Jonathan bersumpah kalau yang ia temui barusan adalah bocah yang menghibur hari-harinya yang menyedihkan dengan membaca novel-novel roman dan film romantis yang memberikan akhir bahagia penuh cinta dan juga kasih sayang. Sayang sekali, kedua hal itu jauh dari kehidupan Jonathan. Cinta dan kasih sayang mengabur dari dalam hidupnya seiring dengan pengkhianatan yang ia terima dan lihat.
“Bagiamana? Sudah bertemu dengannya?”
Jonathan menatap kakeknya lekat. Di antara semua orang di keluarga mereka kakeknya adalah satu-satunya orang yang ia hormati. Kakeknya banyak mengajarinya hal-hal yang membuatnya mampu bertahan di antara konflik keluarga yang terasa mencekik.
“Dia benar-benar masih lugu. Ini tidak benar, Grandpa.”
Alfred duduk di singgasananya. Mereka berada di ruang kerja Alfred sementara di lantai bawah ada keluarga yang sedang menunggu mereka. Semua keluarga malam ini berkumpul untuk mengumumkan pernikahan Jonathan dan ia tidak akan membiarkan keraguan atau ketidakyakinan tergambar di wajah cucunya.
“Dia akan berubah seiring berjalannya waktu.”
Jonathan menatap kakeknya skeptis. “Kedewasaan tidak ditentukan dari waktu, Grandpa. Gadis itu terlalu banyak melihat dan membaca buku-buku romantis yang menawarkan akhir bahagia,” balasnya getir.
“Dan kau tidak bisa memberikan itu padanya?” sahut Alfred kalem. Saat melihat Jonathan tidak menjawab, Alfred kembali melnjutkan.
“Jonathan, teradang keseimbangan dalam hidup diraih saat ombak menggulung pertahanan yang kau bangun. Siapa yang tahu kalau gadis itu bisa menjadi cahaya dalam hidupmu yang gelap?”
“Manis sekali. Sekarang bukan hanya gadis itu, Grandpa juga rupanya ikut andil dalam membuat novel romantis menjadi laku keras.”
Alfred tertawa. “Sesekali cobalah membacanya. Cinta tidak seburuk itu, Jonathan.”
Jonathan memegang pelipisnya. “Keluarga ini akan melahapnya dengan buas. Grandpa siap untuk itu?”
Persaingan dalam merebutkan kekuasaan telah mengaburkan tali kasih sayang dalam keluarga mereka. Pertikaian yang terus berlanjut menjadi salah satu alasan Jonatahn menjauhi keluarganya bahkan orang tuanya sekalipun.
“Dia memilikimu.”
Jawaban sederhana itu menimbulkan riak di tenggorokannya. Ia tidak siap bertempur dan menjaga siapapun.
“Apa Jonathan tahu untuk apa semua ini? Pernikahan mendesak, pilihan gadis yang harus kunikahi dan kenapa harus aku?” Tatapan matanya melunak saat melihat wajah kakeknya melembut. “Aku berhak tahu setidaknya, Grandpa. Akulah yang dikorbankan di sini.”
“Dia pilihan yang sempurna. Sejak dulu dan sekarang.” Suara kakeknya serak dan Jonathan tahu ada emosi kuat yang berusaha disembunyikan di balik mata segelap malam itu—warna mata yang juga diwariskan padanya.
“Bagaimana jika mengangkatnya jadi anak?” Jonathan belum menyerah. Bayangan pertemuannya dengan gadis itu begitu mengkhawatirkan. Seorang Jonathan akan menikahi bocah. Bukannya memiliki pasangan Jonathan lebih merasa memiliki seorang anak.
“Di usia seperti itu? Tidak, pernikahan satu-satunya cara.”
“Cara? Cara untuk apa, Garandpa?” desak Jonathan. Sejak permintaan pernikahan ini diajukan Jonathan tidak sekalipun mengerti alasanya dibalik perjodohan yang dirancang oleh kakeknya ini.
“Kau akan segera tahu. Sekarang ayo kita ke bawah. Kita harus mengumumkan pernikahanmu. Kurasa malam ini akan jadi malam yang panjang.”
Jonathan bergeming. “Apa perlunya mengumumkan pernikahan ini?”
“Agar mereka tahu gadis itu dilindungi orang yang tepat.”
