“Nak … Yudha memperlakukan kamu dengan baik, ‘kan?”
Sebuah pertanyaan terlontar dan Tavisha sendiri tidak tahu jawabannya. Pria itu memang tidak kasar—setidaknya untuk saat ini. Tapi, melihat sikapnya yang dingin dan tidak terbaca, entah mengapa membuat hatinya terluka.
Sejak remaja, ia sudah sering menghadapi sikap dingin ayahnya. Seolah, ia hanya anak yang perlu dijaga tanpa perlu diberikan perhatian. Padahal, Tavisha ingin lebih dari itu. Terlebih setelah ibunya meninggal dunia. Tavisha merasa benar-benar membutuhkan seseorang yang bukan hanya bisa sekadar menjaga, melindungi, dan memperhatikan keselamatannya. Jauh dari itu semua, ia butuh kasih sayang. Namun, Yudha tidak bisa berikan. Itu mengapa, jika ditanya—apakah pria itu memperlakukannya dengan baik? Tentu saja jawabannya, tidak. Bukan itu yang Tavisha inginkan.
Tavisha yang tampak larut dalam lamunan membuat Dahlia akhirnya menyentuh pundak sang menantu.
“Nak?”
Tavisha menoleh dengan gelagat yang membingungkan. Tatapannya menelisik ke arah wanita itu yang terlihat cemas. Dalam hati, Tavisha bermonolog. Setidaknya, jika bukan pria berseragam kehormatan itu, masih ada sang ibu mertua yang menyayanginya.
“Iya, Bu. Dia memperlakukan Tavisha dengan baik.”
Dahlia hanya tersenyum tipis. Dua kali Tavisha menyebut Yudha dengan kata ‘dia’. Tidak ada embel-embel gelar yang seharusnya disematkan untuk seorang suami atau sosok yang lebih tua. Bukankah lebih baik Tavisha menyebutnya—Mas?
Dahlia tidak mempermasalahkan itu. Setidaknya belum saat ini. Mungkin, Tavisha hanya belum terbiasa. Biarlah waktu yang membuat mereka menyatu. Dahlia merasa tidak perlu ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka. Pernikahan karena dijodohkan itu memang sulit. Apalagi dengan mereka yang tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Perlu ada penyesuaian. Dan Dahlia sebagai orang tua cukup bijak untuk menerima sikap menantunya.
Waktu pun terus berlalu.
Dahlia dan Tavisha menghabiskan sisa hari untuk mengobrol—mulai dari menceritakan kisah masa kecil Yudha hingga masa remajanya. Kala itu, tawa Tavisha tampak lepas, seolah-olah tak pernah ada beban di hatinya.
Dan di sisi lain, sosok Yudha mengamati dari balik kaca kecil yang ada di pintu tersebut. Ada kehangatan yang mengalir saat melihat senyuman itu. Tapi, ia berusaha menepisnya.
***
Beberapa hari berlalu, Tavisha akhirnya diizinkan pulang dari rumah sakit. Kala itu, ia hanya ditemani oleh Yudha yang entah bagaimana bisa ada disana di jam kerjanya.
Tavisha melangkah keluar dari pintu rumah sakit. Udara sore terasa lembut mengusap kulitnya. Seolah, ia terbebas dari udara rumah sakit dengan aroma antiseptik yang menyengat. Ia menarik napas panjang—menghirup udara segar dan hendak menyambut babak baru kehidupannya.
Statusnya sebagai mahasiswi semester akhir kembali memanggil. Teringat pesan Samuel, bahwa ia sudah ditunggu oleh dosen pembimbingnya. Ah, sepertinya ia tidak bisa beristirahat setelah ini.
Beberapa minggu pertama terasa seperti kejar setoran. Tugas akhir, seminar proposal, bimbingan dosen, rapat organisasi, semua datang bertubi-tubi seperti air bah yang tak terbendung lagi. Tapi Tavisha menikmatinya. Kesibukan itu membuatnya lupa akan kehampaan di rumah, tentang Yudha yang dingin dan nyaris tak bicara, serta ruang makan yang terlalu sunyi untuk ukuran dua insan yang baru saja menikah.
