Share

8. Perubahan Sikap yang Membuat Penasaran

Tidak mungkin melarikan diri dari kewajibannya, Kimberly terpaksa pulang kembali ke rumah. Dia terkejut ketika Richard duduk di ruang depan dengan wajah yang terlihat kurang istirahat. Ingin sekali menegurnya dan menyuruh pria itu istirahat, namun energinya sudah habis untuk bertengkar.

“Dari mana saja dirimu?” Richard menegur duluan.

“Mencari udara segar,” jawab Kimberly singkat.

“Lain kali, beritahu aku kemana kamu pergi sehingga aku tidak salah paham lagi padamu.”

Kimberly menghela nafas panjang, berusaha untuk bersabar menghadapi sikap suaminya. Dia menatap Richard dan berkata, “aku sedang tidak ingin bertengkar karena aku lelah sekali. Lain kali aku akan memberitahuku jika aku akan pergi, sekarang bisakah aku ke kamar?”

“Apakah kamu sudah makan? Kamu pergi tanpa sarapan terlebih dahulu,” tanya Richard yang membuat raut wajah Kimberly berubah keheranan. Sejak kapan suaminya itu peduli dengannya?

“Aku belum makan,” jawab Kimberly dengan hati-hati dan penuh kecurigaan. Dia merasa ada yang tidak beres dengan sikap suaminya.

“Aku juga belum makan, Timmy memasak sesuatu. Maukah kamu makan bersamaku?”

Hati Kimberly semakin bergemuruh tak menentu, dia menatap Richard penuh tanda tanya besar. Dia hanya berdiri membeku tanpa merespon ajakan suaminya.

“Jika kamu tidak bersedia makan bersamaku, bisakah temani aku makan?” desak Richard.

“Apakah kamu baik-baik saja? sikapmu tidak seperti biasanya.”

Richard hanya tersenyum tipis dan itu pun terlihat sangat terpaksa. Pria itu tidak menjawab pertanyaan Kimberly, tetapi berlalu begitu saja dari hadapan wanita itu menuju ruang makan.

Kimberly yang merasa situasi antara dirinya dan Richard tidak memanas, akhirnya mengikuti kepergian suaminya. Melihat Richard membuka piring yang ada di meja makan tanpa meminta pertolongannya, Kimberly segera menahan tangan pria itu.

“Biar aku yang membantumu,” ucapnya cepat sambil mengambil piring tersebut.

Gerakan tangan Kimberly terhenti ketika Richard memegang pergelangan tangannya. “Apakah lukanya cukup dalam? Aku melihat banyak darah keluar dari lukamu.”

“Hanya luka ringan, sekarang sudah baik-baik saja,” balas Kimberly menyembunyikan lukanya, lalu menarik tangannya untuk melepaskan diri dari pegangan Richard.

Richard pun melepaskannya tanpa merasa tersinggung. “Maafkan aku,” kata Richard lirih.

“A-apa?” Kimberly tergagap seakan salah dengar. Pria itu tak pernah meminta maaf padanya meski nyata-nyata bersalah padanya, entah kenapa tiba-tiba sekarang Richard meminta maaf padanya.

“Maafkan aku karena tanpa sengaja melukaimu. Aku tidak pintar melindungi seseorang, tetapi ahli menyakiti orang-orang di dekatku. Semakin lama kamu bersamaku, kamu akan semakin banyak terluka.”

Kimberly kemudian duduk di depan Richard sambil menundukkan kepala. “Aku menikah denganmu dan siap dengan tanggung jawab dan resiko yang harus aku pikul. Selama kamu tidak dengan sengaja melukaiku, aku masih bisa menerimanya.”

“Kenapa kamu bertahan jika kamu tahu akan terluka?”

“Aku tidak ingin mengecewakan keluargaku. Jika dengan menikah denganmu, membuat mereka bangga, maka aku akan melakukannya.”

