“Aku serius, Kian!” ucap Helga dengan ekspresi tersinggung. “Biasanya kamu yang memintaku terlebih dahulu.”Kian menggelengkan kepalanya. “Mau sampai kapan kamu terus menerus menggangguku, Helga? Tidakkah kamu ingin mencari pria lain dan menikah saja? Usiamu sudah tidak muda lagi. Mungkin saja wajahmu sudah mengkerut.”Kian merasa puas dalam hati karena mengutip kata-kata Laureta.“Apa katamu? Wajahku tidak ada kerutan!” seru Helga yang tampak tersinggung. “Aku selalu melakukan perawatan. Dokter kulitku bilang kalau kulitku sangat sehat seperti yang masih berusia dua puluhan.”“Ya, terserah padamu saja. Lupakan saja soal ranjang, oke. Oh ya, kalau kamu butuh kata-kata terima kasih, tentu saja. Terima kasih ya. Sebaiknya, kamu jangan mengirimiku lagi bunga. Seharusnya biarkan hal itu menjadi tugas pria.”Helga mendengus. “Itu kan memang tugasmu. Harus menunggu berapa lama lagi sampai kamu mengirimiku bunga, huh?”“Tidak akan. Kamu tidak usah berharap, Helga.” Kian sudah bangkit berdiri
Laureta menelepon Marisa, adiknya Kian. Seharusnya mereka pergi ke salon hari ini, tapi sesuai dengan janji Kian, ia sudah boleh mengajar zumba lagi. Jadi, ia tidak akan menjadi nyonya sosialita dulu hari ini.Ia tahu jika mendapatkan yang ia mau dengan cara menyodorkan tubuhnya itu sepertinya tidak baik, seperti yang kurang senonoh, tidak beretika. Namun, jika dipikir-pikir lagi, ia adalah istrinya Kian. Tak ada yang salah dengan apa yang mereka lakukan.Telepon pun tersambung. “Halo?”“Halo, Kak Marisa. Ini aku, Laureta.”“Oh, hai Kakak Ipar. Apa kamu sudah siap untuk ke salon hari ini?”“Hmmm, tadi Kian memberitahuku kalau aku boleh mengajar senam hari ini. Jadi, aku tidak bisa ke salon.”“Oh, sayang sekali,” ucap Marisa yang terdengar kecewa.“Maaf ya, Kak Marisa. Aku tidak bermaksud ingkar janji, tapi aku sudah bolos mengajar senam selama hampir tiga minggu. Aku ti
Laureta merasa tidak enak hati karena tidak mengundang para ibu-ibu ke pesta pernikahannya. Mumpung uang di rekeningnya cukup tebal, Reksi pun mentraktir mereka semua untuk makan-makan ke café di dekat studio sepulang senam.Dalam hati, Laureta bangga sekali bisa mentraktir mereka semua. Reksi yang paling sumringah.“Kamu benar-benar sudah jadi nyonya kaya sekarang,” ujar Reksi.Laureta terkekeh. “Tidak juga. Kebetulan saja aku ada berkat sedikit, jadi aku berbagi dengan semuanya.”Reksi mengangguk. “Kapan ya aku bisa mendapatkan suami seorang konglomerat sepertimu? Apa suamimu punya sudara laki-laki yang available?”“Apa?” Laureta tertawa keras. “Kamu pikir barang available?”“Ya, habisnya bagaimana? Aku sudah putus dengan pacarku dan sekarang aku sendirian.”“Eh, ya ampun. Kamu putus dengan Theo?”Reksi mengangguk. “Ya, aku dan dia terlalu sering bertengkar. Aku lelah beradu argumen terus dengannya. Kalau masih pacaran saja sudah berisik begini, nanti kalau sudah menikah bagaimana?
