“Jadi ini soal reputasi lo?”
“Bukan begitu, Tavisha.”
“Terus apa?”
Tavisha menegakkan punggungnya, duduk dan mendongak. Membiarkan tatapan mereka saling mengunci dan membenci di udara. Tavisha tidak akan pernah takut, meski setinggi apapun pangkat suaminya. Sejak awal, ia sudah tidak menyukai perjodohan ini. Jadi, untuk apa ia berbaik hati dan bermulut manis di hadapan pria yang bahkan hampir membuatnya mati?
“Saya cuma ….”
“Seharusnya lo datang buat minta maaf karena nyaris buat gue mati!”
“Tavisha, pelankan suara kamu.”
“Kenapa memangnya? Takut rekan-rekan lo dengar?”
“Tavisha ….”
“Sejak awal gue nggak suka pernikahan ini! Terus gue harus nyaris mati karena kebaikan palsu lo itu.”
Tavisha memang termasuk vokal. Ia selalu ingin menang dalam berdebat. Sementara Yudha, sosok yang lebih tenang dan suka membaca situasi. Ia tidak pernah berapi-api ketika dalam kondisi emosi sekali pun.
Melihat Tavisha dengan suara seraknya berteriak, membuat Yudha hanya bisa memejamkan mata. Tidak salah juga. Usia mereka terlampau jauh. Dan Tavisha baru saja beranjak dewasa. Jadi, perempuan itu sudah pasti sulit mengendalikan emosi.
“Gue nggak suka lo tuduh kayak tadi! Apa kata lo? Merusak reputasi lo? Nggak bisa menjaga martabat sebagai seorang istri? Cih!”
Tavisha memutus tatapan itu seraya bersedekap. Kalau saja tangannya tidak di infus dan tubuhnya tidak selemah itu—ia mungkin sudah pergi dari hadapan pria tersebut. Entah mengapa ia sangat kesal. Setelah menyebabkan alerginya kumat, pria itu bahkan tidak ada kabar dan menghilang tanpa jejak. Lalu, sekarang datang dengan lagaknya yang sok berkuasa—mengatakan bahwa dirinya bukanlah istri yang mampu menjaga martabat suaminya.
Cukup lama tak ada sahutan. Tavisha yakin kalau suaminya itu sudah kalah berdebat dengannya. Masa bodo dengan tatapan yang kini menusuk tajam. Dari ekor matanya, Tavisha bisa melihat rahang Yudha mengeras. Seakan-seakan tengah menahan diri untuk tidak terbawa emosi.
“Sebaiknya lo pergi deh! Bukan buat gue sembuh malah bikin sakit hati!”
Tanpa memandang ke arah sang suami, Tavisha dengan raut kesal mengusirnya. Dan pria itu, di tengah rasa lelah—hanya bisa menghela nafas. Sebenarnya, ia sendiri juga tidak pernah menyukai perjodohan ini. Ia bukan sosok yang percaya cinta. Tapi, ia bukan pula pria yang tidak bertanggung jawab. Bagaimanapun watak istrinya, sebagai pemimpin rumah tangga, Yudha wajib membimbing wanita itu agar tidak salah melangkah.
Yudha masih mematung di tempatnya. Ia bergeming tak mengindahkan ucapan sang istri yang baru saja mengusirnya secara vokal.
“Sebaiknya lo pergi deh! Gue males lihat muka lo!"
Punggungnya tegap, wajahnya tak menunjukkan ekspresi. Tapi matanya—menyimpan kelelahan yang tidak pernah ia perlihatkan sebelumnya. Yudha bukan orang yang mudah goyah. Namun kini, kata-kata istrinya bagai batu yang dilemparkan tepat ke dada, menyesakkan.
Tavisha sudah berpaling sejak tadi, seolah menegaskan bahwa dirinya tidak ingin melihat sosok yang membuatnya gerah. Nafasnya terengah. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir gejolak emosi yang masih memanas.
“Masih belum pergi juga?” gumamnya ketus, nyaris berbisik.
Yudha tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana—seakan dinding rumah sakit itu lebih menarik untuk dipandangi dibandingkan wajah sang istri yang kini diliputi emosi.
Perang dingin itu tampak nyata. Tidak ada lagi suara, hanya deru mesin infus dan detak pelan monitor jantung. Bahkan udara di ruangan itu terasa panas. Tavisha yang beberapa waktu lalu tidak bisa berhenti bicara, kini membisu. Ia lelah. Tubuhnya masih lemas, belum pulih sepenuhnya. Tapi hatinya lebih lelah lagi.
