Leon menghempaskan tubuh Abel ke ranjang dia mengambil tisu lalu mengusap tangannya bekas menyentuh Abel tadi. Membuang tisu itu ke sembarang tempat, Abel yang melihat itu merasa kesal. Apakah dia kotoran sampai Leon bersikap sangat berlebihan seperti itu.
"Dasar Pak tua sombong! Memang siapa yang mau menyentuhnya lagian dia duluan yang menyentuh tubuhku," gerutu Abel."Aku sudah memperingatkanmu! Masih berani memakiku, hm?" Jantung Abel hampir lepas saat Leon tiba-tiba mengukung tubuhnya, jarak wajah mereka sangat dekat. Membuat Abel dapat melihat dengan jelas kedua netra gelap milik Leon yang menatapnya sangat tajam."A-aku tidak memakimu, lepas! A-apa yang kau lakukan." Ucapan Abel tergagap membuat Leon tersenyum miring, tangannya mengusap rambut Abel pelan lalu semakin kuat bahkan sampai terasa seperti jambakan."Aku benci rambut panjang, kau tahu harus melakukan apa, Baby?" Abel mendesis sakit akan jambakan tangan Leon pada rambutnya dia mencoba melepaskannya. Namun, tarikan itu justru semakin kuat."Lepaskan!" sentak Abel.Leon lantas melepaskannya dengan kasar lalu meninggalkan Abel begitu saja. Tanpa sadar air mata Abel kembali mengalir, sampai kapan dia akan merasakan semua ini. Leon sangat kasar dan kejam, dia benar-benar tidak memiliki hati nurani!Abel menghembuskan napas panjang. Dia segera masuk ke kamar mandi tidak ingin membuat Kakek Abi menunggu terlalu lama karena mereka akan sarapan bersama. Setidaknya dengan adanya Kakek Abi akan meminimalisir perbuatan gila Leon.****Di meja makan semua orang terdiam, meja besar yang hanya terisi Abel, Leon, dan Kakek Abi. Abel bangkit mengambilkan nasi untuk semua orang sekaligus rendang yang tadi dia buat. Kakek Abi terlihat senang melihatnya."Kek, coba masakan pertama Abel. Rendang dengan bumbu rahasia dan hanya Abel yang tahu. Kakek beruntung karena bisa merasakannya secara gratis!" canda Abel dengan tawa kecilnya.Kakek Abi terkekeh mendengarnya sedangkan Leon menatapnya datar. Dia merasa Abel sangat pandai mencari simpati kakeknya. Abel merasa sedikit deg-degan saat Kakek Abi dan Leon mencoba Rendang buatannya. Wajah keduanya tanpa ekspresi membuat Abel tidak bisa menebak apakah mereka menyukainya atau tidak.Leon terdiam saat satu suap masuk ke dalam mulutnya, kedua matanya terpejam. Ingatan masa kecilnya terputar begitu saja, di mana Leon kecil terlihat sangat bahagia makan rendang buatan mamanya. Makanan favoritnya dan merupakan masakan dari perempuan yang sangat dia sayangi, dulu."Ma, masakan Mama selalu enak. Leon suka, Leon mau makan masakan Mama setiap hari!" teriaknya dengan tawa riang di bibirnya.Kedua tangan Leon mengepal, dengan cepat dia membanting piring berisi makananya membuat suara pecahan itu menggema di seluruh rumah. Mengejutkan Abel dan seluruh penghuni rumah tak terkecuali Kakek Abi. Leon menghunuskan tatapan tajamnya ke arah Abel lalu pegi begitu saja tanpa mengatakan apa pun."Leon kembali! Apa yang kau lakukan!" sentak Kakek Abi. Namun, sama sekali tidak Leon hiraukan dia tetap pergi dengan di ikuti David di belakangnya.Sedangkan Abel yang masih syok akan hal yang baru saja terjadi, terdiam cukup lama. Apa yang membuat Leon begitu murka sampai membanting makanannya di hadapan Kakek Abi. Sedangkan setahu Abel Leon sangat patuh saat berada di dekat Kakeknya. Apakah kali ini Abel telah melakukan kesalahan besar?"Kakek, apa masakan Abel nggak enak?" tanya Abel lirih, dia tertunduk merasa takut."Tidak Abel, masakan kamu sangat lezat, Kakek sangat menyukainya. Jangan hiraukan suamimu. Masakan kamu mengingatkan Kakek pada menantu Kakek yang sudah lama pergi, dia merupakan Mama dari Leon. Mungkin karena itu dia marah, sudah lupakan kejadian barusan. Kakek akan memberikan hadiah