"Duh, kempes lagi!" Amira menatap lemas ban sepeda yang kempes. Padahal ia harus buru-buru sampai di sekolah. Ia berjongkok, sambil membuka standar miring sepedanya. Amira meraba ban sepeda yang benar-benar kempes.
Dengan menghela nafas kasar, Amira tak punya pilihan lain, selain mendorong sepedanya untuk mencari bengkel terdekat. Untunglah, dqlam jarak seratus meter dari ia mendorong sepedanya, ada sebuah kios bengkel motor yang sudah buka pada pukul enam lima belas pagi."Bang, mau pompa dong," pintanya pada montir yang sedang menikmati kopinya. Amira menunjukkan keadaan ban belakang sepedanya yang kempes.Sang montir meletakkan gelas kopi di atas meja, lalu berjalan mendekat pada Amira dan juga sepedanya. Lelaki setengah baya itu berjongkok untuk memastikan seperti apa kempes ban sepeda pelangan ABG-nya ini."Ya udah, untuk sementara pakai angin dulu ya. Nanti, kalau ada waktu, Ade bawa ke bengkel sepeda saja. Bannya rusak ini."Sekelompok anak sudah duduk manis di dalam kantin. Di depan mereka banyak aneka hidangan snack sebagai menu yang mereka santap di saat jam istirahat seperti ini. Mereka masih mengenakan seragam olah raga, lengkap. Karena jam sebelumnya diisi oleh pelajaran olah raga.Kelas lainnya, baru saja menyerbu kantin. Siswa dan siswi nampak bergerombol memadati setiap lapak jualan yang ada di kantin sekolah mereka. Di dalamnya, sudah ada Amira dan si kembar tiga yang juga ikut mengantre membeli baso."Itu bocahnya yang pakai kunciran," tunjuk salah seorang siswi berseragam olah raga."Ya ampun, rambut sarang tawon itu?" semua yang ada di mejanya menertawakan Amira dari kejauhan."Ada tompelnya juga loh," seorang teman lain menambahkan."Apa? Serius luh? Cewek rambut sarang tawon dan ada tompel itu dikirimi surat sama cowok gue?!" kelima temannya mengangguk serempak. Baso yang hampir masuk ke dalam mulutnya, sampai terpental kembali
Amira di bawa ke ruang UKS oleh salah seorang petugas keamanan sekolah, yang menggendong sambil berlari. Amira masih menutupi matanya yang sepertinya terluka. Bu Dewi yang melihat Amira digendong dalam keadaan tak biasa, memilih membatalkan niatnya masuk ke dalam kantor, lalu melangkah lebar menyusul Pak Rudi yang tengah menggendong Amira ke ruang UKS."Ada apa ini, Pak?" tanya Bu Dewi saat Amira sudah berada di atas ranjang single."Sepertinya ada anak-anak yang mengerjai Amira, Bu. Anak pemulung di depan itu yang melihatnya," jawab Pak Rudi sambil menoleh ke luar. Masih ada anak lelaki kecil berdiri di dekat pintu dengan karung barang bekas di pundaknya."Sakit, Bu," rintih Amira masih memegangi mata kanannya. Bu Dewi mendekat, lalu menarik pelan tangan Amira."Ya Allah, berdarah. Pak Rudi, Amira harus di bawa ke rumah sakit. Ayo, Pak. Cepat!" Bu Dewi berlari ke dalam kantor untuk mengambil tas, dan melaporkan kejadian yang menimpa Amira pada tema
Amira sudah diperbolehkan pulang, sore itu juga, oleh dokter jaga UGD. Namun, Amira harus kembali besok untuk periksa langsung ke dokter mata. Karena hari ini, dokter mata kebetulan tidak ada yang praktek sore. Bola mata Amira memang terluka karena kena kuku dari pelaku."Pa, itu yang nolongin Mira," tunjuk Amira, saat berjalan keluar menuju lobi rumah sakit, pada seorang anak lelaki kecil yang berjongkok di dekat tempat sampah."Hei, kamu!" panggil Emir, membuat anak pemulung itu setengah kaget, lalu segera berdiri."Tuan panggil saya?""Apa benar kamu yang telah menyelamatkan anak saya?""Mmm ... i-itu ....""Apa yang kamu lakukan di sekolah?""Saya memulung barang-barang di kebun belakang sekolah, setiap dua hari dalam seminggu, Tuan," jawab anak lelaki itu masih tak berani menatap orang dewasa, lawan bicaranya."Kamu tidak sekolah?" tanya Emir lagi, masih memperhatikan anak lelaki di depannya ini."Tidak, Tuan. Tidak