Seperti biasa, Yudha memilih diam untuk menghindari konflik. Tapi kali ini, diamnya terasa seperti pisau yang perlahan menusuk—tidak menciptakan luka terbuka, melainkan membekukan segalanya. Keberadaannya justru membuat udara semakin pekat.
Detik demi detik berlalu. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu diketuk pelan.
“Tavisha,” ucap seorang wanita berusia setengah abad.
Tavisha sontak membuka mata. Raut wajahnya langsung berubah. Ia tahu suara itu. Meski baru beberapa kali bertemu, Tavisha mengingat baik nada suara tersebut. Dahlia Larasati—ibunda Yudha, wanita yang dikenal lemah lembut namun memiliki sorot mata tajam dalam membaca situasi. Dan seperti itulah cara wanita yang telah menjadi pendamping hidup seorang abdi negara, memandang lawan bicara.
Pintu terbuka perlahan, menampilkan sosok wanita anggun berusia sekitar lima puluh tujuh tahun, mengenakan pakaian formal, layaknya ibu-ibu pejabat. Ia berdiri didampingi oleh dua ajudan berseragam hijau lumut. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam, langkahnya tergesa namun tetap tenang.
“Ya Tuhan, Tavisha, kamu ndak apa-apa, Nak?” ucap Dahlia begitu mendekat ke sisi ranjang.
Tavisha hanya menatap silih berganti, antara sang suami dan ibu mertuanya.
“Nggak apa-apa, Bu. Maaf kalau buat Ibu khawatir.”
Dahlia menoleh ke arah Yudha, sebelum merebut posisinya dan duduk di tepi ranjang tersebut.
“Maaf, Ibu baru datang. Kemarin, Ibu dengar kamu jatuh pingsan dari Bening.”
‘Ibu kenal Bening?’
Pikiran Tavisha berkelana. Ia pun hanya bisa memaksakan diri untuk tersenyum. Ia berusaha membenarkan posisinya agar lebih nyaman.
“Iya, Bu. Alergi Tavisha kumat,” jawab perempuan itu seraya menilik suaminya.
Yudha hanya berdiri di sisi sang ibu, menyaksikan perubahan drastis ekspresi Tavisha. Dari ketus dan tajam, kini mendadak menjadi manis dan lembut. Perbedaan itu terlalu mencolok. Tapi ia paham. Istrinya bukan sedang berpura-pura. Ia hanya tahu kapan harus menampilkan sisi terbaik di hadapan orang lain.
Dahlia mengelus punggung tangan Tavisha dengan penuh kasih sayang.
“Kamu kelihatan lemas sekali, Nak. Sudah makan? Perawatnya baik, ‘kan?”
“Iya, Bu. Perawat di sini baik. Makanannya juga cukup. Cuma … belum bisa banyak bergerak.”
“Ibu khawatir pas dapat kabar dari Bening kalau kamu sesak napas karena alergi. Astaga, kenapa kamu ndak cerita dari awal kalau punya riwayat itu?”
“Tavisha kira dia tahu, Bu.”
Tavisha melirik Yudha dan Dahlia ikut mengekori arah pandang menantunya. Sekilas, ruangan terasa beku. Ucapan itu terdengar tenang, tapi menyimpan sindiran yang begitu jelas. Dahlia menatap ke arah putra semata wayangnya.
“Yudha?” tegurnya, pelan. “Kamu benar-benar ndak tahu?”
Yudha menegakkan tubuhnya. “Yudha tidak tahu, Bu. Tapi, hari itu juga Pak Manggala memberitahu, jadi Tavisha masih bisa tertolong.”
Dahlia menatap keduanya silih berganti. Suasana mendadak sunyi lagi. Tavisha kembali mengatupkan bibir. Ia menahan diri untuk tidak mengucapkan sesuatu yang akan menyakiti hati ibu mertuanya. Namun jauh di dalam hati, amarahnya belum pulih.
“Sudah, sudah ... yang penting sekarang kamu istirahat dulu, Nak,” kata Dahlia sambil membenarkan selimut Tavisha.
“Jangan stress, ya. Ibu yakin, kalian bisa menjalani semua ini dengan baik.”
Tavisha mengangguk pelan, meski tak sepenuh hati. Ia belum siap menjalani apapun. Ia hanya ingin sendiri, tenang, tanpa harus melihat wajah pria yang membuatnya nyaris kehilangan nyawa.
“Ibu bawain masakan rumah, kamu pasti suka,” lanjut Dahlia, mencoba mencairkan suasana. “Tapi nanti saja makannya, ya. Kalau kamu sudah lapar. Apa kamu sudah lapar?”
“Oh, belum, Bu. Terima kasih sudah repot-repot.”