“Benarkah kamu melakukan semua ini murni demi keluargamu?” selidik Richard. Kimberly mengangguk mengiyakan.

Richard berusaha percaya dengan perkataan istrinya. “Makanlah! aku tidak ingin kamu sakit karena tidak akan ada yang merawatku. Hanya kamu yang tampaknya tahan dengan sikapku.”

Kimberly tersenyum tipis, lalu mengambil piring. Setelah mengambilkan makanan untuk suaminya, dia pun mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Keduanya kemudian makan dalam diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Melihat makanan di piring Richard telah habis, Kimberly berdiri dari tempat duduknya hendak pergi.

“Kamu mau kemana?” tanya Richard.

“Aku akan mengambil obatmu. Ini sudah waktunya kamu minum obat,” jawab Kimberly yang kemudian pergi untuk mengambil obat di kamar Richard.

Dia menyiapkan obat itu ke dalam mangkuk kecil dan mengambil segelas air untuk dibawa kepada suaminya. Dia kemudian meletakkan obat dan gelas berisi air itu di hadapan Richard. “Minumlah obatnya lalu beristirahatlah, aku yakin kamu kurang tidur karena kantung matamu menggelap.”

Mata Richard menatap obat di hadapannya dalam diam, membuat Kimberly menyiapkan diri untuk kembali mendapatkan kemarahan pria itu karena dia tahu Richard sangat membenci obat yang harus dikonsumsi.

Richard menegakkan kepala menatap Kimberly, membuat jantung wanita itu berdetak kencang. Dalam hati, Kimberly terus merapalkan doa agar dirinya tidak mendapat amukan lagi.

“Kenapa kamu memberikan obatnya padaku?” tanya Richard tanpa ada nada kemarahan dalam suaranya.

“Maksudnya? Bukankah itu obat yang harus kamu minum? Kamu harus meminumnya agar cepat sembuh.”

“Aku tahu aku harus meminumnya, tapi bukankah kamu yang meminumkannya untukku dan memberikannya lewat mulutmu? cari itu sangat unik, aku tidak berharap ada perawat yang memperlakukan pasiennya seperti itu.”

Wajah Kimberly langsung merona merah mengingat terakhir kali dia memberikan obat untuk Richard. Tanpa sadar dia menutup mulutnya dengan wajah yang terus memanas. “itu ... aku ... sebenarnya tidak bermaksud melakukannya.”

Tahu jika Kimberly merasa malu dengan perkataannya, Richard berseringai penuh arti. Tanpa berkata apapun, Richard kemudian mengambil obatnya, memasukkannya ke dalam mulut dalam sekali telan.

Setelah meminum air yang Kimberly sediakan untuk mendorong obatnya masuk ke perut, Richard mendorong kursi rodanya menjauh dari meja makan. “Aku akan tidur, jangan ganggung aku. Jika kamu mau pergi, tulis pesan dan tempelkan di kulkas agar aku tahu kemana kamu pergi.”

Kimberly hanya berdiri membeku, menatap kepergian Richard tanpa menanggapi perkataan pria itu. Bayangan ketika bibirnya menyentuh bibir pria itu, membuatnya menggigit bibirnya. Ada denyut lembut yang terasa di sana. Dia masih mengingat dengan jelas aroma mint dari bibir Richard.

“Astaga, apa yang aku pikirkan?” gumamnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah yang masih terus memanas.

Untuk pertama kali semenjak kedatangannya ke Woodstock, hati Kimberly merasa senang. Sikap Richard membuatnya bisa bernafas lega, meski pria itu tidak menjanjikan hal yang baik apalagi kebahagiaan, tetapi paling tidak pria itu tidak akan dengan sengaja melukainya.

Hari itu dia sengaja tidak keluar dari pekarangan rumahnya karena tidak ingin bertemu dengan Axton. Dia tidak ingin membuat Richard salah paham lagi dan belajar untuk menghormati pria itu sebagai suaminya.