Di luar sana, di tengah hiruk pikuk kehidupan kampus dan gelak tawa teman-temannya, Tavisha merasa lebih hidup. Namun, kehidupan di luar rumah justru perlahan menimbulkan celah yang tidak disadarinya.
Hampir setiap malam, Yudha pulang disambut rumah yang sunyi. Seragam kehormatan dan sepatu bot militernya hanya bergema sendirian di lantai marmer yang bersih nan dingin. Tak ada jejak Tavisha atau sekadar aroma parfumnya. Hal itu membuat Yudha berpikir bahwa sang istri sudah terlalu jauh melampaui batas.
Malam-malam berlalu bersama denting jam yang terdengar menyakitkan. Yudha duduk di ruang tengah, seragamnya masih melekat, mata menatap kosong ke arah pintu. Ponselnya tergeletak di meja, hanya sesekali bergetar menerima laporan dari anak buahnya. Tapi sama sekali tidak ada pesan dari Tavisha. Tidak ada kabar atau alasan kenapa perempuan itu belum pulang.
Yudha tidak pernah mempermasalahkan soal jam malam, tapi diam-diam, rasa was-was menyusup jua. Bukan hanya karena Tavisha adalah istrinya, tapi karena ia juga merupakan putri dari menteri pertahanan—sosok berpengaruh senusantara. Nama besar itu bukan sekadar warisan kehormatan, tapi juga tanggung jawab yang harus Yudha jaga. Apa pun yang mencoreng nama keluarga bisa saja menjadi aib besar.
Akhirnya, Yudha diam-diam meminta salah satu anggota intel di batalyonnya untuk mengawasi gerak-gerik sang istri. Bukan karena ia tidak percaya. Tapi karena ia ingin tahu—apa yang membuat perempuan itu lebih memilih menghabiskan waktu di luar ketimbang berada di rumah dan menjaga martabat seorang suami?
Dua hari setelahnya … laporan muncul.
Lapor, Komandan! Lokasi target ditemukan di sebuah kafe di bilangan Kemang. Pukul 20.15 malam. Bersama seorang laki-laki. Mereka terlihat akrab namun tidak ada indikasi mencurigakan.
Yudha membaca laporan itu berulang kali. Tatapannya dingin dan kosong. Tapi ada satu bagian yang mengganggu pikirannya. Bersama seorang laki-laki dan terlihat akrab. Ia menatap foto yang disertakan, gambar buram dari kejauhan. Namun, cukup jelas menunjukkan Tavisha yang sedang tertawa lepas, duduk di samping seorang pria yang dikenalinya—Samuel, sahabat Tavisha. Tawa itu tampak asing baginya yang tidak pernah melihat secara langsung.
Bahkan ketika mereka menikah, tawa itu tidak pernah tampak. Ketimbang tersenyum, Tavisha lebih sering mengoceh dan terbawa emosi. Tapi di foto itu, wajahnya berbinar dengan mata menyipit, menahan tawa. Tangannya refleks menepuk Samuel yang ada di sisinya. Saat itu pula, Yudha sadar bahwa ada kehidupan yang tidak pernah ia lihat di rumah.
Yudha merasakan sesuatu merayap di dalam hatinya. Bukan cemburu ataupun curiga, melainkan kehampaan. Ia seperti suami yang tak dianggap. Seperti sosok pelindung yang sebenarnya tidak pernah dibutuhkan.
Malam itu, Yudha menunggu di ruang tengah seperti biasa. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.17. Tak lama, sebuah suara klakson terdengar dari depan rumah.
Dari balik jendela, ia melihat Tavisha turun dari mobil sedan hitam. Samuel yang duduk di balik kemudi keluar sebentar untuk membuka pintu. Tavisha tampak berbicara sebentar, mungkin mengucapkan terima kasih. Kemudian perempuan itu tersenyum, sama seperti yang ada di dalam foto.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki berderap pelan menaiki tangga teras.
