Share

2. Pengasingan

“Aku lelah, aku ingin pergi dari sini,” ucap Richard yang langsung menjauh dari altar ketika mereka selesai mengucapkan janji pernikahan.

“Tidakkah akan lebih sopan jika kita menemui para tamu terlebih dahulu sebelum kamu beristirahat?” bujuk Kimberly. Richard tiba-tiba tersentak, matanya menatap nyalang istrinya, merasa jika wanita itu telah melewati batas karena saran sok bijaksananya.

“Sayangnya aku tidak punya sopan santun, jadi aku tidak perlu melakukan apa yang kamu katakan.”

“Apakah kamu marah padaku karena bukan Emma yang menjadi istrimu?” suara Kimberly bergetar menunjukkan kepercayaan dirinya yang runtuh.

“Kalau iya, memangnya kamu bisa berbuat apa? apakah kamu bisa membatalkan pernikahan kita, lalu menyeret adikmu ke hadapanku untuk menjadi istriku?”

“Bu-bukan begitu,” jawab Kimberly gagap karena semakin terintimidasi oleh sikap Richard. “Aku rasa, kamu salah melampiaskan kemarahanmu padaku. Aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini dan tidak bermaksud merebut posisi Emma, hanya saja papa menyuruhku untuk ...”

“Jangan banyak alasan! kenyataannya kamu merebut posisinya bukan?” Richard memotong perkataan Kimberly. “Apa yang kamu dapatkan dengan menggantikan posisi Emma? Jangan pikir aku akan menyerahkan kekayaanmu padamu,” geram Richard tanpa peduli dengan perasaan dan pendapat Kimberly.

Mulut Kimberly seketika bungkam, ingin sekali dia menyanggah perkataan suaminya, tetapi semakin dia membela diri, semakin banyak pula kata-kata menyakitkan yang Richard tujukan padanya.

Dia yakin, Richard tidak akan menerima penjelasannya karena kemarahan pria itu. Apapun yang dia katakan hanya akan menjadi sia-sia belaka, lebih baik dia menunggu kemarahan Richard surut untuk bicara. Daripada menghabiskan tenaga untuk hal yang tidak perlu, lebih baik dia mengalah untuk menenangkan suasana.

Kimberly yang merasa tertekan kembali meremas tangannya, menahan segala emosi yang bergejolak dalam dirinya.

Melihat istrinya bungkam, Richard kemudian menekan tombol kursi rodanya dan menjauh dari hadapan Kimberly.

“Richard, tunggu!” cegat Kimberly menghalangi jalan suaminya.

“Menyingkirlah dari jalanku!”

“Jika kamu marah padaku dan tidak ingin aku ada di sini, aku yang akan pergi dari pesta ini, tetapi aku mohon temuilah para tamu karena mereka adalah tamu keluargamu. Bersikaplah sopan! paling tidak jadilah tuan rumah yang baik.”

Mata Richard seketika memicing tajam menatap Kimberly. “Siapa kamu sehingga berhak mengatur apa yang harus aku lakukan?”

“Aku sudah menjadi istrimu yang sah saat ini. Sebagai seorang istri, aku mempunyai hak untuk memberimu saran.”

“Dan aku punya hak untuk menolak saranmu. Minggir!” geram Richard yang dengan sengaja menabrakkan kursi rodanya ke kaki Kimberly, berusaha menyingkirkan wanita itu dari jalannya, hingga membuat istrinya hampir terjatuh.

Johana yang melihat apa yang Richard lakukan terhadap Kimberly, segera menyusul kepergian putra tirinya itu. Saat mereka berada di lorong yang sepi, Johana memanggil nama Richard. “Kita harus bicara?”

“Tidak ada yang perlu kita bicarakan,” balas Richard masih terus mendorong kursi rodanya untuk menjauh dari Johana.

“Mulai hari ini kamu akan tinggal di Woodstock.”

Richard seketika menghentikan kursi rodanya dan berbalik menatap Johana dengan tatapan membunuh. “Apa maksudmu mengirimku ke Woodstock?”

“Udara disana cukup sejuk dan suasananya lebih tenang, sangat cocok untuk masa penyembuhanmu,” balas Johana yang terdengar memuakkan di telinga Richard.

“Jangan harap kamu bisa menyingkirkan aku dengan mengirimku ke tempat terpencil itu! Aku memang cacat, tetapi aku tidak akan menyerah padamu.”

“Jangan menolaknya! Aku sudah membicarakannya dengan papamu dan dia pun setuju.”

“Kamu tidak bisa mengaturku, Johana!”

Perdebatan mereka terhenti ketika Kimberly datang menyusul suaminya. Johana yang melihat kedatangan menantunya, menatap wanita itu dan berkata, “bawalah suamimu ke Woodstock! Aku telah menyiapkan semua yang kalian butuhkan di sana.”

“A-aku ...? ke Woodstock ...?” ulang Kimberly terkejut karena merasa jika tempat itu terlalu jauh. Bagaimana dia bisa bertahan hidup hanya berdua dengan Richard di tempat sejauh itu?

“Tentu saja kamu, memangnya siapa lagi? Kini Richard telah menjadi tanggung jawabmu. Rawatlah dia!”

Setelah mengatakannya, Johana kemudian pergi menjauh dan kembali ke pesta untuk menemui para tamu, memposisikan dirinya sebagai tuan rumah yang baik.

Sepeninggalan Johana, suasana di antara Richard dan Kimberly pun mendadak penuh ketegangan.

“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Kimberly khawatir.

