Share

Bab 5

Aku jadi tertawa menyeringai. Lucu sekali anak ini.

"Kan ... kan ... kamu ngejek aku!"

"Astaghfirullahal adziim," ucapku sembari menurunkan kedua sudut bibir. Benar-benar nggak habis pikir dengan perempuan ini. Maunya apa coba? Kok, senengnya cari gara-gara sama suami?

"Aku nggak suka kamu anggap aku kayak anak kecil, tahu!" cetusnya tampak sebal.

"Yang bilang kamu anak kecil siapa, Tasya?" Aku menekan pangkal hidungku sendiri. Sabar ... sabar, Ardian. Aku terus memantrai diri agar tidak terpancing emosi karena sikap wanita ini.

"Huh!" Tasya pun kembali membaringkan tubuhnya dan langsung saja memunggungiku. Aneh banget ni orang. Memang kayak anak kecil kalau kayak begini. Heran!

Aku pun tak mau lagi memperpanjang masalah. Lantas ikut merebah dan kembali menutup mataku dengan bantal.

Klik!

Lampu dipadamkan olehnya.

Kembali aku menghela napas lelah. Tasya ... Tasya ....

***

"Sebenarnya Grandma nggak masalah kalau kalian mau tinggal di sini ataupun di apartemen sana," tutur Grandma setelah mendengar alasan kami kenapa ingin pindah, "tapi yakin kamu bisa mengurus rumah sendirian, Tasya?" Orang tua itu menatap ragu.

Ibu mengulum senyuman, sementara Daddy seperti biasa dengan wajah datarnya.

"Memang apa susahnya ngurus rumah yang kecil? Apartemen Ardian 'kan, pastinya nggak gede kayak rumah ini." Tasya merengut.

"Bukan gitu, Sayang. Kamu 'kan, nggak suka masak dan juga beberes .... Di apartemen 'kan, kalian hanya berdua, nggak ada pembantu," sambung Ibu mertuaku menambahkan.

"Nggak perlu masaklaaah ... beli makanan 'kan, bisa. Soal cuci pakaian bisa ke laundry."

Aku hanya diam mendengarkan mereka berdebat. Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu mempermasalahkan walaupun di sini jauh dari kantor. Yang lebih aku pikirkan cuma kenyamanan Tasya. Akan tetapi, justru dia yang sepertinya berkeras ingin pindah. Padahal ia tentu tahu, banyak kenanganku tertinggal di sana. Entah kenapa dia begini.

"Biar saja mereka tinggal berdua di apartemen. Biar Tasya juga belajar jadi istri yang baik. Mandiri, ngurus suami dan ngurus rumah sendiri," timpal Daddy tanpa banyak basa-basi.

"Nah! Bener tu, kata Daddy!" seru Natasya semangat. Ia langsung berdiri dan melenggang menghampiri sang ayah, lalu mencium pipi orang tua itu, kemudian duduk di sebelah Daddy sembari bersandar di bahunya manja.

Aku hanya melirik ke arahnya sebentar.

"Ya, terserah kalian aja kalau gitu." Grandma masih terlihat tidak yakin.

"Ya, sudah. Ibu oke aja," timpal Bu Nay.

Akhirnya semua orang mengizinkan kami untuk pindah. Tasya terlihat begitu semringah di sana. Sebenarnya apa alasan dirinya begitu antusias untuk kami bisa pindah. Entahlah ....

"Halaaah ... Kakak alesan aja itu, Grandma. Pasti maunya biar bebas berdua-duaan dengan Bang Ardian. Mentang-mentang penganten baruuu!" Zack yang tadinya fokus ke televisi pun ikut nimbrung obrolan kami. Sementara adiknya terkikik di sana.

"Sok tahu aja lu, anak kecil!" Tasya melempar sebuah bantal sofa ke arah Zack dan mengenai kepalanya.

"Hahahaaa!" Mikael tertawa terbahak-bahak melihat kakak laki-lakinya tiba-tiba manyun karena terkena lemparan bantal.

***

Akhirnya kami sampai di muka pintu apartemenku. Sambil merogoh dompet dan mengambil kunci, aku berkata kepada Pak Parmin—supir Grandma, "Cukup di sini aja, Pak. Biar saya yang masukin koper-koper ke dalam." Terdapat enam buah koper yang kami bawa. Punyaku cuma satu, punya Tasya, lima. Heran, apa aja yang dibawa, banyak banget.

"Oh, baik, Den ...," sahut Pak Parmin sembari meletakkan koper yang dipegangnya ke lantai. Lantas pria berusia hampir 60 tahun itu pun pamit dan pergi.

"Lama banget, ih. Cepetan buka pintunya!" rutuk Tasya tidak sabar.

"Iya," jawabku sembari memutar anak kunci kemudian membuka pintu apartemen.

Natasya pun langsung melangkahkan kaki melenggang masuk dan langsung mengedarkan pandangan ke dalam ruangan. Sementara itu, aku meraih koper-koper kami lalu membawanya ke dalam satu per satu.

"Loh, kamarnya cuma ada satu?" tanyanya heran.

"Memangnya kamu kira ada berapa kamar di sini?" tanyaku.

"Aaarrgh! Aku kira ada dua kamar di sini!" protesnya.

Aku hanya terkekeh mendengarnya merajuk dan kesal. Aku sudah mengira, ada maksud terselubung dengan permintaannya untuk pindah kemari. Dia pasti ingin kami pisah kamar.

"Jadi, balik lagi nih, ke rumah di desa?" tanyaku lagi mencandainya.

"Iiish ...!" Ia lalu membuka kamar dan masuk ke dalam, lantas duduk di ranjang. Tak lama kemudian bangkit lagi melihat pemandangan di balik jendela di sana.

Apartemen ini sebenarnya cukup luas, tetapi jelas tidak lebih luas dari rumah keluarga Arnold. Kamar ini berukuran empat kali lima meter. Ada dapur kecil juga. Cukuplah untuk kami memulai hidup berdua. Seperti aku dengan Maira-ku dulu. Hmm ... kembali lagi teringat akan istriku yang tiga tahun lalu meninggal dunia.

Aah ... sebenarnya aku kangen banget sama kamu, Mai ....

.

.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status