Pemahaman seketika menguasainya saat mendengar kata dilindungi. Ia menatap punggung kakeknya yang mengecil. Gejolak emosi memenuhi dadanya.
“Jangan bilang semua ini tentang warisan,” ucapnya dingin, datar tanpa emosi, tapi kata-katanya diucapkan seperti memuntahkan racun.
Alfred berhenti. Pegangan pada tongkatnya mulai bergoyang. Berbagai macam emosi menghiasi wajahnya seandainya Jonathan melihatnya.
“Jadi benar,” lanjut Jonathan kaku. “Gadis itu akan ikut dalam misi perebutan harta, bukan begitu, Grandpa?” bisik Jonathan dengan rasa jijik yang tidak disembunyikan.
Alfred berbalik, menatap wajah Jonathan yang kini sekaku batu.
“Bukan, bukan seperti itu. Dia—“
Sekarang kakeknya benar-benar terlihat lebih tua dan juga rapuh. Wajah penuh semangat yang selalu dilihat Jonathan kini mulai meredup. Ia terkadang lupa atau sengaja melupakan kalau kakeknya sudah tua dan sering sakit-sakitan.
“Grandpa tahu sejak dulu, Jonathan tidak suka dengan semua hal ini. Kalau bukan karena paksaan Grandpa…”
“Kau sudah pasti akan meninggalkan bisnis keluarga dan membangun kerajaan bisnismu sendiri,” sambung Alfred, tersenyum. kebanggaan mewarnai suaranya.
Jonathan mengangguk. Ia sudah muak melihat semua keluarganya berebut ingin menguasai yang terbanyak. Sejauh ini ia memegang tampuk kekuasaan meski tidak menginginkannya, tapi Jonathan tahu tidak banyak yang menyukai keputusan kakeknya.
“Jonathan, kau tahu kenapa aku lebih memilihmu daripada orang lain atau bahkan keluarga yang lain untuk memimpin perusahaan?”
Jonathan tidak ingin menjawab karena jauh di dalam hatinya ia tahu jawabannya. Ia hanya terlalu takut mengatakannya. Perasaan itu ada, menggulung-gulungnya dalam pusaran ombak, memberinya kekuatan.
Kepercayaan dan rasa hormat.
Pemahaman itu berputar-putar di antara mereka seperti seutas tali tak kasat mata, menguatkan dan menyatukan yang terputus.
Dengan mata berkaca-kaca Alfred membuka suara. “Sekarang, ayo kita ke bawah dan menghadapi badai yang sebentar lagi akan datang.”
***
“Apa sebenarnya yang terjadi? Merlin marah sekali kalau kau mau tahu.”
Cahaya meringis membayangkan wanita jadi-jadian itu meledak. Entah apa yang akan dilakukan wanita itu besok jika mereka bertemu.
“Aku juga tidak tahu, Flo,” akunya jujur.
“Kau tahu siapa pria itu?”
Cahaya mengangkat bahu. Ia berjalan mengitari meja dapur dan mulai menjarah isi kulkas. “Namanya Alex, hanya itu yang kutahu.”
“Kau tidak tahu dia siapa?”
Cahaya mendongak, terkejut mendengar nada sahabatnya. “Memangnya dia siapa? Orang penting?”
Tidak mengejutkan mengingat pembawaan dan juga pengaruh pria itu.
“Cahaya, dia Jonathan Alexander,” gumam Flo dengan nada seakan mengatakan kalau Cahaya seharusnya tahu hal itu.
“Jonatahn Alexander?” Cahaya mulai meminum cokelat panasnya. “Apa dia artis? Model?”
Flo menepuk keningnya, frustrasi melihat sikap acuh Cahaya.
“Dia pewaris Hardin Group yang kerajaan bisnisnya menyebar menyapu seluruh negeri ini.”
Cahaya tertawa geli. “Jadi benar dia orang kayanya.”
“Orang kaya? Kau tahu kekayaan bersih pria itu? Forbes bahkan memasukkannya dalam jajaran orang terkaya selama 3 tahun berturut-turut. Dia bukan hanya kaya Cahaya, dia seorang milliuner, pria lajang paling diincar.”
Cahaya tersedak minumannya. Lajang? Tentunya pria seperti Alex tidak mungkin benar-benar lajang seperti yang dituturkan pria itu?
“Dia datang ke kafe, menyewanya seharian kemudian membawamu pergi dan kau tidak tahu apa pun tentangnya?”
