Share

4. Si Keras Kepala

“Ada apa dengan tangan Anda?” seru Timmy khawatir melihat tangan Kimberly yang memerah.

“Aku tidak sengaja menumpahkan masakanku saat mengantarkannya ke kamar Richard.” Kimberly tidak bicara jujur jika Richard dengan sengaja menumpahkan makanan yang dia buat.

“Air dingin bisa meredakan rasa panas dan nyeri yang Anda rasakan,” Timmy memberi saran.

Wanita tua itu langsung mendekati Kimberly, membawanya ke wastafel, membasuh tangan Kimberly dengan air dingin yang mengalir.

“Aku bisa mengobati sendiri lukaku, tolong bersihkan saja kamar suamiku karena aku menumpahkan makanan di lantai kamarnya.”

Tanpa menyanggah, Timmy mengangguk patuh lalu pergi untuk membersihkan kamar Richard.

Setelah kepergian Timmy, air mata Kimberly seketika menetes membasahi pipinya tanpa bisa ditahan. Dengan cepat dia mengusap air mata itu agar tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. “Apakah Richard sangat membenciku sehingga dia memperlakukan aku seperti ini? jika aku memiliki pilihan, aku pun tidak menginginkan pernikahan ini,” gumamnya lirih.

Kimberly berdiri lama di depan wastafel, berusaha mengendalikan emosinya..

Setelah tangannya terasa baikan dan rasa nyerinya berangsur menghilang, Kimberly menutup luka tersebut lalu keluar dari rumah untuk mencari udara segar, menenangkan diri agar bisa menghadapi Richard dengan sikap positif.

Kakinya melangkah tanpa arah, sedangkan matanya mengagumi keindahan Woodstock.

“Kenapa Richard merasa terbuang ketika mama menyuruhnya tinggal di sini? padahal pemandangan disini sangat indah dan menenangkan hati,” batin Kimberly mengagumi pemandangan alam yang baginya tampak sangat mempesona.

Kakinya berhenti melangkah ketika dia melihat hamparan tanah luas berselimut rumput tebal berwarna hijau muda, menyegarkan matanya. Dari kejauhan, terlihat seorang pria sedang menaiki kuda hitam yang besar dan gagah, membuat pria itu tampak begitu maskulin meski.

Mata Kimberly terus mengikuti gerakan kuda itu, hingga dia tidak menyadari jika penunggang kuda itu menatap ke arahnya dengan heran. Pria itu kemudian mengajak kudanya berlari mendekati Kimberly.

“Apakah kamu sedang mengagumiku?” tegur pria itu.

“A-apa ...?” Kimberly terkejut dan langsung mengangkat wajahnya menatap pria di depannya yang masih berada di atas kuda.

“Aku bertanya padamu, apakah kamu sedang mengagumiku? Aku perhatikan dari tadi kamu terus menatapku,” ucap pria itu dengan penuh percaya diri.

“Oh ... kamu salah sangka. Aku mengagumi kudamu, bukan dirinya,” sanggah Kimberly.

“Bilang saja jika kamu mengagumiku, tidak perlu memakai kudaku sebagai alasan.”

Kimberly memicingkan mata dengan bibir mengerucut kesal. Dia kemudian mengangkat kelima jarinya ke hadapan pria itu untuk memperlihatkan cincin yang terpasang di jari manisnya.

Pria itu pun pura-pura memasang ekspresi kecewa. “Sayang sekali, padahal aku bermaksud untuk mendekatimu,” candanya yang membuat suasana menjadi hangat kembali. “Apakah kamu orang baru di sini? aku baru pertama kali melihatmu.”

“Aku datang dari kota, aku pindah ke sini bersama suamiku,” terang Kimberly.

“Siapa nama suamimu? Apakah dia asli orang sini?”

“Dia memiliki tanah dan peternakan disini, namanya Richard Jackson.”

Pria itu terdiam sejenak dengan ekspresi yang tidak terbaca. Dia kemudian turun dari kudanya dan berjalan mendekati Kimberly. “Ternyata kamu istri Richard, beruntung sekali dia mendapatkan wanita secantik dirimu.”

“Terima kasih atas pujianmu,” Kimberly merespon dengan sopan. “Sepertinya aku mengganggu aktivitas berkudamu, silahkan melanjutkan aktivitasmu kembali, aku akan pergi,” ujar Kimberly berusaha menghindar dari pria itu.

“Sebelum pergi, tidak ada salahnya jika kita saling mengenal karena kedepannya kita akan bertetangga,” ajak pria itu.

Kimberly terdiam dan berpikir sejenak, tidak sopan rasanya jika menghindari pria itu dan menolak berkenalan dengan tetangga sendiri. Dia kemudian mengulurkan tangan merespon perkataan pria itu. “Kimberly Jackson.”

Pria itu membalas uluran tangan Kimberly. “Axton Hogan, panggil saja Axton.”

“Senang berkenalan denganmu, Axton,” ujar Kimberly basa-basi.

“Aku yang lebih senang bisa berkenalan denganmu, Kimberly.”

Kimberly tersenyum lalu melangkah menjauh, tetapi langkahnya terhenti ketika Axton kembali bersuara. “Apakah kamu suka berkuda?”

Pertanyaan itu membuat Kimberly menoleh dan menatap pria tersebut. “Aku belum pernah mencobanya jadi aku tidak tahu suka atau tidak.”

“Jika kamu mau, kapan-kapan kamu boleh mampir ke peternakanku. Aku bisa mengajarimu berkuda.”

