“Aku lelah, aku ingin pergi dari sini,” ucap Richard yang langsung menjauh dari altar ketika mereka selesai mengucapkan janji pernikahan.
“Tidakkah akan lebih sopan jika kita menemui para tamu terlebih dahulu sebelum kamu beristirahat?” bujuk Kimberly. Richard tiba-tiba tersentak, matanya menatap nyalang istrinya, merasa jika wanita itu telah melewati batas karena saran sok bijaksananya.
“Sayangnya aku tidak punya sopan santun, jadi aku tidak perlu melakukan apa yang kamu katakan.”
“Apakah kamu marah padaku karena bukan Emma yang menjadi istrimu?” suara Kimberly bergetar menunjukkan kepercayaan dirinya yang runtuh.
“Kalau iya, memangnya kamu bisa berbuat apa? apakah kamu bisa membatalkan pernikahan kita, lalu menyeret adikmu ke hadapanku untuk menjadi istriku?”
“Bu-bukan begitu,” jawab Kimberly gagap karena semakin terintimidasi oleh sikap Richard. “Aku rasa, kamu salah melampiaskan kemarahanmu padaku. Aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini dan tidak bermaksud merebut posisi Emma, hanya saja papa menyuruhku untuk ...”
“Jangan banyak alasan! kenyataannya kamu merebut posisinya bukan?” Richard memotong perkataan Kimberly. “Apa yang kamu dapatkan dengan menggantikan posisi Emma? Jangan pikir aku akan menyerahkan kekayaanmu padamu,” geram Richard tanpa peduli dengan perasaan dan pendapat Kimberly.
Mulut Kimberly seketika bungkam, ingin sekali dia menyanggah perkataan suaminya, tetapi semakin dia membela diri, semakin banyak pula kata-kata menyakitkan yang Richard tujukan padanya.
Dia yakin, Richard tidak akan menerima penjelasannya karena kemarahan pria itu. Apapun yang dia katakan hanya akan menjadi sia-sia belaka, lebih baik dia menunggu kemarahan Richard surut untuk bicara. Daripada menghabiskan tenaga untuk hal yang tidak perlu, lebih baik dia mengalah untuk menenangkan suasana.
Kimberly yang merasa tertekan kembali meremas tangannya, menahan segala emosi yang bergejolak dalam dirinya.
Melihat istrinya bungkam, Richard kemudian menekan tombol kursi rodanya dan menjauh dari hadapan Kimberly.
“Richard, tunggu!” cegat Kimberly menghalangi jalan suaminya.
“Menyingkirlah dari jalanku!”
“Jika kamu marah padaku dan tidak ingin aku ada di sini, aku yang akan pergi dari pesta ini, tetapi aku mohon temuilah para tamu karena mereka adalah tamu keluargamu. Bersikaplah sopan! paling tidak jadilah tuan rumah yang baik.”
Mata Richard seketika memicing tajam menatap Kimberly. “Siapa kamu sehingga berhak mengatur apa yang harus aku lakukan?”
“Aku sudah menjadi istrimu yang sah saat ini. Sebagai seorang istri, aku mempunyai hak untuk memberimu saran.”
“Dan aku punya hak untuk menolak saranmu. Minggir!” geram Richard yang dengan sengaja menabrakkan kursi rodanya ke kaki Kimberly, berusaha menyingkirkan wanita itu dari jalannya, hingga membuat istrinya hampir terjatuh.
Johana yang melihat apa yang Richard lakukan terhadap Kimberly, segera menyusul kepergian putra tirinya itu. Saat mereka berada di lorong yang sepi, Johana memanggil nama Richard. “Kita harus bicara?”
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan,” balas Richard masih terus mendorong kursi rodanya untuk menjauh dari Johana.
“Mulai hari ini kamu akan tinggal di Woodstock.”
Richard seketika menghentikan kursi rodanya dan berbalik menatap Johana dengan tatapan membunuh. “Apa maksudmu mengirimku ke Woodstock?”
“Udara disana cukup sejuk dan suasananya lebih tenang, sangat cocok untuk masa penyembuhanmu,” balas Johana yang terdengar memuakkan di telinga Richard.
“Jangan harap kamu bisa menyingkirkan aku dengan mengirimku ke tempat terpencil itu! Aku memang cacat, tetapi aku tidak akan menyerah padamu.”
“Jangan menolaknya! Aku sudah membicarakannya dengan papamu dan dia pun setuju.”
