Angin malam menyusup dari balkon, membawa aroma malam yang bercampur kabut tipis. Namun suhu tak seberapa dingin dibanding gejolak yang kini membakar di dalam ruang luas itu.
Kyora berdiri terpaku di balik gaun basahnya, rambut acaknya meneteskan air hujan terakhir yang belum mengering, seperti sisa-sisa penolakan yang masih tersisa di hatinya. Akan tetapi, bukan penyesalan yang ada dalam matanya, atas keputusannya untuk memilih menetap bersama pria asing di depannya. Melainkan pelampiasan amarah yang masih bergemuruh di hatinya. Ludovic menatapnya tajam, sorot mata pria itu tak lagi sekadar mengancam. Ada sesuatu yang lain. Lebih dalam. Lebih mengikat. Ketika Kyora melangkah mendekat, tak ada suara kecuali derap halus kakinya menyentuh marmer hitam. Gaunnya menyeret di lantai, meninggalkan jejak seolah menandai keputusannya. "Aku tak tahu apa yang akan terjadi esok hari," lirih Kyora, berhenti satu langkah dari Ludovic. "Tapi malam ini, aku memilih untuk tetap di sini." Ludovic menatapnya lama. Sangat lama. Seolah sedang menimbang bukan hanya kata-kata, tetapi keberanian dalam suaranya. Lalu pria itu bergerak cepat, menarik tubuh kecil Kyora ke dalam pelukannya, bukan dengan paksa, tapi dengan kegetiran seseorang yang terlalu lama menunggu miliknya untuk kembali. Pelukan itu menghimpit semua dinding pertahanan Kyora. Dadanya sesak, bukan karena takut, tetapi karena rasa yang asing, liar, dan menyakitkan dalam waktu bersamaan. Tangannya menggantung di sisi tubuh, namun perlahan naik, menyentuh punggung keras pria itu, mencengkeram erat. Ludovic menunduk, membenamkan wajahnya di lekuk leher Kyora. Mengecupnya, menyesapnya lembut. “Kau tidak tahu betapa aku membenci diriku sendiri karena sangat menginginkanmu, Kyora." bisiknya rendah, napasnya membakar kulit leher Kyora yang dingin. “Aku juga membenci diriku karena tidak menolakmu, Tuan.” jawab Kyora nyaris tak terdengar. Dalam sekejap, udara berubah. Ludovic mencengkeram lembut rahangnya dan menatap dalam ke matanya, seolah mencari secercah keraguan terakhir. Namun yang ia lihat hanyalah seorang wanita yang hancur, namun memilih berdiri kembali di atas reruntuhannya. Malam itu, Ludovic membawa Kyora melewati ruang besar kastil menuju ruang pribadinya, lebih megah, lebih gelap, dan lebih sepi dari seluruh ruang lain. Lilin-lilin menyala di setiap sudut, memberikan cahaya keemasan yang menari-nari di permukaan dinding hitam dan marun berornamen emas. Langit-langit dihiasi lukisan bergaya renaissance yang menggambarkan perang para dewa, seperti mencerminkan perang batin yang membakar keduanya. Kyora berdiri di ambang ranjang merah megah dengan kelambu hitam. Tangan Ludovic bergerak pelan, membuka ikatan gaun yang menempel di tubuh gadis itu. Gerakannya lambat, namun penuh keyakinan. Dan saat kain basah itu meluncur jatuh ke lantai, yang tersisa hanyalah tubuh mungil yang gemetar bukan karena dingin, tapi karena ia akhirnya melepaskan semua benteng terakhirnya. Harta paling berharga yang tak pernah disentuh oleh siapapun, bahkan suaminya sendiri. “Jangan takut,” bisik Ludovic, mengecup pelipisnya. “Aku tidak akan memaksa. Tapi aku akan menuntunmu. Sampai kau tahu bagaimana seharusnya seorang wanita dihargai.” Kyora mengangguk kecil. Air matanya jatuh bukan karena luka, tapi