Share

BAB 6

Cahaya menarik napas panjang, mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya dua kali sebelum akhirnya membuka pintu, mengabaikan tatapan penuh peringatan yang dilemparkan Flo padanya.

“Ada yang bisa dibantu?” tanya Cahaya saat berhadapan dengan seorang pria bersetelan hitam tanpa ekspresi di hadapannya.

Enam orang, batin Cahaya saat menghitung jumlah orang yang datang memenuhi halaman rumah mereka.

“Kami datang untuk menjemput Anda, Nona. Malam ini dan seterusnya Anda akan tinggal di rumah keluarga Hardin.”

Satu alis Cahaya terangkat. Di sampingnya, Flo yang sudah pulih dari kekagetannya kini memandang Cahaya dengan mata membelalak.

“Apa maksudnya itu, Aya?” bisik Flo terkejut.

Cahaya mengabaikannya, ia menatap pria bertubuh besar tersebut dengan jengkel.

“Maaf, tapi ini rumahku dan aku akan tinggal di sini.”

Pria itu mengeluarkan ponsel kemudian melakukan panggilan. Cahaya menunggu saat melihat pria itu bercakap-cakap melalui telepon dengan seseorang yang Cahaya perkirakan sebagai bosnya.

“Tuan ingin bicara dengan Anda, Nona.”

“Aku tidak,” balas Cahaya tegas, menolak ponsel yang diulurkan padanya. “Katakan saja pada tuanmu itu kalau aku tidak akan ikut, tinggal atau apa pun itu ke tempat yang kalian sebutkan. Rumahku di sini dan aku tidak tertarik meninggalkannya.”

Cahaya melotot keras kepala kemudian membanting pintu. Ya ampun! Alex benar-benar serius mengatakan kalau akan ada orang yang datang menjemputnya! Apa pria itu pikir Cahaya akan menurut begitu saja? Semudah itu? Cahaya mendengus.

“Siapa mereka, Cahaya? Apa hubunganmu dengan semua ini? jujur saja kau membuatku takut.”

Cahaya menatap temannya lama. Pergulatan terjadi dalam dirinya. Haruskah dia mengatakan apa yang dikatakan Alex pada Flo? Cahaya menggerakkan kepalanya ke samping. Tidak sekarang. Setidaknya tidak saat Cahaya sendiri meragukan kebenaran dari kata-kata pria itu. Perjodohan?

Kata itu terdengar menakutkan sekaligus asing.

“Aku tidak tahu,” balasnya.

Mata Flo menyipit. “Kau pembohong yang payah, Aya. Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Kau tidak mau cerita?”

Cahaya mengigit bibirnya, merasa bersalah. “Maaf, aku…hanya tidak suka menceritakannya, terlalu rumit, Flo.”

Flo tidak mendesak Cahaya lebih jauh. Matanya melembut. “Baiklah, tapi kalau kau membutuhkanku, aku ada di sini, oke?”

Cahaya tersenyum kemudian memeluk sahabatnya. “Aku tahu. Sebaiknya kita tidur sekarang.”

“Bagaimana dengan sekumpulan pria bersetelan menggelikan itu? Ya ampun, wajah mereka persis robot. Tidak ada emosi.”

Cahaya mengangkat bahunya. “Biarkan saja, merekan akan pergi sendiri. Kita tidak perlu mencemaskan mereka. Setidaknya mereka bukan orang jahatnya.”

Flo mengangguk menyetujui. “Baiklah, kupikir kau benar. Ayo istirahat. Besok masih panjang dan ingat ada Merlin yang perlu kau hadapi.”

Mendengar nama manager kafe itu disebutkan membuat Cahaya memutar bola matanya. Haruskah dia mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan baru sekarang? Sayang sekali karena Cahaya benar-benar menyukai pekerjaannya yang sekarang, terlepas dari sikap Merlin yang luar biasa menyebalkan.