Yudha buru-buru kembali duduk di sofa ruang tengah, membiarkan semua perasaan tenggelam bersama ketenangan yang semu. Saat Tavisha masuk dan membuka pintu, ia hanya melirik sekilas.
“Baru pulang?” suaranya datar, tanpa emosi.
Tavisha yang tak tahu kalau pria itu akan menunggu, tiba-tiba terkejut. Ia tidak menyangka Yudha ada disana.
“Oh, iya. Banyak tugas kampus,” jawabnya gugup, melepas sepatu dan berjalan masuk.
Anehnya, Yudha tidak merespons. Ia hanya berdiri lalu melangkah ke arah kamar, melewati Tavisha tanpa menatap matanya.
“Aneh banget,” gumam Tavisha, melihat punggung pria itu yang berlalu.
***
Hari-hari berikutnya berlalu dalam keheningan.
Yudha tak memulai pertengkaran ataupun adu mulut untuk menyadarkan Tavisha pada posisinya. Tapi, bagi perempuan itu, keterdiaman Yudha sangat menyakitkan. Pria itu sama sekali abai dan terkesan dingin. Yudha tidak lagi menegur, bertanya, ataupun berkomentar. Pria itu seperti tembok yang tidak bisa ditembus. Bahkan saat Tavisha mencoba menyapa, pria itu berlalu begitu saja.
Suatu malam, Tavisha sengaja duduk di ruang tamu—menyalakan televisi sambil menunggu kedatangan suaminya. Ya, setidaknya ... ia tidak mau terus menerus bersikap asing.
Ketika pintu terbuka, Tavisha langsung menoleh. Ia berdehem sebelum memberanikan diri untuk bertanya.
“Tumben lo baru pulang?” tanya Tavisha tanpa beranjak dari duduknya.
“Hmmmm.”
Tak ada jawaban, hanya ada gumam pelan. Yudha menuju dapur yang menyatu dengan ruang tamu—untuk melegakan tenggorokannya.
“Ada misi?”
Tavisha kembali berbasa-basi. Padahal, ia enggan sekali. Hanya saja, ia tidak ingin merasa diabaikan. Sungguhan, ia tidak suka itu.
“Tidak.”
“Terus kenapa pulang malam?”
Yudha meletakkan gelas setelah mencucinya. Kemudian, ia bergegas masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Rasanya hari itu sangat melelahkan. Bukan hanya fisik saja, melainkan pikirannya juga. Memikirkan istrinya yang beberapa hari ini pulang malam dan bersama laki-laki lain, membuat kepalanya penat.
Tak mendapat jawaban, Tavisha menahan pergelangan tangan Yudha dengan cepat.
“Gue ngomong sama lo. Tuli, ya?”
Namanya juga Tavisha. Perempuan yang usianya belum matang dan selalu bicara vokal. Yudha tidak heran dengan itu. Tapi sungguhan, malam ini ia sangat tidak ingin berdebat.
“Saya mau istirahat.”
“Lo kenapa sih?”
“Tidak ada.”
“Bohong! Jelas-jelas lo menghindar.”
“Bukannya itu yang kamu mau?”
Yudha melirik lengannya yang digenggam jemari mungil itu. Disaat yang sama, Tavisha langsung melepaskannya. Tiba-tiba saja, ia merasa gugup.
“Maksud lo?”
“Saya sudah pernah peringatkan kamu untuk menjaga martabat sebagai seorang istri. Tapi ….”
Yudha menggantungkan ucapannya. Tidak berguna juga ia menasehati perempuan itu.
“Tapi apa?!”
“Sudahlah, saya mau istirahat.”
Yudha hampir berlalu jika Tavisha tidak menahan pergelangan tangannya pria itu. Sekali lagi, Tavisha tidak suka diabaikan.
“Lo belum kasih tahu alasannya kenapa?!”
Akhirnya, Yudha menghela nafas panjang. Ia memejamkan mata sejenak sebelum menatap lawan bicaranya.
