Share

Istri Tuan Muda yang Tak Sempurna
Istri Tuan Muda yang Tak Sempurna
Penulis: Aphrodite

BAB 1

"Idiot."

Cahaya mengira kalau ia terbiasa mendengarnya rasa sakitnya akan semakin berkurang. Sejak kecil julukan 'bodoh, idiot, tolol' sudah menjadi makanan sehari-harinya. Kekurangannya menjadi bahan ejekan menyenangkan buat orang lain, tapi ternyata ia tetap merasakan tusukan kecil di sudut jantungnya.

"Jangan menyebutku, Idiot, Merlin, aku bukan idiot." Cahaya mulai membersihkan meja dan mengangkut gelas-gelas kotor. Jam kerjanya sebentar lagi habis, itu berarti ia bisa pulang secepatnya.

Dan menjauh dari manager kafe bermulut pedas ini.

Perempuan berambut sebahu dengan mata sebesar kelereng itu tersenyum mengejek. "Kalau bukan idiot kau mau disebut apa? bodoh? atau mungkin si Cacat?"

Cahaya memejamkan mata, berusaha menekan amarah yang tiba-tiba menguasainya. Ia harus bisa bertahan, tidak banyak kafe yang mau mempekerjakan seseorang seperti dirinya. Cahaya mengangkut gelas dan membawanya ke belakang, memutuskan untuk mengabaikan Merlin, tapi ternyata wanita itu belum selesai dengan Cahaya.

"Kenapa seseorang sepertimu bisa bekerja di sini? Kau bahkan tidak bisa membaca petunjuk dengan benar. Kau tahu yang mana lorong sebelah kiri, Cahaya?" ejek Merlin sembari bersedekap dengan sikap menantang.

Cahaya meletakkan gelas yang ia bawa, menatap Merlin dengan tatapan lelahnya. Sekejap, pandangannya menatap telapak tangannya di mana sebuah tato dengan ukuran sangat kecil terlukis di sana.

"Apa sebenarnya masalahmu? Apa aku melakukan kesalahan yang membuatmu seharusnya layak menghinaku?"

Mereka mulai menjadi tontonan beberapa karyawan. Cahaya sudah terbiasa menghadapi orang-orang yang kesulitan menerima kekurangannya. Ia bisa menerimanya, tapi ia tidak pernah bisa mengerti kenapa kekurangannya selalu dijadikan alasan untuk membuatnya terlihat tidak kompeten?

Demi Tuhan! Ia bekerja keras di sini.

"Sebaiknya kau pergi. Hari ini banyak pengunjung kecuali kau mau menggantikanku di sini?"

Merlin melotot. "Kau tahu apa yang paling membuatku jengkel?" bibir tipisnya memutir membentuk cibiran. "Selain fakta bahwa kau sering membuat masalah, kau menggunakan wajahmu untuk membuat orang-orang mengasihanimu."

"Aku tidak melakukan apa pun yang membuatku layak mendapat belas kasihan siapapun! Itu masalahmu bukan masalahku."

Telunjuk Merlin terangkat dan berhenti tepat di depan wajah Cahaya.

"Jangan harap lain kali kau lolos. Sekali lagi ada keluhan mengenai dirimu, aku akan memastikan kau dipecat! Tidak peduli jika pemilik kafe ini tergila-gila padamu."

Merlin melangkah keluar, meninggalkan Cahaya dengan desahan panjangnya. Matanya mengabur, tapi Cahaya dengan cepat menepisnya. Tidak boleh ada air mata, sudah terlalu banyak air mata yang keluar akhir-akhir ini.

"Pesanan nomor 17!" barista yang sedang sibuk menyiapkan minuman berseru dan Cahaya menyambar kesempatan itu untuk menjauh dari Merlin. Ia meraih dan membawanya dengan cepat. Namun, baru beberapa langkah Cahaya tersandung, mengakibatkan ia terjatuh dan berakhir mencium lantai yang keras yang sekarang berwarna hitam pekat.

Terdengar suara tawa dan Cahaya mendongak.

"Upss, kau baik-baik saja?"

Merlin yang berdiri menjulang di depan Cahaya tersenyum mengejek.

"Lihat akibat perbuatanmu! Kau membuat pelanggan marah, Cahaya."

