Pagi yang cerah menyambut, sinar matahari yang lembut menelusuri jendela, menerpa wajah cantik Revana yang perlahan terbangun dari tidurnya.
Sejenak, ia menatap wajah tampan Tristan yang masih terlelap di sampingnya, tampak damai seperti anak kecil yang tidak memiliki beban di dunia.
Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, memastikan tidak ada suara yang mengganggu kedamaian tidur suaminya.
Langkah-langkah kecilnya menuju kamar mandi terasa seperti melodi yang mengiringi pagi itu. Segera, air hangat dari shower membasuh tubuhnya, menghapus segala lelah dan penat yang mengendap.
"Segarnya," bisiknya pelan, merasakan kenikmatan yang begitu sederhana namun mendalam. Ia memejamkan mata, membiarkan air mengalir di wajahnya, membawa pergi segala kekhawatiran yang menyelinap di benaknya.
Namun, kenikmatan itu seketika terpecah saat ia merasakan tangan kekar Tristan melingkar di pinggangnya. Kejutannya tergambar jelas di wajahnya, tapi segera tergantikan oleh senyum lembut ketika ia melihat suaminya yang ternyata telah bangun.
"Kamu sudah bangun. Apa aku mengganggu tidurmu? Maafkan aku," kata Revana, suaranya lembut namun penuh kecemasan.
Tristan hanya tersenyum, senyum yang penuh makna dan ketenangan. Tanpa kata, ia membalikkan tubuh Revana, meraup bibir istrinya dengan ciuman yang penuh gairah.
Tangan Tristan mengangkat tangan Revana, menempelkannya ke dinding kamar mandi. Tangan lainnya mulai menyelinap ke bawah, memberikan sentuhan yang membuat Revana mendesah pelan, sebuah melodi yang indah di telinga Tristan.
"Hari ini kamu akan diantar oleh ajudanmu ke kantor. Jika ada yang menyakitimu, beri tahu aku. Termasuk mantan kekasihmu," bisik Tristan, suaranya rendah dan berat, namun penuh dengan otoritas yang tidak bisa dibantah. Ia kemudian melepaskan tangannya, tidak ingin terlalu jauh menyentuh istrinya saat itu.
Revana menatap Tristan dengan tatapan penasaran. "Kamu mengenal dia?" tanyanya, berharap ada penjelasan yang bisa meredakan kebingungannya.
Tristan hanya diam, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara. 'Apa yang Tristan tidak tahu.
Dia itu seperti mata-mata keluargaku. Jelas tahu Erza adalah mantan kekasihku,' gumamnya dalam hati. Ia memilih untuk melanjutkan mandinya, mempersiapkan diri untuk hari yang panjang di kantor.
Meski perusahaan itu milik Tristan, ia masih merasa tanggung jawabnya besar dan banyak yang belum tahu bahwa ia adalah istri dari bos besar itu.
**
Sementara itu, Tristan yang telah selesai bersiap-siap untuk hari itu, menghentikan langkahnya ketika melihat Alfrod, kakaknya, masuk ke dalam rumah.
"Halo, Tristan. Lama sekali tidak bertemu denganmu," ucap Alfrod, senyuman di bibirnya tampak penuh arti, seolah meledek Tristan karena telah berhasil mengambil Michael untuk menjadi anak buahnya.
Tristan melangkah lebar, mendekati Alfrod dengan amarah yang membara. Tanpa banyak kata, ia melayangkan satu tinju keras ke arah Alfrod, membuatnya terhuyung ke belakang. "Berengsek! Bajingan! Kamu pikir, kamu sudah berhasil, huh? Merebut apa yang sudah menjadi milikku?!" pekik Tristan, sorot matanya tajam seperti pisau.
Alfrod hanya tersenyum miring, mengusap darah yang mengalir di sudut bibirnya. "Michael sendiri yang memilih untuk berkhianat, Tristan. Harusnya kamu sadar diri, sebenarnya kamu hanya dimanfaatkan oleh adikmu itu," bisik Alfrod dengan senyum seringai penuh kemenangan. Baginya, Tristan bukanlah adik, melainkan saingan bisnis yang harus dihancurkan.
"Bohong! Justru kamu lah yang telah mengelabui Michael agar mau ikut denganmu. Michael akan semakin gila jika ikut denganmu, bodoh!" Tristan semakin emosi, amarahnya membara seperti api yang sulit dipadamkan.
