Share

2. Sentuhan Panas

Author: DF Handayani
last update Last Updated: 2025-07-17 19:00:03

Langkah sepatu kulit Ludovic berdentum di lantai marmer hitam ketika ia membawa Kyora yang masih menggigil dalam pelukannya.

Rambut basah Kyora meneteskan sisa hujan, menodai jas pria itu, namun Ludovic tak peduli. Ia membuka pintu besar berukiran emas menuju kamar utama kastil Armany, ruang luas dengan nuansa obsidian, kristal, dan lukisan warisan generasi berdarah bangsawan.

Kyora diletakkan perlahan di sofa merah marun berlapis bulu halus. Ia menggigil, tak hanya karena suhu tubuhnya yang turun, tapi juga karena aura lelaki di hadapannya begitu pekat dan mencekam.

Matanya mengembara, menghindari sorotan tajam yang menelanjangi segala ketakutannya.

Ludovic berjongkok, menarik pelan kaki Kyora. Gadis itu refleks menegang, namun ia tak menyentuhnya dengan kasar. Ia hanya mengambil kotak medis hitam dari laci samping dan mulai membersihkan luka lecet di pergelangan kakinya.

“Aku tak suka melihat milikku rusak,” ucap Ludovic dingin, namun tangannya bekerja penuh kehati-hatian, kontras dengan suaranya yang mengintimidasi.

"Milikku?" batin Kyora tak mengerti ucapan Ludovic seperti klaim kepemilikan.

Kyora memandang pria itu dengan tatapan bercampur takut dan bingung. Tetapi, ada sesuatu dalam sikap dinginnya yang justru terasa melindungi.

“Te...terima kasih karena Tuan sudah menolongku?” gumamnya lirih penuh keraguan.

Ludovic menatapnya datar, lalu mendekat hingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Kyora.

“Aku tidak menolongmu. Aku mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku sejak lama.”

“Milikmu?” Kyora memucat.

Ludovic menyeringai miring, lalu menunduk perlahan, menatap luka di sudut bibir Kyora. Jari-jarinya mengusap sisa darah yang mulai mengering. Ia mendekat, sangat dekat. Nafas mereka hampir bertaut.

"Terima kasih bukan sekadar ucapan, Kyora," bisiknya. "Itu adalah bentuk pengabdian."

Kyora memejamkan mata. Ketakutan. Kebingungan. Tapi juga perasaan asing yang mengalir dari sorot mata pria itu, dominan, gelap, namun bukan tanpa rasa.

“Aku seorang istri…” bisiknya gemetar.

“Tidak” potong Ludovic tajam. “Kau adalah gadis dari seorang pecundang yang membuangmu. Dan aku adalah pria yang memungutmu."

Tangannya mencengkeram kedua pergelangan tangan Kyora, mengangkatnya ke atas kepala. Kyora menegang, tubuhnya terkunci di antara tubuh kokoh Ludovic dan sofa mahal itu.

Tapi pria itu tidak langsung menyerangnya. Ia menunduk, menatap dalam ke matanya.

“Aku bisa saja menuntutmu memberikan lebih. Tapi aku ingin kau memilih.”

Kyora terdiam. Napasnya memburu. Ada sesuatu yang menggetarkan di dalam dirinya, sebuah sensasi asing yang belum pernah disentuh siapapun. Bahkan Javier pun tak pernah memberinya kuasa untuk memilih.

“Memilih? Apa maksud Tuan?” bisiknya.

Ludovic mengangguk, “Berdiri dan pergi, atau tetap di sini, patuh padaku, dan menjadi wanitaku. Akan kutunjukkan bagaimana seharusnya harga diri seorang wanita.” ucapnya memberikan pilihan.

Bibir pucat itu membisu, ucapan pria di hadapannya seperti tak ada bedanya dengan perlakuan Javier padanya. Patuh? Lagi-lagi ia harus menjalani kehidupan dengan kepatuhan? Ia ingin bebas menjadi dirinya yang dulu. Itu bukan pilihan. Sama saja seperti keluar dari lubang buaya masuk ke dalam sarang singa.

Kyora masih terdiam. Seluruh tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena pergolakan dalam hatinya.