“Ndak, sayang. Kamu itu anak Ibu juga sekarang,” ujar Dahlia sambil tersenyum hangat.
Seketika itu pula, mata Tavisha terasa panas. Ia tidak menangis, tapi hatinya menghangat. Ia belum pernah mengenal keluarga Yudha dengan baik karena pernikahan dadakan itu. Tapi ibu mertuanya—berbeda. Wanita itu tidak memperlakukannya sebagai orang asing. Di sisi lain, Tavisha yang lama ditinggalkan sang ibu—seolah memiliki sosok itu lagi dalam hidupnya.
“Kalau Ibu di sini, boleh Yudha pamit sebentar?” tanya Yudha pelan, memecah keheningan. “Yudha mau ganti pakaian sebentar.”
Tavisha menahan senyum sinis. Akhirnya pria itu sadar juga untuk pergi. Dahlia pun menoleh. “Jangan lama-lama, ya. Ibu juga tidak bisa lama. Khawatir Bapak kamu pulang cepat.”
Yudha mengangguk. Ia menatap Tavisha sekali lagi, namun sang istri tetap tidak mau menoleh padanya. Sorot mata perempuan itu seolah menegaskan bahwa Tavisha tidak ingin melihatnya disana.
Yudha melangkah keluar. Pintu tertutup perlahan. Begitu sosok suaminya menghilang dari pandangan, Tavisha menghembuskan napas lega. Barang sejenak, ia merasa bisa bernapas lebih leluasa.
Dahlia menatap menantunya dengan lemah lembut.
“Nak ... Yudha memperlakukan kamu dengan baik, ‘kan?”
***
Kira-kira jawaban Tavisha apa hayo? Yuk, vote, like, komen sebanyaknya supaya author semangat updatenya. Hehehe.
Dahlia keluar dari kamar setelah berhasil menenangkan sang menantu dan memberinya makan. Hormon yang dialami Tavisha memang tidak biasa. Perempuan itu sangat rapuh. Seolah jika dipegang sedikit saja mampu menghancurkannya. Setelah pintu kembali tertutup, Yudha langsung menghampiri. Ada kecemasan di wajah yang tak bisa ia tutupi. “Bagaimana Tavisha, Bu?"“Dia tidur lagi setelah makan dan minum vitamin.”Terdengar hela nafas lega setelahnya. Dahlia lantas menyelipkan tangannya di sela lengan putranya sambil membawa pria itu untuk duduk di sofa. “Duduk sini, kita ngobrol sebentar.”Yudha hanya mengangguk pelan. “Jangan terlalu keras dengan Tavisha, Nak,” nasehat sang ibu setelah berhasil duduk di sofa ruang tamu bersama putranya. Namun, tidak ada sahutan yang berarti dari bibir Yudha. Pria itu hanya bergeming, seakan berpikir apa benar ia terlalu keras pada istrinya? Padahal, ia sudah berusaha untuk bisa menahan semua ego dan amarah yang terpendam di kepala hanya demi tidak menyakiti
Yudha membiarkan tangis itu pecah. Ia membiarkan perempuan rapuh dan tak berdaya itu meluapkan segala kesedihannya melalui tangisan. Ibunya bilang, perempuan hamil itu perasaannya sangat sensitif. Ia bisa menangis hal-hal bahkan sekecil apapun. Apalagi Tavisha yang tengah menghadapi badai besar dalam hidupnya. Setelah lama menunggu, tangis itu akhirnya berubah jadi sebuah keheningan. Yudha menilik sang perempuan yang tengah berada dalam pelukan. Tak ada suara selain deru napas teratur. Yudha bisa menebak bahwa perempuan itu sudah tertidur. Ia pun menyelipkan tangannya ke celah leher dan kaki sang perempuan. Kemudian berdiri membopongnya menuju ranjang.Dengan sangat hati-hati, Yudha meletakkan sang istri, seakan takut membuatnya terbangun. Setelahnya, ia menyingkap rambut dan mengusap sisa air mata yang ada di kelopaknya.“Maafkan saya Tavisha.”“…”“Saya menyayangi kamu lebih dari apapun.”“…”Ungkapan hati seorang Yudha yang tak pernah secara jelas terucap di hadapan istrinya. Ia s