“Terima kasih untuk tawaranmu, tetapi untuk saat ini sepertinya aku belum bisa berkuda bersamamu karena kesehatan Richard belum begitu bagus.”

“Aku turut prihatin dengan kecelakaan yang menimpa suamimu. Semoga dia bisa segera sembuh dan kita bisa berkuda bersama. Aku dan Richard dulu sering melakukannya.”

“Jika Richard telah sembuh, aku akan mengajaknya main ke tempatmu,” tandas Kimberly yang kemudian menjauh dari peternakan Axton.

Tidak langsung pulang, Kimberly mengunjungi beberapa tempat yang menurut dia sangat indah. Mungkin inilah yang dia inginkan dalam hidupnya, tinggal di tempat terpencil yang jauh dari keramaian, tempat menenangkan dan penuh kedamaian.

Suasana tersebut membuat Kimberly langsung jatuh cinta dengan tempat ini, rasanya dia punya kedekatan yang tidak bisa diungkapkan dengan Woodstock.

Tadinya Kimberly masih ingin mengunjungi beberapa tempat lagi yang menarik perhatiannya, namun dia mengingat jika Richard yang ada di rumah sendirian. Hal itu membuatnya memutuskan untuk pulang, berharap suasana hati suaminya sudah membaik.

Namun apa yang dia harapkan tidak terjadi. Ketika dia membuka pintu rumah, dia mendapati Timmy baru saja keluar dari kamar Richard dengan wajah sedih. Wanita tua itu membawa nampan dengan makanan yang masih utuh di atasnya.

“Kenapa wajahmu seperti itu, Timmy?”

Timmy menegakkan wajahnya karena tidak menyadari kehadiran Kimberly. “Anda sudah pulang? Tuan Richard tidak mau makan, saya khawatir dia akan sakit.”

“Suasana hati Richard sedang tidak baik, dia kurang suka tinggal di sini, padahal tempat ini indah sekali dan menenangkan,” balas Kimberly.

“Perlukah saya bicara dengan Nyonya Johana tentang keadaan Tuan Richard?” Timmy meminta pendapat pada Kimberly.

“Jangan lakukan itu! Richard kini sudah menjadi suamiku, kami akan menyelesaikan masalah kami tanpa melibatkan orang lain. Jika kedepannya nanti ada apa-apa, bicaralah padaku terlebih dahulu! Jangan pernah memberitahu siapapun tentang semua hal yang berhubungan dengan rumah tangga kami, kecuali sudah mendapat izin dariku atau dari Richard.”

Timmy mengangguk patuh, mengiyakan perkataan Kimberly.

“Bisakah kamu membersihkan kamar yang tadi malam aku tiduri? Aku akan memakai kamar itu sampai suasana hati Richard membaik.”

“Tapi Nyonya Johana bilang ...”

“Sudah aku bilang ini adalah rumah tangga kami, mama atau siapapun tidak berhak mencampuri urusan kami.” Kimberly memotong perkataan Timmy yang terlihat tidak setuju dengan keputusannya untuk tidur terpisah dengan suaminya.

Tak bisa berkutik apalagi menolak perintah dari Kimberly, Timmy pun akhirnya undur diri dan membersihkan kamar yang akan menjadi kamar Kimberly, entah sampai kapan?

Dengan harapan yang tipis, Kimberly kembali masuk ke kamar suaminya. Richard baru akan naik ke ranjang saat istrinya itu masuk. Kimberly dengan cepat, berlari mendapatkan suaminya dan membantu Richard berpindah dari kursi rodanya ke ranjang.

Mata Richard sempat melirik ke perban yang melingkar di lengan Kimberly, dia tahu jika tangan istrinya terluka karena masakkan panas yang dia tumpahkan. Meskipun begitu, Richard masih bersikap angkuh dan pura-pura tidak mengetahuinya.

“Tinggalkan aku!” Bukannya berterimakasih atas bantuan istrinya Richard  malah mengusir Kimberly agar meninggalkan kamarnya.

“Kenapa kamu tidak mau makan? Jika kamu sakit, siapa yang akan merawatmu? Hanya ada aku dan Timmy di sini, bahkan aku tidak tahu dokter terdekat.”

“Apakah kamu berharap aku sakit? atau bahkan berharap aku mati?”

“Richard! Hentikan sikap negatifmu itu! aku dan Timmy mengkhawatirkanmu.”

“Aku tidak butuh rasa kasihan kalian berdua. Jadi kalian tidak perlu berpura-pura khawatir denganku.”

Terus mendapatkan perkataan pedas dari suaminya, membuat kesabaran Kimberly habis. Dia pun menegakkan tubuhnya dan menatap suaminya dengan berani. “Tidak ada gunanya mengasihani dirimu sendiri! Orang lumpuh dan cacat di dunia ini bukan hanya dirimu, tetapi mereka bisa berkegiatan dan bekerja seperti orang normal, berpikir positif dan tidak menyerah dengan keadaan.”

“Jangan berceramah di depanku, itu membuatku muak.”

Kimberly seketika terdiam dan menghela nafas panjang. “Terserah jika kamu ingin terus mengurung diri di kamar dan mengabaikan pengobatanmu, aku tidak akan peduli denganmu lagi,” ujar Kimberly berusaha untuk tegas menghadapi sikap suaminya.

Dengan jantung yang berdetak kencang karena keberanian yang sebenarnya tidak terbayangkan olehnya jika dia bisa melakukannya, Kimberly meninggalkan kamar Richard.

Sesampai di luar kamar, dia menyentuh dan menekan dadanya. “Mungkinkah aku bisa bertahan hidup bersama dengan pria keras kepala seperti Richard?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status