Amira masuk ke dalam kelas yang masih lengang. Sudah pukul enam pagi, tetapi belum ada satu pun teman di kelasnya yang hadir. Apakah dia kepagian? Amira melihat jam tangannya. Lalu mengangkat bahu, dan kembali berjalan ke arah mejanya."Assalamualaykum. Kamu, yang lagi ngumpet di balik lemari. Ngapain masih di situ? Sana pergi! Jangan ganggu teman-temanku," usir Amira pada makhluk tak kasat mata yang bersembunyi. Amira yang fokusnya pada meja, kini menoleh pada makhluk yang masih tak bergerak di sana."Ck, masih belum pergi juga! Pergi, gue bilang!" Mira menekan suaranya agar tidak menjadi pusat perhatian lalu-lalang siswa kelas lain saat melewati kelasnya."Tolongin, Mira. Ini, ada buku yasin jatuh. Jadi, saya gak bisa lewat. Kejepit nih!"Amira mencebik. "Udah jelek, nyusahin lagi!" umpat Amira sembari berjalan ke arah lemari. Benar saja, ada satu buah buku yasin jatuh di lantai, tepat di depan makhluk tak kasat mata itu tengah melayang. Ami
"Mau apa lu?!" tanya Sonya dengan ketus pada Amira."Kakak mau apa, lempar batu ke dalam kamar mandi?""Bukan urusan lu! Sana pergi!" usir Sonya. Amira memutar bola mata malasnya, lalu berjalan meninggalkan Sonya sendirian di dekat kamar mandi. Suara air kloset kembali terdengar, dan itu membuat Sonya melihat kembali ke dalam toilet."Masuk aja, Kak. Di dalam kamar mandi gak ada siapa-siapa, kok?!" teriak Amira membuat seisi kelas Sonya menoleh padanya. Karena Amira tepat berdiri di depannya.Seketika bulu roma Sonya berdiri, lalu mundur perlahan dengan jantung hampir berlompatan.Blaam!Tak ada angin dan tak ada hujan, pintu kamar mandi tertutup sendiri."SETAAAN!" Sonya lari terbirit-birit masuk ke dalam kelas. Dengan nafas tersengal, Sonya mengusap dadanya, dengan wajah pucat."Hei, ada apa Sonya? Kenapa berteriak?" tanya Pak Guru memandang Sonya dengan tatapan ingin tahu.
Sonya sudah berdiri di depan meja kepala sekolah. Di sampingnya ada Amira yang juga sudah berdiri, mengenakan baju olah raga dengan sebagain rok seragam yang basah. Bu Fitriah, selaku kepala sekolah, tentu sudah mendengar persoalan mata Amira yang terluka di sekolah dan ditambah hari ini, cucu pemilik sekolahnya malah terluka kembali di bagian wajah, karena tersiram kuah soto mie.Namun, tak banyak juga yang bisa ia lakukan, karena Sonya adalah cucunya. Bu Fitriah masih menatap kedua muridnya secara bergantian, lalu menghela nafas kasar."Jadi, benar kamu menumpahkan jus di atas mangkuk makanan Amira?" tanya Bu Fitriah pada Sonya."Tidak sengaja, Bu," sahut Sonya santai."Bagaimana bisa tidak sengaja? Memangnya kamu sedang apa?" cecar Bu Fitriah yang juga tak bisa melupakan begitu saja kesalahan Sonya."Sedang minum, jalan di dekat Amira, lalu didorong Kirana. Trus, gak sengaja jatuh deh.""Mari kita lihat CCTV kantin
Amira sedang dibacakan dongeng oleh papanya malam ini. Sebenarnya, ia sudah sangat mengantuk, tetapi dongeng yang diceritakan papanya begitu seru dan dia enggan buru-buru terlelap. Hal ini selalu dilakukan Emir, saat Amira mengalami susah tidur, jadi tidak setiap malam. Dalam sepekan, papanya akan membacakan cerita atau berdongeng bisa dua atau tiga kali.Tergantung sang papa sempat, dan sedang tidak keluar kota. Sejak kecil, Amira selalu dibacakan cerita oleh Papa Emir sebelum ia tidur malam. Bahkan hingga Amira berusia tiga belas tahun, Amira tak bisa melepas kebiasaan sejak kecilnya.Papa Emir bercerita tentang kisah Cinderella modern yang jatuh cinta pada seorang lelaki biasa. Seketika Amira mengingat sesuatu dan hampir saja ia lupa menanyakannya."Pa, emangnya pacaran itu apa?" tanya Amira yang tadinya berbaring, kini memilih duduk sambil menanti jawaban bijak sang papa."Kenapa tiba-tiba tanya itu?" Emir menutup buku ceri
Apakah Amira menangis saat dipermalukan di depan hampir semua anak kelas VIII? Tidak. Amira bersikap biasa saja. Tak ada sakit hati atau pun kecewa. Amira ditinggalkan dan ditertawakan oleh semua siswa, tapi ia tak peduli. Rambutnya ia kibaskan dengan kencang, agar sobekan kertas jatuh dari rambutnya. Amira juga menggunakan tangannya untuk menepuk-nepuk rambut keritingnya agar semua kertas benar-benar tak tersisa di mahkotanya.Aleta berlari menghampiri Amira dengan membawa serok sampah dan juga sapu. Ia membantu menyapu lantai yang penuh dengan sobekan kertas. Lalu, Andini dan Andrea mendekat pada Amira bermaksud memberikan dukungan."Jadi, lu naksir Kakak kelas itu?" tanya Andrea."Eh, iya kali," jawab Amira seadanya. Amira menyeringai lebar pada ketiga teman kembarnya yang selalu setia bersamanya, dalam keadaan apa pun."Dah, kalau tuh Kakak kelas gak suka diuber-uber gitu. Cuekin aja!" Andini merangkul pundak Amira, membawanya berjalan