Adinda terkejut dengan pernyataan yang terlontar dari Dimas.
Dirinya semakin melangkah mundur, karena saking tergesa-gesanya, Dinda melupakan bahwa dirinya masih menggunakan gaun pengantin, sehingga kakinya terpeleset dan Dinda memegang lengan Dimas, sehingga keduanya terjatuh bersamaan di ranjang.Bugh!
“Sepertinya, kau terlalu terburu-buru, Nona,” ucap Dimas yang posisinya sudah berada di atas Adinda.“Menyingkirlah! Atau akan kupukul!” jerit Adinda marah.Namun, bukannya menyingkir, Dimas justru menaikkan tubuh Dinda ke tengah kasur.Dirinya masih mengukung tubuh kecil Adinda.Dimas tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, perlahan-lahan tangannya beralih ke bahu Dinda yang terlihat gemetar ketakutan ketika Dimas mulai menurunkan tali tipis gaunnya yang berada di bahu Dinda.Dinda hanya mampu menggeliat resah, saat gaun yang dikenakannya meluncur turun dari balik bahu, tubuhnya lemah tidak bertenaga hingga tak mampu berbuat apapun.Bahkan saat lengan kekar itu mengurung tubuhnya di atas ranjang, Dinda hanya terdiam di bawah sorot dingin yang seolah-olah menyihirnya.Dimas terlihat mulai terbakar gejolak gairah, bergerak lebih intens untuk menyentuh, membelai serta memuja setiap jengkal kulit putih bersih yang terekspos."Akh! Jangan ..." rintih Dinda tertahan.Desahan tertahan keluar dari bibir Dinda ketika sesuatu yang lembut dan juga lembab menyentuh pundaknya, meninggalkan cetakan dalam berwarna kemerahan.Dimas mendengus puas, bersama dengan guratan senyum tipis yang tercetak di sudut bibirnya, memperlihatkan rona bangga atas karya yang dibuatnya.Tangan itu semakin turun untuk menjamah titik-titik sensitif, membuat Dinda menggelinjang. Menggulung punggungnya merespon belaian lembut yang perlahan membakar hasratnya.'Perasaan ini—' racau Dinda dalam hati kala sensasi yang belum pernah ia rasakan tiba-tiba menyerang tubuhnya, menggoda naluri dan akal sehatnya.Perempuan tangguh itu berjuang menahan gemetar di tubuhnya yang meremang agar Dimas tak merasakan kepanikannya.Drrt!Seolah mendengar permohonan terdalam Adinda, suara ponsel Dimas mendadak terdengar kencang.Terdapat sebuah panggilan untuknya.“Shit!” umpat pria itu menahan kesal saat mengambil ponsel di sakunya.Akan tetapi, begitu melihat kontak atas nama [Megan], Dimas tampak menahan senyum.Tiba-tiba saja, pria itu bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar.Namun sebelum benar-benar meninggalkan Adinda, dia berhenti. "Untuk malam ini, kau masih bisa tenang, tapi tidak untuk selanjutnya!” ancamnya.Adinda hanya bisa menatap nyalang kepergian Dimas.Tangannya mengepal kencang.Karena sudah larut malam, perempuan itu pun mencoba tidur.Sayangnya, ia terjaga sepanjang malam akibat kemarahan yang luar biasa.Pagi-pagi sekali, tubuhnya terasa sakit. Kepalanya pun sedikit pusing.Ceklek!Tiba-tiba pintu pun terbuka tampak seorang wanita yang tak lain adalah seorang pembantu di kediaman Hermawan."Selamat pagi. Saya ingin memberitahu bahwa Nyonya besar sudah menunggu Anda di meja makan untuk sarapan pagi," katanya.Tanpa basa-basi, pembantu itu pun segera pergi setelah mengatakan apa yang diperintahkan padanya.Adinda lantas menarik napas panjang.Dia pun menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Diabaikannya wajah yang pucat karena tidak tidur semalaman dan segera mencuci wajahnya.Setelahnya, dia menuju meja makan sesuai perintah.