untuk masakan lezat yang sudah kamu buat!" ucap Kakek Abi.Abel hanya diam, mama Leon? Ya, kenapa Abel tidak pernah melihat orang tua Leon? Bahkan saat pernikahan hanya ada Kakek Abi dan saudara sepupu Leon saja. Sebenarnya apa yang terjadi dan apa hubungannya dengan kemarahan Leon pagi ini?"Abel, apa kamu tidak senang Kakek beri hadiah? atau kamu masih memikirkan kepergian Leon?" tanya Kakek Abi membuyarkan lamunan Abel."Ah, syukurlah kalau Kakek menyukainya. Abel pikir masakan Abel nggak enak, Kakek nggak perlu kasih Abel hadiah karena hadiah yang paling besar udah Kakek kasihkan ke Abel. Kakek adalah hadiah terbesar itu, Abel sangat bahagia karena dapat memiliki Kakek yang sangat menyayangi Abel, keluarga yang sangat menghargai keberadaan Abel di sini. Kakek tahu, masuk ke keluarga ini sudah menjadi hadiah terbesar untuk Abel," ucap Abel dengan tulus dia tidak lagi menyinggung tentang Leon.Kakek Abi tersenyum senang. "Kakek juga sangat senang Leon bisa mendapatkan istri seperti kamu, Abel. Sudahlah kita habiskan sarapannya setelah ini Kakek harus pergi." Abel mengangguk, mereka makan dengan tenang meskipun Abel sudah kehilangan nafsu makannya.****"Hukum wanita itu! Berani sekali dia kembali mengingatkan aku pada wanita menjijikan itu!" sentak Leon. Kedua tangannya mengepal, matanya menajam, hawa di sekitarnya terasa sangat menyeramkan.Semua orang tunduk pada perintah Leon, David segera membawa dua anak buahnya untuk melaksanakan apa yang Leon perintahkan. Leon tersenyum devil dia memgambil pisau dari dalam sakunya menghentikan langkah David dan dua anak buahnya yang lain. Melihat senyuman membunuh Leon membuat mereka merasa sangat ketakutan."Aku sendiri yang akan memberinya hukuman." Leon kembali gelap mata, dia pria terkejam di dunia ini. Leon bisa menyakiti siapa pun tanpa pandang bulu, baik pria atau pun wanita semua Leon sama ratakan. Siapa pun yang telah menganggu hidupnya pantas untuk mati."Pastikan Kakek sudah pergi!" David mengangguk, dia menyiapkan mobil untuk Leon setelah memastikan Kakek Abi sudah pergi. David sendiri merasa cemas entah hukuman seperti apa yang akan Leon berikan kepada nyonya baru mereka.Mobil berhenti di mansion besar miliknya, Leon segera turun para pelayan sudah menyambutnya di luar. Namun, Leon tidak mendapati Abel di antara mereka, tangan Leon semakin terkepal. Dia merasa Abel sudah terlalu di bebaskan, sepertinya gadis itu memang perlu diberi pelajaran."Abel!" Teriakan Leon menggema di seluruh penjuru rumah. Abel yang tengah ada di kamar terkejut mendengar suara teriakan Leon.Namun, Abel tetap kekeh di dalam kamar, dia tidak ingin bertemu dengan Leon. Abel takut! Terlebih Kakek Abi sudah pergi. Abel yakin dia akan mendapatkan hukuman atas kejadian tadi pagi. Abel meremat pakaian yang dia kenakan, jantungnya berpacu sangat cepat saat merasakan langkah kaki mendekat. Lalu tak lama pintu kamarnya yang kokoh di dobrak begitu saja membuat pintu itu hancur dalam sekejap.Kedua bola mata Abel membola, saat matanya bersitatap langsung dengan mata tajam milik Leon yang menatapnya sangat tajam bahkan dari tatapannya saja Abel sudah merasa terancam."Kau memang menantangku, Baby!"Kedua mata Abel terpejam saat Leon semakin mendekat ke arahnya. Jantungnya berdegub sangat kencang saat merasakan benda dingin menari di wajahnya. Kedua mata Abel mencoba terbuka sedikit untuk melihatnya betapa terkejutnya ia saat melihat pisau kecil di tangan Leon. Abel yang akan berteriak suaranya tercekat begitu saja. Tatapan mata Leon sangat menyeramkan. Ya Tuhan apakah hidupku akan berakhir hari ini juga! batin Abel. Leon tersenyum devil, pisaunya menari di wajah Abel satu tangannya bergerak lalu dengan cepat pintu kamar yang hampir rusak itu tertutup dengan rapat. Meninggalkan Abel dan Leon berdua, Abel pasrah. Dia benar-benar tidak perduli jika hidupnya akan berakhir hari ini juga. "Katakan yang sejujurnya, apakah kau mengenal wanita itu?" tekan Leon, pisaunya tepat ia arahkan pada leher Abel. Leon benar-benar akan membunuhnya sedangkan Abel dia memberanikan diri menatap mata tajam Leon. "Siapa? Ibumu? Jika memang aku mengenalnya apakah kau akan membunuhku? Bunuh saja aku L
