Share

Bab 4

Adinda terkejut dengan pernyataan yang terlontar dari Dimas.

Dirinya semakin melangkah mundur, karena saking tergesa-gesanya, Dinda melupakan bahwa dirinya masih menggunakan gaun pengantin, sehingga kakinya terpeleset dan Dinda memegang lengan Dimas, sehingga keduanya terjatuh bersamaan di ranjang.

Bugh!

“Sepertinya, kau terlalu terburu-buru, Nona,” ucap Dimas yang posisinya sudah berada di atas Adinda.

“Menyingkirlah! Atau akan kupukul!” jerit Adinda marah.

Namun, bukannya menyingkir, Dimas justru menaikkan tubuh Dinda ke tengah kasur.

Dirinya masih mengukung tubuh kecil Adinda.

Dimas tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, perlahan-lahan tangannya beralih ke bahu Dinda yang terlihat gemetar ketakutan ketika Dimas mulai menurunkan tali tipis gaunnya yang berada di bahu Dinda.

Dinda hanya mampu menggeliat resah, saat gaun yang dikenakannya meluncur turun dari balik bahu, tubuhnya lemah tidak bertenaga hingga tak mampu berbuat apapun.

Bahkan saat lengan kekar itu mengurung tubuhnya di atas ranjang, Dinda hanya terdiam di bawah sorot dingin yang seolah-olah menyihirnya.

Dimas terlihat mulai terbakar gejolak gairah, bergerak lebih intens untuk menyentuh, membelai serta memuja setiap jengkal kulit putih bersih yang terekspos.

"Akh! Jangan ..." rintih Dinda tertahan.

Desahan tertahan keluar dari bibir Dinda ketika sesuatu yang lembut dan juga lembab menyentuh pundaknya, meninggalkan cetakan dalam berwarna kemerahan.

Dimas mendengus puas, bersama dengan guratan senyum tipis yang tercetak di sudut bibirnya, memperlihatkan rona bangga atas karya yang dibuatnya.

Tangan itu semakin turun untuk menjamah titik-titik sensitif, membuat Dinda menggelinjang. Menggulung punggungnya merespon belaian lembut yang perlahan membakar hasratnya.

'Perasaan ini—' racau Dinda dalam hati kala sensasi yang belum pernah ia rasakan tiba-tiba menyerang tubuhnya, menggoda naluri dan akal sehatnya.

Perempuan tangguh itu berjuang menahan gemetar di tubuhnya yang meremang agar Dimas tak merasakan kepanikannya.

Drrt!

Seolah mendengar permohonan terdalam Adinda, suara ponsel Dimas mendadak terdengar kencang.

Terdapat sebuah panggilan untuknya.

“Shit!” umpat pria itu menahan kesal saat mengambil ponsel di sakunya.

Akan tetapi, begitu melihat kontak atas nama [Megan], Dimas tampak menahan senyum.

Tiba-tiba saja, pria itu bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar.

Namun sebelum benar-benar meninggalkan Adinda, dia berhenti. "Untuk malam ini, kau masih bisa tenang, tapi tidak untuk selanjutnya!” ancamnya.

Adinda hanya bisa menatap nyalang kepergian Dimas.

Tangannya mengepal kencang.

Karena sudah larut malam, perempuan itu pun mencoba tidur.

Sayangnya, ia terjaga sepanjang malam akibat kemarahan yang luar biasa.

Pagi-pagi sekali, tubuhnya terasa sakit. Kepalanya pun sedikit pusing.

Ceklek!

Tiba-tiba pintu pun terbuka tampak seorang wanita yang tak lain adalah seorang pembantu di kediaman Hermawan.

"Selamat pagi. Saya ingin memberitahu bahwa Nyonya besar sudah menunggu Anda di meja makan untuk sarapan pagi," katanya.

Tanpa basa-basi, pembantu itu pun segera pergi setelah mengatakan apa yang diperintahkan padanya.

Adinda lantas menarik napas panjang.

Dia pun menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Diabaikannya wajah yang pucat karena tidak tidur semalaman dan segera mencuci wajahnya.

Setelahnya, dia menuju meja makan sesuai perintah.

“Huuueekkk!”

Sayangnya baru saja tiba, Moza langsung bersuara demikian, seolah merasa mual melihat Adinda di sana.

"Kamu sakit?" tanya Laras.

"Nggak, Oma. Tiba-tiba saja aku mencium bau bangkai," jawab Moza.

Perempuan itu lalu menatap Adinda dengan senyuman miring untuk memberi kode bahwa bangkai yang dia maksud adalah istri baru sang ayah.

Hanya saja, Laras tampak tak mengerti mengapa bisa cucunya berkata demikian. "Bau bangkai?"

Melihat Moza hanya mengangguk, Laras pun menghela napas.

Ditatapnya Adinda, lalu berkata, "Sudahlah. Adinda, ayo duduk dan ikut sarapan bersama."

Bersamaan dengan itu, dia menunjuk kursi meja makan yang bersebelahan dengan Dimas.

Adinda hanya bisa menurut dan duduk di samping sang suami.

"Isi piring suamimu. Perhatikan juga setiap kebutuhannya," tambah Laras lagi.

