Share

Bab 5

Adinda menutup mata. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa takut.

‘Apakah kali ini aku tak bisa menghindar lagi?’ batinnya panik.

Hanya saja, tidak ada pergerakan apapun setelahnya.

Adinda lantas membuka kembali matanya.

Dilihatnya Dimas yang masih tersenyum miring.

“Anda–”

“Kau begitu ingin kusentuh?” ucap pria itu, “sayangnya, aku tidak selera dengan penampilanmu saat ini. Sepertinya, butuh waktu untuk mengubahnya.”

Adinda jelas kesal. Namun, belum sempat dia melawan, Dimas sudah menarik lengannya.

“Ikut aku!" perintah pria itu.

Tanpa basa-basi, tubuh Adinda yang kurus itu pun harus mengikuti langkah kaki Dimas yang cepat.

Bahkan, dia nyaris beberapa kali hampir jatuh.

Untungnya, tak butuh waktu lama, Adinda pun sudah berada di dalam mobil.

Tanpa keduanya sadari, Laras menyaksikan apa yang terjadi pada Adinda dari kamarnya di lantai dua.

"Megan, kau kalah. Adinda adalah wanita yang seimbang dengan Dimas. Anakku itu pasti akan tunduk padanya cepat atau lambat,” ucap wanita tua itu lalu tersenyum–membayangkan dirinya akan menang melawan mantan istri dari Dimas yang manipulatif.

Sekaligus … ibu kandung dari Moza, yang selama ini dikasihi dan dibesarkannya seperti cucu sendiri.

Sayangnya, Dimas belum sadar kebenaran ini karena Laras tak ingin anaknya itu tahu sebelum dirinya bisa mengendalikan temperamen miliknya.

****

Sementara itu, mobil yang dikendarai Dimas dan Adinda melaju dengan kecepatan tinggi.

Mereka baru berhenti kala tiba di sebuah butik ternama.

Tanpa basa-basi, Dimas pun menyeretnya masuk ke dalam butik tersebut.

"Buat dia tidak seperti gembel!" titah Dimas pada seorang wanita yang tak lain adalah karyawan butik tersebut.

Wanita itu pun menatap wajah Adinda, kemudian menatap penampilannya dari atas sampai bawah.

“Baik, Pak.”

Tak butuh waktu lama, Adinda pun diarahkan ke ruang ganti.

Di sana, dia dicocokkan dengan beberapa baju, sampai akhirnya sang designer tersenyum puas melihat gaun yang tepat untuk Adinda.

Seperti robot, Adinda hanya bisa mengikuti instruksinya dan kini dia pun dalam balutan gaun berwarna biru dan menggunakan sepatu hak tinggi.

Untuk rambutnya, hanya dibiarkan terurai saja.

Namun, penampilannya berubah menjadi luar biasa.

Adinda sendiri sedikit terkejut.

Dia bahkan tak menyadari bahwa dia sudah diarahkan kembali ke ruang semula.

Sementara itu, Dimas yang sudah mengganti kemeja kotornya dengan kemeja di butik–duduk sembari menyilangkan kakinya.

Begitu Adinda datang, pria itu menatap penampilannya dari atas sampai ke bawah.

Tak lama, Dimas pun tersenyum miring tanpa berkomentar sama sekali.

Pria itu bangkit dan menarik lengan Adinda dengan begitu kuat dan membawanya ke sebuah tempat yang tak pernah didatangi oleh perempuan itu sama sekali … salon mewah untuk para kalangan atas.

Adinda memperhatikan sekeliling yang begitu ramai oleh para tamu yang hadir.

Sayangnya, Adinda tidak nyaman.

Menurutnya, tempat itu bukan untuk dirinya dari kalangan bawah.

"Dimas, ternyata kamu datang juga. Aku pikir kamu tidak akan datang," kata seorang wanita yang tampaknya mengadakan acara tersebut.

"Jelas, aku akan memenuhi undanganmu, Megan," jawab Dimas santai.

Wanita itu pun tersenyum mendengar jawaban dari mantan suaminya. "Tapi, kau datang agak terlambat karena acara peresmian pembukaan salonku ini sudah dimulai sejak beberapa menit yang lalu," ucapnya.

Hanya saja, dia penasaran dengan seorang wanita yang berdiri di samping Dimas.

Beberapa waktu lalu, Laras memang datang menemuinya dan memperingatinya untuk tak lagi mendekati Dimas sebab wanita tua itu akan menikahkannya dengan seorang wanita pilihan.