“Menurut kamu, apa bagus seorang perempuan, berstatus istri pulang lewat dari jam sepuluh malam dan diantar seorang laki-laki?”
Tavisha tertawa sinis. Tangannya bersedekap sambil memalingkan wajah.
“Lo cemburu?”
“Cemburu bukan bagian dari kontrak kita.”
Deg.
Kalimat itu … entah mengapa membuat hati Tavisha seketika terluka. Tak lama kemudian, Yudha berlalu meninggalkannya tanpa sepatah kata.
***
Tavisha ini memang begitu. Tapi beruntung, dia punya suami kayak Yudha yang sikapnya setenang lautan. Gimana? Masih mau lanjutkah? Yuk kasih komen, gem, dan like. Makasih banyak-banyak.
“Pernah dengar Operasi Langit Merah?” tanya Tavisha, lirih tapi mantap. Tak ada sahutan dari sosok pria di hadapannya. Yudha—nyaris seperti bongkahan es yang membeku. Bibirnya sedikit berkedut. Namun, tatapannya tetap tak terbaca. Tavisha yang melihat itu hanya bisa menerka—apa ada yang salah dari pertanyaannya? “Gue baca-baca literature sebelumnya, kejadian itu tepat sepuluh tahun yang lalu. Mungkin, lo ikut saat operasi itu berlangsung?” Pertanyaan itu semakin membuat Yudha membeku. Seolah ada luka lama yang kembali menganga. Kesakitan yang tak pernah dirasa, kini begitu menyiksa. Kepalan tangan diatas meja, rahang yang semakin mengeras—membuat atmosfer ruangan seketika memanas. “Hei? Lo dengar gue, ‘kan?” Tavisha melambaikan tangan di depan wajah pria yang kini membisu. Entah apa yang ada dipikiran Yudha saat itu. Tavisha hanya ingin bertanya untuk menggugurkan rasa penasarannya saja. Tapi yang ia dapati, Yudha justru melamun. “Ya, kalau lo nggak mau jawab … juga nggak apa-a
Tavisha membeku kala mendengar ucapan yang baru saja terlontar dari bibir suaminya. Apa katanya? Saling mengenal? Diam-diam Tavisha tersenyum tipis. Lebih tepatnya mengejek. Mana ada seorang pria yang mengajak lebih dekat dengan tatapan dingin dan ucapan datar seperti itu? Ah! Sepertinya Tavisha harus belajar bahasa kalbu agar bisa mengetahui apa maksud Yudha mengajaknya untuk lebih saling mengenal. “Gue nggak salah dengar?” Dari sekian banyak kalimat yang bisa ia lontarkan, hanya kata-kata itu yang terekam di otaknya. Tavisha ini … tipikal perempuan yang sulit dimengerti. Ya, walau sebagian banyak perempuan juga berlaku sama. Tapi, Tavisha ini memang sungguh extraordinary orangnya. “Memang ada yang salah dari ucapan saya?” “Ya … nggak ada sih.” Tavisha berdehem, memalingkan wajah sejenak karena tatapan Yudha saat itu sungguh sulit ditebak. Sorot mata yang tajam bersamaan dengan rahang mengeras, membuat Tavisha berpikir—ucapan itu hanya basa-basi semata. Entahlah, mengapa s
Saking tidak pernah berkomunikasi, Tavisha bingung ketika ada pesan masuk dari nomor tak dikenal. Ia pun membaca sekali lagi pesan tersebut. Barulah ia ingat kalau Yudha, suaminya—akan menjemput jam delapan malam. Sungguhan selama hampir dua minggu tinggal satu atap, Tavisha baru ingat kalau dirinya belum menyimpan kontak pria itu. Tavisha buru-buru menekan tombol save kontak dengan nama yang begitu kaku, Barathayudha Dirgantara. Jauh dari realita bahwa mereka sepasang suami istri. Dengan tergesa Tavisha bangkit dari duduknya. Ia meraih tas lalu berpamitan pada Samuel. “Eh, Sam. Gue kayaknya duluan deh. Sorry gue tinggal. Bye!”“Lho, memang sudah selesai?” “Lanjut besok. Gue udah di jemput. Tavisha pun langsung berjalan keluar gedung tersebut. Samuel yang melihat kepanikan dalam diri sahabatnya hanya bisa menggelengkan kepala. Langkah kaki Tavisha menyusuri koridor yang sudah mulai lengang. Tak ada ketakutan sedikitpun dari raut wajahnya, meskipun ia seorang perempuan. Pasalnya, i