Dia juga meninggalkan catatan ketika pergi ke kebun dan memanen hasil pertanian bersama Timmy sehingga saat sorenya dia pulang, Richard tidak bertanya macam-macam.

“Apa yang kamu panen?” tanya Richard ketika melihatnya pulang.

“Sayuran untuk makan kita besok. Timmy bilang besok akan mengantar ikan segar dari pasar, aku akan membuat ikan panggang dengan salad dari sayuran segar ini,” jawab Kimberly sambil sibuk merapikan sayuran yang dia bawa.

“Kelihatannya enak,” gumam Richard.

“Tentu saja enak. Aku koki yang handal, semua suka dengan masakanku,” kata Kimberly sambil memunggungi Richard karena harus mencuci tangan.

Saat membalikkan badan, dia terlonjak kaget karena Richard ternyata sudah berada tepat di depannya. “Kenapa kamu di sini? beruntung aku tidak menabrakmu,” seru Kimberly.

Tanpa mengatakan apapun, Richard menarik lembut tangan Kimberly yang terluka. “Tanganmu masih sakit, kenapa kamu memaksakan diri untuk ke kebun dan memetik semua sayuran itu.”

Kimberly hanya membeku tanpa bisa berkata apapun. Sikap Richard benar-benar tak bisa dijangkau oleh otaknya. Dia merasa heran ketika melihat Richard mengeluarkan kotak obat yang dibawanya.

“Apa yang akan kamu lakukan dengan kotak obat itu?” tanya Kimberly.

“Perbanmu sudah kotor, sudah waktunya diganti. Aku akan membantumu menggantinya,” jawab Richard.

“Aku bisa menggantinya sendiri,” tolak Kimberly sambil berusaha menarik tangannya, namun Richard tidak membiarkan tangan Kimberly menjauh.

“Kamu tidak akan bisa mengikat perbannya dengan satu tangan. Butuh dua tangan untuk melakukannya.” Richard memberi alasan logis yang tidak bisa dibantah oleh Kimberly.

“Aku bisa meminta tolong Timmy untuk melakukannya,” Kimberly memberi alasan lain untuk menghindar.

“Kenapa jauh-jauh mencari Timmy, ada aku yang bisa membantumu di sini.”

Tak menerima bantahan lagi, Richard pun mulai membuka perban istrinya, membuat nafas Kimberly tercekat. Dia hampir tidak bernafas selama Richard mengobati lukanya dan mengganti perbannya.

Malam harinya, Kimberly terus menatap perban di tangannya. Dia berbaring di atas ranjang yang dingin namun bibirnya tak berhenti tersenyum, teringat bagaimana Richard mengganti perbannya. Dia masih teringat ekspresi serius pria itu yang menunduk berkonsentrasi pada luka dan mengobatinya dengan hati-hati.

Desiran hangat melingkupi harinya, tangannya menyentuh dadanya karena debaran yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Rasa ini sangat menyenangkan,” gumamnya.

Dia memiringkan tubuhnya memunggungi pintu kamar, memeluk tangannya sendiri, lalu memejamkan mata berniat untuk tidur.

Tubuhnya terlonjak kaget dan langsung terduduk ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar. Matanya terbelalak melihat Richard ada di ambang pintu kamar.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Kimberly penuh kewaspadaan.

“Timmy bilang penghangat kamar ini tidak bisa datang cepat karena ada kendala pengiriman. Kamu bisa tidur di kamar bersamaku, di sana jauh lebih hangat.”

“Bersamamu ...?”

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ani Nur
Saya berharap Mas Ricard bisa buka mata buka hati
goodnovel comment avatar
FayzaQila03
uluh2, mas Richard hatinya yg baju kayaknya sdah mulai mencair, hihi
goodnovel comment avatar
mayang wijaya
Wadaww... tanda tanda ni
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status