“Kamu tidak bisa mengaturku, Johana!”
Perdebatan mereka terhenti ketika Kimberly datang menyusul suaminya. Johana yang melihat kedatangan menantunya, menatap wanita itu dan berkata, “bawalah suamimu ke Woodstock! Aku telah menyiapkan semua yang kalian butuhkan di sana.”
“A-aku ...? ke Woodstock ...?” ulang Kimberly terkejut karena merasa jika tempat itu terlalu jauh. Bagaimana dia bisa bertahan hidup hanya berdua dengan Richard di tempat sejauh itu?
“Tentu saja kamu, memangnya siapa lagi? Kini Richard telah menjadi tanggung jawabmu. Rawatlah dia!”
Setelah mengatakannya, Johana kemudian pergi menjauh dan kembali ke pesta untuk menemui para tamu, memposisikan dirinya sebagai tuan rumah yang baik.
Sepeninggalan Johana, suasana di antara Richard dan Kimberly pun mendadak penuh ketegangan.
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Kimberly khawatir.
“Jangan sok perhatian padaku! Memangnya aku punya alasan untuk tidak baik-baik saja?” balas Richard dingin yang menganggap pertanyaan Kimberly sekedar basa-basi belaka.
“Woodstock adalah tempat yang sangat jauh, kamu pasti belum terbiasa. Apakah kamu butuh bantuanku untuk membujuk papa dan mamamu agar kita tetap bisa tinggal di sini?”
“Jangan ikut campur dengan kehidupan pribadiku, aku tidak butuh bantuan darimu, apalagi kamu harus mengemis pada papa dan mamaku.”
“Bukan itu maksudku,” suara Kimberly kembali bergetar karena niat baiknya ternyata ditanggapi sinis oleh Richard.
“Dengar Kimberly! Meski kita sudah menikah, aku harap kamu tahu batasanmu. Aku tidak menganggapmu benar-benar sebagai istriku. Pernikahan kita hanyalah sebuah kesepakatan dan jika salah satu dari kita menginginkan berakhir, maka semuanya akan berakhir.”
Mata Kimberly seketika menatap nanar suaminya, pandangannya berkabut karena air mata yang menggenang di pelupuk mata. Meski mereka tidak saling mencintai, Kimberly berharap paling tidak Richard bisa menghormati pernikahan mereka sebagai ikatan yang sakral.
“Maaf jika aku membuatmu marah, seharusnya hari ini adalah hari bahagiamu.” Kimberly meminta maaf, berharap hal itu bisa melembutkan hati Richard.
“Hari bahagia? Jangan membuatku tertawa dengan leluconmu, Kimberly! Ini adalah hari paling menyedihkan bagiku karena aku harus menikahimu. Jika saja aku tidak cacat, aku bisa memilih wanita yang aku mau, kini aku harus menghabiskan sisa hidupku dengan wanita sepertimu.”
“Wanita sepertiku? Wanita seperti apa yang kamu maksud?” suara Kimberly terdengar bergetar karena rasa sakit yang merayap di hatinya.
“Aku tidak perlu menjelaskannya padamu, aku yakin kamu tidak ada bedanya dengan Johana. Jika kamu ingin tahu seperti apa dirimu, bercerminlah pada Johana! Rasa benciku padamu, sama seperti aku membenci wanita itu,” ucap Richard yang kemudian meninggalkan Kimberly begitu saja.
Kimberly berdiri membeku menatap kepergiaan Richard, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Dia memukul dadanya yang terasa sakit, perlakuan Richard padanya membuat dadanya sesak dan terasa nyeri.
Malam harinya, Richard dan Kimberly akhirnya menempuh perjalanan ke Woodstock. Pria itu mungkin bisa membantah Johana, tetapi dia tidak bisa membantah papanya. Oleh karena itu, mereka terpaksa berangkat ke Woodstock diantar oleh sopir pribadi keluarga Jackson.
Sepanjang perjalanan, keduanya tidak saling bicara, mereka duduk saling berjauhan dengan pikiran masing-masing, sama-sama menatap keluar jendela dan membangun dinding tebal tak tersentuh.
Perjalanan mereka ternyata cukup panjang dan lama, Kimberly sempat tertidur di tengah perjalanan. Dirinya terbangun ketika udara mendadak terasa sangat dingin dan mobil pun berguncang ke kanan dan ke kiri. Dia mengeratkan baju hangatnya dan menegakkan tubuhnya.