Cahaya merasa penjabaran temannya terlalu berlebihan. “Dia tidak membawaku pergi, dia memaksaku pergi dan tidak, aku tidak tahu apa pun tentangnya.”
“Apa dia tidak mengatakan apa pun?” tanya Flo curiga.
Banyak, terlalu banyak.
“Apa dia tidak mengatakan apa pun?”
Cahaya mengangkat bahunya, kembali menyesap cokelat panasnya.
“Pria sepertinya tidak seharusnya masuk dalam daftar yang harus kita pikirkan. Sekarang ini aku benar-benar ingin tidur.” Cahaya meletakkan gelasnya kemudian melangkah ke kamarnya.
“Selamat malam, Flo.”
Namun, baru beberapa langkah Cahaya dikagetkan dengan suara deruman mobil yang berhasil menarik perhatian. Beberapa detik kemudian pintu rumah mereka diketuk.
Cahaya dan Flo bertukar pandang.
Seolah diberi aba-aba, mereka berdua berjalan bersamaan menuju pintu dan mengintip dari balik tirai.
Sejumlah mobil hitam dan beberapa orang dengan setelan hitam tampak keluar dari mobil dan berdiri di depan pintu rumah mereka.
Cahaya mengeluarkan suara tercekik, teringat percakapannya dengan pria itu sebelum akhirnya ia memaksa pulang.
Apa mungkin ini benar-benar terjadi?
“Lepaskan Alex, kau menginvasi ruang pribadiku.” Cahaya berusaha melepaskan diri dari suaminya dan untungnya Alex segera melepaskannya.“Jangan bercanda seperti itu lagi.”Cahaya mendengus. “Tidak masalah kalau kau bercanda seperti itu dan menjadi masalah ketika aku yang melakukannya? Kalian kaum pria memang seperti itu kan?”Cahaya mempercepat langkahnya karena tidak ingin berurusan lebih lama dengan Alex.“Cahaya tunggu!”Cahaya menulikan pendengaraannya. Ia masuk ke supermarket, mengabaikan kehadiran Alex yang terus mengekor di belakangnya. Beberapa pengunjung menatap mereka penuh minat, tapi Cahaya tahu mereka bukannya tertarik pada mereka, tapi pada Alex khususnya.“Aku bisa melakukan ini sendiri. sebaiknya kau pulang. Keluargamu pasti mencarimu.”“Aku bukan anak kecil lagi Cahaya dan keluargaku ada di sini.”Cahaya berhenti, ia menoleh pada Alex yang tersenyum menatapnya.“Aku tidak akan pulang.”“Aku akan membawamu meski harus menyeretmu Cahaya. Kau yang pilih jalannya.”Cahaya
Cahaya memandnag Alex dengan tatapan penuh curiga, yakin pria itu tidak menyadarinya karena ruangan yang gelap gulita. Apa yang dia pikirkan? Apa Alex pikir ia akan menyerah hanya karena pria itu datang menjemputnya?“Sebaiknya kau pulang, Alex, orang-orang pasti akan mencarimu.”“Kau mau pergi bersamaku?”“Dalam mimpimu.”Alex bergelung di ranjangnya yang kecil. Jasnya sudah di lepas dan sekarang digunakan sebagai selimut yang hanya bisa menutupi bagian depan tubuhnya. Cahaya melirik selimut miliknya. Ia tidak akan memberikannya tidak peduli jika pria itu kedinginan.“Kalau begitu kita akan di sini.”“Terserah, tapi aku tidak akan kembali.”“Jangan terlalu gegabah membuat keputusan. Siapa yang tahu kalau besok kau berubah pikiran?”Cahaya ikut menyampingkan tubuhnya. Dia berbairng membelakangi Alex. “Jangan terlalu berharap, kalau itu yang kau inginkan sebaiknya kau bersiap-siap kecewa.” Cahaya membalut tubuhnya dengan selimut sampai ujung kepala, tidak peduli jika panas dalam ruanga