Apakah ia bisa mempercayai pria ini? Atau apakah ia tak punya pilihan selain terjerumus dalam dunia pria gelap yang menyelamatkannya malam ini?

"Aku... tidak mengerti." jawabnya tak punya pilihan.

Senyum smirk Ludovic menguar tipis dari bibirnya. "Jika kau tak bisa bisa memilih, akan kutunjukkan cara menentukan pilihan dengan tepat."

Wajah Ludovic mendekat, memangkas jarak keduanya. Napas hangat menguasai dan mempermainkan pikiran gadis yang berada di bawah kungkungannya. Menekan dan menghimpit semakin erat tubuh mungil Kyora.

Jantung Kyora berpacu cepat, dengan napasnya yang tak beraturan. Ia memalingkan wajahnya, berusaha menghindari napasnya yang bertabrakan dengan napas pria di atasnya.

Mata tajam dan gelap yang mendominasi seakan mengunci setiap gerakan Kyora yang berusaha menghindari.

Ujung hidung Ludovic menyentuh lembut pipi Kyora yang lebam akibat bekas tamparan.

"Tu... Tuan..." Kyora masih berusaha meski tangannya terkunci oleh jemari kokoh Ludovic.

"Seperti janjiku, akan kuajari kau cara berterima kasih, Kyora." bisiknya tepat di telinga.

Kecupan lembut mendarat di telinga, seketika membuat Kyora terhenyak. Ini, bukan hal yang benar. Dan ia tak boleh melakukannya dengan pria lain. Meskipun dirinya sudah dibuang. Tapi ia belum resmi bercerai.

"Jangan lakukan ini..." pinta Kyora memohon.

Namun, bibir Ludovic semakin menjelajah, kini bibir itu mengecup pipi Kyora, turun ke dagu dan berhenti di sudut bibir Kyora yang terluka. Mengecupnya lembut di sana seolah sedang mengobati.

Mata Kyora terbelalak, ia berusaha menghindar sekali lagi, sekuat tenaga. Tapi bibir Ludovic sudah berpindah ke bibirnya. Mendesak paksa, menerobos masuk lebih dalam. Menjelajah tanpa jeda.

"Hmmmphh..." Kyora meronta mencoba merapatkan bibirnya. Tapi semua tak berarti. Ludovic lebih mengerti apa yang harus ia lakukan. Ia menyesap lembut seakan menenangkan.

Dan, entah mengapa Kyora justru seperti dituntun untuk patuh. Perlahan ia membuka bibirnya. Menerima segala apa yang dilakukan pria asing yang namanya saja belum ia ketahui.

Ludovic tersenyum dalam ciumannya, ketika Kyora mulai tenang dan bisa menerima sentuhannya. Sejenak ia membuka mata, menatap Kyora yang memejamkan matanya. Sengaja ia berhenti dan menjauhkan bibirnya.

Ia tertawa kecil, melihat ekspresi lugu seorang wanita yang katanya sudah menikah tapi sangat amatir melakukan hal sesimpel ini.

"Ingat terus pelajaran ini, Kyora!" bisik Ludovic tepat di depan bibir Kyora.

Sontak mata Kyora terbelalak, mengerjap cepat. Sudah berakhir? Apa yang ia harapkan? Mengapa ia seperti kehilangan momen.

Ludovic berdiri, melepaskan cengkraman tangannya. Ia beranjak dari atas tubuh Kyora yang masih mematung dan sibuk mengatur napasnya.

"Tentukan pilihanmu, Kyora. Aku paling tak suka menunggu." ucapnya lalu pergi menuju balkon.

Tangan Kyora mengusap bibirnya yang basah karena saliva. Ia menatap punggung Ludovic yang kokoh. Pria itu, berhasil membangkitkan sesuatu yang mati suri di dalam dirinya.

Debaran, keinginan, keberanian, dan sesuatu yang asing. Lebih liar dari sekedar hasrat yang terbelenggu di balik luka dan kebencian.

Jari telunjuk dan ibu jarinya memilin pelan ujung bibirnya yang terasa kebas. Satu langkah kecil ia ambil. Bukan menuju pintu keluar, tapi justru ke arah pria itu.

“Malam ini, tunjukkan padaku bagaimana harga diri seorang wanita yang seharusnya ,” ucapnya pelan.

