Share

3. Mencoba Mengenal Richard

Menjelang pagi, Kimberly tidak mampu lagi menahan rasa dingin yang menyerang. Dia juga tidak bisa tidur nyenyak karena ranjang yang keras yang membuat punggungnya sakit. Sebelum matahari terbit, dia terpaksa bangun karena sudah tidak betah berada di atas ranjang.

Bingung ingin melakukan apa, Kimberly mengambil pakaian hangat dan memutuskan untuk keluar dari rumah menikmati pagi pertamanya di Woodstock. Dia berjalan tanpa arah mengelilingi area peternakan yang berada tidak jauh dari rumah utama yang dirinya dan Richard tinggali.

Langkahnya terhenti di depan kandang, saat melihat hewan ternak yang ada di dalamnya. Ada sapi, domba, kuda dan puluhan ayam dengan suara yang berisik yang anehnya dia sukai. Semua suara itu seakan membawa pergi kegalauan dirinya.

Kimberly memejamkan mata dan menikmati semua suara itu, hingga dirinya terkejut saat mendengar suara seorang wanita dari belakang punggungnya.

“Anda sudah bangun?”

Kimberly menoleh dan melihat seorang wanita tua sedang tersenyum ramah menatapnya. Melihat pakaian yang dipakai wanita itu, dia yakin jika wanita itu adalah pelayan keluarga Jackson.

“Udara di sini sangat dingin, tidurku sedikit terganggu sehingga aku memutuskan untuk keluar,” ujar Kimberly memberi alasan.

“Apakah penghangat kamar Anda kurang terasa? Saya akan menaikkan suhunya jika Anda masih merasa kedinginan.”

“Tidak perlu karena sebenarnya semalam aku tidak tidur di kamar utama.”

“Lalu Anda tidur dimana?” tanya wanita tua itu tampak cemas.

“Aku tidur di kamar yang ada di ujung sederet dengan kamar utama karena semua kamar tampaknya penuh dengan barang,” jawab Kimberly.

“Astaga Nyonya, kamar itu belum saya bersihkan karena Nyonya Johana berpesan untuk menyiapkan satu kamar.” Wanita itu terlihat merasa bersalah dan tidak enak pada Kimberly.

“Tidak apa-apa, itu bukan salahmu. Richard butuh istirahat setelah perjalanan panjang kami, sedangkan tidurku sering kali berisik jika terlalu capek, jadi daripada aku mengganggu tidurnya, lebih baik aku tidur di kamar yang berbeda.”

“Jika Anda butuh sesuatu, Anda bisa memanggil saya. Tempat tinggal saja tidak jauh dari rumah utama, kapanpun saya siap melayani Anda seperti saya melayani keluarga Jackson selama ini.”

Kimberly mengangguk dan tersenyum menanggapi perkataan wanita tua tersebut. “Siapa namamu?”

“Nama saya Timmy.”

“Senang bertemu denganmu, Timmy. Kedepannya aku akan selalu merepotkanmu.”

“Itu sudah menjadi tugas saya, Nyonya. Saya senang membantu Anda.”

“Apakah kamu sudah lama bekerja untuk keluarga Jackson?” selidik Kimberly dengan rasa ingin tahu.

“Saya sudah sangat lama bersama keluarga Jackson, bahkan sebelum Tuan Richard lahir.”

Kimberly terbelalak tak percaya dengan jawab wanita itu. “Benarkah? Berarti kamu sangat tahu karakter Richard? Apakah dia memang keras kepala dan dingin?”

“Dulu Tuan Richard adalah anak yang ceria yang ramah, tetapi semenjak kematian Nyonya Patricia, sifat Tuan Richard berubah seratus delapan puluh derajat. Namun dibalik sikap kerasnya, dia adalah pria yang baik.”

Kimberly mengalihkan tatapannya dari Timmy, menatap hewan ternak di depannya untuk menghindari wanita tua itu membaca ekspresi wajahnya yang sedih. “Jujur aku belum begitu mengenal Richard, pernikahan kami sangat mendadak. Aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi istri yang baik.”

“Bukan ingin mengajari Anda, tetapi yang Tuan Richard butuhkan saat ini adalah ketulusan. Selama ini, semua orang yang dekat dengannya selalu mempunyai kepentingan tersembunyi, untuk itulah dia tidak mudah percaya pada seseorang. Hanya ketulusan yang bisa membuat Tuan Richard percaya lagi pada seseorang dan tidak menganggap dirinya hidup sendiri di dunia ini,” terang Timmy.

“Terima kasih, saranmu sangat membantuku sehingga aku tahu bagaimana harus bertindak.”

“Sama-sama Nyonya. Tuan Richard sangat beruntung mendapatkan Anda. Selain cantik, Anda juga lembut dan penuh perhatian,” puji Timmy.

Kimberly hanya tersenyum samar tanpa benar-benar merasa senang dengan pujian wanita itu. “Aku tidak sebaik itu, aku hanya melakukan tugasku sebagai seorang istri.”

“Saya yakin Tuan Richard akan bahagia mendapatkan Anda dan akan kembali ceria seperti dulu lagi.”

