Share

Bab 3

Di sisi lain, Dimas masih terus saja memikirkan tindakan Adinda padanya tadi.

“Sial!” lirihnya.

Pria itu benar-benar bingung mengapa sang ibu memilih perempuan macam Adinda.

Meski sudah nyaris berkepala empat, tetapi banyak perempuan yang mengejar Dimas dan rela melemparkan tubuh mereka di ranjangnya.

Sayangnya, Dimas tak pernah tertarik.

Dia masih mencintai mantan istrinya dan ingin kembali dengan ibu dari Moza itu.

Dulu, pernikahan mereka terjadi saat Dimas dan Megan masih sangat belia, yakni saat usia 17 tahun. Hal itu karena Megan terlanjur mengandung Moza.

Dimas pun mencoba bertanggung jawab.

Sayangnya, Megan justru meninggalkannya setelah melahirkan–demi mengejar karir di luar negeri.

Tahun lalu, mantan istrinya itu kembali dan meminta maaf.

Keduanya nyaris bersatu. Hanya saja, sang ibu selalu mencegahnya.

Namun, begitu ditanyai alasannya, Laras selalu menolak memberi tahu. Bahkan, bawahannya tak berhasil menyelidiki alasan sang ibu.

Puncak frustasi Dimas adalah ia harus menikahi wanita muda pilihan ibunya yang bahkan seumuran dan sahabat putri kandungnya! Jika tidak, harta warisan Keluarga Hermawan akan disumbangkan ke panti asuhan.

“Tak bisa kubiarkan. Aku akan mengakhiri pernikahan ini secepat mungkin,” janji Dimas dalam hati.

Sementara itu, tanpa disadari Dimas, ibunya kini sedang menemui Kinara di ruang pribadinya.

Diletakkannya amplop coklat berisi lembaran tebal rupiah di meja. "Ini sebagian bayarannya."

Ibu angkat dari Adinda itu sontak tersenyum. Diraihnya amplop coklat itu.

"Astaga. Ini uang?" Mata Kinara berbinar melihat rupiah yang begitu banyak. "Sebanyak ini?"

Seumur hidupnya, wanita itu tidak pernah melihat uang sebanyak itu.

Sebenarnya, Kinara masih bingung mengapa nyonya yang dilayaninya itu menginginkan Adinda sebagai menantunya.

Teringat beberapa minggu lalu, Laras tampak begitu tegang kala memintanya untuk membuatnya secangkir teh.

"Saya akan memberikan uang kepadamu jika kamu bersedia menikahkan anakmu dengan putra saya," paparnya tiba-tiba, "Tak hanya itu, utangmu selama ini juga akan saya anggap lunas. Hidupmu akan terjamin!"

Kinara sontak berdebar. Dia memang tak peduli pada Adinda mau bahagia atau tidak.

Yang terpenting adalah uang!

Apalagi, utangnya cukup banyak semenjak suaminya kecelakaan saat bekerja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Kapan lagi bisa mendapatkan penawaran menarik seperti ini bukan?

Hanya dengan menikahkan anak pungutnya, semua beres!

Tanpa pikir panjang, Kinara pun langsung menyetujuinya dan hari ini adalah penyerahan uang yang dia tunggu-tunggu.

Hanya saja, kedua orang itu tak menyadari jika Adinda kebetulan melihat transaksi itu.

Tadinya, dia yang berniat menghampiri ibu angkat yang kedatangannya terlihat dari jendela kamar.

Dia berpikir bahwa Kinara datang untuk menjenguk dirinya setelah resmi tinggal di rumah keluarga barunya.

Namun, ia justru melihat kejadian dirinya “dijual” pada keluarga sang suami.

Segala macam emosi menumpuk di diri Adinda saat ini.

Jika saja tak teringat kebaikan sang ayah angkat, mungkin Adinda mengamuk.

Sembari mengepalkan tangan, Adinda pun kembali menuju kamarnya.

Dia termenung cukup lama–sendirian di sana.

Ceklek!

