Cahaya menarik napas panjang, mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya dua kali sebelum akhirnya membuka pintu, mengabaikan tatapan penuh peringatan yang dilemparkan Flo padanya.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya Cahaya saat berhadapan dengan seorang pria bersetelan hitam tanpa ekspresi di hadapannya.
Enam orang, batin Cahaya saat menghitung jumlah orang yang datang memenuhi halaman rumah mereka.
“Kami datang untuk menjemput Anda, Nona. Malam ini dan seterusnya Anda akan tinggal di rumah keluarga Hardin.”
Satu alis Cahaya terangkat. Di sampingnya, Flo yang sudah pulih dari kekagetannya kini memandang Cahaya dengan mata membelalak.
“Apa maksudnya itu, Aya?” bisik Flo terkejut.
Cahaya mengabaikannya, ia menatap pria bertubuh besar tersebut dengan jengkel.
“Maaf, tapi ini rumahku dan aku akan tinggal di sini.”
Pria itu mengeluarkan ponsel kemudian melakukan panggilan. Cahaya menunggu saat melihat pria itu bercakap-cakap melalui telepon dengan seseorang yang Cahaya perkirakan sebagai bosnya.
“Tuan ingin bicara dengan Anda, Nona.”
“Aku tidak,” balas Cahaya tegas, menolak ponsel yang diulurkan padanya. “Katakan saja pada tuanmu itu kalau aku tidak akan ikut, tinggal atau apa pun itu ke tempat yang kalian sebutkan. Rumahku di sini dan aku tidak tertarik meninggalkannya.”
Cahaya melotot keras kepala kemudian membanting pintu. Ya ampun! Alex benar-benar serius mengatakan kalau akan ada orang yang datang menjemputnya! Apa pria itu pikir Cahaya akan menurut begitu saja? Semudah itu? Cahaya mendengus.
“Siapa mereka, Cahaya? Apa hubunganmu dengan semua ini? jujur saja kau membuatku takut.”
Cahaya menatap temannya lama. Pergulatan terjadi dalam dirinya. Haruskah dia mengatakan apa yang dikatakan Alex pada Flo? Cahaya menggerakkan kepalanya ke samping. Tidak sekarang. Setidaknya tidak saat Cahaya sendiri meragukan kebenaran dari kata-kata pria itu. Perjodohan?
Kata itu terdengar menakutkan sekaligus asing.
“Aku tidak tahu,” balasnya.
Mata Flo menyipit. “Kau pembohong yang payah, Aya. Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Kau tidak mau cerita?”
Cahaya mengigit bibirnya, merasa bersalah. “Maaf, aku…hanya tidak suka menceritakannya, terlalu rumit, Flo.”
Flo tidak mendesak Cahaya lebih jauh. Matanya melembut. “Baiklah, tapi kalau kau membutuhkanku, aku ada di sini, oke?”
Cahaya tersenyum kemudian memeluk sahabatnya. “Aku tahu. Sebaiknya kita tidur sekarang.”
“Bagaimana dengan sekumpulan pria bersetelan menggelikan itu? Ya ampun, wajah mereka persis robot. Tidak ada emosi.”
Cahaya mengangkat bahunya. “Biarkan saja, merekan akan pergi sendiri. Kita tidak perlu mencemaskan mereka. Setidaknya mereka bukan orang jahatnya.”
Flo mengangguk menyetujui. “Baiklah, kupikir kau benar. Ayo istirahat. Besok masih panjang dan ingat ada Merlin yang perlu kau hadapi.”
Mendengar nama manager kafe itu disebutkan membuat Cahaya memutar bola matanya. Haruskah dia mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan baru sekarang? Sayang sekali karena Cahaya benar-benar menyukai pekerjaannya yang sekarang, terlepas dari sikap Merlin yang luar biasa menyebalkan.
Cahaya berbaring di atas ranjangnya, menatap langit-langit kamarnya. Begitu banyak hal yang terjadi beberapa waktu terakhir hingga Cahaya bahkan tidak punya waktu untuk mencernanya. Dia menoleh ke samping, menatap figura foto yang ada di atas nakas samping tempat tidurnya.
Dan gumpalan itu kembali menghantamnya, meninggalkan rasa pahit di tenggorokannya.
“Cahaya rindu, Nek,” bisiknya serak.
Cahaya sendirian sekarang. Itulah fakta yang paling membuatnya gelisah dan takut. Selama ini Cahaya selalu bersama dengan neneknya, tapi setelah kepergian sosok yang paling penting dalam hidupnya itu terjadi, Cahaya menemukan dirinya kehilangan pegangan.
Tidak ada lagi yang memberinya dorongan semangat.
“Cahaya, kamu harus yakin dengan kemampuanmu, Sayang. Seluruh dunia bisa meremehkanmu tapi saat kamu yakin pada kemampuanmu tidak ada yang bisa menghentikanmu.”
Itu salah satu kata-kaa yang sering diucapkan Neneknya padanya. Sekarang…dia tidak akan pernah mendengar kalimat itu lagi.
