Share

Bab 9

"Pulang ke mana? Ini rumahmu," ujar Ardian dengan nada suara yang datar. Lelaki itu kemudian mematikan kompor. Meletakkan sepiring roti yang sudah dipanggang ke atas meja makan.

Natasya tidak menjawab, ia lalu melangkah anggun menuju ke arah pintu luar.

"Childish!" cibir Ardian sembari mengoleskan selai kacang-coklat ke atas roti.

"Ngomong apa kamu, hah?!" Natasya menghentikan langkahnya, ia terlihat tidak terima dengan sindiran Ardian barusan.

"Kamu nggak tuli," sahut Ardian sembari menduduki kursi makan di sana dengan santai.

"Ya, aku nggak tuli! Tapi kamu itu yang tuli! Dasar anak supir udik!"

Tiba-tiba saja Ardian kembali bangkit berdiri dengan wajah yang berang. Ia lalu berjalan perlahan ke arah Natasya.

Wanita cantik itu bersiaga.

"Aku ... memang anak supir. Dan apa kamu nggak sadar? Anak supir ini sekarang statusnya adalah sebagai suami kamu." Dengan suara datar tapi penuh penekanan Ardian menunjuk ke arah Natasya.

"Memang ini 'kan, yang lu incer dari dulu? Akhirnya lu dapetin semuanya! Bahkan diri gue! Gue udah tahu topenglu dari dulu, Penjilat!"

"Oh, yea?" Ardian mendengkus kemudian tertawa kecil, "jadi karena itu kamu menghina dan menolakku?"

"Lu nggak level buat gue! Sadar lu!"

"Ya ya yaaa! Aku sadar ... Sya. Aku sadar selama ini memang aku banyak utang budi dengan keluargamu. Akan tetapi, bisa sedikiiit aja kamu hargai aku? Aku ini suami kamu sekarang!" Ardian menatap lekat ke arah sang istri dengan sorot nyalang.

"Lu tahu gue terpaksa nikah sama lu, karena keluarga gue. Demi Grandma! Lu udah dapat semua dari bokap gue. Kalau nggak karena kebaikan Daddy, jadi gembel lu! Jadi, jangan berharap lu bakal dapetin juga gue secara utuh! Nooo ... way!" tegas Tasya dengan netra yang menyala-nyala.

"Kalau kamu nggak mau terima aku sebagai suamimu, oke! Nggak masalah! Silakan, silakan kamu pergi dari hidup aku, Sya!" seru Ardian menaikkan suara.

Natasya menatapnya dengan sorot menantang.

"Kapan kamu mau aku serahkan semuanya? Jabatanku di kantor cabang perusahaan juga sekalian? All right! I'll do it! Tapi, aku cuma minta satu hal sama kamu sekarang. Jangan kayak anak kecil kamu. Begini aja sudah merengek minta pulang."

"Owh, ya?! Lu mau nyerahin jabatanlu yang udah tinggi itu dari perusahaan bokap gue? Yakin lu??" Tasya menatap ke arah Ardian dengan tatapan merendahkan. Ia sangat tidak yakin pria itu mau melepas jabatan yang diincar banyak orang itu.

"Ya, akan aku serahkan semuanya. Termasuk kamu!" Tunjuk Ardian ke arah Natasya, "tapi aku akan serahkan kamu baik-baik, jadi tolong jangan seperti anak kecil. Aku akan antar kamu pulang lusa. Besok dan hari ini aku akan bereskan urusan di kantor, kemudian baru bikin surat pernyataan melepas jabatan."

Natasya mengernyitkan dahi. Antara percaya dengan tidak dengan omongan sang suami. Namun, ia putuskan akan bersabar sebentar lagi. "Oke! Aku tunggu sampai besok lusa!" ucapnya sembari menyeret kopernya kembali masuk ke kamar.

Tak berapa lama, Tasya kembali lagi ke ruang tengah. Lalu melangkah lebar menuju pintu keluar.

"Kamu mau ke mana, Sya?!" panggil Ardian.

Natasya hanya menghempaskan tangannya ke udara dan terus melenggang pergi tanpa menghiraukan sang suami.

"Aaaargh!" Ardian menendang sofa di depannya hingga benda itu bergeser berantakan.

***

"Apa?? Lo mau cerai?!" Afika sangat terkejut mendengar ungkapan dari Natasya barusan.

"Yup!" Natasya meraih sebuah bantal kemudian merebahkan tubuhnya di ruang kamar di rumah sahabatnya itu.

Untung saja ibu Fika sedang tidak ada di rumah. Kalau mendengar suara anaknya barusan, mungkin juga akan ikutan kaget. Natasya adalah sahabat karib Afika, sudah dianggap seperti anaknya sendiri.

"Lo gila, Sya? Lo baru aja sebulan nikah, udah mau cerai aja? Jangan macam-macam lo!!" kilah Fika tak habis pikir.