Cahaya mengabaikannya. Ia justru berdiri dan cepat-cepat membungkuk pada pengunjung yang pakaiannya sekarang bernoda karena ketumpahan minuman yang dibawanya.

"Maafkan saya, Mbak, saya akan mengganti minuman Anda.." Suaranya bergetar karena emosi yang mengancam meruntuhkan pertahanannya. Beberapa pengunjung menatap Cahaya dengan sorot mata kasihan.

"Dan sekarang lihat itu? ouh, maaf, kau tidak bisa membaca, kasihan sekali. Mau kubacakan apa yang tertulis di sana?"

Kedua tangan Cahaya terkepal erat di sisinya. Ia bukannya tidak bisa membaca, ia kesulitan membaca. Kenapa orang-orang kesulitan memahami perbedaan itu? Cahaya memang pusing dan selalu mual membaca huruf-huruf yang berbaris panjang berjejer memenuhi halaman kertas, tapi bukan berarti ia tidak bisa membaca. Jika ia benar-benar berusaha amat sangat keras Cahaya bisa membaca apa pun.

"Kenyamanan pengunjung adalah misi kami, membuat mereka nyaman adalah dedikasi kami," Merlin mulai membaca kata-kata yang tertulis di dinding kafe yang selalu dibacakan sebelum kafe dibuka. Cahaya sudah menghapalnya karena selalu mendengar kalimat itu kapanpun ia mendapat giliran pagi.

"Mau kulanjutkan untukmu?" Merlin sepertinya belum puas menyudutkan Cahaya yang sudah pucat pasi.

Cahaya mengabaikan Merlin, sebagai gantinya ia kembali memandang pengunjung yang ketumpahan minuman yang dibawanya. Cahaya membungkuk 90 derajat untuk menunjukkan penyesalannya. Air matanya nyaris tumpah, tapi Cahaya berusaha menekannya sekuat tenaga. Rasanya melelahkan selalu ditatap dengan pandangan kasihan dari orang-orang.

Seolah ia tidak normal.

Seorang ia makhluk asing.

Cahaya berlari ke belakang sebelum pertahanannya runtuh dan ia menangis. Sayangnya begitu ia sendirian air matanya menganak sungai mengaburkan pandangan.

"Merlin membuat ulah lagi?"

Cahaya buru-buru menghapus air matanya. Ia menarik-narik otot wajahnya yang kaku dan memasang senyumnya.

"Hai Flo, tidak, Merlin tidak melakukan yang lebih parah hari ini jadi mestinya semua baik-baik saja," ucapnya menenangkan.

"Dia keterlaluan, kenapa kau tidak mengadukannya saja? Atasan kita pasti tertarik mendengarnya."

Cahaya menggeleng. Ia pernah melakukannya dan justru berakhir buruk. Kali ini ia akan menghadapinya. Siapa yang tahu Merlin akhirnya lelah sendiri dan menyerah mengusiknya?

"Aku baik-baik saja. Kurasa sebaiknya aku pulang karena kau sudah datang."

Flo mengangguk. "Ini."

Cahaya menerima kunci rumah yang diulurkan Flo. Mereka memang tinggal satu rumah dan Flo juga yang mengenalkannya pada pekerjaan ini, membantunya pulih dari duka yang masih menyelimutinya.

"Aku pergi dulu." Cahaya melambaikan tangan setelah mengganti seragamnya dengan pakaian sehari-harinya.

Udara sore membelai wajah Cahaya begitu kakinya menginjak tanah. Senyumnya mengembang saat melihat sinar matahari masih membumbung di langit yang berwarna kemerahan.

Sejenak Cahaya memejamkan matanya.

Tanpa Cahaya sadari seseorang tengah mengamati gerak-geriknya dari dalam mobil hitam tidak jauh dari bar tempatnya bekerja.

"Itu orangnya?" si pria yang duduk di kursi belakang bertanya pada pria yang duduk di kursi kemudi.

"Ya, Tuan."

"Sial! Dia masih sangat muda! Apa yang dipikirkan Kakek tua itu sebenarnya?"

Si pria yang duduk di kursi kemudi diam karena sebenarnya dia juga tidak diharapkan untuk memberikan tanggapan. Ucapan itu hanya bentuk kekesalan.

"Kita kembali sekarang. Aku harus membuat perhitungan dengan kakek tua itu atau aku terpaksa membuat gadis itu menderita."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status