"Selamat pagi suamiku!" Leon yang baru saja terbangun terkejut melihat wajah Abel yang sangat dekat dengannya, yang semakin membuatnya terkejut adalah Abel berani mencium pipinya.Abel tersenyum sangat ceria, dengan berani menarik tangan Leon agar segera bangun. "Segeralah mandi, aku sudah menyiapkan air untukmu. Aku akan turun untuk membuatkan kamu sarapan!" ucap Abel dengan suara cerianya. "Berani sekali dia menciumku!" Leon mengusap pipinya kasar lalu masuk ke kamar mandi. Kali ini ia kembali dibuat kebingungan. Air yang Abel siapkan baunya sangat harum dan di bak mandi bertabur banyak sekali bunga mawar. Apakah karena kejadian semalam membuat otak Abel tergeser? Kenapa pagi ini dia menjadi sangat aneh. Leon memejamkan matanya, aromaterapi yang Abel berikan baunya memang sangat harum. Leon menyukainya, dia mandi lebih lama dari biasanya. Tubuhnya yang pegal terasa lebih baik sekarang, Leon segera keluar karena dia akan ada rapat pagi ini. "Aku sudah menyiapkan pakaian untukmu,
Abel terlihat sangat cantik dengan gaun hitam yang sangat pas di tubuhnya, gaun sepanjang mata kaki dengan belahan sampai paha. Rambut yang di gelung ke atas menunjukkan leher jenjangnya. Make up tipis di wajahnya membuat wajah Abel berkali lipat terlihat cantik. Kini dia tinggal menunggu kedatangan Leon. "Anda sangat cantik, Nona!" puji perias Abel, sembari menundukkan kepalanya. Abel tersenyum tipis menatap pantulan dirinya di cermin, dia memang terlihat cantik dan menawan. Abel sangat yakin dengan kesempurnaan paras yang Tuhan berikan mampu membuat Leon terpesona kepadanya. Cepat atau lambat Leon akan bertekuk lutut di hadapannya. Pintu kamar terbuka, kedatangan Leon membuat mereka semua segera pergi kecuali Abel yang mengulas senyum manis ke arah Leon. "Suamiku, kau sudah kembali!" Abel berjalan mendekat ke arahnya membantu melepaskan jas yang Leon kenakan. Leon menatapnya intens, menepis tangan Abel dari tubuhnya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Abel yang melihat itu berdecak
Bugh! Abel menutup mulutnya begitu Leon melayangkan pukulan di wajah Aldi sampai pria itu terpental. Ia terdiam kaku tak bisa berbuat apa pun saat seorang wanita menahannya dan Leon terus memukul Aldi secara membabi buta. Anehnya tidak satu pun dari mereka berani melerainya. "Leon hentikan!" teriak Abel, kedua matanya berkaca-kaca dia takut melihat Aldi yang sudah berlumur darah.Abel menyentak tangan wanita yang menahan lengannya berlari ke arah mereka dia melindungi Aldi yang hampir mendapat pukulan lagi dari Leon. "Ku mohon hentikan!" ucap Abel dengan suara bergetar. Napas Leon memburu, kedua tangannya mengepal menatap Abel dengan tatapan membunuhnya. "Kau bahkan sampai memohon untuk pria itu!" Leon menggendong tubuh Abel bak koala meninggalkan pesta itu begitu saja. Tangannya mencengkram pinggang Abel membuat gadis itu meringis. Leon melempar tubuh Abel ke dalam mobil. Dia mengemudikan mobil itu sendiri dengan kecepatan yang tinggi. "Leon kau gila, hah! Pelan kan laju mobilmu