karena perasaan asing yang membanjirinya, campuran antara takut, haru, dan pasrah yang membuat jantungnya berdentum tak karuan. Bibir Ludovic menjelajah bebas tanpa penghalang. Menelusuri setiap jengkal tanpa celah. Tak ingin melewatkan meskipun hanya seinci. Ia ingin memiliki seutuhnya, tanpa terkecuali. Tubuh mungil seputih susu yang tak lagi memiliki penghalang itu hanya diam membeku. Menerima apapun yang dilakukan oleh sang pria asing. Air matanya jatuh perlahan kesamping. Seharusnya malam ini miliknya bersama suaminya. Tapi, ia justru berserah pada pria yang tak memiliki status apapun di hidupnya. Pikirannya melayang jauh di mansion milik ayahnya. Ya, malam ini bukan hanya dirinya. Tapi, suaminya pasti juga sedang menggila bersama wanita barunya. Rasa remuk di hatinya semakin membuatnya yakin untuk menyerahkan dirinya. "Kau boleh berteriak, mencabikku atau apapun. Tapi, kau tak boleh memohon padaku untuk berhenti." bisik Ludovic lalu mengecup kedua mata Kyora yang sudah basah karena air mata. "Kau milikku, dan setelah ini tak boleh ada air mata kesedihan. Siapapun yang menyakitimu mereka akan membayar dengan darahnya." Ludovic mulai menyatukan miliknya. Tanpa pengampunan, ia tak menerima permohonan apapun. Kyora merintih, menggigit bawah bibirnya kuat menahan sakit luar biasa, ia mencengkram kuat seprei ketika Ludovic menerobos masuk. Ludovic belum menyadari apa yang sedang terjadi pada Kyora. Ia tak tahu jika Kyora masih suci. Ia terlalu tenggelam dalam nikmat surgawi. Kyora berteriak kecil ketika dinding terakhirnya tercabik. Tangannya berpindah mencengkram punggung keras Ludovic yang panas. Hingga kuku panjangnya menekan masuk ke kulitnya yang sudah basah dengan keringat. Mereka bersatu malam itu, tidak dalam kesempurnaan, tidak juga dalam cinta. Tapi dalam rasa kehilangan yang begitu besar, sehingga keduanya menutup luka masing-masing dengan tubuh dan napas yang saling mencari. Ludovic mencium setiap inci dari Kyora dengan sabar. Ia tidak tergesa, tidak menggila. Bahkan ketika ia menindihnya, ia seperti sedang menyusun ulang tubuh retak yang hampir tak bisa percaya bahwa ia pantas dicintai. Dan saat Kyora memeluknya erat di tengah malam yang panjang, Ludovic menyadari sesuatu. Gadis ini... bukan sekadar miliknya. Ia adalah takdirnya. Napas mereka berpadu, saling berburu dalam senyap yang penuh emosi. Ludovic mencengkeram seprai, menahan desah yang hampir lepas. Kyora, dengan tubuh kecilnya, menerima setiap sentuhan dengan berani, meski matanya berkaca-kaca. Setiap ciuman, setiap tarikan napas, membawa mereka lebih dalam ke pusaran yang tak ada jalan kembali. Jam demi jam berlalu. Sampai akhirnya malam itu menjadi saksi akan perubahan keduanya. Sebuah awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan fisik. Ada pengakuan diam, ada pengikatan tanpa sumpah, dan ada luka yang dipertemukan bukan untuk sembuh tetapi untuk hidup berdampingan. Ketika fajar menyusup dari balik tirai berat kamar itu, tubuh Kyora berbalut selimut tebal dalam pelukan Ludovic. Napasnya tenang, matanya masih setengah tertutup. Tapi ada senyum tipis di wajahnya, dan tangan yang mengait erat pada dada pria yang kini tertidur bersamanya. Ludovic membuka mata, menatap gadis dalam pelukannya. Ia menariknya lebih dekat, mengecup pelan