Namun, Megan hanya tersenyum miring saat itu. Dia yakin Dimas sangat mencintai dirinya.

Menyadari tatapan Megan pada Adinda, Dimas menahan senyum. "Perkenalkan, dia istriku!" ucap pria itu memperkenalkan Adinda sebagai istrinya pada Megan.

Megan mengangguk. "Salam kenal," ucapnya sembari mengulurkan tangannya pada Adinda.

Meski bingung, Adinda pun akhirnya membalas uluran tangan wanita itu.

Sayangnya, perkataan Megan selanjutnya membuat Adinda terkejut.

"Oh, iya. Kamu punya perusahaan sendiri? Atau anak dari pemilik perusahaan hebat mana?" tanyanya pada Adinda.

Adinda sontak menggelengkan kepala. "Saya tidak memiliki perusahaan dan juga tidak terlahir dari keluarga berada," jawabnya, “saya masih seorang mahasiswa.”

Megan tampak terkejut.

Namun, itu tak lama. Wanita itu tiba-tiab tersenyum mengejek. "Waw, sekarang seleramu rendah sekali."

Suasana sontak menjadi tegang setelahnya.

Adinda bahkan sampai menahan kesal.

Diliriknya Dimas untuk melihat reaksi pria itu.

Sayangnya, pria itu hanya mengangkat bahu–santai.

Baru saja, Adinda ingin mengkonfrontasi, tiba-tiba seorang pria muda datang dan memeluk Megan.

"Hai!" sapanya.

Wanita itu sontak tersenyum senang. "Hai, Sayang. Perkenalkan dia adalah istri dari Papinya Moza," ucapnya lalu menunjuk Adinda yang berdiri di samping Dimas.

Pria itu dan Adinda pun saling menatap satu sama lainya.

Adinda sontak menahan napas tanpa sadar.

Dia adalah Ferdi, kekasih Adinda!

Sejak kemarin, Adinda uring-uringan dan memikirkan cara menjelaskan semuanya karena Ferdi belum mengetahui pernikahan paksa itu.

Tapi, pria ini justru tampak mesra dengan Megan?

Jangan-jangan, selama ini, Ferdi pun memiliki hubungan khusus dengan wanita yang jauh lebih tua dari dirinya?

"Sayang, kenapa kamu melihatnya seperti itu?" tanya Megan kala menyadari tatapan di antara Adinda dan Ferdi.

Pria itu lantas tersenyum. "Tidak ada apa-apa. Kalau begitu, aku ke sana dulu, ya."

Tanpa basa-basi, dia pun segera pergi.

Hanya saja, Adinda jelas sadar jika pria itu tidak merasa tidak nyaman saat bertatap muka dengannya.

"Baiklah. Kami tidak bisa berlama-lama di sini karena masih ada urusan lain," ucap Dimas tiba-tiba.

Setelahnya, pria itu mengajak Adinda kembali.

Diam-diam, Dimas tidak kuasa melihat Megan bersama dengan laki-laki lain.

Dia benar-benar masih berharap bisa bersama Megan kembali.

Tapi, kenapa keduanya malah berakhir dengan bocah-bocah bau kencur?

Cittt!

Dimas pun menepikan mobilnya di sisi jalan raya, kemudian membuka pintu.

"Turun!" titahnya cepat.

Adinda lantas melihat sekitarnya.

Ini masih sangat jauh dari rumah. Mengapa Dimas menurunkan dirinya di jalanan seperti ini?

Gila!

Sayangnya, Dimas malah menatap tajam.

Terpaksa, Adinda pun turun.

Sayangnya, dia baru teringat bahwa dirinya tidak membawa uang sama sekali. Bahkan, ponsel saja tertinggal di rumah.

Dipaksanya kakinya untuk berjalan kaki sampai tiga kilo meter untuk menuju kediaman Hermawan.

Begitu tiba, peluh bercucuran di wajahnya. Napas Adinda juga tampak ngos-ngosan.

Tangannya menenteng sepatu hak tingginya, karena tak nyaman berjalan terlalu jauh dengan menggunakan sepatu itu.

"Kenapa kamu berjalan kaki?" tanya Laras menyadari kepulangan sang menantu yang tak biasa.

Hanya saja, Adinda memilih diam sambil menunduk.

Laras terdiam. Dia lalu menghela napas kala memahami bahwa ini semua pasti ulah Dimas!

"Astaga... anak itu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status