Sebutir air sebening kristal jatuh dari sudut matanya. Cahaya mengangkat tangannya untuk menutupi matanya, kemudian mencoba untuk tidur.
Berharap bisa bertemu dengan neneknya yang baru saja pergi untuk selamanya.
***
“Jalang!”
Cahaya masih bisa merasakan panas menjalar di wajahnya karena tamparan yang dilakukan wanita itu dan ternyata itu juga tidak cukup dan sekarang apa? Jalang?
“Hanya karena pria itu menaruh perhatian padamu jangan harap kalau semuanya akan mudah, Jalang. Aku akan membuat hidupmu menderita karena berani mencuri pria itu dariku.”
Mencuri? Memangnya yang mereka bicarakan ini apa? benda? Uang?
“Dia manusia bukan benda yang bisa diperebutkan seperti seonggok benda tak berharga.” Cahaya selalu membenci orang-orang yang menganggap manusia sebagai barang bukannya manusia yang layak dihargai.
“Kau merayunya.”
Tuduhan itu nyaris membuat Cahaya tertawa. “Dia menyeretku, Merlin, tidak ada rayu merayu di sana. Kalau kau tidak—“
Semua kalimat yang ingin diucapkannnya terlupakan saat Merlin menjambak rambutnya dengan kuat.
“Merlin, lepaskan!” teriak Cahaya kesakitan. Dia berusaha menarik tangan Merlin tapi wanita itu sekuat gajah hingga tenaga yang dikeluarkannya tidak berarti apa-apa.
“Apa dia tahu kalau kau cacat? Idiot yang tidak bisa menghitung angka sederhana?” bisik Merlin kejam ditelinga Cahaya. “Aku penasaran melihat seperti apa reaksinya saat tahu kalau kau hanya wanita bodoh.”
“Lepaskan!” Cahaya menarik paksa tangan Merlin, tapi tenaga wanita itu jauh lebih kuat. “Tidak akan.”
Tarikan di rambut Cahaya semakin menguat hingga membuatnya buta oleh rasa sakit. Kepalanya seperti ditarik paksa. Air mata tanpa bisa dicegah jatuh membasahi wajahnya.
“Setelah Albert kau pikir bisa mendapatkan pria itu bukan? Tapi kau salah karena aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.”
“Kau sinting.”
Tawa Merlin meledak. “Benarkah?” ejeknya.
Cahaya memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa sakit seperti dipukul palu dengan kekuatan penuh yang menyerang kepalanya. Sejak kapan Merlin menjadi sebuas ini? Merlin memang tidak menyukainya, tapi wanita itu tidak pernah melakukan tindakan ekstrem dan kejam seperti sekarang.
“Dengar, Merlin, aku tahu kalau—“
“Lepaskan dia!”
“Lepaskan Alex, kau menginvasi ruang pribadiku.” Cahaya berusaha melepaskan diri dari suaminya dan untungnya Alex segera melepaskannya.“Jangan bercanda seperti itu lagi.”Cahaya mendengus. “Tidak masalah kalau kau bercanda seperti itu dan menjadi masalah ketika aku yang melakukannya? Kalian kaum pria memang seperti itu kan?”Cahaya mempercepat langkahnya karena tidak ingin berurusan lebih lama dengan Alex.“Cahaya tunggu!”Cahaya menulikan pendengaraannya. Ia masuk ke supermarket, mengabaikan kehadiran Alex yang terus mengekor di belakangnya. Beberapa pengunjung menatap mereka penuh minat, tapi Cahaya tahu mereka bukannya tertarik pada mereka, tapi pada Alex khususnya.“Aku bisa melakukan ini sendiri. sebaiknya kau pulang. Keluargamu pasti mencarimu.”“Aku bukan anak kecil lagi Cahaya dan keluargaku ada di sini.”Cahaya berhenti, ia menoleh pada Alex yang tersenyum menatapnya.“Aku tidak akan pulang.”“Aku akan membawamu meski harus menyeretmu Cahaya. Kau yang pilih jalannya.”Cahaya
Cahaya memandnag Alex dengan tatapan penuh curiga, yakin pria itu tidak menyadarinya karena ruangan yang gelap gulita. Apa yang dia pikirkan? Apa Alex pikir ia akan menyerah hanya karena pria itu datang menjemputnya?“Sebaiknya kau pulang, Alex, orang-orang pasti akan mencarimu.”“Kau mau pergi bersamaku?”“Dalam mimpimu.”Alex bergelung di ranjangnya yang kecil. Jasnya sudah di lepas dan sekarang digunakan sebagai selimut yang hanya bisa menutupi bagian depan tubuhnya. Cahaya melirik selimut miliknya. Ia tidak akan memberikannya tidak peduli jika pria itu kedinginan.“Kalau begitu kita akan di sini.”“Terserah, tapi aku tidak akan kembali.”“Jangan terlalu gegabah membuat keputusan. Siapa yang tahu kalau besok kau berubah pikiran?”Cahaya ikut menyampingkan tubuhnya. Dia berbairng membelakangi Alex. “Jangan terlalu berharap, kalau itu yang kau inginkan sebaiknya kau bersiap-siap kecewa.” Cahaya membalut tubuhnya dengan selimut sampai ujung kepala, tidak peduli jika panas dalam ruanga
