Share

Bab 6

"Aku mesti ke kantor siang ini." Ardian berkata seraya mengunyah suapan terakhir makan siang yang tadi ia pesan dari restoran yang melayani delivery order.

"Balik malem lagi?" tanya Tasya sambil menikmati paru balado dari restoran masakan Padang itu. Sebenarnya ia curiga dengan kebiasaan Ardian pulang malam. Ya, karena dia tahu kalau normalnya jam kantor hanya sampai setengah lima sore. Namun, semenjak mereka menikah, Ardian hampir selalu pulang larut malam. Namun, Tasya malas untuk menegur itu. Wanita itu justru senang, karena tidak harus sering bertemu dengan suaminya itu.

"Ya," jawab Ardian singkat, ia meletakkan piringnya yang sudah kosong dan meraih cup es teh dari atas meja, kemudian menyeruputnya. Setelah tandas, ia bangkit berdiri hendak masuk ke kamar mengganti pakaian.

"Sore ini aku juga mau turun," ujar Tasya menahan langkah sang suami.

Ardian menoleh ke arahnya. "Mau ke mana?" tanya pria itu.

"Ya, sekali-kali aku juga mau jalan-jalan, dong!" sahut Tasya santai.

"Iya, ke mana?" tanya Ardian lagi.

"Jalan-jalan, dibilangin juga." Tasya meletakkan piring kotornya di atas meja, kemudian meraih minuman dan meneguknya.

Ardian menghela napas berat mendengar jawaban yang tidak jelas itu. "Oke, dengan siapa?"

"Temanku."

"Temanmu siapa?" Ardian menahan emosinya.

"Disebut namanya juga kamu nggak kenal," jawab Tasya cuek.

"Temanmu yang namanya Fika?" tebak Ardian sembari melangkah masuk ke dalam kamar, kemudian membuka almari meraih sehelai kemeja putihnya.

"Kok, kamu tahu Fika?" Tasya mengeraskan suaranya sembari melongok ke arah pintu kamar yang terbuka di sana. Ia heran, bagaimana Ardian bisa tahu dengan sahabatnya itu? Padahal selama enam tahun ini Fika berada di Surabaya, ia baru sampai sepekan yang lalu di Jakarta. Bahkan Fika tidak hadir ketika ia dan Ardian menikah.

"Ibu yang cerita." Ardian keluar kamar sambil mengancingkan kemeja, kemudian memperbaiki posisi pinggang celana hitamnya. Dasi yang tersampir di bahu pun diraih dan dipasang dengan terburu-buru.

Alis Tasya bertaut. 'Dasar Ibu, pasti ngegosipin aku, nih!' omelnya dalam hati.

"Kamu jangan pulang kemalaman, Sya," pesan Ardian sembari mengenakan jas hitamnya.

Tasya menatap ke arah dasi yang dikenakan Ardian asal. Ia merasa risih melihatnya. "Dasimu itu benerin dulu!" suruhnya.

Ardian menggeser dasinya. Namun, semakin tidak keruan bentuknya. Hal itu membuat Tasya kembali merengut.

Lelaki manis itu lalu mendudukkan bokong di kursi, mengenakan kaus kaki dan sepatunya bergiliran. Tadi pagi ia tidak bekerja dikarenakan pindahan.

"Sorry, Sya. Ni piring tolong bawa ke dapur ya! Aku buru-buru." Siang ini Ardian mesti segera kembali ke kantor, ada jadwal pertemuan dengan seorang relasi perusahaan.

"Emangnya aku pembantu di sini?" protes Tasya.

Ardian menghela napas. "Bukan begitu maksudnya. Aku cuma minta tolong," sahutnya.

Tasya hanya menjawab dengan mendengkus tak suka.

"Aku pergi dulu!" Ardian bangkit dari duduknya.

"Eh, tunggu!" cegah Natasya.

Ardian pun terdiam ketika Tasya mendekat ke arahnya. Lelaki itu tertegun seketika.

"Kamu ini, coba pake pakaian itu jangan asal-asalan napa?" Tasya makin mendekat dan langsung membenarkan dasi Ardian. Matanya merasa sangat terganggu dengan penampilan yang belum rapi itu.

Ardian terpaku di sana. Aliran darahnya seketika berdesir hangat. Baru kali ini ia kembali berdekatan dengan Tasya. Wajah mereka hanya berjarak tak lebih dari tiga jengkal saja. Di dalam hati lelaki itu merasa menghangat. Dulu Maira juga perhatian seperti ini terhadapnya. Tanpa Tasya sadari lelaki itu menikmati wajah indah di hadapannya.

"Nah, 'kan, kalau rapi begini jadi tambah ganteng ...," puji Tasya.

Kedua ujung bibir Ardian terangkat ke atas mendengar ucapan pujian itu.

"Eh!" Tiba-tiba saja mata wanita itu melebar. Sepertinya ia baru sadar telah keceplosan bicara.

Ardian sontak melebarkan senyuman dengan penuh arti. "Baru sadar kalau suamimu ini ganteng?" sindirnya pada sang istri.

"Diiih ...! Ge-er! Nggak! Yang ganteng itu baju dan dasimu!" Tasya kembali duduk di sofa dengan wajah merona kemerahan.

Ardian semakin melebarkan senyumannya. "Assalamualaikuuum ...," ucapnya sambil mengerlingkan mata ke arah sang istri.

"Wa alaikumus sallam!" ketus Tasya sembari menekan remote menyalakan televisi. Wajahnya semakin merah padam.

Ardian tertawa kecil seraya melenggang pergi.

***

"Gue nggak nyangka lo malah nikah dengan si Ardian yang dulu sering lo ceritain."

"Hhhh ... ya gitu, deh." Tasya menghela napas panjang mendengar tanggapan Fika atas pernikahannya dengan lelaki yang selama ini ia benci.

"Mana sini lihat fotonya? Gue jadi penasaran dengan tampangnya sekarang. Dulu lo pernah nunjukin pas di parkiran pondok, tapi dari jauh dan itu udah lamaaa banget!" seru Fika antusias.

Selama ini Tasya hanya sering menceritakan ketidaksukaannya terhadap pria itu kepada sang sahabat. Fika tidak pernah berkenalan sama sekali, sebab dia tidak pernah berkunjung ke rumah Natasya yang berada di Desa Binar. Ia hanya mengunjungi rumah Monalisa, tantenya Tasya. Ia pernah melihat pria itu dulu ketika Tasya dijemput supir yang Ardian dan Nay sama-sama ikut di pondok mereka ketika masih bersekolah di tingkat Tsanawiyah.

Tasya lalu meraih ponsel, kemudian membuka galery dan menunjukkan foto sang suami kepada sahabatnya itu.

"Wuiih! Cakep ini, mah, Sya! Dari dulu memang cakep siih!" seru Fika sembari meraih hape Tasya, kemudian menggeser-geser layar benda segi empat tersebut melihat foto-foto pernikahan Natasya.

Tasya hanya memencongkan bibirnya mendengar pujian Afika terhadap Ardian.

.

.

.

.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Embusan Angin
smangatttt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status