kemudian. “Makanya biar ana yang cuci. Apa sudah antum susun di tempatnya? Dasi harus disatukan dengan dasi juga. Jangan bercampur dengan yang lain.” Wanita itu mulai mencari-cari di tumpukan pakaian yang tidak terbentuk susunannya itu. Fathul terdiam kaku mendengar omelan itu. Raihanah sampai mendeca

  • Istri Sumbangan   35. Pendekatan

    Pukul 5.30 ketika Raihanah keluar dari kamar, ia berpapasan dengan Fathul yang kebetulan juga sedang membuka pintu kamarnya. Dengan jaket dan kaos serta celana olahraga pendek dan sepatu, pria itu pasti ingin berolahraga.Namun, anehnya Raihanah malah merasa canggung untuk sekadar menyapa. Ada apa dengan dirinya? Ia tiba-tiba mengingat soal semalam. Dalam sekejap pipinya memerah.“Pagi.” Fathul malah menyapa lebih dulu dengan senyuman.“Ya, pagi,” cicit Raihanah, terlihat seperti tikus yang hendak kabur dari kejaran kucing.“Mau jalan-jalan pagi?”Raihanah menoleh kaget. “Hm?”“Jalan-jalan pagi berdua dengan saya.”Ditatap dengan mata penuh harapan itu membuat Raihanah mengalihkan muka dengan salah tingkah. “Ana mesti masak untuk sarapan.”“Kita bisa beli di luar.”“Ummi sendirian di kamar–” Raihanah terdiam, menemukan ide yang sangat brilian. “Bagaimana kalau jalan-jalan bertiga? Ummi cukup lama tidak keluar.”Fathul tampak berpikir. Sinar harapan di matanya agak pudar. “Boleh.”“Kal

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status