LOGINSinar matahari menusuk ketika Kyora perlahan membuka matanya. Setelah perbincangan singkat tadi pagi, mereka mengulang kembali kejadian semalam. Lagi, dan lagi. Entah siapa yang memulai. Mereka seakan sama-sama tak ingin berakhir.
Rasa nyeri yang menjalar dari bawah tubuhnya membuat napasnya tertahan. Sakit. Perih. Tubuhnya terasa remuk seperti baru saja dilindas waktu. Ia tak berani bergerak terlalu banyak, hanya memalingkan wajah sekilas ke arah sosok pria yang masih tertidur di sebelahnya. Nafas Ludovic tenang, dalam, namun lengan kekarnya masih melingkar di pinggang Kyora, seolah menahannya agar tak pergi ke mana pun. Kyora menghela napas dalam, lalu perlahan menyingkirkan selimut dan tangan pria itu dari tubuhnya. Ia bergerak turun dari ranjang, kakinya menyentuh lantai dingin marmer dengan pelan. Setiap gerakan kecil menyengat perut bagian bawahnya. Ia meringis, tapi tak bersuara. Berusaha tetap tegak sambil melangkah menuju kamar mandi megah yang ada di sudut kamar. Namun, saat ia membuka pintu kamar mandi dan melangkah masuk, Ludovic yang baru saja terbangun menoleh. Matanya langsung menangkap noda merah di seprai putih gading. Ia terpaku. Selama beberapa detik ia hanya menatapnya tanpa kata. Lalu ekspresi di wajahnya berubah, antara syok, tak percaya, dan... bahagia. Sungguh bahagia. “…Kyora?” bisiknya perlahan, seolah baru menyadari sesuatu yang sangat berharga telah terjadi semalam. Ludovic bangkit dari ranjang, berjalan cepat mengikuti jejak Kyora yang baru saja masuk kamar mandi. Tanpa mengetuk, ia mendorong pintu hingga terbuka. Kyora, yang tengah berdiri di depan cermin dan mencoba mengatur napas sambil melepas kimono tidur dari tubuhnya yang lengket, menoleh panik. Tubuhnya hanya tertutup sebagian, kulitnya masih menyisakan jejak kemarin malam. “Tu...Tuan kenapa kemari? Jangan lihat!” desisnya cepat, memalingkan wajah dan mencoba menutupi tubuhnya dengan tangan. Namun Ludovic sudah menariknya ke dalam pelukan erat. Lengan kekarnya melingkari tubuh mungil itu, seolah tak akan membiarkannya pergi sedetik pun. Kyora tersentak, tapi tak sanggup melawan. Napasnya memburu karena malu dan juga gugup. “Apa yang Tuan—” “Ssssttttt... Diamlah,” bisik Ludovic pelan di telinganya. “Biarkan aku seperti ini sebentar.” Kyora membeku. Ludovic menyalakan shower. Dalam sekejap, suara air mengalir membanjiri kamar mandi yang terbuat dari batu alam hitam dan kaca berlapis emas. Air hangat mengguyur tubuh mereka. Kyora terperangah, tubuhnya refleks menggigil oleh sentuhan suhu dan keintiman yang baru saja dimulai kembali. “Kau tahu?” gumam Ludovic lembut, mengangkat wajah Kyora dengan ujung jarinya. “Aku belum pernah merasa sebahagia ini. Kau... milikku. Kau benar-benar milikku.” Wajah Kyora memerah. Bibirnya ingin membalas dengan sarkas atau kemarahan, tapi tak satu pun kata keluar. Yang ia rasakan hanyalah sentuhan lembut pria itu di kulitnya yang lelah dan perih. Ludovic tak terburu-buru. Ia mengambil sabun cair wangi mawar hitam, meneteskannya ke telapak tangan, lalu mulai mengusap tubuh Kyora dengan perlahan. Dari leher, bahu, punggung, lalu lengannya. Gerakannya seolah sedang merawat sesuatu yang sangat rapuh. Sesekali ia mengecup pelan pundak Kyora, atau menariknya sedikit