Alfrod tertawa jahat. "Tristan, Tristan. Jangan hanya karena kamu sudah memberikan segalanya pada Michael, kamu merasa seolah Michael adalah milikmu? Itu tidak masuk akal, kamu tahu?" ucapnya, menambah bensin ke dalam api yang sudah membara.
Sementara itu, di kamar, Revana merasa terganggu oleh suara bising di luar. Ia memutuskan untuk keluar dan melihat apa yang terjadi. "Kenapa ribut sekali? Siapa yang datang ke rumah ini?" bisiknya, membuka pintu kamar dan mengintip keluar.
Matanya membesar melihat pria bertubuh kekar yang sama tingginya dengan suaminya. "Siapa pria itu? Sepertinya kehadirannya tidak diinginkan oleh Tristan," gumamnya, ragu untuk keluar dan melihat lebih dekat.
"Pergi dari rumahku sekarang juga!" pekik Tristan, mengusir Alfrod dengan kemarahan yang tidak tertahankan.
"Oh, Tristan. Aku belum selesai bicara. Aku masih ingin menyampaikan sesuatu padamu," ucap Alfrod, suaranya tenang namun penuh dengan ancaman terselubung.
"Tidak ada yang perlu kamu sampaikan! Aku tidak ingin melihatmu lagi, Alfrod. Memangnya sejak kapan kamu menganggap aku adalah adikmu? Bukankah sejak dulu kamu hanya menganggapku musuh?" Tristan menyunggingkan senyum pahit, tatapan tajamnya menusuk ke arah kakaknya.
Tristan berbalik, matanya menangkap sosok Revana yang berdiri di ambang pintu kamar. "Apa yang kamu lakukan di sana, Revana?" pekik Tristan, suaranya penuh kemarahan dan kekhawatiran.
Revana terperanjat, tubuhnya gemetar melihat sang suami meneriakinya. "Ma--maafkan aku," ucapnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.
"Masuk!" pekik Tristan lagi, suaranya tidak memberi ruang untuk penolakan.
Alfrod, yang melihat kejadian itu, menaikkan alisnya dengan penuh minat. Kecantikan dan kemolekan tubuh Revana membangkitkan rasa penasarannya.
"Siapa wanita cantik itu, Tristan? Wanita malammu? Boleh aku meminta giliran agar dilayani olehnya?" ucapnya dengan nada meledek, matanya tidak lepas dari Revana yang masih terpaku di ambang pintu kamar.
Tristan yang sejak tadi diam, mengangguk kecil. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Gave. Tak butuh waktu lama, suara Gave yang penuh semangat terdengar dari seberang."Laura di sana? Serius? Dia melahirkan?!" seru Gave, suaranya melonjak kegirangan. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa, seperti Gave sedang berjalan sambil berputar-putar karena terlalu bahagia."Iya, Laura ada di sini. Bayi kalian lahir dengan selamat," jawab Tristan sambil tersenyum kecil.Dari seberang, suara Gave terdengar gemetar penuh haru. "Aku memang ingin menikahi Laura. Aku sudah mengajukan cuti untuk menyiapkan semuanya. Aku tidak menyangka bayi kami lahir lebih cepat dari prediksi dokter. Aku akan segera ke sana!"Tristan menutup telepon dan menatap Revana dengan tatapan geli. "Nah, kamu dengar sendiri, kan? Semua sudah jelas sekarang."Ketika Gave akhirnya tiba di rumah sakit, suasana menjadi semakin hangat. Dengan wajah penuh kerinduan, ia memeluk Laura erat, mengecup keningnya, lalu mengali
Revana akhirnya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan dan luka.Sementara Tristan dan Hendri membantu wanita itu berjalan ke luar rumah, Revana berdiri diam di ambang pintu, menyaksikan mereka dengan campuran emosi yang tak terungkapkan."Revana!! Kenapa kamu diam. Ayo kita ke mobil. Tuntun Laura, cepat." Suara Tristan meninggi pada Revana.Revana mendengkus kesal dan tanpa suara air matanya menetes saat membukakan pintu mobil. Sementara erangan Laura makin membuat suasana begitu menegangkan."Aagh ... Aduh!" tak urung Laura memegang erat tangan Revana menahan rasa sakit tak tertahankan yang sebentar datang lalu reda. Lalu datang lagi sakitnya.Tristan mengemudi. Hendri dan Revana duduk di jok belakang di sisi kiri kanan Laura, sementara Laura merintih dengan wajah pucat.Jeritan Revana memenuhi lorong rumah sakit, bergema seperti sembilu yang menyayat hati Revana.Napasnya memburu, dadanya berdebar, namun bukan karena rasa simpati.Ia duduk di kursi tunggu d
