Mobil mewah Damar melesat cepat. Ia menaikkan beberapa kali tingkat kecepatan agar lekas sampai ditempat tujuan.
Sudut bibir yang terangkat tak sedikit pun turun. Ia merasa hari ini, ia harus merayakannya. "Asisten Lian ... Aku akan berikan hadiah besar untukmu! Pekerjaanmu tidak pernah mengecewakanku!" Dua manik mata Damar hanya fokus depan saja. Terkadang sedikit kesal karena beberapa kali melewati jalanan ia terjebak macet, namun tidak berlangsung lama. Ia menggebrak dasbornya merasa tak sabar. "Sungguh jalanan pusat kota tidak pernah ada sepinya! Andai aku jadi Presiden, aku sudah buat lima cabang jalan agar kemacetan kota bisa teratasi. Nyatanya aku hanya seorang Presiden Direktur saja." Bola mata Damar melirik ke kaca spion di atas kepala. Terlihat di sana separuh wajah Damar. Ia sedikit memperjelas dengan menggerakkan wajahnya. Menunduk untuk bisa menjangkau penglihatan pada rambutnya. "Sedikit berantakan! Tapi aku tetap pria paling tampan sejagad raya! Tidak ada satu wanita pun menolak ku," pujinya pada dirinya sendiri. Setelah ia menyisir rambut atas dengan jari-jarinya. Kembali ia fokus menyetir. Dalam waktu lebih dari lima belas menit, akhirnya kuda bermesin Damar telah sampai di tempat yang di tentukan Asisten Lian. Damar kembali melirik kaca spionnya, memastikan tidak ada minus di wajah atau rambutnya. "Maximal!" ucapnya sendiri. Ia keluar dengan merapatkan jasnya. Berjalan tegap dengan langkah panjang memasuki cafe romantis. Asisten Lian telah memesan nomor mejanya. Letaknya di lantai atas. Ia mencari tempat yang nyaman dan sepi. Begitulah kriteria Damar yang di ingat Asisten Lian. "Tuan Damar?" Terdengar dan terlihat Lian melambai dari kejauhan. "Dadar tidak memiliki sopan santun! Aku akan potong gajimu, Lian!! Bisa-bisanya di hadapannya Hanna kau tidak memiliki etika!!" Gegas Damar menunju ke sana. Jantungnya berdegup kencang, tak sabar Bertemu dan menceritakan banyak hal pada Hanna. Dari penglihatannya, wanita itu terlihat punggungnya. Ia duduk membelakangi. Hingga Damar makin merasa canggung. Tak pernah seperti ini sebelumnya Kakinya berhenti melangkah setelah ia berdiri disampingnya. Lantas ia menyapa, "Benarkah kau, Hanna?" Wanita itu menoleh perlahan, hingga wajahnya terlihat jelas. Wanita dengan gaun berwarna hitam dengan rambut panjang tergerai. Ia berdiri dan menjulurkan tangannya ke arah Damar seraya mengulas senyum. Sungguh parasnya lebih cantik dari pada dulu, kali ini lebih terawat. Begitulah pikir Damar. Manik mata Damar memperhatikan gelang hitam yang dipakainya. Matanya berbinar. Ia tak mungkin salah. Wanita itu memiliki gelang yang sama persis dengannya. Tidak salah lagi. "Damar?" panggilnya lirih. Panggilan itu terdengar asing di telinganya. Bukankah dulu sewaktu kecil, ia memanggilnya Amar? Bagaimana bisa sekarang berubah Damar? "Kau bukan Hanna!" ucap Damar panik. Asisten Lian terkejut mendengarkan reaksi Tuannya. "Tuan? Apa yang Tuan katakan?" tanya Lian. Damar hanya menggeleng kepala, ada sedikit keraguan didalam hatinya. 