Cahaya berbaring di atas ranjangnya, menatap langit-langit kamarnya. Begitu banyak hal yang terjadi beberapa waktu terakhir hingga Cahaya bahkan tidak punya waktu untuk mencernanya. Dia menoleh ke samping, menatap figura foto yang ada di atas nakas samping tempat tidurnya.

Dan gumpalan itu kembali menghantamnya, meninggalkan rasa pahit di tenggorokannya.

“Cahaya rindu, Nek,” bisiknya serak.

Cahaya sendirian sekarang. Itulah fakta yang paling membuatnya gelisah dan takut. Selama ini Cahaya selalu bersama dengan neneknya, tapi setelah kepergian sosok yang paling penting dalam hidupnya itu terjadi, Cahaya menemukan dirinya kehilangan pegangan.

Tidak ada lagi yang memberinya dorongan semangat.

“Cahaya, kamu harus yakin dengan kemampuanmu, Sayang. Seluruh dunia bisa meremehkanmu tapi saat kamu yakin pada kemampuanmu tidak ada yang bisa menghentikanmu.”

Itu salah satu kata-kaa yang sering diucapkan Neneknya padanya. Sekarang…dia tidak akan pernah mendengar kalimat itu lagi.

Sebutir air sebening kristal jatuh dari sudut matanya. Cahaya mengangkat tangannya untuk menutupi matanya, kemudian mencoba untuk tidur.

Berharap bisa bertemu dengan neneknya yang baru saja pergi untuk selamanya.

***

“Jalang!”

Cahaya masih bisa merasakan panas menjalar di wajahnya karena tamparan yang dilakukan wanita itu dan ternyata itu juga tidak cukup dan sekarang apa? Jalang?  

“Hanya karena pria itu menaruh perhatian padamu jangan harap kalau semuanya akan mudah, Jalang. Aku akan membuat hidupmu menderita karena berani mencuri pria itu dariku.”

Mencuri? Memangnya yang mereka bicarakan ini apa? benda? Uang?

“Dia manusia bukan benda yang bisa diperebutkan seperti seonggok benda tak berharga.” Cahaya selalu membenci orang-orang yang menganggap manusia sebagai barang bukannya manusia yang layak dihargai.

“Kau merayunya.”

Tuduhan itu nyaris membuat Cahaya tertawa. “Dia menyeretku, Merlin, tidak ada rayu merayu di sana. Kalau kau tidak—“

Semua kalimat yang ingin diucapkannnya terlupakan saat Merlin menjambak rambutnya dengan kuat.

“Merlin, lepaskan!” teriak Cahaya kesakitan. Dia berusaha menarik tangan Merlin tapi wanita itu sekuat gajah hingga tenaga yang dikeluarkannya tidak berarti apa-apa.

“Apa dia tahu kalau kau cacat? Idiot yang tidak bisa menghitung angka sederhana?” bisik Merlin kejam ditelinga Cahaya. “Aku penasaran melihat seperti apa reaksinya saat tahu kalau kau hanya wanita bodoh.”

“Lepaskan!” Cahaya menarik paksa tangan Merlin, tapi tenaga wanita itu jauh lebih kuat. “Tidak akan.”

Tarikan di rambut Cahaya semakin menguat hingga membuatnya buta oleh rasa sakit. Kepalanya seperti ditarik paksa. Air mata tanpa bisa dicegah jatuh membasahi wajahnya.

“Setelah Albert kau pikir bisa mendapatkan pria itu bukan? Tapi kau salah karena aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.”

“Kau sinting.”

Tawa Merlin meledak. “Benarkah?” ejeknya.

Cahaya memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa sakit seperti dipukul palu dengan kekuatan penuh yang menyerang kepalanya. Sejak kapan Merlin menjadi sebuas ini? Merlin memang tidak menyukainya, tapi wanita itu tidak pernah melakukan tindakan ekstrem dan kejam seperti sekarang.

“Dengar, Merlin, aku tahu kalau—“

“Lepaskan dia!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status