Seperti boneka, Adinda menjalankan perintah sang mertua.

Di sisi lain, Moza menahan rasa geram atas kehadiran Adinda.

Dia pun segera bangkit dari duduknya–menyudahi sarapannya yang belum selesai.

"Moza!" tegur Laras, “kenapa kamu tidak habiskan sarapanmu?”

"Maaf, Oma. Tapi, Moza nggak sudi satu meja makan dengan wanita jalang!" paparnya langsung dan menatap rendah Adinda.

Tak butuh waktu lama, di pun benar-benar berlalu pergi menuju kampus.

Adinda hanya bisa tersenyum miris mendengar ucapan Moza yang begitu menyayat hati.

Dia tak menyangka kini dirinya begitu hina di mata sahabatnya sendiri.

"Adinda lakukan yang saya perintahkan barusan!" ucap Laras menyadarkan dari lamunan.

"Iya, Nyonya," sahut Adinda sembari mengangguk.

"Panggil, saya, Ibu!"

"Iya, Ibu," ucapnya memperbaiki panggilannya.

Setelahnya, Adinda pun segera mengisi piring Dimas.

Namun, saat menuangkan sayur, ia tak sengaja menumpahkannya ke kemeja Dimas.

Pria itu sontak bangkit dari duduknya sambil menepuk-nepuk kemejanya.

Dari sudut mata Adinda, dia dapat melihat kepalan tangannya.

Brak!

Dimas tiba-tiba memukul meja makan, hingga makanan di atasnya tumpah.

Bahkan, ada wadah yang pecah.

Ditatapnya Adinda dengan tajam.

Pagi ini, dia ada pertemuan penting dengan sang mantan istri. Dan kejadian ini, jelas merusak moodnya.

Adinda yang menyadari kesalahannya pun menundukkan kepalanya.

Dirinya benar-benar menyadari kecerobohannya itu. “Maaf.”

Sayangnya, Dimas tak peduli. Ia pun pergi meninggalkan ruang makan dan mengganti pakaiannya.

Setelah itu, Dimas pun segera berangkat ke kantor.

Laras yang memperhatikan interaksi keduanya, lantas menghela napas.

"Adinda, kamu tidak boleh mengulangi ini lagi. Karena tugasmu adalah membuat Dimas menjadi tak tempramental lagi!" ucapnya.

"Temperamental?" ulang Adinda, kebingungan.

Laras mengangguk. "Iya. Maka dari itu, aku harus mencari wanita untuk bisa membuat Dimas menjadi lebih baik. Dan kau, berkewajiban untuk itu! Kalau sampai kau tidak mampu, maka masa depanmu akan hancur di tanganku! Bahkan, aku juga bisa menghancurkan Zira!" paparnya.

Mendengar ancaman itu, Adinda sontak terkejut.

Jika menyangkut dirinya, dia dapat menahannya. Tapi, Zira?

Adinda menggelengkan kepala. Zira sudah seperti adik kandungnya sendiri.

"Kau paham, Adinda?!" tanya Laras yang membuat Adinda pun kembali tersadar dari pikirannya.

"Iya, Nyonya," balas Adinda cepat.

Menyadari Laras kembali menatap Adinda tajam karena lagi-lagi dirinya tak memanggil Laras Ibu, Adinda pun kembali berkata, "Maksudnya, Ibu."

"Susul anak saya. Dan ingat, bantu dia dalam segala hal!" peringat Laras kembali.

"Baik, Bu."

Dengan langkah kaki yang cepat, Adinda pun segera menyusul Dimas ke kamar.

Di sana, pria itu tampak melempar kemeja yang menurutnya tidak cocok untuk dia pakai.

Alih-alih mencari, Dimas justru tampak seperti menghancurkannya.

"Apa aku menikah dengan orang gila?" gumam Adinda yang bingung dengan sikap Dimas.

Dia pun melangkah ke dekat sang suami, lalu mengambil salah satu kemeja.

"Tuan, yang ini saja. Ini cocok dengan Anda," kata Adinda yang kini memegang kemeja di tangannya.

Sayangnya, Dimas justru menatapnya dengan sangat tajam.

Dia pun mengangkat tangannya dan mencengkram erat lengan bagian atas Adinda.

"Kau tahu, apa yang kau lakukan tadi sangat merugikan!" geramnya.

Adinda yang tadinya diam, tiba-tiba saja tertawa.

Melihat responnya itu, Dimas mengerutkan kening. "Apa kau gila?"

"Gila?” Adinda menggelengkan kepala. “Aku hanya sedang berusaha untuk gila karena harus menghadapi orang gila," jawabnya santai.

"Maksudmu aku gila?"

"Apa Anda merasa?" tantang Adinda, menahan gemetar.

"Kau! Benar-benar kurang ajar!" Dimas pun melemparkan tubuh kurus Adinda, hingga terlempar di kasur.

Tanpa basa-basi, Dimas pun mengukungnya dan meraih dagu Adinda sembari tersenyum miring.

Dia benar-benar ingin membuat perempuan itu ketakutan dan menyesal.

“Biar kutunjukkan kegilaan yang sebenarnya," ucapnya dingin.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ina Syahril
penisiran ya
goodnovel comment avatar
Titik Yuliati
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status