keningnya. “Mulai hari ini, aku akan jadi pria yang kau benci sekaligus kau butuhkan,” bisiknya pelan. "Kau boleh memerintahku, meminta apapun dariku, bahkan menyiksaku." Kyora tak menjawab. Tapi jari-jarinya mencengkeram dada pria itu sedikit lebih erat. Tak dipungkiri semalam, pria ini telah memberikan sesuatu yang tak pernah diberikan suaminya. Kelembutan, kehangatan, ketenangan, kasih sayang, dan... kepuasan. Dan pagi itu, dunia belum berubah. Tapi dua hati yang terluka telah memilih tak lagi melarikan diri. Meskipun Kyora belum juga tahu nama lelaki yang tidur di sampingnya.Balkon lantai atas mansion Armany menghadap langsung ke perbukitan yang tertutup kabut tipis pagi itu. Angin sejuk meniup pelan, membawa aroma kopi hitam yang mengepul dari cangkir di hadapan Ludovic.Meja bundar kecil dari marmer putih sudah tertata dengan sarapan sederhana. Croissant, buah segar, pasta keju, dan teh camomile untuk Kyora.Kyora melangkah ke balkon menuju tempat Ludovic duduk, dengan piyama hitamnya yang kini tertutup cardigan tipis. Rambutnya digerai sedikit basah, wajahnya tanpa riasan, tapi sorot mtanya tak lagi kosong. Ia lebih tenang.Ludovic menatapnya dari kursi dengan penuh kekaguman. Baginya sosok Kyora adalah malaikat kecilnya. Ia menyesap kopi tanpa suara, lalu menarik tangan Kyora dan mendudukkan di atas pangkuannya.“Masih sakit?” tanyanya santai. Tentu di kamar mandi mereka tak berbuat diam. Ludovic tak menyiakan sedetik saja tanpa menyentuh kekasihnya.Kyora mengangguk canggung dengan wajahnya yang merona merah."Tentu saja, kau sangat tak manusiawi."
Pagi menyapa lewat sinar matahari yang menembus tirai tipis di jendela kamar. Udara dingin dari luar menembus hangatnya ruangan.Kyora membuka mata perlahan. Kelopak matanya terasa berat karena kelelahan. Semalam Ludovic benar-benar menghabiskan tubuhnya. Ia memutar kepala, dan mendapati pria itu masih tertidur di sebelahnya.Pria itu tampak damai. Dada bidangnya naik turun perlahan. Rambutnya sedikit berantakan. Lengan kirinya masih memeluk tubuh Kyora seolah menolak membiarkan gadis itu pergi bahkan dalam tidur.Kyora terdiam. Memandangi wajah Ludovic, ia bukan hanya pria kuat, dominan, dan tak tersentuh seperti yang dikenal dunia. Ada kehangatan, kelembutan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun di luar sana.Namun ia merasakannya sendiri semalam. Bahkan, tidur bersamanya, berpelukan di ranjang yang sepi.Ludovic bergumam dalam tidur, lalu mengeratkan pelukannya tanpa sadar. Kyora nyaris tersenyum. Tapi senyum itu segera hilang, digantikan oleh kegelisahan kecil yang muncul dar
Kyora menggenggam ujung seprai, merasakan bagaimana setiap inci tubuhnya bereaksi atas sentuhan Ludovic. Bukan sentuhan sembarang pria. Tapi tangan yang sejak awal memperlakukannya seperti manusia, bukan objek. Napasnya tercekat saat Ludovic menunduk, menyesap lekuk lehernya dengan penuh penghayatan. Hangat, lembut, namun menyisakan bara yang menjalar hingga ke ujung tulang punggungnya. Jemari Ludovic menyusuri bahu, menurunkan satu-satunya pelindung yang tersisa. “Katakan, kau hanya milikku,” bisik Ludovic di antara ciumannya yang terjeda. “Aku milikmu, Ludovic. Hanya milikmu.” sahut Kyora tanpa ragu, meski suaranya bergetar. Ludovic menatapnya. Mata mereka bertemu dalam cahaya remang. Wajah Kyora yang biasanya kuat, kini berserah. Tidak lemah, tapi memberi. Dan bagi Ludovic, itu lebih dari sekadar kemenangan. Itu adalah kepercayaan mutlak. “Boleh?” tanya Ludovic, sekali lagi menunggu izin. Tak peduli tubuh Kyora sudah menundanya terlalu lama. Baginya, satu kata ‘ya’ dari b
