Langkah sepatu kulit Ludovic berdentum di lantai marmer hitam ketika ia membawa Kyora yang masih menggigil dalam pelukannya.
Rambut basah Kyora meneteskan sisa hujan, menodai jas pria itu, namun Ludovic tak peduli. Ia membuka pintu besar berukiran emas menuju kamar utama kastil Armany, ruang luas dengan nuansa obsidian, kristal, dan lukisan warisan generasi berdarah bangsawan. Kyora diletakkan perlahan di sofa merah marun berlapis bulu halus. Ia menggigil, tak hanya karena suhu tubuhnya yang turun, tapi juga karena aura lelaki di hadapannya begitu pekat dan mencekam. Matanya mengembara, menghindari sorotan tajam yang menelanjangi segala ketakutannya. Ludovic berjongkok, menarik pelan kaki Kyora. Gadis itu refleks menegang, namun ia tak menyentuhnya dengan kasar. Ia hanya mengambil kotak medis hitam dari laci samping dan mulai membersihkan luka lecet di pergelangan kakinya. “Aku tak suka melihat milikku rusak,” ucap Ludovic dingin, namun tangannya bekerja penuh kehati-hatian, kontras dengan suaranya yang mengintimidasi. "Milikku?" batin Kyora tak mengerti ucapan Ludovic seperti klaim kepemilikan. Kyora memandang pria itu dengan tatapan bercampur takut dan bingung. Tetapi, ada sesuatu dalam sikap dinginnya yang justru terasa melindungi. “Te...terima kasih karena Tuan sudah menolongku?” gumamnya lirih penuh keraguan. Ludovic menatapnya datar, lalu mendekat hingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Kyora. “Aku tidak menolongmu. Aku mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku sejak lama.” “Milikmu?” Kyora memucat. Ludovic menyeringai miring, lalu menunduk perlahan, menatap luka di sudut bibir Kyora. Jari-jarinya mengusap sisa darah yang mulai mengering. Ia mendekat, sangat dekat. Nafas mereka hampir bertaut. "Terima kasih bukan sekadar ucapan, Kyora," bisiknya. "Itu adalah bentuk pengabdian." Kyora memejamkan mata. Ketakutan. Kebingungan. Tapi juga perasaan asing yang mengalir dari sorot mata pria itu, dominan, gelap, namun bukan tanpa rasa. “Aku seorang istri…” bisiknya gemetar. “Tidak” potong Ludovic tajam. “Kau adalah gadis dari seorang pecundang yang membuangmu. Dan aku adalah pria yang memungutmu." Tangannya mencengkeram kedua pergelangan tangan Kyora, mengangkatnya ke atas kepala. Kyora menegang, tubuhnya terkunci di antara tubuh kokoh Ludovic dan sofa mahal itu. Tapi pria itu tidak langsung menyerangnya. Ia menunduk, menatap dalam ke matanya. “Aku bisa saja menuntutmu memberikan lebih. Tapi aku ingin kau memilih.” Kyora terdiam. Napasnya memburu. Ada sesuatu yang menggetarkan di dalam dirinya, sebuah sensasi asing yang belum pernah disentuh siapapun. Bahkan Javier pun tak pernah memberinya kuasa untuk memilih. “Memilih? Apa maksud Tuan?” bisiknya. Ludovic mengangguk, “Berdiri dan pergi, atau tetap di sini, patuh padaku, dan menjadi wanitaku. Akan kutunjukkan bagaimana seharusnya harga diri seorang wanita.” ucapnya memberikan pilihan. Bibir pucat itu membisu, ucapan pria di hadapannya seperti tak ada bedanya dengan perlakuan Javier padanya. Patuh? Lagi-lagi ia harus menjalani kehidupan dengan kepatuhan? Ia ingin bebas menjadi dirinya yang dulu. Itu bukan pilihan. Sama saja seperti keluar dari lubang buaya masuk ke dalam sarang singa. Kyora masih terdiam. Seluruh tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena pergolakan dalam hatinya. Apakah ia bisa mempercayai pria ini? Atau apakah ia tak punya pilihan selain terjerumus dalam dunia pria gelap yang menyelamatkannya malam ini? "Aku... tidak mengerti." jawabnya tak punya pilihan. Senyum smirk Ludovic menguar tipis dari bibirnya. "Jika kau tak bisa bisa memilih, akan kutunjukkan cara menentukan pilihan dengan tepat." Wajah Ludovic mendekat, memangkas jarak keduanya. Napas hangat menguasai dan mempermainkan pikiran gadis yang berada di bawah kungkungannya. Menekan dan menghimpit semakin erat tubuh mungil Kyora. Jantung Kyora berpacu cepat, dengan napasnya yang tak beraturan. Ia memalingkan wajahnya, berusaha menghindari napasnya yang bertabrakan dengan napas pria di atasnya. Mata tajam dan gelap yang mendominasi seakan mengunci setiap gerakan Kyora yang berusaha menghindari. Ujung hidung Ludovic menyentuh lembut pipi Kyora yang lebam akibat bekas tamparan. "Tu... Tuan..." Kyora masih berusaha meski tangannya terkunci oleh jemari kokoh Ludovic. "Seperti janjiku, akan kuajari kau cara berterima kasih, Kyora." bisiknya tepat di telinga. Kecupan lembut mendarat di telinga, seketika membuat Kyora terhenyak. Ini, bukan hal yang benar. Dan ia tak boleh melakukannya dengan pria lain. Meskipun dirinya sudah dibuang. Tapi ia belum resmi bercerai. "Jangan lakukan ini..." pinta Kyora memohon. Namun, bibir Ludovic semakin menjelajah, kini bibir itu mengecup pipi Kyora, turun ke dagu dan berhenti di sudut bibir Kyora yang terluka. Mengecupnya lembut di sana seolah sedang mengobati. Mata Kyora terbelalak, ia berusaha menghindar sekali lagi, sekuat tenaga. Tapi bibir Ludovic sudah berpindah ke bibirnya. Mendesak paksa, menerobos masuk lebih dalam. Menjelajah tanpa jeda. "Hmmmphh..." Kyora meronta mencoba merapatkan bibirnya. Tapi semua tak berarti. Ludovic lebih mengerti apa yang harus ia lakukan. Ia menyesap lembut seakan menenangkan. Dan, entah mengapa Kyora justru seperti dituntun untuk patuh. Perlahan ia membuka bibirnya. Menerima segala apa yang dilakukan pria asing yang namanya saja belum ia ketahui. Ludovic tersenyum dalam ciumannya, ketika Kyora mulai tenang dan bisa menerima sentuhannya. Sejenak ia membuka mata, menatap Kyora yang memejamkan matanya. Sengaja ia berhenti dan menjauhkan bibirnya. Ia tertawa kecil, melihat ekspresi lugu seorang wanita yang katanya sudah menikah tapi sangat amatir melakukan hal sesimpel ini. "Ingat terus pelajaran ini, Kyora!" bisik Ludovic tepat di depan bibir Kyora. Sontak mata Kyora terbelalak, mengerjap cepat. Sudah berakhir? Apa yang ia harapkan? Mengapa ia seperti kehilangan momen. Ludovic berdiri, melepaskan cengkraman tangannya. Ia beranjak dari atas tubuh Kyora yang masih mematung dan sibuk mengatur napasnya. "Tentukan pilihanmu, Kyora. Aku paling tak suka menunggu." ucapnya lalu pergi menuju balkon. Tangan Kyora mengusap bibirnya yang basah karena saliva. Ia menatap punggung Ludovic yang kokoh. Pria itu, berhasil membangkitkan sesuatu yang mati suri di dalam dirinya. Debaran, keinginan, keberanian, dan sesuatu yang asing. Lebih liar dari sekedar hasrat yang terbelenggu di balik luka dan kebencian. Jari telunjuk dan ibu jarinya memilin pelan ujung bibirnya yang terasa kebas. Satu langkah kecil ia