Share

Bab 7

Ketika hari H, Fika tidak bisa datang karena bertepatan dengan hari di mana tantenya meninggal dunia di Surabaya.

"Cakepan juga Kak Hendi," lirih Tasya sembari mencebik.

Hendi adalah adik dari Naysilla—ibu sambung Tasya.

"Hendi cakep, tapi ini juga nggak kalah ganteng. Body-nya sekarang juga keren kalo dilihat-lihat. Kalian kelihatan serasi loh, Sya." Fika cekikikan di sana.

"Huuuft ...." Tasya tidak memungkiri kalau Ardian tak kalah keren dibandingkan pria yang selama ini ada di hatinya.

Ya, ia menyukai adik dari sang ibu tiri, Hendi. Perasaan itu ada semenjak ia masih remaja. Namun, pria itu sama sekali tidak menaruh hati padanya. Hendi sudah menikah tiga setengah tahun yang lalu, bahkan sudah mempunyai seorang putra. Itu yang membuat ia patah hati.

Mungkin memang salah Tasya juga, karena mencintai dalam diam. Ia tidak pernah mau mengungkapkan perasaannya itu karena takut ditolak dan tentu saja, apa tanggapan semua orang kalau tahu ia mencintai orang yang berstatus sebagai om-nya sendiri?

"Udahlah, Sya. Lo lupakan Hendi. Sekarang lo mesti belajar mencintai suami lo sendiri." Fika menatap lekat ke arah sang sahabat.

"Lo tahu gue benci ma dia sejak dulu!" ketus Tasya tidak terima.

"Ya kalo gue pikir-pikir, nggak ada alasan lo buat benci dia, Sya," imbuh Afika.

Tasya menatap sengit ke arah sahabatnya. "Dari sejak dia nongol, bokap gue udah suka sama dia! Bahkan Grandma! Sampe Ibu! Dia bukan siapa-siapa, Fik! Belom lagi adeknya si Arya yang tengil itu! Tapi si Ardian ini selaaalu dapat perhatian istimewa dari keluarga gue! Gimana gue nggak benci sama penjilat dan tukang cari muka kayak gitu!" omel wanita cantik itu berapi-api.

Fika hanya bisa menghela napas lelah mendengar semua keluhan dari sahabatnya. Ia sudah tidak heran. Sejak dulu Tasya sudah membenci Ardian karena dianggap telah menarik perhatian seluruh keluarganya. Tidak ada orang lain yang diperlakukan seperti keluarganya memperlakukan Ardian, padahal ia hanya anak seorang supir. Kalau Arya itu hanya sesekali saja datang, karena dia anak ibu tiri Ardian yang tidak begitu dekat dengan keluarga Tasya.

"Lo dulu bilang, udah baikan sama dia." Afika ingat, kalau sebenarnya Tasya sudah lama tidak bermasalah dengan Ardian. Mereka bekerja di kantor yang sama. Bahkan pria itu adalah asistennya—sebagai CEO.

"Sekarang gue balik benci. Semenjak Grandma, Daddy, dan Ibu ngejodohin gue sama dia. Bayangin, Fik! Dia udah dapetin semuanya. Perhatian keluarga, posisi di perusahaan bokap, bahkan sekarang dia dapetin gue jadi bininya! Enak dan beruntung banget 'kaaan, idup tu orang!" Tasya semakin emosi.

Fika terdiam mendengar Natasya makin panas. Ia sudah terbiasa mendengar rutukan wanita di hadapannya ini. Sebab sudah bersahabat sejak mereka masih di bangku Tsanawiyah dulu. Begitulah Tasya terhadap Ardian.

"Oke-oke, udah ... jangan bahas laki lo lagi. Gimana dengan bisnis lo di perusahaan sekarang, lancar?" Fika mengalihkan pembahasan. Ia tak mau sahabatnya semakin emosi.

"Alhamdulillah lancar. Tapi gue udah malas mau ngurusin. Bokap-nyokap juga kayaknya nggak masalah tuh. Mantu kesayangaaan! Biar aja si anak supir itu yang sibuk sendiri. gue malas ke kantor lagi. Entahlah, apa kata karyawan-karyawan ngeliat gue sama dia jadi manten."

Fika hanya terdiam mendengar sang sahabat mengomel panjang lebar.

Hening ...

"Anyway, ngomong-ngomong lo lama di sini, Fik? Gue bosenlah kalo Sabtu-Minggu cuma dengan Ardian. Kalo di rumah sih, masih enak, gue bisa nonton bareng adek-adek gue. Lah di sini?" tanya Tasya memecah keheningan.

"Lo sendiri yang bilang minta pindah kemari? Etapi, gue seneng, jadi 'kan, pas gue di sini lo bisa sering nyamper gue," imbuh Afika, "tapi gue lusa mungkin udah balik lagi ke Surabaya, Say."