Revana menatap meja makan dengan rasa puas. Ia merasa seperti ini adalah momen yang tepat.Sebentar lagi Tristan akan pulang, dan mereka akan merayakan ulang tahunnya bersama keluarga kecil mereka. Namun, di balik itu semua, ada sebuah kabar besar yang ingin ia bagi—kabar yang akan mengubah segalanya.Dengan hati yang penuh harapan, Revana duduk di kursi dan menunggu. Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan momen yang diinginkan belum tiba.Tetapi, ia tahu, kejutan ini akan menjadi awal dari babak baru dalam hidup mereka. Sebuah babak yang akan membuat mereka semakin dekat, semakin kuat, dan semakin bahagia.Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka, dan langkah kaki Tristan masuk ke dalam rumah. Revana berdiri, matanya bersinar penuh kebahagiaan, siap untuk memberi kejutan yang sudah ia siapkan dengan penuh cinta.Bau kue manis masih tercium di dapur ketika suara pintu depan terbuka. Revana, yang tengah mengatur meja makan, mendongak dengan senyum lebar di wajahnya."Mas T
Revana menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Semua pengorbanan, semua perjuangan yang mereka lakukan, kini membuahkan hasil yang indah.Mereka bukan hanya pasangan, tapi juga sahabat sejati, yang saling mendukung dalam segala hal. Mereka telah melewati masa-masa sulit, dan kini mereka bisa menikmati momen-momen indah ini bersama.Ketika Naira kembali berlari ke arah mereka, wajahnya dipenuhi kegembiraan yang tak terbendung, Revana dan Tristan saling berpandangan, dan senyum lebar pun terukir di wajah mereka.Mereka tahu, kebahagiaan ini adalah hasil dari cinta yang telah tumbuh dalam hati mereka, dari segala perjuangan yang mereka lakukan bersama.Pada saat itulah, Revana merasakan kebahagiaan yang sejati, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Cinta yang dulu hanya dimulai dari keinginan sementara, kini berubah menjadi sebuah ikatan yang tak terpisahkan. Dalam pelukan keluarga kecil mereka, Revana merasa dunia ini penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas.Dan dengan suara gelak
Pantai itu tampak indah dengan pasir putih yang membentang luas, dipadu dengan air laut yang berkilauan di bawah sinar matahari.Ombak datang bergulung-gulung, menghantam bibir pantai, menciptakan suara gemuruh yang menenangkan.Di tengah pemandangan yang menakjubkan itu, Tristan, dengan wajah lelah, berlari mengejar seorang gadis kecil yang tak kenal lelah, Naira.Matanya yang penuh kegembiraan dan keceriaan, tak bisa berhenti berlari di sepanjang garis pantai, membiarkan pasir menempel pada kaki telanjang kecilnya."Naira! Jangan lari ke sana, sayang!" seru Tristan dengan napas terengah-engah, mencoba mengejar anaknya yang semakin menjauh.Namun Naira justru tertawa riang, melangkah lebih cepat, seolah menikmati kebebasannya yang tidak terbatas.Dengan senyum penuh ceria, dia menoleh sebentar untuk melihat ayahnya, seolah mengatakan, "Kejar aku, Papi!" Lalu, tanpa peringatan, dia berlari lagi, menari-nari di tepi laut, membiarkan ombak menerjang kakinya yang mungil.Tristan tersenyu
Pesta itu meriah. Lampu-lampu indah berpendar di seluruh sudut ballroom yang luas, menciptakan atmosfer magis yang terasa seperti sebuah dunia terpisah.Para tamu berdiri, berbincang, dan tertawa, sementara musik lembut mengalun dari panggung, menambah kehangatan suasana.Di tengah keramaian itu, Tristan berdiri di depan mikrofon, mengenakan jas hitam yang sempurna, dengan senyum yang penuh kasih sayang untuk satu orang yang paling ia cintai di dunia ini—Revana.“Selamat malam semuanya,” suara Tristan menggema, menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya Anggukan tamu undangan menjawab sapa Tristan. “Terima kasih telah hadir di acara spesial kami malam ini. Hari ini, aku dan Revana merayakan dua tahun yang penuh kebahagiaan, dan aku ingin berbagi sedikit cerita dengan kalian semua.”Revana berdiri di sampingnya, wajahnya terlihat begitu cantik dengan gaun merah yang berkilau, rambut panjangnya yang tertata rapi menambah pesona.Matanya memandang Tristan penuh cinta, seolah tidak p