“Huuueekkk!”Sayangnya baru saja tiba, Moza langsung bersuara demikian, seolah merasa mual melihat Adinda di sana."Kamu sakit?" tanya Laras."Nggak, Oma. Tiba-tiba saja aku mencium bau bangkai," jawab Moza.Perempuan itu lalu menatap Adinda dengan senyuman miring untuk memberi kode bahwa bangkai yang dia maksud adalah istri baru sang ayah.Hanya saja, Laras tampak tak mengerti mengapa bisa cucunya berkata demikian. "Bau bangkai?"Melihat Moza hanya mengangguk, Laras pun menghela napas.Ditatapnya Adinda, lalu berkata, "Sudahlah. Adinda, ayo duduk dan ikut sarapan bersama."Bersamaan dengan itu, dia menunjuk kursi meja makan yang bersebelahan dengan Dimas.Adinda hanya bisa menurut dan duduk di samping sang suami."Isi piring suamimu. Perhatikan juga setiap kebutuhannya," tambah Laras lagi.Seperti boneka, Adinda menjalankan perintah sang mertua.Di sisi lain, Moza menahan rasa geram atas kehadiran Adinda.Dia pun segera bangkit dari duduknya–menyudahi sarapannya yang belum selesai."Moza!" tegur Laras, “kenapa kamu tidak habiskan sarapanmu?”"Maaf, Oma. Tapi, Moza nggak sudi satu meja makan dengan wanita jalang!" paparnya langsung dan menatap rendah Adinda.Tak butuh waktu lama, di pun benar-benar berlalu pergi menuju kampus.Adinda hanya bisa tersenyum miris mendengar ucapan Moza yang begitu menyayat hati.Dia tak menyangka kini dirinya begitu hina di mata sahabatnya sendiri."Adinda lakukan yang saya perintahkan barusan!" ucap Laras menyadarkan dari lamunan."Iya, Nyonya," sahut Adinda sembari mengangguk."Panggil, saya, Ibu!""Iya, Ibu," ucapnya memperbaiki panggilannya.Setelahnya, Adinda pun segera mengisi piring Dimas.Namun, saat menuangkan sayur, ia tak sengaja menumpahkannya ke kemeja Dimas.Pria itu sontak bangkit dari duduknya sambil menepuk-nepuk kemejanya.Dari sudut mata Adinda, dia dapat melihat kepalan tangannya.Brak!Dimas tiba-tiba memukul meja makan, hingga makanan di atasnya tumpah.Bahkan, ada wadah yang pecah.Ditatapnya Adinda dengan tajam.Pagi ini, dia ada pertemuan penting dengan sang mantan istri. Dan kejadian ini, jelas merusak moodnya.Adinda yang menyadari kesalahannya pun menundukkan kepalanya.Dirinya benar-benar menyadari kecerobohannya itu. “Maaf.”Sayangnya, Dimas tak peduli. Ia pun pergi meninggalkan ruang makan dan mengganti pakaiannya.Setelah itu, Dimas pun segera berangkat ke kantor.Laras yang memperhatikan interaksi keduanya, lantas menghela napas."Adinda, kamu tidak boleh mengulangi ini lagi. Karena tugasmu adalah membuat Dimas menjadi tak tempramental lagi!" ucapnya."Temperamental?" ulang Adinda, kebingungan.Laras mengangguk. "Iya. Maka dari itu, aku harus mencari wanita untuk bisa membuat Dimas menjadi lebih baik. Dan kau, berkewajiban untuk itu! Kalau sampai kau tidak mampu, maka masa depanmu akan hancur di tanganku! Bahkan, aku juga bisa menghancurkan Zira!" paparnya.Mendengar ancaman itu, Adinda sontak terkejut.Jika menyangkut dirinya, dia dapat menahannya. Tapi, Zira?Adinda menggelengkan kepala. Zira sudah seperti adik kandungnya sendiri."Kau paham, Adinda?!" tanya Laras yang membuat Adinda pun kembali tersadar dari pikirannya."Iya, Nyonya," balas Adinda cepat.Menyadari Laras kembali menatap Adinda tajam karena lagi-lagi dirinya tak memanggil Laras Ibu, Adinda pun kembali berkata, "Maksudnya, Ibu.""Susul anak saya. Dan ingat, bantu dia dalam segala hal!" peringat Laras kembali."Baik, Bu."Dengan langkah kaki yang cepat, Adinda pun segera menyusul Dimas ke kamar.Di sana, pria itu tampak melempar kemeja yang menurutnya tidak cocok untuk dia pakai.Alih-alih mencari, Dimas justru tampak seperti menghancurkannya."Apa aku menikah dengan orang gila?" gumam Adinda yang bingung dengan sikap Dimas.Dia pun melangkah ke dekat sang suami, lalu mengambil salah satu kemeja."Tuan, yang ini saja. Ini cocok dengan Anda," kata Adinda yang kini memegang kemeja di tangannya.Sayangnya, Dimas justru menatapnya dengan sangat tajam.Dia pun mengangkat tangannya dan mencengkram erat lengan bagian atas Adinda."Kau tahu, apa yang kau lakukan tadi sangat merugikan!" geramnya.Adinda yang tadinya diam, tiba-tiba saja tertawa.Melihat responnya itu, Dimas mengerutkan kening. "Apa kau gila?""Gila?” Adinda menggelengkan kepala. “Aku hanya sedang berusaha untuk gila karena harus menghadapi orang gila," jawabnya santai."Maksudmu aku gila?""Apa Anda merasa?" tantang Adinda, menahan gemetar."Kau! Benar-benar kurang ajar!" Dimas pun melemparkan tubuh kurus Adinda, hingga terlempar di kasur.Tanpa basa-basi, Dimas pun mengukungnya dan meraih dagu Adinda sembari tersenyum miring.Dia benar-benar ingin membuat perempuan itu ketakutan dan menyesal.