Seketika tubuh Laureta membeku. Ia sungguh tidak suka mendengar suara orang itu. Dalam pikirannya memerintahkannya untuk segera kabur dari sana. Laureta pun berlari cepat, tapi orang itu langsung mengejarnya dan menarik tangannya.“Tata! Tunggu dulu!” seru Erwin. “Kenapa kamu kabur dariku?”Laureta meringis sambil menutup matanya dengan keras. Seharusnya ia tidak bertemu dengan Erwin sekarang.“Erwin, ini bukan saat yang tepat untuk bicara. Aku benar-benar harus ke kamar Kian sekarang juga!” ucap Laureta dengan cepat.“Kamar Kian?”“Maksudku, kamarku, kamar kami. Ah, apa sajalah terserah. Lepaskan tanganku!” Laureta menarik tangannya dengan sekuat tenaga hingga tubuh Erwin ikut tertarik.Erwin menubruk Laureta hingga ia jatuh terjengkang ke lantai. Wajah mereka dekat sekali. Sama sekali bukan momen yang romantis apalagi sesuatu yang menyenangkan. Ia mengerang kesakitan karena punggungnya membentur lantai cukup keras hingga berdenyut-denyut panas.Ia mendorong tubuh Erwin supaya menyin
Laureta pun melebarkan matanya, terkejut karena Marisa begitu peduli akan tas yang ia kenakan.“Kak, padahal Kakak tidak perlu repot-repot,” ujar Laureta yang merasa tidak enak hati, meski sebenarnya senang.“Anggap saja tas itu sebagai kado pernikahanmu dengan Kian. Aku bertanya pada Kian berkali-kali, kado apa yang dia mau dariku, tapi dia tidak mau menjawab. Lucu sekali bukan. Kakak sendiri menikah, tapi adiknya tidak memberinya apa-apa. Kalau dilihat-lihat, apa lagi yang bisa aku berikan untuknya? Dia sudah punya segalanya bukan?”Laureta tersenyum sambil mengangguk perlahan. “Iya, Kak betul. Kak Marisa yang jadi adiknya saja bingung mau memberi kado apa untuknya. Apalagi aku yang tidak punya apa-apa.”Marisa terkekeh. “Tidak usah minder. Kamu sudah hadir dalam hidupnya, menjadi istrinya saja itu sudah merupakan kado teristimewa untuk Kian. Aku terlebih sangat bersyukur karena akhirnya dia bisa menemukan kebah
“Ya, Kak,” jawab Laureta. “Barusan suamiku telepon dan menanyakan posisiku di mana.” Lidah Laureta serasa kelu menyebut Kian sebagai suaminya. Ia tidak pernah mengakuiny seperti itu sebelumnya. Rasanya ternyata aneh juga. “Lalu? Apa dia akan menyusul ke sini?” tanya Marisa. Laureta mengangguk. “Ya, dia bilang dia akan datang ke sini.” Marisa mengangguk. “Ah ya. Tidak biasanya dia mau menjemput.” Lalu ia terkekeh. “Kalau untuk istrinya tercinta, pasti apa pun akan dia lakukan. Ya kan, Ga?” Helga menoleh pada Marisa, wajahnya tampak terkejut karena ditanya tiba-tiba. Namun, kemudian Helga ikut tertawa pelan. “Ya, begitulah. Kebetulan sekali Laureta bisa mendapatkan suami yang sangat baik. Semoga saja kamu juga sepadan untuknya ya.” Laureta mengangguk sambil tersenyum. Lalu ia berpikir ulang. Apa memang ia tidak terlihat sepadan untuk Kian? “Kalau aku boleh tahu, berapa umurmu, Laureta?” tanya Helga. “Umurku dua puluh dua tahun,” jawab Laureta jujur. “Oh, my God. Masih sangat mud
“Sampai bertemu lagi ya, Sa. Mulai hari ini, kita akan sering-sering bertemu,” ucap Helga sambil memeluk Marisa sambil mencium pipi kiri kanannya.Marisa tersenyum sumringah. “Tentu saja! Aku sudah tidak sabar untuk pergi main denganmu dan juga teman-teman yang lain.”“Baiklah. Jangan lupa untuk menghubungiku ya, Sa.”“Iya, Ga. Sampai ketemu lagi ya. Dadah.”Laureta melambaikan tangannya sambil tersenyum palsu. Setelah wanita itu pergi, Laureta pun bisa menghela napas dengan lega.“Eh, itu Kian!” seru Marisa.Wajah Kian tampak pucat. Ia menatap Laureta dari bawah ke atas. Napasnya seperti yang terengah-engah.“Kamu habis lari ya?” tanya Laureta sambil tersenyum menatap Kian.“Hmmm, ya. Begitulah,” jawab Kian sambil lalu. “Uhm, kenapa kalian bisa ada di sini?”“Aku dan Laureta baru saja makan malam bersama di sini. Apa kamu mau makan juga, Kian?” tanya Marisa.“Ya, sebenarnya aku lapar,” jawab Kian yang memang terlihat sangat membutuhkan nutrisi. Laureta jadi kasihan melihatnya.“Ya su
Sungguh rasanya aneh sekali, setelah puas tertawa, lalu sekarang Kian terkejut. Hidupnya memang seperti roller coaster semenjak ia bertemu dengan Laureta.Saat ia hendak menemui Laureta, ia melihat Helga yang baru saja keluar dari restoran. Wanita itu tersenyum manis padanya dan berlalu begitu saja.Kian tak menyangka jika Helga sampai berani menemui Laureta. Namun, ia justru lebih tak percaya lagi jika ternyata Helga adalah temannya Marisa. Sungguh terlalu. Apakah dunia bisa sesempit ini?Sebuah kecurigaan muncul dalam hatinya. Rasanya terlalu kebetulan jika Helga adalah temannya Marisa. Bisa jadi, Helga melakukan itu dengan sengaja.Kian jadi penasaran, hal apa yang sedang Helga rencanakan.“Kamu tidak perlu terkejut seperti itu,” ujar Laureta membuyarkan pikirannya.“Kalau kamu tidak suka, sudah saja kamu tidak usah jadi personal trainer dia. Lagi pula, kamu kan tidak mengenalnya,” ucap Kian sambil memutar pastanya dengan garpu.“Aku memang tidak mengenalnya. Lebih tepatnya, aku ba