Alex menekan bel dengan tidak sabaran, mengabaikan fakta kalau dia datang di malam hari dan orang-orang mungkin sudah mulai tidur.“Ayolah,” keluhnya tidak sabaran. Alex menyapu rambutnya gusar memandang pintu yang tertutup seolah semua penyebab kekacauan yang dialaminya diakibatkan oleh benda mati tersebut.Ketika Alex berniat menekan bel kembali pintu rumah itu akhirnya terbuka. Seorang wanita muncul. Alex mengenalinya sebaga Flo, teman serumah Cahaya sebelum gadis itu menikah dengannya.“Apa Cahaya ada di sini?” tanyanya tanpa basa-basi.Kening Flo mengerut. “Tidak, dia tidak ada di sini. Kenapa dia ada di sini?” tanya Flo balik.Menilik dari penampilannya Alex tahu wanita itu sedang tidur dan mungkin terbangun karena kedatangannya. Jika Cahaya tidak ada di sini, di mana gadis itu berada? Ponselnya masih tetap mati.Alex memejamkan matanya, berusaha menekan amarah yang mengancam akan meledakkannya.“Apa terjadi sesuatu?” tanyanya Flo penuh selidik, ada kecemasan dalam suaranya.“To
Cahaya benci dengan reaksi tubuhnya seolah setiap inci bagian dalam dirinya mengenali Alex. Kapanpun pria itu berada dalam jarak pandangnya, Cahaya selalu merasa getaran aneh memenuhi dadanya hingga membuat darahnya panas. Sebisa mungkin Cahaya mempertahankan pandangannya dengan Alex. Tidak mudah, terutama saat pemilik mata kelam dan wajah rupawan itu memutuskan untuk mempertahankan pandangan.Tidak ingin dirinya berakhir konyol, Cahaya memutuskan kontak di antara mereka dan buru-bur membuat jarak.“Bagaimana kalau kita pergi sekarang?” Cahaya pura-pura sibuk menatap jam tangannya dalam usaha mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana tegang yang berputar-putar di antara mereka.Cahaya bertaruh dalam hati agar tidak memandang Alex karena tahu akibatnya seperti apa, tapi keinginan yang menguasainya seperti api yang membakar kayu sampai habis tak bersisa. Saat ia memandang Alex, pria itu masih tetap memandangnya. Cahaya buru-buru membuang muka.“Kalau kau sibuk sebaiknya aku—““Apa
Alex mengikuti Cahaya lewat tatapan matanya. Apa yang terjadi? Apa yang ia lewatkan? Alex tidak pernah melepaskan pandangannya dari Cahaya saat wanita itu perlahan masuk dengan keanggunan yang membuatnya kagum. Tidak ada lagi hiasan rambut berupa pita dengan warna menarik yang selalu menghiasi kepala Cahaya. Pakaian konservatif yang biasanya menutupi lekuk tubuh Cahaya kini digantikan oleh gaun selutut berwarna nude yang mempertontonkan kulit putih tanpa celanya.Busana berpotongan rendah itu membuat Alex kehilangan kata-kata dan sudah lama sekali ia tidak merasakan hal itu. Alex seperti seseorang yang dipaksa menelan pil paling pahit di dunia hanya untuk menyadari kalau rasanya semanis madu.Siapa bisa menyangka kalau Cahaya bisa tampil seperti sekarang? Elegan dan memesona. Busana itu jatuh membalut tubuh Cahaya seperti kain satin yang lembut dan berkilauan. Pandangannya jatuh pada tungkainya yang jenjang, tungkai panjang yang akan membuat pikiran-pikiran pria berkelana saat melihat
“Katakan kalau kau berbohong?” Flo menatap Cahaya dengan tatapan tidak percaya. Makanan yang sudah setengah jalan menuju mulut kini melayang di udara.“Sayangnya tidak.”Flo berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir.“Aku tidak mengerti. Kenapa?” tanyanya.Cahaya mengangkat bahunya karena ia sama bingungnya dengan sahabatnya. Apalagi yang bisa ia lakukan selian menerima semuanya?“Apa dia normal?”Cahaya membelalak. “Tentu saja!” dengusnya.“Lalu apa masalahnya? Dia normal dan kau juga normal. Hubungan fisik tidak selalu melibatkan perasaan Cahaya. Seks bisa dilakukan hanya karena kalian sama-sama tertarik atau bahkan hanya karena penasaran, jadi kenapa kalian yang bahkan sudah suami istri dan tidur di ranjang yang sama belum melakukan apa pun?”Cahaya mengusap tengkuknya, pertanyaan itu membuatnya rendah diri. Bagaimanapun bisa dikatakan alasan kenapa Alex belum menyentuhnya karena pria itu sama sekali tidak melihatnya sebagai wanita.“Mungkin karena dia benar-benar tidak menganggapku