"A-aku?" Kyora terbata, gugup bercampur tegang dan takut."Hm," bisiknya. "Sebagai menu makan malamku." Suara Ludovic rendah dan berat, hidungnya menyusuri pipi Kyora lembut, tapi tidak mengecupnya.Ia hanya diam, menatapnya dalam ke manik mata Kyora yang masih meninggalkan bekas sembab, seolah ingin menelan seluruh jiwa gadis itu melalui tatapannya.Jari-jarinya berhenti di sisi leher Kyora, detak jantung gadis itu terasa menggetarkan kulitnya.Kyora tak bergerak. Ia tak menghindar. Bahkan ketika Ludovic mendekat, wajah mereka hanya terpisah oleh hela napas. Ia tidak takut. Tidak seperti sebelumnya. Ada sesuatu yang berubah. Mungkin karena kata-kata itu tadi, “Aku ingin kau jadi milikku, sepenuhnya.”Ludovic bukan hanya sekadar menginginkannya. Ia menuntut. Tapi entah kenapa, tuntutan itu terasa seperti pelindung. Bukan jerat.“Katakan kau milikku, Kyora Rosebelle.” bisik Ludovic lembut, bibirnya hampir menyentuh pipi Kyora.Kyora menarik napas dalam. Rasanya seperti ada tali tak kas
Sesampainya di mansion, Ludovic langsung menaiki anak tangga marmer dengan langkah panjang. Ia tidak menyapa siapa pun. Hanya satu hal di benaknya, memastikan Kyora baik-baik saja. Memandang matanya, menyentuh tangannya dan memeluk tubuh ringkih itu.Pintu kamar terbuka dengan satu dorongan pelan.Kyora berdiri di dekat jendela, tubuhnya dibalut piyama satin hitam selutut. Rambutnya terurai, wajahnya menatap kosong ke luar sana.Ludovic mengernyit. Ia memperhatikan ketegangan di garis bahu gadis itu, gerakan bibirnya yang nyaris tak bergerak, dan sorot matanya yang gelisah. Tapi, bukan untuknya."Kyora." panggil Ludovic datar namun dalam.Kyora tersentak. Ia membalikkan badan cepat, seolah baru tersadar bahwa pria itu sudah berdiri di sana."Tu..." Ia menelan suaranya kembali, karena takut salah memanggil dan mendapatkan hukuman lagi. Ia belum bisa menyebut nama Ludovic secara langsung.Mata Kyora langsung tertuju pada pakaian yang dikenakan Ludovic bersih tanpa bercak. Artinya benar,
Ludovic melumat bibir Kyora dengan kelembutan, bertolak belakang dari atmosfer liar dan menjijikkan yang sedang berlangsung hanya beberapa meter dari mereka. Ludovic menciumnya bukan untuk menggoda. Tapi untuk menenangkan badai dalam dada Kyora. Sentuhannya di bibir itu seperti pelindung terakhir yang bisa ia lakukan. Seolah ia ingin menutup mata dan telinga gadis itu dari dunia yang begitu kejam, setidaknya sampai malam ini berlalu. Di balik peti, suara desahan dan cengkeraman penuh nafsu terus memenuhi udara. Tapi Kyora tak lagi mendengar semuanya. Tidak setelah Ludovic membungkam ketakutan dan kemuakan itu dengan satu kecupan yang membuat waktu seolah berhenti. Tangan Kyora gemetar di dadanya. Ia tak membalas ciuman itu. Tapi juga tidak menolaknya. Ada luka dalam yang tengah dirawat, bukan dengan kata-kata, tapi dengan kedekatan dan perlakuan yang anehnya terasa begitu menenangkan. Ludovic menarik napas panjang, lalu mengusap air mata yang mengalir turun di wajah Kyora. Ia mena