lebih dekat ke dadanya yang hangat. Kyora memejamkan mata. Air mata kembali jatuh. Tapi kali ini, bukan karena luka atau kehinaan. Tapi karena rasa yang baru. Rasa dihargai. Rasa dimiliki tanpa disakiti. Rasa... dilindungi. Selesai membilas tubuh Kyora, Ludovic meraih handuk tebal berwarna hitam dan membalutkannya ke tubuh wanita itu. Ia membawa Kyora keluar dari kamar mandi, mendudukkannya perlahan di kursi sofa kecil dekat ranjang. Lalu ia sendiri mengambil kimono sutra warna champagne yang tergantung di lemari kaca, memakaikannya ke tubuh Kyora seperti seorang raja yang menyiapkan permaisurinya. “Aku akan memanjakanmu, Kyora,” bisiknya saat mengikatkan tali kimono di pinggang mungil gadis itu. “Sampai kau lupa siapa pun yang pernah menyakitimu.” Kyora menunduk, jari-jarinya mengepal diam-diam. Hatinya masih gaduh, tapi tubuhnya... tubuhnya perlahan mulai mengenali sentuhan pria ini bukan sebagai ancaman. "Sebenarnya siapa pria ini? Mengapa memperlakukan seperti ini?" batinnya bergejolak. Ludovic bangkit dan menekan tombol interkom di dinding. "Chef Antonie," katanya dalam suara berat. "Buatkan sarapan istimewa. Makanan favorit wanita, apapun yang terbaik. Untuk menyambut hari pertama Nyonya.” Mata Kyora menajam. "Nyonya?" bantinya berteriak. Suara dari interkom sempat terdiam. Lalu terdengar suara gugup tapi antusias, “Baik, Tuan! Segera!” Setelah itu, Ludovic mengambil ponsel pribadinya dan menelepon seseorang lagi. “Marie,” ucapnya dengan suara lebih cepat. “Bawa semua koleksi terbaru, gaun, sepatu, perhiasan, tas. Semuanya. Ke kastil. Sekarang. Untuk Nyonya kita.” Sang desainer, Marie Legrande, hampir menjatuhkan cangkir kopinya. “Tu... Tuan... apakah Anda... apakah ini artinya...?” “Aku sudah menemukannya." potong Ludovic singkat. “Ia wanita yang akan tinggal di kastil ini. Selamanya.” ucapnya sambil menatap wajah Kyora. Marie nyaris berteriak kegirangan. “Saya datang dalam satu jam, Tuan! Dengan seluruh tim!” Ludovic menutup telepon dan berbalik menatap Kyora yang masih duduk diam, seperti tak percaya dengan semua yang terjadi. Ia berjalan pelan, lalu duduk di samping wanita itu. Mengusap lembut pipinya yang pucat. “Kau masih takut padaku?” tanyanya pelan. Kyora menggigit bibir, lalu menggeleng pelan. “Bukan takut,” bisiknya. “Hanya... aku tidak tahu kenapa Tuan melakukan semua ini padaku. Aku... bukan siapa-siapa. Hanya wanita buangan dari pernikahan yang bahkan tak diinginkan.” Ludovic mendekat, menarik dagu lancip Kyora, mengusap bibir mungilnya dengan ibu jari agar ia berhenti berbicara merendahkan dirinya. “Bagiku, kau lebih berharga dari siapa pun. Kau adalah wanita pertama yang benar-benar memberiku rasa memiliki. Bahkan ketika kau belum mengenalku. Aku tak akan membiarkanmu kembali merasa tidak diinginkan, Kyora.” Dan untuk pertama kalinya sejak malam mengerikan di mansion ayahnya, sejak malam saat suaminya memeluk wanita lain di altar pernikahan mereka, Kyora kembali merasa... ia pantas untuk dimiliki. "Tapi... Siapa sebenarnya Anda Tuan? Aku bahkan tak tahu nama Tuan." ucap Kyora hati-hati. Ludovic tersenyum hangat. Ia menarik tubuh Kyora yang begitu ringan. Memindahkan ke atas pangkuannya. "Sebentar lagi kau akan tahu jawabannya, Kyora. Dan saat kau sudah