"Pasien membutuhkan darah secepatnya. Golongan darah O negatif sedang habis di rumah sakit ini!" jelas Pak Dokter.Kedua tangan Leon mengepal, dia menatap tajam pada dokter pria tersebut membuatnya langsung menunduk ketakutan. "Cepat carikan pendonor untuk istriku, jika sampai dia kenapa-napa nyawamu taruhannya!" ucap Leon semakin membuat tubuh dokter itu bergetar. Leon segera menghubungi nomor anak buahnya agar segera mencarikan donor darah untuk Abel. Leon menghembuskan napas panjang. Dia tidak menyangka jika Abel akan melakukan hal senekat ini. "Tenanglah, Baby. Kau akan selamat, aku Leonardo Richard tidak akan membiarkan mangsaku mati dengan mudah." Leon tersenyum miring, dia meninggalkan rumah sakit untuk menemui seseorang yang mungkin bisa membantu dirinya. ****"Nyonya, Anda baik-baik saja?" Marshanda memegang kepalanya yang sedikit pusing dia merasakan sakit pada dadanya. Marshanda tidak dapat mengingat jelas apa yang sudah terjadi kepadanya. "Safira, di mana aku? Apa yang
"Bagaimana mungkin wanita itu masih hidup!" Botol berisi wine dia lempar, sampai terdengar suara pecahan yang cukup nyaring. Dia terlihat sangat murka saat mengetahui musuhnya masih hidup. Kedua tangannya mengepal, matanya menyorot tajam pada sebuah foto keluarga yang dia tusuk dengan pisau. Ia tersenyum miring. "Aku tidak akan membiarkan hidupmu bahagia. Setelah kau menghancurkanku, kau akan melihat bagaimana mereka menatapmu dengan penuh kebencian.""Siapkan tiket untukku, sudah saatnya aku bertemu dengan dia." ****Leon menatap Abel yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Sudah tiga hari dan gadis itu belum juga sadarkan diri, entah mengapa dia mulai merindukan ocehan Abel yang tidak berguna. Setelah gadis itu bangun apakah dia akan sangat membencinya. Selamat pagi suamiku! Aku hanya ingin membuat suamiku jatuh cinta kepadaku. Ucapan Abel tempo hari lalu terngiang di kepala Leon, dia menghembuskan napas kasar menatap lekat wajah cantik istrinya. "Bangunlah! Kau tidak ingin
Marshanda menghembuskan napas panjang, menatap rumah yang sudah lama tidak dia tapaki. Dia tidak menyangka jika akan kembali ke rumah ini lagi, setelah penghinaan yang dulu dia dapatkan. Marshanda dengan ragu mengetuk pintu berwarna putih itu, jika bukan karena ingin bertemu dengan Abel, Marshanda tidak akan pernah datang ke rumah ini lagi. "Nyonya!" Bi Asih yang membukakan pintu nampak terkejut sekaligus senang saat melihat majikannya kembali setelah bertahun-tahun pergi. Marshanda tersenyum tipis. "Lama tidak bertemu, Bi. Bagaimana keadaanmu?" Bi Asih tersenyum, melihat majikannya yang terlihat semakin cantik, Bi Asih sedikit membungkukkan tubuhnya memberikan penghormatan kepada majikannya. "Kabar saya baik, Nyonya. Silahkan masuk, Tuan besar dan Tuan muda pasti senang saat melihat Anda kembali." Marshanda hanya diam mengikuti Bi Asih masuk. Bahkan setiap sudut rumah itu tidak berubah, tetap sama seperti dulu sebelum dia pergi. Hanya saja foto keluarga yang dulu terpajang besar
Abel mendorong tubuh Leon kuat sampai pria itu terjatuh di sebelahnya. Dengan cepat Abel berlari keluar dari kamar itu. Leon yang melihatnya tersenyum miring, mudah sekali membuat gadis itu ketakutan. Abel menyentuh dadanya yang berdegub sangat kencang, Leon sangat menyebalkan! Ini bukan debaran karena jatuh cinta melainkan debaran pertanda bahaya. Abel menyentuh perutnya yang terasa lapar, dia baru sadar jika dirinya tidak terbangun selama tiga hari. Tidak heran jika saat ini perutnya merasa lapar, Abel berjalan ke arah dapur melihat apa ada bahan masakan yang bisa dia gunakan. "Aku bisa membuat nasi goreng." Abel tersenyum, tangannya dengan terampil bertempur dengan alat-alat dapur, mengubah bahan masakan mentah itu menjadi makanan yang sangat lezat. Leon yang berada di kamar saja sampai keluar mencium aroma yang membuat perutnya keroncongan. Kebetulan sekali dia belum makan hari ini. Leon dengan santai duduk manis di meja makan menunggu Abel yang datang dengan semangkuk nasi gor