Ludovic menoleh, sorot matanya mengeras, namun tak lagi gelap. Di balik dominasi dan kekuasaan, untuk pertama kalinya, ada percikan emosi yang nyaris manusiawi.

“Kau membuat pilihan yang tepat, Nona Rosebelle,” ujarnya lembut.

Dan malam itu, tanpa kata, tanpa paksaan, sebuah permulaan baru terbentuk, bukan dari cinta, tapi dari kekuatan dua jiwa yang sama-sama terluka, namun memilih saling menantang api.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Terbuang Jadi Nyonya Miliarder   19. Kau Bebas Menentukan Pilihan

    Makan malam itu berlangsung dalam hening yang nyaris menyiksa. Dentingan garpu dan pisau terdengar begitu jelas di tengah ruangan besar yang seharusnya hangat, namun justru dingin membeku.Kyora berusaha menahan pandangannya tetap tenang, menunduk setiap kali tatapan Ludovic menusuknya tanpa suara. Membuatnya susah untuk menelan dengan benar.Laki-laki itu makan dengan tenang, gerakannya penuh kendali. Namun Kyora tahu, di balik ketenangan itu ada sesuatu yang menggelegak, entah amarah terpendam karena ucapannya tadi, atau hanya permainan sunyi yang sengaja diciptakan.Kyora menggenggam serbet di pangkuannya, seakan mencari pegangan agar tidak gemetar. Napasnya berusaha ia atur, tapi tetap saja terasa berat. Pria di depannya benar-benar tak bisa ditebak.Begitu santap malam usai, Ludovic meletakkan sendoknya perlahan, lalu mengusap bibir dengan serbet putih bersulam benang emas. Tatapannya singkat, tapi cukup membuat jantung Kyora berdebar.“Terima kasih untuk makan malamnya,” ucap Ky

  • Istri Terbuang Jadi Nyonya Miliarder   18. Obrolan Makan Malam

    Langkah Calista terdengar bergema di lantai marmer butik perhiasan mewah tempat ia berada. Matanya masih menatap pantulan wajahnya di kaca display berlian, namun pikirannya melayang jauh.Kata-kata ayahnya tadi di telepon cukup mengganggu ketenangannya. Kalimat itu bagai duri yang mengusik."Ck!" Ia berdecak kesal sendiri. "Ayah, kau mengganggu kesenanganku." omelnya sendiri. Ia menggenggam ponsel erat, seolah ingin meremukkannyaSeorang staf butik mendekat dengan senyum ramah, menawarkan koleksi terbaru. Namun Calista hanya melirik sekilas lalu melambaikan tangan acuh.“Tidak, aku tidak butuh apa-apa. Aku sudah tidak selera!" bentaknya, kemudian berlalu pergi begitu saja.Langkahnya meninggalkan butik itu cepat, hampir tergesa, seakan ia ingin lari dari bayangan ayahnya yang terus mengganggunya.Di sisi lain, Moretti kembali ke ruang rapat. Para komisaris masih berkumpul, sebagian dengan wajah pucat, sebagian lagi saling berbisik. Suasana ruangan kini lebih berat daripada sebelumnya

  • Istri Terbuang Jadi Nyonya Miliarder   17. Seperti Domino

    Gedung pusat Moretti Corporation, siang itu, seakan menjadi ruang tekanan tinggi. Lift-lift bergerak naik-turun dengan tergesa, sekretaris-sekretaris membawa berkas setumpuk, dan para eksekutif senior saling berbisik dengan wajah pucat.Rapat dewan komisaris mendadak diadakan. Tidak ada agenda resmi, hanya satu kalimat pendek di undangan elektronik yang dikirimkan pagi tadi. “Perubahan struktural mendesak. Segera hadir di gedung pusat.”Di ruang rapat, meja panjang dari marmer mengkilap dipenuhi wajah-wajah serius. Di kursi utama, Moretti duduk dengan rahang mengeras, wajahnya gelap, jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme gelisah.“Baik,” suaranya pecah di tengah hening. “Siapa yang bisa menjelaskan pada saya, kenapa tiba-tiba perusahaan pusat menyetujui akuisisi terhadap tiga anak perusahaan utama kita?”Seorang komisaris senior mencoba bicara, “Tuan Moretti, keputusan itu berasal langsung dari kantor pusat Armany Corporation atas persetujuan penuh Tuan Ludovic Armany.”Ucapan itu