mengetahui identitasku. Kuharap tak lagi sebutan Tuan untukku. Jika tidak, kau harus menerima hukuman dariku." ucapnya lebih seperti perintah yang tak boleh terbantahkan. "Mengerti?" tandasnya Kyora mengangguk pelan, berusaha menelan salivanya yang kering. Ia tercekat tak berani membantah. Ludovic tak bicara keras tapi ucapannya selalu membuatnya patuh tanpa paksaan. "Bagus...gadis kecilku yang patuh." Ludovic mencubit hidung Kyora dengan gemas sambil tersenyum hangat.Makan malam itu berlangsung dalam hening yang nyaris menyiksa. Dentingan garpu dan pisau terdengar begitu jelas di tengah ruangan besar yang seharusnya hangat, namun justru dingin membeku.Kyora berusaha menahan pandangannya tetap tenang, menunduk setiap kali tatapan Ludovic menusuknya tanpa suara. Membuatnya susah untuk menelan dengan benar.Laki-laki itu makan dengan tenang, gerakannya penuh kendali. Namun Kyora tahu, di balik ketenangan itu ada sesuatu yang menggelegak, entah amarah terpendam karena ucapannya tadi, atau hanya permainan sunyi yang sengaja diciptakan.Kyora menggenggam serbet di pangkuannya, seakan mencari pegangan agar tidak gemetar. Napasnya berusaha ia atur, tapi tetap saja terasa berat. Pria di depannya benar-benar tak bisa ditebak.Begitu santap malam usai, Ludovic meletakkan sendoknya perlahan, lalu mengusap bibir dengan serbet putih bersulam benang emas. Tatapannya singkat, tapi cukup membuat jantung Kyora berdebar.“Terima kasih untuk makan malamnya,” ucap Ky
Langkah Calista terdengar bergema di lantai marmer butik perhiasan mewah tempat ia berada. Matanya masih menatap pantulan wajahnya di kaca display berlian, namun pikirannya melayang jauh.Kata-kata ayahnya tadi di telepon cukup mengganggu ketenangannya. Kalimat itu bagai duri yang mengusik."Ck!" Ia berdecak kesal sendiri. "Ayah, kau mengganggu kesenanganku." omelnya sendiri. Ia menggenggam ponsel erat, seolah ingin meremukkannyaSeorang staf butik mendekat dengan senyum ramah, menawarkan koleksi terbaru. Namun Calista hanya melirik sekilas lalu melambaikan tangan acuh.“Tidak, aku tidak butuh apa-apa. Aku sudah tidak selera!" bentaknya, kemudian berlalu pergi begitu saja.Langkahnya meninggalkan butik itu cepat, hampir tergesa, seakan ia ingin lari dari bayangan ayahnya yang terus mengganggunya.Di sisi lain, Moretti kembali ke ruang rapat. Para komisaris masih berkumpul, sebagian dengan wajah pucat, sebagian lagi saling berbisik. Suasana ruangan kini lebih berat daripada sebelumnya
Gedung pusat Moretti Corporation, siang itu, seakan menjadi ruang tekanan tinggi. Lift-lift bergerak naik-turun dengan tergesa, sekretaris-sekretaris membawa berkas setumpuk, dan para eksekutif senior saling berbisik dengan wajah pucat.Rapat dewan komisaris mendadak diadakan. Tidak ada agenda resmi, hanya satu kalimat pendek di undangan elektronik yang dikirimkan pagi tadi. “Perubahan struktural mendesak. Segera hadir di gedung pusat.”Di ruang rapat, meja panjang dari marmer mengkilap dipenuhi wajah-wajah serius. Di kursi utama, Moretti duduk dengan rahang mengeras, wajahnya gelap, jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme gelisah.“Baik,” suaranya pecah di tengah hening. “Siapa yang bisa menjelaskan pada saya, kenapa tiba-tiba perusahaan pusat menyetujui akuisisi terhadap tiga anak perusahaan utama kita?”Seorang komisaris senior mencoba bicara, “Tuan Moretti, keputusan itu berasal langsung dari kantor pusat Armany Corporation atas persetujuan penuh Tuan Ludovic Armany.”Ucapan itu
