"Selamat pagi suamiku!" Leon yang baru saja terbangun terkejut melihat wajah Abel yang sangat dekat dengannya, yang semakin membuatnya terkejut adalah Abel berani mencium pipinya.Abel tersenyum sangat ceria, dengan berani menarik tangan Leon agar segera bangun. "Segeralah mandi, aku sudah menyiapkan air untukmu. Aku akan turun untuk membuatkan kamu sarapan!" ucap Abel dengan suara cerianya. "Berani sekali dia menciumku!" Leon mengusap pipinya kasar lalu masuk ke kamar mandi. Kali ini ia kembali dibuat kebingungan. Air yang Abel siapkan baunya sangat harum dan di bak mandi bertabur banyak sekali bunga mawar. Apakah karena kejadian semalam membuat otak Abel tergeser? Kenapa pagi ini dia menjadi sangat aneh. Leon memejamkan matanya, aromaterapi yang Abel berikan baunya memang sangat harum. Leon menyukainya, dia mandi lebih lama dari biasanya. Tubuhnya yang pegal terasa lebih baik sekarang, Leon segera keluar karena dia akan ada rapat pagi ini. "Aku sudah menyiapkan pakaian untukmu,
Abel terlihat sangat cantik dengan gaun hitam yang sangat pas di tubuhnya, gaun sepanjang mata kaki dengan belahan sampai paha. Rambut yang di gelung ke atas menunjukkan leher jenjangnya. Make up tipis di wajahnya membuat wajah Abel berkali lipat terlihat cantik. Kini dia tinggal menunggu kedatangan Leon. "Anda sangat cantik, Nona!" puji perias Abel, sembari menundukkan kepalanya. Abel tersenyum tipis menatap pantulan dirinya di cermin, dia memang terlihat cantik dan menawan. Abel sangat yakin dengan kesempurnaan paras yang Tuhan berikan mampu membuat Leon terpesona kepadanya. Cepat atau lambat Leon akan bertekuk lutut di hadapannya. Pintu kamar terbuka, kedatangan Leon membuat mereka semua segera pergi kecuali Abel yang mengulas senyum manis ke arah Leon. "Suamiku, kau sudah kembali!" Abel berjalan mendekat ke arahnya membantu melepaskan jas yang Leon kenakan. Leon menatapnya intens, menepis tangan Abel dari tubuhnya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Abel yang melihat itu berdecak
Bugh! Abel menutup mulutnya begitu Leon melayangkan pukulan di wajah Aldi sampai pria itu terpental. Ia terdiam kaku tak bisa berbuat apa pun saat seorang wanita menahannya dan Leon terus memukul Aldi secara membabi buta. Anehnya tidak satu pun dari mereka berani melerainya. "Leon hentikan!" teriak Abel, kedua matanya berkaca-kaca dia takut melihat Aldi yang sudah berlumur darah.Abel menyentak tangan wanita yang menahan lengannya berlari ke arah mereka dia melindungi Aldi yang hampir mendapat pukulan lagi dari Leon. "Ku mohon hentikan!" ucap Abel dengan suara bergetar. Napas Leon memburu, kedua tangannya mengepal menatap Abel dengan tatapan membunuhnya. "Kau bahkan sampai memohon untuk pria itu!" Leon menggendong tubuh Abel bak koala meninggalkan pesta itu begitu saja. Tangannya mencengkram pinggang Abel membuat gadis itu meringis. Leon melempar tubuh Abel ke dalam mobil. Dia mengemudikan mobil itu sendiri dengan kecepatan yang tinggi. "Leon kau gila, hah! Pelan kan laju mobilmu
"Pasien membutuhkan darah secepatnya. Golongan darah O negatif sedang habis di rumah sakit ini!" jelas Pak Dokter.Kedua tangan Leon mengepal, dia menatap tajam pada dokter pria tersebut membuatnya langsung menunduk ketakutan. "Cepat carikan pendonor untuk istriku, jika sampai dia kenapa-napa nyawamu taruhannya!" ucap Leon semakin membuat tubuh dokter itu bergetar. Leon segera menghubungi nomor anak buahnya agar segera mencarikan donor darah untuk Abel. Leon menghembuskan napas panjang. Dia tidak menyangka jika Abel akan melakukan hal senekat ini. "Tenanglah, Baby. Kau akan selamat, aku Leonardo Richard tidak akan membiarkan mangsaku mati dengan mudah." Leon tersenyum miring, dia meninggalkan rumah sakit untuk menemui seseorang yang mungkin bisa membantu dirinya. ****"Nyonya, Anda baik-baik saja?" Marshanda memegang kepalanya yang sedikit pusing dia merasakan sakit pada dadanya. Marshanda tidak dapat mengingat jelas apa yang sudah terjadi kepadanya. "Safira, di mana aku? Apa yang