“Ada apa dengan jalannya?” tanya Kimberly pada sopir yang mengemudikan mobil yang dia naiki.
“Kita sudah masuk ke Woodstock, sebentar lagi kita akan sampai. Maaf jika jalannya tidak membuat Anda nyaman karena berbatu dan tidak rata,” jelas supir yang mengendarai mobil yang membawa mereka.
Sesampainya di rumah properti Jackson, Kimberly menarik koper besar yang berisi barang-barang miliknya dan milik Richard. Mereka menuju kamar utama dengan ruangan luas yang cukup hangat karena ada penghangat listrik yang bisa melindungi mereka dari udara dingin yang menyerang.
Baru saja Kimberly berniat untuk memasukkan kopernya ke kamar, Richard mendorong koper tersebut dan mengeluarkannya kembali. “Kamu pikir aku sudi tidur denganmu! Cari kamar lain! ini adalah kamarku dan aku ingin tidur sendiri.”
Belum sempat merespon perkataan suaminya, Richard sudah masuk ke kamar dan menutup pintu dengan membantingnya keras di hadapan Kimberly.
Lelah dengan perjalanan panjang mereka, membuat Kimberly enggan bertengkar lagi. Dia pun mengalah dan memilih mencari kamar yang lain. Dia menarik kopernya menjauh dari kamar utama dan masuk ke sebuah kamar yang terasa dingin.
Dia menyalakan lampu dan terkejut melihat kamar yang kotor dan berdebu, tampak jika sudah lama itu tidak dipakai dan tidak dibersihkan. Tidak ada penghangat ruangan di sana dan saat Kimberly mencoba ranjangnya, yang ada hanya ranjang keras yang dia yakin akan membuat punggungnya sakit.
“Persetan dengan keadaan kamar ini, yang penting aku bisa tidur.”
Kimberly kemudian menggelar kain tipis dengan sembarangan di atas ranjang yang tak bersprei sebagai alas, lalu meringkuk di atasnya untuk mengurangi rasa dingin.
“Kamu pasti bisa bertahan, Kimberly! Kamu wanita yang kuat,” gumamnya mensugesti dirinya sendiri agar kuat menghadapi penderitaan dan kehancuran seperti yang Richard katakan padanya.
Sebuah rumah klasik elegan dengan halaman yang luas disulap menjadi taman yang indah penuh dengan bunga segar dilengkapi kelambu putih sehingga menciptakan suasana romantis.Karpet putih dengan rangkaian bunga harum tergelar menuju sebuah altar dengan dekorasi yang mengagumkan. Kanan kiri karpet tersebut berjajar rapi kursi kayu yang siap menampung para tamu undangan dalam pesta pernikahan Jackson.Saat matahari merangkak meninggi, satu persatu kursi tersebut mulai terisi yang didominasi oleh keluarga besar Jackson.Pernikahan Allie dan Arlo digelar dua minggu setelah lamaran mereka. Meski dengan persiapan yang singkat namun pesta yang digelar tidak mengecewakan. Keduanya sepakat hanya mengundang tamu terbatas demi menjaga kesakralan upacara pernikahan.Acara tersebut digelar di rumah yang akan menjadi tempat tinggal Arlo dan keluarga kecilnya bersama Allie, rumah yang didesain oleh Arlo sendiri sesuai dengan impian yang pernah Allie ceritakan padanya.Tak lama setelah kursi penuh par
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Arlo berlari mendapatkan Allie ketika wanita itu keluar bersama Britne untuk menemui keluarga Jackson yang masih berkumpul di ruang makan. Ketegangan masih tampak jelas di raut wajah mereka.Allie menatap Arlo dengan tatapan bersalah membuat jantung pria itu berdetak kencang dan rasa gelisah mencengkram hatinya, mengira jika Allie menolak lamarannya.“Apakah kamu ingin bicara berdua saja denganku sebelum kita bertemu keluargaku? Aku tidak ingin kamu terbeban dengan lamaran yang aku ajukan,” lanjut Arlo ingin menenangkan wanita yang dia cintai.“Maafkan aku karena merusak lamaranmu,” balas Allie dengan nada tercekat.“Aku yang seharusnya meminta maaf karena terlalu terburu-buru melamarmu dan membuatmu syok. Aku bisa mengerti jika kamu belum bisa memberikan jawaban, sekarang yang terpenting kamu baik-baik saja.”Britne yang mencuri dengar perkataan Arlo, menepuk pundak sepupunya itu. “Jangan terlalu cepat menyimpulkan, beri Allie waktu untuk bicara!”