“Biar kutunjukkan kegilaan yang sebenarnya," ucapnya dingin.Adinda menutup mata. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa takut.‘Apakah kali ini aku tak bisa menghindar lagi?’ batinnya panik.Hanya saja, tidak ada pergerakan apapun setelahnya.Adinda lantas membuka kembali matanya.Dilihatnya Dimas yang masih tersenyum miring.“Anda–”“Kau begitu ingin kusentuh?” ucap pria itu, “sayangnya, aku tidak selera dengan penampilanmu saat ini. Sepertinya, butuh waktu untuk mengubahnya.”Adinda jelas kesal. Namun, belum sempat dia melawan, Dimas sudah menarik lengannya. “Ikut aku!" perintah pria itu.Tanpa basa-basi, tubuh Adinda yang kurus itu pun harus mengikuti langkah kaki Dimas yang cepat. Bahkan, dia nyaris beberapa kali hampir jatuh.Untungnya, tak butuh waktu lama, Adinda pun sudah berada di dalam mobil. Tanpa keduanya sadari, Laras menyaksikan apa yang terjadi pada Adinda dari kamarnya di lantai dua."Megan, kau kalah. Adinda adalah wanita yang seimbang dengan Dimas. Anakku itu pasti akan tunduk padanya cepat atau lambat,” ucap wanita tua itu la
Di sisi lain, Adinda yang kini sudah berada di kamarnya pun duduk di lantai.Sepatu hak tingginya diletakkan asal di sampingnya.Matanya menatap kakinya yang sedikit lecet dan itu wajar, mengingat dia berjalan kaki dengan sangat jauh.Saat dia sedang larut dalam pikirannya tiba-tiba pintu pun terbuka menampakkan seorang pria di sana.Dimas baru saja sampai di rumah.Pria itu tersenyum sinis saat melihat wajah Adinda yang hanya melihat dirinya yang melangkah masuk."Dasar lelaki tidak punya hati," gumam Adinda.Tapi Dimas pun memilih untuk tidak perduli pada Adinda, meskipun tahu wanita itu sedang kelelahan setelah berjalan kaki dengan jarak yang sangat jauh.Sesaat kemudian Dimas pun kembali pergi dengan tangannya memegang berkas untuk dia bawa.Adinda menyimpulkan bahwa pria itu pulang ke rumah untuk mengambil berkas yang tertinggal.Untuk memikirkan sesuatu tentang Dimas sepertinya tak akan ada habisnya. Sehingga, dia pun memilih untuk menepikan sejenak pikirannya dan mencari kebera
"Siapa yang membuat kopi ini?" tanya Gilang sambil menunjuk gelas di hadapannya.Setelah membuat kopi, Kiara dan Adinda memang kembali menghadap pria itu."Saya, Pak." Adinda pun menjawab sambil memegang secangkir kopi yang baru saja dia buat lagi seperti yang diperintahkan oleh Dimas sebelumnya."Kalau begitu, hanya kau saja yang masuk," kata Gilang pada Adinda.Perempuan itu terdiam. Sejenak, Adinda melihat Kiara yang berdiri di sampingnya."Aku tunggu di sini aja." Kiara pun memohon pada Adinda. Sungguh, dia sangat tak ingin masuk ke ruangan Dimas lagi.Adinda menghela napas. Dia pun mengangguk setuju saat Gilang mempersilahkan masuk dia pun melangkahkan kakinya.Sedangkan tatapan mata Dimas yang mengarah padanya begitu tajam.Pria itu duduk di kursi kebesarannya sambil tersenyum miring pada Adinda yang kini perlahan meletakkan secangkir kopi buatannya di atas meja.Dimas pun menatap kopi tersebut kemudian kembali menatap Adinda."Siapa yang menyuruhmu meletakkan kopi itu pada mej