Tidak ingin Timmy berharap banyak darinya karena dia sendiri tidak memiliki kepercayaan diri untuk mewujudkan hal tersebut, Kimberly memilih untuk menyudahi percakapan mereka. “Aku akan kembali ke dalam, udara dinginnya membuat hidungku mulai bermasalah.”

“Apakah Anda ingin minuman hangat? Saya akan membuatkannya untuk Anda,” tawar Timmy.

“Aku bisa membuatnya sendiri, selesaikan saja pekerjaanmu.”

“Jam berapa Anda dan Tuan Richard ingin sarapan? Saya akan menyiapkannya.”

Bukannya menjawab, Kimberly malah balik bertanya. “Bolehkah aku meminta bantuan padamu?”

“Tentu saja Nyonya, sebisa mungkin saya akan membantu Anda.”

“Untuk urusan dapur dan makanan Richard, biar aku yang memasaknya sendiri. Kamu bisa membantu menyiapkan bahan-bahannya saja, namun tetap aku yang akan memasaknya.”

Timmy terdiam sebentar sambil menatap wajah Kimberly, seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Tidak mungkin dia membiarkan majikannya memasak sendiri. “Nyonya Johana akan marah jika tahu saya tidak melayani Anda dengan baik?”

“Siapa bilang kamu tidak melayaniku dengan baik? sambutanmu saja terasa hangat. Aku hanya ingin melakukan sesuatu untuk Richard.”

“Benarkah itu tidak merepotkan Anda?”

“Tidak banyak yang bisa aku kerjakan di sini, aku ingin mengisi waktuku dengan membuatkan makanan untuk suamiku.”

Timmy memikirkan sejenak permintaan Kimberly, lalu tersenyum mengiyakan. “Baik Nyonya, mulai sekarang dapur di rumah utama adalah milik Anda.”

Kimberly tersenyum senang lalu masuk ke rumah untuk mulai menyiapkan sarapan untuk suaminya. Dia menyiapkan masakan terbaiknya yang selalu disukai papa dan mamanya serta semua orang yang pernah memakannya. Dia berharap, Richard pun akan menyukai masakannya.

Aroma masakan pun tercium sangat sedap ketika dia menghidangkan makanan tersebut di atas nampan. Dia menatanya secantik mungkin dan puas saat menatap apa yang telah dia hasilnya. Kimberly kemudian mengantar makanan itu ke kamar Richard dengan rasa percaya diri yang tinggi. Dia yakin, suaminya itu pasti akan menyukai masakannya

“Aku membawakanmu sarapan,” ucap Kimberly sambil menaruh makanannya di atas meja kamar.

Richard ternyata sudah bangun dan sudah duduk di kursi rodanya. Dia menatap ke luar jendela tanpa tahu apa yang dilihat suaminya.

“Aku tidak lapar, bawa saja makanannya keluar,” tolak Richard tanpa sedikitpun peduli dengan makanan yang sudah susah payah Kimberly masak.

“Kamu harus makan. Dari kemarin aku lihat kamu belum makan apapun.”

“Jangan sok peduli padaku. Cepat keluar dari kamarku karena aku sedang ingin sendiri,” usir Richard.

Bukannya pergi, Kimberly malah berdiri terdiam sambil menatap punggung pria itu, seolah tidak mendengarkan apa yang Richard  katakan kepadanya. Untuk sejenak keadaan di antara mereka pun menjadi sunyi.

Richard mengerutkan kening karena tidak mendengar kepergian istrinya, dia membalikkan kursi rodanya dan terkejut ketika melihat Kimberly masih berdiri di tengah kamarnya. “Apakah kamu tuli? Aku menyuruhmu pergi dari kamarku.”

“Aku tidak akan pergi sebelum kamu makan.”

Tatapan Richard berubah menjadi tatapan kesal ketika Kimberly tidak mendengarkan perkataannya. Dia menekan tombol di kursi rodanya dan mendekati makanan yang istrinya bawa.

Kimberly yang mengira Richard tertarik dengan makanannya, tersenyum tipis. Dia menunggu pria itu memakan dan memuji makanannya seperti yang biasa orang tuanya lakukan. Namun apa yang dia harapkan tidak terjadi, Richard mendorong nampan berisi makanan yang Kimberly bawa dan pyaaarrr ...

Tangan Kimberly sempat terulur untuk menahan nampan makanan itu agar tidak jatuh, namun terlambat, makanan itu menumpahi tangan dan pakaiannya lalu jatuh dengan keras. Piring makanan pun pecah dan isinya mengotori lantai kamar.

“Richard ...!” serunya kaget merespon sikap suaminya.

Kimberly mengibas-ibaskan tangannya yang terkena makanan yang masih panas. Dengan cepat kulit tangannya yang putih berubah memerah karena terbakar kuah panasnya.

“Kamu sungguh keterlaluan Richard. Jika tidak mau makan, bukan berarti kamu membuangnya seperti ini,” ucap Kimberly dengan suara bergetar, menahan rasa sakit di kulit tangannya dan rasa perih di hatinya.

“Aku akan melakukan hal yang sama jika kamu memaksaku makan saat aku tidak ingin makan,” balas Richard tanpa peduli dengan tangan Kimberly yang terbakar.

Tanpa berkata apapun, Kimberly pergi begitu saja meninggalkan Richard sendiri di kamar sambil memegangi tangannya yang terluka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status