“Apakah kamu merasa gugup?” tanya Arlo menggenggam tangan Allie yang terkait dan terlihat gemetar.Keduanya berada di dalam mobil yang berhenti di depan teras kediaman Jackson, sedangkan Barnes tidur di bahu Arlo.“Sedikit,” jawab Allie pelan. “Ada siapa saja di sana?” lanjutnya sambil menatap rumah besar dan megah milik keluarga Jackson.“Semuanya ada di sana, Britne pun ada di sana.”“Bisakah kamu memberi waktu sebentar, aku masih terlalu gugup,” pinta Allie.“Aku akan menemanimu di sini,” balas Arlo tak ingin meninggalkan wanita yang dicintainya, tanpa ragu memeluk dan mengusap punggung Allie.Setelah keberanian Allie terkumpul, dia mengajak Arlo untuk masuk. “Aku sudah siap,” ujarnya.Arlo menggandeng tangan wanita yang dicintainya dengan posesif dan membawanya ke ruang tengah rumah itu, dimana keluarga besarnya sering berkumpul di sana.“Selamat malam,” sapa Arlo membuat semua orang di ruangan itu menoleh dan menatap kedatangan mereka.Keadaan seketika menjadi sunyi, semua mata t
“Tidak perlu khawatir, aku bisa mengajarimu bagaimana menjadi wanita Jackson,” suara Kimberly mengagetkan Allie.Dia menoleh dan mendapatkan wanita itu berjalan mendekatinya dengan Barnes ada di gendongannya.“Apakah Barnes merepotkanmu, Nyonya Kimberly?” ucap Allie sambil mengambil putranya dari gendongan Kimberly.“Dia anak yang cerdas dan menggemaskan, wajahnya sangat mirip dengan Arlo saat masih seumurannya, Barnes sama sekali tidak merepotkanku,” kata Kimberly.“Terima kasih telah menjaganya.”“Kamu tidak perlu berterima kasih karena dia juga cucuku. Aku berharap malam ini kamu dan Barnes akan menginap di kediaman Jackson sehingga aku punya banyak waktu untuk mengenal cucuku,” balas Kimberly tersenyum mendengar ocehan Barnes.Tubuh Allie menegang mendengar harapan Kimberly akan dirinya dan Barnes. Rasanya terlalu cepat untuk masuk ke dalam keluarga billionaire tersebut.“Aku akan bicara dengan Arlo terlebih dahulu,” Allie mencari alasan untuk menghindar dan berniat untuk melarang
Allie membuka mata dengan senyum cerah mengingat percintaan panasnya bersama Arlo semalam serta hubungan mereka yang membaik. Dia mencari keberadaan pria itu dan menemukannya sedang duduk di pinggir ranjang membelakanginya.Pria itu masih belum berpakaian hingga memperlihatkan punggungnya yang menawan membuat matanya tak berkedip dan tatapannya tak bisa lepas dari sana.Sadar jika Arlo sedang menerima panggilan dari ponselnya, membuat Allie sengaja tidak mengganggunya. Dia menggeser tubuhnya mendekati Arlo lalu mengusap punggung pria itu.“Siapa yang menelepon sepagi ini?” tanyanya saat melihat Arlo mengakhiri panggilan.Pria itu menoleh dan memperlihatkan wajah tegang yang tidak bisa disembunyikan membuat Allie merasa cemas. “Apakah semua baik-baik saja?”“Mamamu masuk rumah sakit,” ujarnya.“Ada apa dengan mamaku? terakhir kali aku bicara dengannya, dia baik-baik saja.”“Dia mengalami kekerasan dari papa tirimu, aku meminta bantuan papa untuk menangani kasus mamamu.”“Aku harus kemb
Allie merasa senang telah mengizinkan Arlo menghabiskan waktu bersama putranya. Wajah pria itu terus berbinar penuh kebahagiaan, hal itu membuat Allie bertekad bulat untuk menjadi wanita yang pantas untuk Arlo, wanita dewasa dan elegan yang tidak gegabah menyimpulkan sesuatu yang dia lihat dan dengar.Malam harinya Allie mengunci diri di kamar mandi cukup lama, menatap dirinya di cermin dengan pakaian menantang. Lingerie transparan dipakainya, hingga tubuhnya terlihat sangat menggoda dengan aset-aset yang tak bisa disembunyikan.“Apakah aku terlihat seperti wanita jalang?” gumamnya pada diri sendiri.“Persetan dengan hal itu, aku ingin menyenangkan Arlo malam ini,” Allie berusaha menghapus keraguan yang menyelimuti.“Sayang, apakah kamu baik-baik saja?” suara Arlo dari luar mengagetkan.“Aku baik-baik saja,” jawab Allie cepat.“Kamu sudah terlalu lama di kamar mandi, itu bisa membuatmu sakit,” Arlo mengingatkan.“Sebentar lagi aku akan keluar.”“Apakah kamu tidak nyaman aku berada di