Ketika kembali ke kediamannya, Yudha mendapati sang istri lagi-lagi merenung di ujung jendela kamar. Tatapannya kosong sambil memeluk kedua kakinya. Ada perasaan sesak saat dirinya harus melihat keadaan Tavisha yang semakin hari semakin menyedihkan. Ia tidak ingin psikologis perempuan itu terganggu. Terlebih ada bayi dalam kandungannya yang harus mendapatkan perhatian lebih. “Tavisha?” Yudha mendekat, duduk di hadapan perempuan itu. Jemarinya menarik sofa sang istri agar lebih dekat. Kemudian menelaah setiap guratan yang tampak di wajah. “Ada apa?” tanya Yudha, suaranya rendah nyaris tanpa ekspresi. “...” Namun yang ditanya lagi-lagi tak memberinya jawaban. Yudha hampir frustasi. Ia tidak pernah melihat sisi Tavisha yang sebegini rapuh. Dan itu—membuat dirinya merasa bersalah. Bukan hanya karena ia tidak bisa menenangkan hati perempuannya. Tapi, ia sadar. Sebagai abdi negara, ia tidak bisa selalu menemani Tavisha. Bahkan, jika ada operasi yang mengharuskannya pergi, ia tidak bi
Setelah melihat keadaan istrinya, Yudha memutuskan untuk secara terang-terangan mendatangi sang ayah di kediamannya. Sore itu, Yudha tiba di kediaman Dirgantara ketika langit mulai meredup. Hanya menyisakan cahaya jingga yang mengitari halaman. Lantas, ia turun dari mobil, menutup pintu tanpa suara berlebih.Kali ini, langkahnya terasa begitu berat. Terlebih, saat ia mulai melewati pintu utama. Yudha kembali berpikir, kapan terakhir dirinya berbicara serius empat mata dengan sang ayah? Ah, ia pun teringat saat makan malam terakhir di kediamannya. Ketika, Tavisha pertama kali menyebut operasi langit merah dalam acara makan malam tersebut. Bagi Yudha, sang ayah bak bayangan tegas dalam hidupnya. Pria penuh wibawa itu, nyaris tak tersentuh oleh apapun. Pintu dibuka oleh seorang asisten rumah tangga. Begitu melihat Yudha, wanita paruh baya itu buru-buru menunduk. “Selamat sore, Tuan Muda.” “Bapak ada di dalam?” “Ada. Beliau di ruang kerja.”Yudha mengangguk, lalu melangkah masuk. Ruma
Setelah semua riuh pertengkaran mereda malam itu, rumah besar keluarga Tandjung tenggelam dalam kesunyian. Dokter sudah pulang, meninggalkan pesan agar Tavisha banyak beristirahat. Seisi rumah pun berangsur hening. Namun, Yudha tidak lekas meninggalkan kediaman itu. Ia duduk di ruang tamu cukup lama, punggungnya bersandar pada sofa dengan pandangan kosong. Rasanya ia masih mendengar suara lirih Tavisha, kalimat-kalimat getir yang menuduh sekaligus menolak kehadirannya. Kepalanya berat, tapi setiap kali menutup mata, wajah pucat istrinya yang tak sadarkan diri kembali muncul. Akhirnya, Yudha memilih tidur di kamar tamu. Lampu sengaja tidak dimatikan. Tubuhnya berbaring, tetapi pikiran terus berkelana. Tentang rahasia yang belum ia buka, tentang kenyataan kehamilan yang baru diketahuinya, juga tentang kemungkinan kehilangan kepercayaan Tavisha sepenuhnya. Di kamar utama, Tavisha terjaga. Tubuhnya lemah, tapi ia tidak bisa memejamkan mata. Pandangannya sering beralih ke pintu, menunggu
“Jawab aku, Mas! Bapak kamu yang ngebunuh Mama, ‘kan?!” tanya Tavisha dengan nada berapi-api. Tatapannya menusuk tajam. Suaranya menggelegar hebat dengan sisa tangisan yang belum sepenuhnya reda. Yudha menahan napas. Tubuhnya kaku seolah terhantam oleh kenyataan. Kata-kata itu terlalu berat untuk dijawab, tapi diam justru membuatnya terlihat lebih bersalah. “Itu tidak benar,” ucap Yudha, lirih. “Kalau nggak benar, mana buktinya?!” Tavisha menekan suaranya. “Kenapa kamu selama ini nutup-nutupin, Mas? Kenapa kamu melarang aku buat cari tahu? Apa karena takut aku bongkar aib keluarga kamu?” “Bukan begitu.” Yudha menggeleng cepat, mencoba mendekat. “Saya cuma—” “Cuma apa?” Tavisha mundur selangkah. “Cuma memilih jadi anak baik buat bapaknya, sementara aku kehilangan Mama tanpa tahu siapa yang membunuhnya?!” Nada getir itu menggema di ruangan kaca. Napas Tavisha memburu, dadanya naik turun tak teratur. Sedangkan Yudha berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah. “Saya tidak perna