"Ya baguslah, kalau lebih lama lagi gue nggak bakal bisa jamin, gue bisa mempertahankan harga diri bahkan badan gue. Tadi malam hampir aja dia perk0sa gue. Emang suek! Dasar duda mesum!"

"Hah??" Fika tertegun mendengar istilah yang dikeluarkan oleh sahabatnya itu. Namun, sedetik kemudian– "Hahahahaaaaa!" Tiba-tiba saja Fika tertawa terbahak-bahak.

Kedua alis Natasya bertaut kencang melihat ke arah Fika. "Sakit lo??"

"Huahahaaahaaa!" Fika semakin tertawa lebar sambil memegang perutnya yang terasa keram seketika.

"Kunyuk!!" Tasya melempar sebuah bantal ke arah Fika yang duduk di sofa berjarak satu setengah meter dari ranjang yang ia baringkan.

"Mana ada suami memperk0sa istri, Tasyaa ... Tasyaaa ...!" Tawa Fika masih tersisa. Ia sungguh merasa geli dengan sahabat kentalnya itu.

Tasya hanya memberengut dengan tanggapan dari Fika. Sang sahabat pun menghentikan tawanya ketika melihat Tasya memasang wajah yang sedih.

"Hmm ... Lo pikirin lagi deh, Sya. Neneklo 'kan, sakit jantung. Kalau tahu lo mau pisah gini, apa nggak anfal lagi beliau? Bahkan bisa ajaa ...." Fika menghentikan omongannya. Ia tak mau mendahului takdir.

Akan tetapi, apa yang diperkirakan Fika bisa jadi benar.  

"Jadi, menurut lo gue mesti gimana, Fik?" tanya Tasya pada akhirnya.

Afika menoleh ke arah sahabatnya. "Lo nggak bisa lebih sabar lagi? Siapa tahu lo bakal bisa jatuh cinta sama Ardian. Toh, dia nggak jelek, malah ganteng gitu. Dia juga perhatian ke keluarga lo. Ingat, dari dulu siapa yang selalu sedia kalau ada apa-apa? Ardian dan ayahnya, 'kan?"

Dulu Zack pernah jatuh dari motor, sampai engsel kakinya lepas. Kemudian ibu sambungnya yang tiba-tiba pingsan karena terserang anemia. Ardianlah yang membantu keluarga Tasya. Ia bolak-balik ke rumah sakit mengurusi. Karena Steven terkadang mesti keluar kota dan belum bisa dengan segera meninggalkan urusannya.

Tasya kembali terdiam.

Afika memang benar. Akan tetapi, kebencian yang dulu sempat berkurang, entah mengapa kini kembali lagi. Pikiran bahwa Ardian adalah seorang penjilat terus ia pupuk di dalam hati. Bagaimana bisa ia menerima pria itu sebagai suaminya? Bahkan bagaimana ia bisa menyerahkan tubuhnya sebagai hak orang yang sudah berstatus sebagai suaminya? Jika menolak pun ia akan mendulang banyak dosa secara terus-menerus. Semua menjadi dilema bagi Natasya.

"Lo pikir-pikir lagi, deh," ulang Afika.

"Gue bingung, Fik. Bener yang lo bilang. Apa kata semua orang kalau gue mau cerai secepat ini? Grandma juga, bahaya jantungnya. Aaahh ...." Tasya memegang kepalanya. "Tapi kalau lama-lama, ntar gue dinodain sama si anak supir itu! Gimana, dong?" Tasya mendudukkan diri di ranjang, lalu menatap pelas ke arah Fika.

"Sya ... Sya. Kalo gue masih single, gue yang embat tu Ardian. Cowok ganteng, badan oke gitu lo anggurin."

"Ih, seriusan bisa?!" Tasya berdecak kesal.

"Lah, gue serius, Say! Emang lo sama sekali nggak ada nafsu sama dia?!" Afika mendekat dan ikut duduk di atas ranjang.

"Nggak!" sambar Tasya cepat.

"Beneran?? Sama sekali nggak ada nafsu??" Afika seakan tidak percaya. Sahabatnya ini cewek normal apa tidak?

"Ya, kadang-kadang dikiit ...." Tasya berisyarat mengukur dengan jari jempol dan telunjuknya sekitar dua centimeter.

"Nah!!" seru Afika tiba-tiba.

Tasya menautkan alisnya kencang hendak menyimak dengan saksama apa yang bakal disampaikan Afika.

"Anggap aja hubungan kalian ini sebagai simbiosis mutualisme."

Tasya makin mengernyitkan dahi. "Maksud lo??" tanyanya bingung. Ia heran, mengapa tiba-tiba Afika jadi guru biologi begini?

"Ya, beneran. Lo jalanin peran lo sebagai seorang istri selayaknya istri-istri pada umumnya. Dan nggak ada masalahnya lo berdua having s*x sesekali."

Deg!

"Having s*x?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status