Gagang pintu tiba-tiba bergerak. Ternyata, ibu angkat Adinda datang ke kamarnya.

Adinda sendiri hanya diam sambil menatap wanita kejam itu yang mulai mendekat ke arahnya.

"Bagaimana rasanya menjadi istri dari konglomerat? Bahagia bukan?" tanya sang ibu angkat penuh senyum.

"Ibu sungguh luar bisa tega," jawab Adinda spontan.

Alih-alih tersinggung, Kinara justru tertawa kecil. "Seharusnya, kamu berterima kasih kepada Ibu."

Kinara pun menunjuk sekeliling kamar. "Lihat, kamu bisa hidup mewah di sini!" lanjutnya, lalu dengan cepat mencengkram erat dagu Adinda.

"Kau harus bisa menghadapi, Tuan Dimas! Karena itu adalah tugasmu. Jika tidak, artinya kau tidak tahu balas budi pada suamiku. Ingat itu, Adinda!”

Setelah mengatakan itu, Kinara pun melepasnya tangannya.

Tak dia pedulikan Adinda yang menahan tangis sambil menunduk.

Gegas, ia memilih untuk pergi. Namun saat membuka pintu kamar, ternyata ada Dimas di sana.

Kinara sempat terkesiap, tetapi ia dapat mengendalikan diri.

Segera, ia menundukkan kepalanya, kemudian pergi dari kamar tersebut.

"Mau anak itu mati di tangan Dimas pun, aku tidak peduli karena yang terpenting bagiku adalah uang," kata Kinara dalam hati sembari membayangkan amplop coklat yang diterimanya.

*****

Di sisi lain, wajah Dimas tampak begitu dingin.

Dia pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.

Namun, Adinda belum menyadari kehadiran Dimas. Perempuan itu sebenarnya masih syok dengan apa yang dilakukan sang ibu angkat.

Prang!

Dimas sengaja menjatuhkan sebuah laptop, hingga sebuah benda yang pecah.

Adinda sontak tersadar. Perempuan itu segera melihat wajah Dimas yang kini tersenyum sinis.

"Kau dan Ibumu pasti bahagia sekali, bukan?" tanya pria itu, "kalian sudah mendapatkan apa yang kalian inginkan.”

Alih-alih marah, Adinda memilih untuk diam.

Sejujurnya, dia lelah sekali harus berdebat dengan Dimas.

Kalau bisa, Adinda juga lebih memilih menikah dengan kekasihnya saja dibanding pria tua yang selalu saja menuduhnya dengan sangat kejam.

Menyadari wanita di hadapannya hanya terdiam, Dimas tampak kesal. "Kalau kuberi uang seratus juta, kau pasti suka rela tidur denganku, ‘kan?" ucapnya tanpa sadar.

Adinda hanya tertawa. "Untuk apa membayar lagi? Bukankah Nyonya Laras sudah membeliku?" tantangnya tanpa takut.

"Ternyata, kau pintar. Aku–"

"--Terima kasih sudah mengakui kepintaranku. Tapi, aku sudah bosan mendengar pujian itu karena banyak orang sebelum Anda yang juga mengakuinya!" potong Adinda dengan rasa penuh percaya diri.

Dimas pun mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban Adinda.

Entah apa yang ada di benak pria itu yang tiba-tiba tersenyum miring sambil terus menatap wajah Adinda.

Tiba-tiba saja, Dimas naik ke ranjang dan mendekati Adinda. "Baiklah. Karena kau sudah dibayar oleh Ibuku, tentu saja aku tidak mau rugi!" ucapnya.

Tiba-tiba saja Dimas melangkah maju mendekati Adinda, seraya tangannya mengusap pipi Dinda lembut.

“A-apa yang kau lakukan?” Sontak saja Adinda menepis tangan Dimas.

“Apa lagi?” Dimas semakin mendekat ke arah Adinda, bahkan tubuh keduanya sudah saling bertubrukan seraya lengannya melingkar di pinggang Adinda.

“Tentu saja, melakukan hal yang biasa dilakukan pengantin baru,” bisiknya dengan nada rendah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status