“Jangan sok perhatian padaku! Memangnya aku punya alasan untuk tidak baik-baik saja?” balas Richard dingin yang menganggap pertanyaan Kimberly sekedar basa-basi belaka.

“Woodstock adalah tempat yang sangat jauh, kamu pasti belum terbiasa. Apakah kamu butuh bantuanku untuk membujuk papa dan mamamu agar kita tetap bisa tinggal di sini?”

“Jangan ikut campur dengan kehidupan pribadiku, aku tidak butuh bantuan darimu, apalagi kamu harus mengemis pada papa dan mamaku.”

“Bukan itu maksudku,” suara Kimberly kembali bergetar karena niat baiknya ternyata ditanggapi sinis oleh Richard.

“Dengar Kimberly! Meski kita sudah menikah, aku harap kamu tahu batasanmu. Aku tidak menganggapmu benar-benar sebagai istriku. Pernikahan kita hanyalah sebuah kesepakatan dan jika salah satu dari kita menginginkan berakhir, maka semuanya akan berakhir.”

Mata Kimberly seketika menatap nanar suaminya, pandangannya berkabut karena air mata yang menggenang di pelupuk mata. Meski mereka tidak saling mencintai, Kimberly berharap paling tidak Richard bisa menghormati pernikahan mereka sebagai ikatan yang sakral.

“Maaf jika aku membuatmu marah, seharusnya hari ini adalah hari bahagiamu.” Kimberly meminta maaf, berharap hal itu bisa melembutkan hati Richard.

“Hari bahagia? Jangan membuatku tertawa dengan leluconmu, Kimberly! Ini adalah hari paling menyedihkan bagiku karena aku harus menikahimu. Jika saja aku tidak cacat, aku bisa memilih wanita yang aku mau, kini aku harus menghabiskan sisa hidupku dengan wanita sepertimu.”

“Wanita sepertiku? Wanita seperti apa yang kamu maksud?” suara Kimberly terdengar bergetar karena rasa sakit yang merayap di hatinya.

“Aku tidak perlu menjelaskannya padamu, aku yakin kamu tidak ada bedanya dengan Johana. Jika kamu ingin tahu seperti apa dirimu, bercerminlah pada Johana! Rasa benciku padamu, sama seperti aku membenci wanita itu,” ucap Richard yang kemudian meninggalkan Kimberly begitu saja.

Kimberly berdiri membeku menatap kepergiaan Richard, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Dia memukul dadanya yang terasa sakit, perlakuan Richard padanya membuat dadanya sesak dan terasa nyeri.

Malam harinya, Richard dan Kimberly akhirnya menempuh perjalanan ke Woodstock. Pria itu mungkin bisa membantah Johana, tetapi dia tidak bisa membantah papanya. Oleh karena itu, mereka terpaksa berangkat ke Woodstock diantar oleh sopir pribadi keluarga Jackson.

Sepanjang perjalanan, keduanya tidak saling bicara, mereka duduk saling berjauhan dengan pikiran masing-masing, sama-sama menatap keluar jendela dan membangun dinding tebal tak tersentuh.

Perjalanan mereka ternyata cukup panjang dan lama, Kimberly sempat tertidur di tengah perjalanan. Dirinya terbangun ketika udara mendadak terasa sangat dingin dan mobil pun berguncang ke kanan dan ke kiri. Dia mengeratkan baju hangatnya dan menegakkan tubuhnya.

“Ada apa dengan jalannya?” tanya Kimberly pada sopir yang mengemudikan mobil yang dia naiki.

“Kita sudah masuk ke Woodstock, sebentar lagi kita akan sampai. Maaf jika jalannya tidak membuat Anda nyaman karena berbatu dan tidak rata,” jelas supir yang mengendarai mobil yang membawa mereka.

Sesampainya di rumah properti Jackson, Kimberly menarik koper besar yang berisi barang-barang miliknya dan milik Richard. Mereka menuju kamar utama dengan ruangan luas yang cukup hangat karena ada penghangat listrik yang bisa melindungi mereka dari udara dingin yang menyerang.

Baru saja Kimberly berniat untuk memasukkan kopernya ke kamar, Richard mendorong koper tersebut dan mengeluarkannya kembali. “Kamu pikir aku sudi tidur denganmu! Cari kamar lain! ini adalah kamarku dan aku ingin tidur sendiri.”

Belum sempat merespon perkataan suaminya, Richard sudah masuk ke kamar dan menutup pintu dengan membantingnya keras di hadapan Kimberly.

Lelah dengan perjalanan panjang mereka, membuat Kimberly enggan bertengkar lagi. Dia pun mengalah dan memilih mencari kamar yang lain. Dia menarik kopernya menjauh dari kamar utama dan masuk ke sebuah kamar yang terasa dingin.

Dia menyalakan lampu dan terkejut melihat kamar yang kotor dan berdebu, tampak jika sudah lama itu tidak dipakai dan tidak dibersihkan. Tidak ada penghangat ruangan di sana dan saat Kimberly mencoba ranjangnya, yang ada hanya ranjang keras yang dia yakin akan membuat punggungnya sakit.

“Persetan dengan keadaan kamar ini, yang penting aku bisa tidur.”

Kimberly kemudian menggelar kain tipis dengan sembarangan di atas ranjang yang tak bersprei sebagai alas, lalu meringkuk di atasnya untuk mengurangi rasa dingin.

“Kamu pasti bisa bertahan, Kimberly! Kamu wanita yang kuat,” gumamnya mensugesti dirinya sendiri agar kuat menghadapi penderitaan dan kehancuran seperti yang Richard katakan padanya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Fiiz Hap
kuatt kim semangat
goodnovel comment avatar
Fiiz Hap
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status