Alex menekan bel dengan tidak sabaran, mengabaikan fakta kalau dia datang di malam hari dan orang-orang mungkin sudah mulai tidur.“Ayolah,” keluhnya tidak sabaran. Alex menyapu rambutnya gusar memandang pintu yang tertutup seolah semua penyebab kekacauan yang dialaminya diakibatkan oleh benda mati tersebut.Ketika Alex berniat menekan bel kembali pintu rumah itu akhirnya terbuka. Seorang wanita muncul. Alex mengenalinya sebaga Flo, teman serumah Cahaya sebelum gadis itu menikah dengannya.“Apa Cahaya ada di sini?” tanyanya tanpa basa-basi.Kening Flo mengerut. “Tidak, dia tidak ada di sini. Kenapa dia ada di sini?” tanya Flo balik.Menilik dari penampilannya Alex tahu wanita itu sedang tidur dan mungkin terbangun karena kedatangannya. Jika Cahaya tidak ada di sini, di mana gadis itu berada? Ponselnya masih tetap mati.Alex memejamkan matanya, berusaha menekan amarah yang mengancam akan meledakkannya.“Apa terjadi sesuatu?” tanyanya Flo penuh selidik, ada kecemasan dalam suaranya.“To
Cahaya benci dengan reaksi tubuhnya seolah setiap inci bagian dalam dirinya mengenali Alex. Kapanpun pria itu berada dalam jarak pandangnya, Cahaya selalu merasa getaran aneh memenuhi dadanya hingga membuat darahnya panas. Sebisa mungkin Cahaya mempertahankan pandangannya dengan Alex. Tidak mudah, terutama saat pemilik mata kelam dan wajah rupawan itu memutuskan untuk mempertahankan pandangan.Tidak ingin dirinya berakhir konyol, Cahaya memutuskan kontak di antara mereka dan buru-bur membuat jarak.“Bagaimana kalau kita pergi sekarang?” Cahaya pura-pura sibuk menatap jam tangannya dalam usaha mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana tegang yang berputar-putar di antara mereka.Cahaya bertaruh dalam hati agar tidak memandang Alex karena tahu akibatnya seperti apa, tapi keinginan yang menguasainya seperti api yang membakar kayu sampai habis tak bersisa. Saat ia memandang Alex, pria itu masih tetap memandangnya. Cahaya buru-buru membuang muka.“Kalau kau sibuk sebaiknya aku—““Apa
Alex mengikuti Cahaya lewat tatapan matanya. Apa yang terjadi? Apa yang ia lewatkan? Alex tidak pernah melepaskan pandangannya dari Cahaya saat wanita itu perlahan masuk dengan keanggunan yang membuatnya kagum. Tidak ada lagi hiasan rambut berupa pita dengan warna menarik yang selalu menghiasi kepala Cahaya. Pakaian konservatif yang biasanya menutupi lekuk tubuh Cahaya kini digantikan oleh gaun selutut berwarna nude yang mempertontonkan kulit putih tanpa celanya.Busana berpotongan rendah itu membuat Alex kehilangan kata-kata dan sudah lama sekali ia tidak merasakan hal itu. Alex seperti seseorang yang dipaksa menelan pil paling pahit di dunia hanya untuk menyadari kalau rasanya semanis madu.Siapa bisa menyangka kalau Cahaya bisa tampil seperti sekarang? Elegan dan memesona. Busana itu jatuh membalut tubuh Cahaya seperti kain satin yang lembut dan berkilauan. Pandangannya jatuh pada tungkainya yang jenjang, tungkai panjang yang akan membuat pikiran-pikiran pria berkelana saat melihat
“Katakan kalau kau berbohong?” Flo menatap Cahaya dengan tatapan tidak percaya. Makanan yang sudah setengah jalan menuju mulut kini melayang di udara.“Sayangnya tidak.”Flo berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir.“Aku tidak mengerti. Kenapa?” tanyanya.Cahaya mengangkat bahunya karena ia sama bingungnya dengan sahabatnya. Apalagi yang bisa ia lakukan selian menerima semuanya?“Apa dia normal?”Cahaya membelalak. “Tentu saja!” dengusnya.“Lalu apa masalahnya? Dia normal dan kau juga normal. Hubungan fisik tidak selalu melibatkan perasaan Cahaya. Seks bisa dilakukan hanya karena kalian sama-sama tertarik atau bahkan hanya karena penasaran, jadi kenapa kalian yang bahkan sudah suami istri dan tidur di ranjang yang sama belum melakukan apa pun?”Cahaya mengusap tengkuknya, pertanyaan itu membuatnya rendah diri. Bagaimanapun bisa dikatakan alasan kenapa Alex belum menyentuhnya karena pria itu sama sekali tidak melihatnya sebagai wanita.“Mungkin karena dia benar-benar tidak menganggapku