Atmosfer di meja makan itu seketika membeku kala tatapan dingin Yudha tertuju pada perempuan di sisi kanannya. Koran sudah diletakkan di meja. Dan pandangan Yudha sudah sepenuhnya terarah pada Tavisha—perempuan yang tampak gugup. Bahkan, wajahnya bak kepiting rebus, karena menahan batuk akibat tersedak sereal. “Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Yudha, memastikan kembali. Tavisha meraih gelas di hadapannya, meneguk perlahan lalu memandang sepenuhnya ke arah pria tersebut. “Gue ….” Bibir itu menjadi kelu. Entah mengapa, rasanya sangat sulit untuk berbicara sedikit lebih lembut dengan pria di hadapannya. Tavisha, tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Apalagi setelah ia menangis semalaman. Teringat bagaimana sikap dingin pria itu yang menyudutkan. Bahwa dirinya tidak bisa menjadi istri yang menjaga martabat sang suami. Sungguhan, jika bukan karena menghargai Dahlia sebagai ibu mertuanya—mungkin Tavisha akan bersikap semena-mena pada pria di hadapannya itu. “Iya, kamu kenapa?” tan
Malam semakin larut bersama keheningan yang menusuk. Setelah kepergian Yudha ke kamarnya, Tavisha hanya membeku. Lampu ruang tamu tetap menyala, meski tak ada suara televisi yang sejak tadi hanya menjadi latar bisu. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh kalimat terakhir yang terdengar begitu jelas. Tajam seperti pecahan beling yang menghujam tanpa ampun. “Cemburu bukan bagian dari kontrak kita.”Kalimat itu terngiang kembali dan langsung menusuk tepat di hatinya. Memang benar. Pernikahan mereka hanya sebatas kontrak. Kontrak—satu kata yang membangunkan Tavisha dari kenyataan pahit. Bahwa mereka tidak akan pernah terikat. Memang itu yang ia inginkan sejak awal. Tapi, tidak bisakah Yudha bersikap sedikit lebih lembut? Ia tahu, pria itu terlahir dari darah seorang abdi negara. Didikannya mungkin keras. Tapi, Tavisha tidak bisa jika harus diperlakukan kasar. Hatinya rapuh. Hanya saja, selama ini ia tutupi dengan segala sikap tantrumnya. Karena dengan begitu—orang lain tidak akan memandang
“Nak … Yudha memperlakukan kamu dengan baik, ‘kan?”Sebuah pertanyaan terlontar dan Tavisha sendiri tidak tahu jawabannya. Pria itu memang tidak kasar—setidaknya untuk saat ini. Tapi, melihat sikapnya yang dingin dan tidak terbaca, entah mengapa membuat hatinya terluka. Sejak remaja, ia sudah sering menghadapi sikap dingin ayahnya. Seolah, ia hanya anak yang perlu dijaga tanpa perlu diberikan perhatian. Padahal, Tavisha ingin lebih dari itu. Terlebih setelah ibunya meninggal dunia. Tavisha merasa benar-benar membutuhkan seseorang yang bukan hanya bisa sekadar menjaga, melindungi, dan memperhatikan keselamatannya. Jauh dari itu semua, ia butuh kasih sayang. Namun, Yudha tidak bisa berikan. Itu mengapa, jika ditanya—apakah pria itu memperlakukannya dengan baik? Tentu saja jawabannya, tidak. Bukan itu yang Tavisha inginkan. Tavisha yang tampak larut dalam lamunan membuat Dahlia akhirnya menyentuh pundak sang menantu. “Nak?” Tavisha menoleh dengan gelagat yang membingungkan. Tatapanny