ambil. Bukan menuju pintu keluar, tapi justru ke arah pria itu. “Malam ini, tunjukkan padaku bagaimana harga diri seorang wanita yang seharusnya ,” ucapnya pelan. Ludovic menoleh, sorot matanya mengeras, namun tak lagi gelap. Di balik dominasi dan kekuasaan, untuk pertama kalinya, ada percikan emosi yang nyaris manusiawi. “Kau membuat pilihan yang tepat, Nona Rosebelle,” ujarnya lembut. Dan malam itu, tanpa kata, tanpa paksaan, sebuah permulaan baru terbentuk, bukan dari cinta, tapi dari kekuatan dua jiwa yang sama-sama terluka, namun memilih saling menantang api.Balkon lantai atas mansion Armany menghadap langsung ke perbukitan yang tertutup kabut tipis pagi itu. Angin sejuk meniup pelan, membawa aroma kopi hitam yang mengepul dari cangkir di hadapan Ludovic.Meja bundar kecil dari marmer putih sudah tertata dengan sarapan sederhana. Croissant, buah segar, pasta keju, dan teh camomile untuk Kyora.Kyora melangkah ke balkon menuju tempat Ludovic duduk, dengan piyama hitamnya yang kini tertutup cardigan tipis. Rambutnya digerai sedikit basah, wajahnya tanpa riasan, tapi sorot mtanya tak lagi kosong. Ia lebih tenang.Ludovic menatapnya dari kursi dengan penuh kekaguman. Baginya sosok Kyora adalah malaikat kecilnya. Ia menyesap kopi tanpa suara, lalu menarik tangan Kyora dan mendudukkan di atas pangkuannya.“Masih sakit?” tanyanya santai. Tentu di kamar mandi mereka tak berbuat diam. Ludovic tak menyiakan sedetik saja tanpa menyentuh kekasihnya.Kyora mengangguk canggung dengan wajahnya yang merona merah."Tentu saja, kau sangat tak manusiawi."
Pagi menyapa lewat sinar matahari yang menembus tirai tipis di jendela kamar. Udara dingin dari luar menembus hangatnya ruangan.Kyora membuka mata perlahan. Kelopak matanya terasa berat karena kelelahan. Semalam Ludovic benar-benar menghabiskan tubuhnya. Ia memutar kepala, dan mendapati pria itu masih tertidur di sebelahnya.Pria itu tampak damai. Dada bidangnya naik turun perlahan. Rambutnya sedikit berantakan. Lengan kirinya masih memeluk tubuh Kyora seolah menolak membiarkan gadis itu pergi bahkan dalam tidur.Kyora terdiam. Memandangi wajah Ludovic, ia bukan hanya pria kuat, dominan, dan tak tersentuh seperti yang dikenal dunia. Ada kehangatan, kelembutan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun di luar sana.Namun ia merasakannya sendiri semalam. Bahkan, tidur bersamanya, berpelukan di ranjang yang sepi.Ludovic bergumam dalam tidur, lalu mengeratkan pelukannya tanpa sadar. Kyora nyaris tersenyum. Tapi senyum itu segera hilang, digantikan oleh kegelisahan kecil yang muncul dar
Kyora menggenggam ujung seprai, merasakan bagaimana setiap inci tubuhnya bereaksi atas sentuhan Ludovic. Bukan sentuhan sembarang pria. Tapi tangan yang sejak awal memperlakukannya seperti manusia, bukan objek. Napasnya tercekat saat Ludovic menunduk, menyesap lekuk lehernya dengan penuh penghayatan. Hangat, lembut, namun menyisakan bara yang menjalar hingga ke ujung tulang punggungnya. Jemari Ludovic menyusuri bahu, menurunkan satu-satunya pelindung yang tersisa. “Katakan, kau hanya milikku,” bisik Ludovic di antara ciumannya yang terjeda. “Aku milikmu, Ludovic. Hanya milikmu.” sahut Kyora tanpa ragu, meski suaranya bergetar. Ludovic menatapnya. Mata mereka bertemu dalam cahaya remang. Wajah Kyora yang biasanya kuat, kini berserah. Tidak lemah, tapi memberi. Dan bagi Ludovic, itu lebih dari sekadar kemenangan. Itu adalah kepercayaan mutlak. “Boleh?” tanya Ludovic, sekali lagi menunggu izin. Tak peduli tubuh Kyora sudah menundanya terlalu lama. Baginya, satu kata ‘ya’ dari b