Tasya melengos lemas.

"Lo ngapain juga pindah ke sini coba? Tadinya, udah bener sih, lo di sana, rame. Nggak bikin lo berdua aja sama laki lo, 'kan?" Afika mengernyitkan dahinya menatap ke arah Natasya.

"Ck! Itulah gue salah perhitungan. Tadinya gue pikir apartemennya ada dua kamar. Jadi, gue pengen kami bisa pisah kamar, 'kan. Kalo di rumah keluarga gue di desa, jelas-jelas nggak mungkin! Tapi nyatanya kamarnya cuma satu ... dasar mental gembel. Beli apartemen aja kayak gitu!"

"Hahahaaa ...!" Afika tertawa. "Salah lo juga. Mestinya lo obserpesion duluuu. Makin parah lo berduaan begini. Bisa makin mudah Ardian nangkep lo. Huaahaahaahaa!" Wanita itu tergelak-gelak membayangkan yang iya-iya.

"Issh! Lo! Bukannya prihatin sama temen. Malah ngomong yang nggak-nggak. Ntar jadi doa lagi. Amit-amiiit!" Tasya merinding geli.

Fika makin tergelak mendengar ucapan Tasya. Dirinya teringat Tasya pernah bercerita kalau Ardian selalu tidur dengan keadaan shirtless. Bahkan Tasya memuji tubuh Ardian yang bagus.

Ya. Natasya tidak memungkiri kalau Ardian memang tampan, bahkan mempunyai tubuh yang terpahat indah. Makanya ia sering mencuri-curi pandang jika Ardian mau atau habis mandi, ataupun ketika hendak tidur. Terkadang muncul juga pikiran yang iya-iya. Walau bagaimanapun juga, Natasya adalah wanita dewasa yang tentu saja tertarik dengan hal-hal yang beraroma keintiman pria dan wanita.

"Eh, lo ke rumah gue aja dulu, yuk!" seru Fika tiba-tiba. Karena waktu tak terasa sudah sangat sore.

"Nggak papa gue singgah ke rumah lo? Kata lo nyokap lagi ada arisan sore ni?"

Fika melirik arlojinya. "Ini mah, udah selesai. Bentar aja! Nyokap gue masak banyak. Beliau pasti seneng lo dateng. 'Kan, dah lama nggak ketemu sama elo."

"Okelah," sahut Tasya sembari mengulas senyum.

Mereka pun pergi dari kafe tersebut.

***

"Kok, baru pulang jam segini kamu?" tanya Ardian ketika melihat Tasya baru datang.

Saat ini sudah pukul 21.45 WIB. Kalau sudah ngobrol dengan sahabatnya, Fika, ia memang sering keasyikan. Kebetulan Fika juga sedang tidak bersama sang suami, jadinya mereka sampai lupa waktu.

"Bukan urusan kamu," ujar Tasya santai sembari menanggalkan sepatu kets-nya dan meletakkan benda itu di atas rak.

"Kenapa nggak angkat telepon aku?" tanya Ardian lagi.

Ardian sudah pulang dari Isya tadi, karena jarak kantor sudah tidak begitu jauh. Ketika di apartemennya, ternyata tidak ada sang istri. Ia pun langsung menghubungi. Sayangnya panggilannya tidak digubris oleh Tasya karena tak mau mengeluarkan ponsel itu dari tasnya.

"Aku sibuk!" Tasya meraih sehelai bathrobe dari almari. Ia ingin mandi karena tubuhnya terasa lengket terkena keringat.

"Aku ini suami kamu." Ardian menahan emosinya.

"Aku tahu! Nggak perlu diperjelas." Tasya menatap nyalang ke arah Ardian. "Toh, aku juga nggak pernah ribut kalau kamu pulang malam. So, kamu nggak perlu recokin aku." Wanita cantik itu pun melangkah ke dalam kamar mandi lalu menutup pintunya.

Ardian mencoba untuk tetap sabar menghadapi istrinya. Dulu Maira sangat menghargai dirinya, tidak seperti ini. 'Sepertinya Tasya perlu diberi pelajaran biar jadi istri yang baik.' Rahang Ardian mengeras. Apalagi sekarang mereka hanya berdua di rumah. Ardian berpikir tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kali ini.

Setelah selesai membersihkan diri, Natasya pun keluar dari kamar mandi. Ia menggunakan bathrobe yang cukup panjang, lebih dari lutut. Karena itu, ia merasa aman dari pandangan mata Ardian. Rambut juga ia tutup dengan handuk karena habis keramas.

Tasya tidak sadar, kalau mata para pria itu berbeda. Walau sekecil apa pun, lelaki pasti mencari celah, sebab setiap inci tubuh wanita itu punya daya tarik tersendiri.

"Kamu harum sekali ...."

Tasya terlonjak kaget karena tiba-tiba saja Ardian sudah berada di sampingnya.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status