Kabut pagi mulai tersibak, memperlihatkan perbukitan hijau di kejauhan. Namun kedamaian itu hanya milik balkon Ludovic. Di tempat lain, badai yang tak terlihat sudah mulai berhembus.Kantor pusat keluarga Benedict berdiri megah di pusat kota, dikelilingi gedung-gedung tinggi. Dari luar, semua tampak normal. Namun di dalam ruang rapat tertutup, suasana mendidih. Javier duduk di kursi utama, jasnya rapi, tapi kedua tangannya terkepal di atas meja dengan kilat mata menyala.“Bagaimana bisa ini terjadi?” suaranya rendah, namun cukup untuk membuat seluruh staf yang duduk di sekeliling meja menunduk.Seorang direktur keuangan mencoba menjelaskan, “Tuan, ada tiga transaksi lintas negara yang tiba-tiba dibekukan oleh bank mitra. Mereka mengklaim ada pemeriksaan rutin tapi waktunya terlalu kebetulan.”Javier mengerutkan dahi. “Rutin? Tiga akun sekaligus? Di tiga negara berbeda? Itu bukan kebetulan.” Rahangnya mengeras.Tak ada yang berani bicara.Awalnya pagi ini, dengan percaya diri Javier be
Balkon lantai atas mansion Armany menghadap langsung ke perbukitan yang tertutup kabut tipis pagi itu. Angin sejuk meniup pelan, membawa aroma kopi hitam yang mengepul dari cangkir di hadapan Ludovic.Meja bundar kecil dari marmer putih sudah tertata dengan sarapan sederhana. Croissant, buah segar, pasta keju, dan teh camomile untuk Kyora.Kyora melangkah ke balkon menuju tempat Ludovic duduk, dengan piyama hitamnya yang kini tertutup cardigan tipis. Rambutnya digerai sedikit basah, wajahnya tanpa riasan, tapi sorot mtanya tak lagi kosong. Ia lebih tenang.Ludovic menatapnya dari kursi dengan penuh kekaguman. Baginya sosok Kyora adalah malaikat kecilnya. Ia menyesap kopi tanpa suara, lalu menarik tangan Kyora dan mendudukkan di atas pangkuannya.“Masih sakit?” tanyanya santai. Tentu di kamar mandi mereka tak berbuat diam. Ludovic tak menyiakan sedetik saja tanpa menyentuh kekasihnya.Kyora mengangguk canggung dengan wajahnya yang merona merah."Tentu saja, kau sangat tak manusiawi."
Pagi menyapa lewat sinar matahari yang menembus tirai tipis di jendela kamar. Udara dingin dari luar menembus hangatnya ruangan.Kyora membuka mata perlahan. Kelopak matanya terasa berat karena kelelahan. Semalam Ludovic benar-benar menghabiskan tubuhnya. Ia memutar kepala, dan mendapati pria itu masih tertidur di sebelahnya.Pria itu tampak damai. Dada bidangnya naik turun perlahan. Rambutnya sedikit berantakan. Lengan kirinya masih memeluk tubuh Kyora seolah menolak membiarkan gadis itu pergi bahkan dalam tidur.Kyora terdiam. Memandangi wajah Ludovic, ia bukan hanya pria kuat, dominan, dan tak tersentuh seperti yang dikenal dunia. Ada kehangatan, kelembutan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun di luar sana.Namun ia merasakannya sendiri semalam. Bahkan, tidur bersamanya, berpelukan di ranjang yang sepi.Ludovic bergumam dalam tidur, lalu mengeratkan pelukannya tanpa sadar. Kyora nyaris tersenyum. Tapi senyum itu segera hilang, digantikan oleh kegelisahan kecil yang muncul dar