"Bagaimana mungkin wanita itu masih hidup!" Botol berisi wine dia lempar, sampai terdengar suara pecahan yang cukup nyaring. Dia terlihat sangat murka saat mengetahui musuhnya masih hidup. Kedua tangannya mengepal, matanya menyorot tajam pada sebuah foto keluarga yang dia tusuk dengan pisau. Ia tersenyum miring. "Aku tidak akan membiarkan hidupmu bahagia. Setelah kau menghancurkanku, kau akan melihat bagaimana mereka menatapmu dengan penuh kebencian.""Siapkan tiket untukku, sudah saatnya aku bertemu dengan dia." ****Leon menatap Abel yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Sudah tiga hari dan gadis itu belum juga sadarkan diri, entah mengapa dia mulai merindukan ocehan Abel yang tidak berguna. Setelah gadis itu bangun apakah dia akan sangat membencinya. Selamat pagi suamiku! Aku hanya ingin membuat suamiku jatuh cinta kepadaku. Ucapan Abel tempo hari lalu terngiang di kepala Leon, dia menghembuskan napas kasar menatap lekat wajah cantik istrinya. "Bangunlah! Kau tidak ingin
Marshanda menghembuskan napas panjang, menatap rumah yang sudah lama tidak dia tapaki. Dia tidak menyangka jika akan kembali ke rumah ini lagi, setelah penghinaan yang dulu dia dapatkan. Marshanda dengan ragu mengetuk pintu berwarna putih itu, jika bukan karena ingin bertemu dengan Abel, Marshanda tidak akan pernah datang ke rumah ini lagi. "Nyonya!" Bi Asih yang membukakan pintu nampak terkejut sekaligus senang saat melihat majikannya kembali setelah bertahun-tahun pergi. Marshanda tersenyum tipis. "Lama tidak bertemu, Bi. Bagaimana keadaanmu?" Bi Asih tersenyum, melihat majikannya yang terlihat semakin cantik, Bi Asih sedikit membungkukkan tubuhnya memberikan penghormatan kepada majikannya. "Kabar saya baik, Nyonya. Silahkan masuk, Tuan besar dan Tuan muda pasti senang saat melihat Anda kembali." Marshanda hanya diam mengikuti Bi Asih masuk. Bahkan setiap sudut rumah itu tidak berubah, tetap sama seperti dulu sebelum dia pergi. Hanya saja foto keluarga yang dulu terpajang besar
Abel mendorong tubuh Leon kuat sampai pria itu terjatuh di sebelahnya. Dengan cepat Abel berlari keluar dari kamar itu. Leon yang melihatnya tersenyum miring, mudah sekali membuat gadis itu ketakutan. Abel menyentuh dadanya yang berdegub sangat kencang, Leon sangat menyebalkan! Ini bukan debaran karena jatuh cinta melainkan debaran pertanda bahaya. Abel menyentuh perutnya yang terasa lapar, dia baru sadar jika dirinya tidak terbangun selama tiga hari. Tidak heran jika saat ini perutnya merasa lapar, Abel berjalan ke arah dapur melihat apa ada bahan masakan yang bisa dia gunakan. "Aku bisa membuat nasi goreng." Abel tersenyum, tangannya dengan terampil bertempur dengan alat-alat dapur, mengubah bahan masakan mentah itu menjadi makanan yang sangat lezat. Leon yang berada di kamar saja sampai keluar mencium aroma yang membuat perutnya keroncongan. Kebetulan sekali dia belum makan hari ini. Leon dengan santai duduk manis di meja makan menunggu Abel yang datang dengan semangkuk nasi gor
Leon tersentak saat Abel menahan tangannya, tetapi matanya masih tertutup. Sepertinya gadis itu tengah mengigau, Leon mencoba melepaskan tangan Abel. Namun, sangat susah gadis itu bahkan semakin menarik tangannya. "Kau tega meninggalkanku seperti mereka? Kau memang kejam Leon, tapi aku senang berada di dekatmu!" Mendengar ucapan panjang Abel membuat Leon tak yakin apakah gadis itu benar-benar tertidur. Leon mendekat menatap lekat wajah polos Abel, gadis itu tersenyum dalam tidurnya. Leon sampai tertegun melihat senyuman indah Abel, tangannya tanpa sadar mengusap wajah gadis itu pelan. Leon menyentak kesadaran dirinya, segera menjauhkan tangannya dari wajah Abel, ia ingin melepas genggaman tangan Abel. Namun, terasa sangat sulit! Pergerakannya terhenti saat tiba-tiba Abel menangis, dahi Leon berkerut melihat keanehan Abel saat tertidur. Abel terus menggelengkan kepalanya, meraung ketakutan membuat Leon semakin bingung. Dia mencoba membangunkan Abel, tetapi tetap saja. Gerakan reflek