Share

Mertua

Pov Marni

***

Mas Anto telah pergi dua jam yang lalu, meninggalkan aku sendiri yang mulai merasa mengantuk. Bagiku, tempat tidur adalah tempat paling nyaman, bahkan jika diajak untuk jalan-jalan, aku lebih memilih tidur seharian.

Sebelum pergi, Mas Anto menyetrika bajunya sendiri, dia tak mempercayakan pekerjaan itu padaku. Bahkan setelah aku mencuci bajunya, dia mengulang lagi mencucinya.

Mas Anto yang aneh. Walau bagaimana pun dia adalah suamiku.

Aku menutup pintu dengan semangat, lalu masuk ke dalam kamar, apa lagi kalau bukan kegiatan yang paling menyenangkan. Tidur.

***

Tiga hari sudah Mas Anto pergi, kami tak pernah saling telpon, karena lokasi penambangan minyak bumi dan gas Mas Anto tak memiliki sinyal. Aku tak masalah, asalkan dia pulang dua kali sebulan.

Tiba-tiba pintu diketuk, seiring dengan berhentinya deru mobil.

Kusibakkan gorden jendela. Mataku membulat sempurna. Ibu mertua. Kenapa beliau datang?

Biasanya beliau datang jika Mas Anto pulang.

Ibu mertuaku sudah sampai di depan pintu, seiring bunyi ketukan beberapa kali. Kubuka pintu dengan gugup.

"Ibu," sapaku dengen senyum canggung. Ibu mertuaku masih memasang wajah dingin, mungkin kejadian rambut itu masih membuatnya marah.

"Masuk, Bu!" Kubuka pintu lebar-lebar.

"Kenapa berantakan sekali?" Dia berjalan, ke arah sofa ruang tamu.

"Apa ini?" Dia mengangkat benda ajaib yang terletak di sana. Bra-ku. Aku panik, lalu mengambil benda itu dari tangan ibu.

"Ya, ampun, ini rumah apa kandang kambing." Dia berjalan ke arah ruang makan, lalu menutup hidungnya sendiri, memang, aku lupa membuang sisa kuah lontong dua hari yang lalu.

Ibu mertuaku bergegas meninggalkan ruang makan. Berjalan cepat menuju pintu ke luar, seperti mencari udara.

"Marni, sini!"

Aku menurut, ibu mematutku dari atas sampai bawah.

"Kau kenal aku?"

"Ibu, ibu adalah mertuaku." Aku meremas tanganku sendiri, keringat dingin mulai keluar dari pori-poriku.

"Jika aku mengajarimu, apa kau akan marah?"

Aku menggeleng.

"Kau pernah bercermin, Marni?"

Aku mengangguk.

"Apa kau sadar kau itu cantik?"

Aku diam saja.

"Sayangnya, tak terawat." Ibu mertuaku menatap ke arah rambutku yang belum kusisir. "Kenapa bisa rumah sekotor ini, ya ampun. Bra, kenapa bra bisa ada di atas sofa? Kumpulan piring kotor di atas meja yang tak dibereskan, apa guna tanganmu itu, ha?"

Suara ibu mertuaku menggelegar, aku sampai memejamkan mata sejenak karena terkejut.

"Kau mau tau sesuatu? Sebenarnya aku sama sekali tak setuju Anto menikahimu, setelah mendengar kebiasaan keluargamu yang jorok, akan tetapi, demi menjaga perasaan suamiku, kuterima kau dengen terpaksa. Setelah rambut di sop, sekarang bra di atas sofa, besok apa lagi? Celana dalam di atas meja makan?"

Aku menunduk tak berani menatap wajah ibu yang memerah.

"Anto anak kami satu-satunya, tentu kami ingin menantu yang terbaik, jika kau terpilih jadi menantuku, maka bersyukurlah, jangan bersikap tak tau diuntung."

Aku merasakan hatiku sangat terluka dengen perkataan kasar ibu, kami memang jarang bertemu, namun tak kuduga, dia melimpahkan semua kekesalan kepadaku saat ini.

"Lihat dirimu, Marni! Lihat Anto, coba ukur dirimu, jangan buat anakku menderita karena mendapat istri yang bahkan tak bisa membedakan mana yang layak atau tidak."

Tak bisa kutahan lagi, aku menangis, tak ada orang yang sekasar itu padaku. Bukan aku yang memaksa pernikahan ini, tapi ayah Mas Anto.

"Tak usah menangis, lebih baik kau sakit hati sekarang dari pada sakit hati di masa depan. Anto bisa saja bosan denganmu dan mencampakkanmu begitu saja."

Ibu pergi, meninggalkanku yang masih tergugu dengan tangis. Aku menyukai Mas Anto, pernikahan ini membuatku kembali bersemangat hidup setelah ditinggalkan oleh ibu.

Aku juga ingin seperti orang-orang, tapi aku belum terbiasa. Perubahan hari ini, pagi-pagi aku sudah menggosok gigi, kegiatan yang selama ini kuabaikan, aku bahkan membuang daster yang dibenci Mas Anto. Aku cuma lupa menyisir rambut, lupa menyapu rumah karena aku mengantuk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status