Allie menghentikan kegiatan memasak ketika ada yang mengetuk pintu rumah. Dia membersihkan tangan dengan serbet lalu pergi untuk membuka pintu bagi tamunya.Keningnya berkerut heran ketika melihat seorang wanita cantik setengah baya dengan kacamata hitam dan pakaian elegan berdiri di depannya.“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Allie sopan.Wanita itu membuka kacamata dan tersenyum ramah. “Apakah kamu bernama Allie?” wanita itu ganti bertanya.“Benar Nyonya, apakah aku mengenalmu?” Allie semakin heran dengan identitas tamunya.Wanita itu kemudian mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri. “Namaku Kimberly Jackson, istri dari Richard Jackson, mama Arlo. Senang bertemu denganmu, Allie. Sudah lama aku ingin melihat wajahmu.”Wajah Allie seketika memucat mengetahui siapa yang berdiri di depannya, tubuhnya menegang merasa terancam oleh kedatangan wanita itu. Dia teringat bagaimana papa Arlo mengusir dan menyuruhnya pergi menjauh dari putranya.“Arlo sedang berada di rumah Britne, kamu bis
“Aku mengambil resiko besar dengan kembali membiarkanmu menyentuhku lagi,” ujar Allie sambil mengusap dagu Arlo yang ditumbuhi rambut-rambut kecil kasar, menelusuri dengan jari lentiknya.Mata Arlo terpejam menikmati sentuhan yang mengalirkan sengatan listrik kecil, lalu mengerang merespon. Saat pria itu membuka mata, Allie bisa melihat tatapan yang menggelap penuh gairah.“Fokuslah padaku saja! Abaikan semua hal yang menjadi penghalang hubungan kita,” pinta Arlo dengan tatapan penuh komitmen akan hubungan kita.“Berjanjilah kamu tidak akan mengambil Barnes dariku!”“Aku berjanji. Tak sedikitpun terlintas dalam pikiranku untuk memisahkanmu dengan putra kita. Dia akan tetap bersamamu, bersama kita.”“Kita …?” gumam Allie lirih.Arlo merendahkan kepala lalu mendekatkan bibir di telinga Allie. “Ya, kita. Kita akan menjadi keluarga yang utuh. Jangan sampai karena keegoisan, Barnes kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan.”Bisikan Arlo seperti mantra yang meluluhkan hati. Desah
Saat matahari sudah tinggi, Allie terbangun dari tidurnya dan terkejut karena dia bangun terlalu siang. Hal ini karena dirinya baru saja tidur beberapa menit sebelum matahari terbit.Dia segera membersihkan diri dan pergi ke kamar Barnes untuk memeriksa keadaan putranya. Lagi-lagi dia dikejutkan dengan keberadaan Arlo yang ada disana. Ada warna gelap di kantung mata pria itu, membuatnya sadar jika Arlo tidak tidur semalaman.“Apakah kamu tidak tidur?” tanya Allie.“Aku tidak bisa tidur, hujan dan petirnya baru berhenti dini hari dan mungkin juga karena aku terlalu senang bisa menghabiskan malam bersama putraku. Tapi jangan khawatir, semalam Barnes bisa tidur dengan nyenyak dan aku tidak mengganggunya,” jawab Arlo tidak ingin Allie salah paham padanya.“Bersihkan dirimu! aku akan membuat sarapan. Setelah kamu makan, kamu bisa tidur lalu pulang ke New City,” tegas Allie masih memasang dinding tebal terhadap Arlo.Selesai sarapan, Allie mengizinkan Arlo untuk tidur di kamarnya. Dia tidak