"A-aku?" Kyora terbata, gugup bercampur tegang dan takut."Hm," bisiknya. "Sebagai menu makan malamku." Suara Ludovic rendah dan berat, hidungnya menyusuri pipi Kyora lembut, tapi tidak mengecupnya.Ia hanya diam, menatapnya dalam ke manik mata Kyora yang masih meninggalkan bekas sembab, seolah ingin menelan seluruh jiwa gadis itu melalui tatapannya.Jari-jarinya berhenti di sisi leher Kyora, detak jantung gadis itu terasa menggetarkan kulitnya.Kyora tak bergerak. Ia tak menghindar. Bahkan ketika Ludovic mendekat, wajah mereka hanya terpisah oleh hela napas. Ia tidak takut. Tidak seperti sebelumnya. Ada sesuatu yang berubah. Mungkin karena kata-kata itu tadi, “Aku ingin kau jadi milikku, sepenuhnya.”Ludovic bukan hanya sekadar menginginkannya. Ia menuntut. Tapi entah kenapa, tuntutan itu terasa seperti pelindung. Bukan jerat.“Katakan kau milikku, Kyora Rosebelle.” bisik Ludovic lembut, bibirnya hampir menyentuh pipi Kyora.Kyora menarik napas dalam. Rasanya seperti ada tali tak kas
Sesampainya di mansion, Ludovic langsung menaiki anak tangga marmer dengan langkah panjang. Ia tidak menyapa siapa pun. Hanya satu hal di benaknya, memastikan Kyora baik-baik saja. Memandang matanya, menyentuh tangannya dan memeluk tubuh ringkih itu.Pintu kamar terbuka dengan satu dorongan pelan.Kyora berdiri di dekat jendela, tubuhnya dibalut piyama satin hitam selutut. Rambutnya terurai, wajahnya menatap kosong ke luar sana.Ludovic mengernyit. Ia memperhatikan ketegangan di garis bahu gadis itu, gerakan bibirnya yang nyaris tak bergerak, dan sorot matanya yang gelisah. Tapi, bukan untuknya."Kyora." panggil Ludovic datar namun dalam.Kyora tersentak. Ia membalikkan badan cepat, seolah baru tersadar bahwa pria itu sudah berdiri di sana."Tu..." Ia menelan suaranya kembali, karena takut salah memanggil dan mendapatkan hukuman lagi. Ia belum bisa menyebut nama Ludovic secara langsung.Mata Kyora langsung tertuju pada pakaian yang dikenakan Ludovic bersih tanpa bercak. Artinya benar,
Ludovic melumat bibir Kyora dengan kelembutan, bertolak belakang dari atmosfer liar dan menjijikkan yang sedang berlangsung hanya beberapa meter dari mereka. Ludovic menciumnya bukan untuk menggoda. Tapi untuk menenangkan badai dalam dada Kyora. Sentuhannya di bibir itu seperti pelindung terakhir yang bisa ia lakukan. Seolah ia ingin menutup mata dan telinga gadis itu dari dunia yang begitu kejam, setidaknya sampai malam ini berlalu. Di balik peti, suara desahan dan cengkeraman penuh nafsu terus memenuhi udara. Tapi Kyora tak lagi mendengar semuanya. Tidak setelah Ludovic membungkam ketakutan dan kemuakan itu dengan satu kecupan yang membuat waktu seolah berhenti. Tangan Kyora gemetar di dadanya. Ia tak membalas ciuman itu. Tapi juga tidak menolaknya. Ada luka dalam yang tengah dirawat, bukan dengan kata-kata, tapi dengan kedekatan dan perlakuan yang anehnya terasa begitu menenangkan. Ludovic menarik napas panjang, lalu mengusap air mata yang mengalir turun di wajah Kyora. Ia mena