POV AntoJangan tanyakan berapa jam kami tertidur. Dari jam dua siang sampai sampai jam tujuh malam. Kamar gelap menyadarkanku, aku telah tidur amat lama. Aku yang lebih dulu terbangun, menyalakan saklar lampu sehingga cahaya lampu mengusik Marni. Sejenak kuamati wajah itu, wajah tenang Marni yang membuatku tersenyum kecil.Kudekati dia, meletakkan tanganku di lengannya yang lembut. Kemudian kugoyangkan sedikit untuk membangunkannya."Marni, ayo bangun! Sudah jam tujuh malam."Marni perlahan membuka matanya. Lalu memejamkannya kembali."Aku masih mengantuk, Om.""Kita sudah tidur lima jam. Ayo bangun, mandi dan makan malam."Walaupun terkesan enggan, Marni bangkit. Matanya yang sayu menatapku. Entah kenapa, ada desir halus yang tak biasa saat ini. Padahal Marni tak berniat apa-apa, tak berniat menggodaku sama sekali. Wajahnya pun sembab karena kebanyakan tidur, tapi kenapa dia malah terlihat menarik? Entahlah. Aku rasa aku sudah tak waras karena jatuh pada pesona Marni."Ayo, mandi!"
"Kapan nikah, Don?" "Wah, pertanyaan itu lagi.""Ya, karena usiamu sudah matang.""Aku sudah bilang sama Abang, aku suka yang unik." Doni melirik Marni sekilas. Marni sepertinya masih menunggu apa yang akan diceritakan Doni."Unik seperti apa?" Marni malah ikut campur. Doni tersenyum lagi."Seperti kakak ipar," sahutnya. Marni tersenyum merasa tersanjung, aku malah semakin muak."Maaf, Don. Dia tidak boleh terlambat tidur, dia harus banyak-banyak istirahat. Aku tidak maksud mengusir, ya. Tapi begitu pesan dokter." Doni masih santai saja dengan kalimat mengusirku itu. Dia tak terlihat tersinggung sedangkan Marni seakan tak rela melihat Doni bangkit dari duduknya dan pamit pada kami.Setelah deru motor besar Doni meninggalkan pekarangan kami, baru aku bisa bernafas lega. Akhirnya bisa berdua dengan Marni tanpa diganggu Doni."Wah, sepertinya kau senang sekali dengan kedatangan dia." Aku duduk kembali, Marni dengan jilbab instan bewarna hitam itu malah tak peka dengan sindiran itu. Ma
Pov MarniSuami? Bagaimana mungkin aku telah bersuami, aku masih anak remaja yang bersia tiga belas tahun. Yang bahkan tengah bulan ini akan melangsungkan ujian semester. Ujian yang selalu menakutkan karena sering tak bisa menjawab pertanyaan.Laki-laki yang telah berumur itu, mengaku adalah suamiku. Menceritakan berbagai hal yang tak masuk akal. Dia hanya orang asing yang gampang sekali kesal dan marah.Setiap kupanggil Om, wajahnya langsung berubah karena tak menerima panggilan itu. Aku tak mungkin mendustai diri, mengatakan dia masih muda padahal dia hampir sebaya dengan Paman Ayub, adiknya Ayah.Banyak keanehan terjadi padaku, saat dia menunjukkan diriku di depan cermin, aku merasa seperti tengah terperangkap di tubuh orang lain. Di depan sana, wanita dewasa yang mirip denganku walaupun tak sama persis. Pantulan diriku yang sekarang, lebih tinggi dan memiliki tubuh yang agak berisi.Om Anto, begitu kumemanggilnya, dia hanya pria aneh dan tukang paksa yang sangat menganggu. Aku bah
"Ayo dimakan!" Aku mengambil kue itu, rasanya sangat enak. Perasaanku sedikit terobati dengan makanan enak ini. "Jadi, bagaimana hasilnya?"Ibu Om Anto mengalihkan tatapan pada anaknya. "Marni hamil."Aku langsung berhenti mengunyah, kue yang tadi rasanya sangat enak itu berubah aneh dan memancing rasa mual yang luar biasa. Buru-buru kuambil air putih yang telah dihidangkan di atas meja, meminumnya sampai tandas sampai sisa kue dalam mulutku habis. Ibu Om Anto melirikku sekilas, pembawaan tenangnya mirip dengan Om Anto."Selamat, kalian akan menjadi orang tua."Mendengar itu, aku malah menangis. Bagaimana mungkin aku akan menjadi Ibu, sedangkan aku tak bisa merawat seekor anak kucing. Aku tak bisa menerima semua kejutan yang tak masuk akal sama sekali."Marni, dengar, yang harus kau ingat, kau adalah wanita dewasa, bukan anak-anak, wanita dewasa yang telah menikah dan diberi keturunan, itu yang harus kau ingat dalam hatimu.""Aku sudah memberi dia pengertian dari tadi, Marni belum