  • Istri Terbuang Jadi Nyonya Miliarder   16. Permainan Kecil

    Kabut pagi mulai tersibak, memperlihatkan perbukitan hijau di kejauhan. Namun kedamaian itu hanya milik balkon Ludovic. Di tempat lain, badai yang tak terlihat sudah mulai berhembus.Kantor pusat keluarga Benedict berdiri megah di pusat kota, dikelilingi gedung-gedung tinggi. Dari luar, semua tampak normal. Namun di dalam ruang rapat tertutup, suasana mendidih. Javier duduk di kursi utama, jasnya rapi, tapi kedua tangannya terkepal di atas meja dengan kilat mata menyala.“Bagaimana bisa ini terjadi?” suaranya rendah, namun cukup untuk membuat seluruh staf yang duduk di sekeliling meja menunduk.Seorang direktur keuangan mencoba menjelaskan, “Tuan, ada tiga transaksi lintas negara yang tiba-tiba dibekukan oleh bank mitra. Mereka mengklaim ada pemeriksaan rutin tapi waktunya terlalu kebetulan.”Javier mengerutkan dahi. “Rutin? Tiga akun sekaligus? Di tiga negara berbeda? Itu bukan kebetulan.” Rahangnya mengeras.Tak ada yang berani bicara.Awalnya pagi ini, dengan percaya diri Javier be

  • Istri Terbuang Jadi Nyonya Miliarder   15. Ajari Aku Cara Balas Dendam

    Balkon lantai atas mansion Armany menghadap langsung ke perbukitan yang tertutup kabut tipis pagi itu. Angin sejuk meniup pelan, membawa aroma kopi hitam yang mengepul dari cangkir di hadapan Ludovic.Meja bundar kecil dari marmer putih sudah tertata dengan sarapan sederhana. Croissant, buah segar, pasta keju, dan teh camomile untuk Kyora.Kyora melangkah ke balkon menuju tempat Ludovic duduk, dengan piyama hitamnya yang kini tertutup cardigan tipis. Rambutnya digerai sedikit basah, wajahnya tanpa riasan, tapi sorot mtanya tak lagi kosong. Ia lebih tenang.Ludovic menatapnya dari kursi dengan penuh kekaguman. Baginya sosok Kyora adalah malaikat kecilnya. Ia menyesap kopi tanpa suara, lalu menarik tangan Kyora dan mendudukkan di atas pangkuannya.“Masih sakit?” tanyanya santai. Tentu di kamar mandi mereka tak berbuat diam. Ludovic tak menyiakan sedetik saja tanpa menyentuh kekasihnya.Kyora mengangguk canggung dengan wajahnya yang merona merah."Tentu saja, kau sangat tak manusiawi."

  • Istri Terbuang Jadi Nyonya Miliarder   14. Pagi, Kyoraku!

    Pagi menyapa lewat sinar matahari yang menembus tirai tipis di jendela kamar. Udara dingin dari luar menembus hangatnya ruangan.Kyora membuka mata perlahan. Kelopak matanya terasa berat karena kelelahan. Semalam Ludovic benar-benar menghabiskan tubuhnya. Ia memutar kepala, dan mendapati pria itu masih tertidur di sebelahnya.Pria itu tampak damai. Dada bidangnya naik turun perlahan. Rambutnya sedikit berantakan. Lengan kirinya masih memeluk tubuh Kyora seolah menolak membiarkan gadis itu pergi bahkan dalam tidur.Kyora terdiam. Memandangi wajah Ludovic, ia bukan hanya pria kuat, dominan, dan tak tersentuh seperti yang dikenal dunia. Ada kehangatan, kelembutan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun di luar sana.Namun ia merasakannya sendiri semalam. Bahkan, tidur bersamanya, berpelukan di ranjang yang sepi.Ludovic bergumam dalam tidur, lalu mengeratkan pelukannya tanpa sadar. Kyora nyaris tersenyum. Tapi senyum itu segera hilang, digantikan oleh kegelisahan kecil yang muncul dar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status