"Minum!" titah Adinda dengan tatapan matanya yang berapi-api.Apa yang dilakukan oleh Dimas sangat tidak manusiawi dan Adinda bukan wanita lemah yang bisa dijadikan budak dengan sesukanya.Ingat pagi tadi juga Dimas sudah membuatnya berjalan kaki sejauh tiga kilometer.Membuat kakinya lecet dan terasa nyeri.Lantas sekarang pria itu lagi-lagi berulah dan itu sudah sampai pada batas kesabaran Adinda yang hanya manusia biasa."Semua ada batasnya. Dan, anda sudah terlalu jauh melewati batas itu!" papar Adinda.Dimas pun tak tinggal diam dia mencengkram tangan Adinda yang berani memegang rahangnya.Akan tetapi saat itu kaki Adinda langsung bergerak cepat dengan mendorong kursi yang masih di duduki oleh Dimas.Kursi tersebut pun berputar dan membuat cengkraman Dimas pun terlepas.Meskipun kaki Adinda terasa sakit tapi dia tidak perduli lagi.Baginya pelajaran berharga untuk membuat Dimas mengerti jauh lebih penting.Dan Adinda pun akhirnya dengan cepat memutar kedua tangan Dimas ke belakan
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Napas hangat Dimas begitu terasa di tengkuk leher Adinda.Dinikmatinya momen-momen saat Adinda memohon padanya untuk dilepaskan.Tapi, pria itu jelas tak mungkin melepaskannya.Karena, memang inilah yang diinginkan oleh Dimas: melihat wajah Adinda yang penuh dengan ketakutan, serta tidak berdaya dalam menghadapi dirinya.Jika sebelumnya Dimas hanya mengancam, tapi tidak dengan kali ini.Tidak akan ada lagi ampun untuk wanita kurang ajar itu."Tuan Dimas, jangan lakukan ini pada ku," mohon Adinda, tidak ada hentinya.Dimas justru tersenyum. Srak!Dengan cepat, tangan kekarnya merobek pakaian Adinda dan melemparkan dengan asal.Adinda pun semakin panik saat tubuhnya tanpa sehelai benang itu pun terpampang nyata di hadapan Dimas.Dia mencoba untuk menarik selimut agar menutupi tubuhnya.Namun, sia-sia karena malam ini Dimas sepertinya dikuasai oleh kemarahan.Kedua tangan Adinda pun ditekan erat. Gelengan kepala wanita itu justru membuat senyum miring tampak muncul di bibir Dimas.Dibe
Siraman itu sepertinya berhasil.Kelopak mata Adinda kini tampak bergerak, hingga perlahan terbuka.Dengan kepala yang terasa pusing, dia pun mencoba untuk mendudukkan tubuhnya."Akh," rintih Adinda merasa sakit di sekujur tubuhnya.Sekujur tubuhnya terasa remuk karena Dimas, belum lagi kesucian yang telah dia jaga selama 20 Tahun lamanya pun direnggut paksa.Rasanya sangat miris sekali hidupnya.Menikah dengan paksa dan orang itu bukan seseorang yang dia cintai.Kemudian, pria yang menjadi suaminya adalah seorang duda beranak satu.Belum lagi perbedaan usia yang sangat jauh.Ditambah lagi pria itu sangat kasar dan tidak tahu bagaimana cara menghargai seorang wanita.Dosa apa yang ia lakukan sehingga harus mendapatkan jalan hidup yang begitu terjal.Karena saat ini Adinda bukan hanya lelah badan. Tetapi, juga lelah perasaan.Adinda pun menarik selimut untuk menutupi dirinya.Kemudian mengusap wajahnya yang basah karena siraman air yang dilakukan oleh Dimas.Matanya melihat Dimas yang
Di sisi lain, Adinda menenangkan dirinya dengan membersihkan diri secara menyeluruh.Begitu selesai, ia pun keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di tubuhnya. Dapat dilihatnya, Dimas masih berdiri di sana.Apakah Adinda peduli?Jelas, tidak.Bahkan dia sengaja memakai handuk milik Dimas. Padahal, pria itu tidak suka ada barang miliknya yang dipakai oleh orang lain.Termasuk handuk yang biasa dia gunakan Dimas.Sialnya Adinda malah lancang memakainya.Rasanya, wanita itu semakin menjadi-jadi setelah Dimas merenggut kesuciannya.Bahkan, Adinda hanya tersenyum miring saat melewati dirinya.Dimas yang tidak suka dengan sikap Adinda pun mencengkram erat lengan Adinda.Membuat langkah kaki Adinda pun terhenti, dia pun melihat tangan Dimas yang masih mencengkram erat lengannya.Kemudian melihat wajah Dimas dengan berani."Beraninya kamu menatapku?!" geram Dimas.Tatapan Adinda yang seakan menantangnya membuat seorang Dimas kehilangan kesabarannya."Saya bisa melakukan hal lebih dari