POV AntoMengidam, aku pernah mendengar istilah itu. Atau cerita teman-teman yang pernah memiliki pengalaman memilki istri yang hamil. Mereka terkadang menceritakan pengalaman mereka terlalu berlebihan, bukankan suami itu adalah pemimpin yang tak boleh diatur-atur oleh istri seenaknya. Suami memiliki harga diri tinggi. Seorang suami tak boleh takut pada istri. Apalagi sampai diperintah istri.Dulu, aku mengira itu hanya mengada-ada, atau bentuk rengekan manja si istri yang minta perhatian. Tak kusangka semua terjadi padaku, apa lagi ikut campur tangan ibu yang memerintahkan untuk mencari mangga malam ini juga. Mangga setengah matang di tengah malam, kenapa harus mangga? Kalau nasi goreng di tengah malam akan sangat mudah mencarinya.Kuletakkan motor di samping rumah Pak Asep. Rumah Pak Asep memiliki pekarangan yang luas, berbeda dengan rumah Pak Ramli.Ada beberapa pohon mangga, entah jenis mangga apa, pokoknya mangga. Kuintip dari bawah, ada beberapa biji buah mangga di pohon itu.Ak
"Apa Om baik-baik saja?"Tanya dia dengan wajah tak bersalahnya. Bagaimana aku bisa baik-baik saja, setelah jatuh dari ketinggian pohon empat meter, tersungkur mencium tanah dengan kening membentur batu. Berdarah, tentu saja.Mangga yang dia minta dibawakan oleh Pak Ramli. Tak hanya Ibu dan Marni yang ada di sini, di rumah Pak Ramli. Para tetangga pun datang. Nyaring sekali telinga mereka. Aku pasti jadi bahan gunjingan, si Anto celaka karena menuruti ngidam istrinya. Ya Tuhan. "Wah, Mas Anto penyayang istri ya, sampai mau memanjat mangga malam-malam, suami saya mana mau." Seorang wanita gendut yang sebenarnya masih muda itu mengoceh. Dari tadi mereka menjadikan aku sebagai tontonan, dengan kondisi pinggang yang terkilir, aku tak bisa bergerak banyak."Bisa kita kita pulang sekarang, Bu?" tanyaku pada Ibu, aku sangat risih. Sedangkan Ayah tadi mencari kursi roda. Entah mau dipinjam ke mana malam-malam begini."Ayahmu belum datang."Aku hanya menghela nafas, malu, kesal dan dongkol me
POV Anto"Hentikaaaaaan!"Dari pada marah, aku lebih memilih untuk tertawa melihat wajah merah padam Marni. Jika saja dia memiliki tanduk, mungkin dia akan menyundulku sekuat hati saking geramnya."Nah, ayo bilang Om sekali lagi! Biar bengkak pipimu aku cium.""Huh!" Dia menghapus pipinya, seakan menghilangkan bekas dan jejak bibirku di sana. Khas seperti anak kecil yang merajuk. Ternyata begini Marni SMP, cukup asik dijadikan mainan."Sini!" Aku menepuk sisi ranjang yang kosong."Aku tak mau tidur sama ...,""Sama?" "Sama Mas," sahutnya tak ikhlas."Padahal aku berharap kau akan menyebut Om.""Takkan lagi.""Baiklah!" Aku mengangguk seolah-olah sangat mengerti dengan jawabannya."Boleh aku tidur di sebelah?""Boleh.""Alhamdulillah.""Tapi, aku ikut."Wajah cerianya langsung surut berganti wajah buram.Dengan amat terpaksa, dia naik ke atas ranjang kami. Kutatap wajah Marni, wajah wanita yang telah beberapa bulan mendampingiku, wanita yang menyita semua waktuku untuk memikirkannya.
Kami tak membawa banyak barang. Jam sembilan pagi, kami telah sampai di bandara. Marni terkagum-kagum melihat bandara yang amat luas karena menjadi pemandangan baru baginya.Beberapa kali dia menutup telinganya saat mendengar suara pesawat yang lepas landas atau pun yang baru mendarat. Dia jadi pusat perhatian orang-orang."Jangan tutup telingamu!" bisikku. Aku mulai risih melihat beberapa orang yang tersenyum geli melihat ke arah Marni."Bunyinya sangat keras, Mas. Memekakkan telinga." Dia menyahut."Namanya di bandara yang begini, tapi jangan ditunjukkan terlalu jelas, kalau kau baru pertama melihatnya. Malu."Aku membawa Marni ke konter Chek-in. Jadwal keberangkatan kami sebentar lagi. Aku sempat cemas, apa Marni akan baik-baik saja nanti? Karena bagi sebagian orang yang baru naik pesawat, mereka akan Ketakutan dan cemas luar biasa."Pesawat mana yang akan kita naiki?" tanya Marni dengan tatapan berbinar, seakan benar-benar tak sabar untuk mencobanya. Mudah-mudahan saja.Aku serasa