'Kenapa wanita ini tidak memiliki kemiripan dengan Hanna ku?' batinnya penuh pertanyaan. "Tuan, tolong jangan mengatakan apapun yang membuat Nona Hanna sedih. Tanyakan padanya selama dua belas tahun, ia juga mencari Anda. Tak sedikitpun ia putus asa demi menemukan Anda." Asisten Lian tak hentinya mempengaruhi Damar agar ia percaya jika wanita yang berada di hadapan mereka adalah Hanna. "Maafkan aku Damar, setelah kecelakaan itu, aku hampir kehilangan ingatanku tentang semua masalalu ku. Tapi percayalah, bayangan-bayangan masa kecil kita masih sering lalu lalang dalam pikiran ini." Wanita itu duduk pasrah di kursi. Dan kembali bercerita, "Orang tua asuhku membawaku ke kota yang jauh. Hingga aku benar-benar hampir gila tidak bisa menemukan kamu kembali. Dua bulan ini aku datang ke kota ini, dengan memakai gelang pemberianmu. Aku berharap kau dapat mengenaliku dengan melihat barang pemberianmu yang ku jaga selama ini. Namun nyatanya, aku salah. Kau melupakanku, Damar!" Sedikit mempertegas ucapannya, hingga ia kembali berdiri dan menggerakkan kakinya berniat pergi meninggalkan tempat itu karena kecewa. Saat wanita bergaun hitam itu melangkahkan kakinya beberapa langkah, Damar segera menarik pergelangan tangannya, lalu memeluknya erat. Ia menumpahkan kerinduannya selama ini. "Hanna, kumohon jangan tinggalkan aku lagi," bisiknya lirih. Tanpa diketahui Damar, Asisten Lian dan wanita itu tersenyum penuh kemenangan. “Damar?” suaranya lembut, nyaris seperti bisikan yang menyentuh kalbu. "Ya?" balas Damar dalam pelukan mereka yang belum terlepas. Danar tak perduli dengan asisten Lian yang berada di sana melihat mereka seperti itu. "Aku Hanna. Apakah sekarang kau percaya?" "Ya, Hanna. Aku percaya. Kau adalah wanita masa laluku. Terima kasih kau telah menyelamatkan hidup ku saat itu. Hingga kau mengorbankan dirimu sendiri." Damar merenggangkan pelukannya hingga ia dapat memperhatikan kembali wajah Hanna yang cantik. “Hanna?” Mata Damar membesar, tak percaya dengan penglihatannya. Bibirnya terkatup sejenak, seolah kehilangan kata-kata, namun senyum perlahan mengembang di wajahnya. “Ini benar-benar kamu?” Hanna tertawa kecil, suara itu seperti melodi yang pernah dia ingat, menggema dalam ingatannya. “Ya, ini aku. Setelah dua belas tahun, kamu masih bisa mengenaliku?” Damar tertawa, canggung namun penuh kehangatan. “Bagaimana mungkin aku lupa? Kamu… kamu adalah bagian terindah dari masa kecilku.” Damar tersipu, wajahnya memerah diterpa cahaya redup lampu tempat itu. “Aku juga, Damar. Setiap hari aku selalu teringat akan kita, saat berlari di bawah pohon mangga itu, menangkap kupu-kupu, atau sekadar duduk di pinggir danau." 'Apa yang dia katakan? Berlari dibawah pohon mangga? Aku tidak pernah melakukan itu bersamanya?? Ah ... Sudahlah, bukankah dia sudah katakan jika ia pernah mengalami cedera di otaknya?' Damar memandangnya, penuh kekaguman. “Aku pikir kita takkan bertemu lagi, Hanna. Dunia ini terlalu luas, dan kita terpisah oleh waktu yang begitu lama.” “Tapi takdir punya cara yang aneh, ya?” jawab Hanna sambil tersenyum lembut. “Kita akhirnya bisa bertemu lagi.” Damar mengangguk, masih merasa seakan ini semua mimpi. “Kamu berubah, tapi ada sesuatu yang tetap sama. Semangatmu, caramu tersenyum…” Hanna menatapnya, kali ini lebih dalam. “Dan kamu, Damar. Kamu juga masih sama. Meski tumbuh dewasa, di dalamnya aku melihat bocah kecil yang dulu selalu membuatku tertawa.” Sejenak mereka terdiam, namun tak ada kecanggungan, hanya ada kebahagiaan yang merambat pelan, memenuhi hati mereka. Tak ada yang perlu dijelaskan dengan kata-kata. Pertemuan ini, seolah menjadi jawaban atas kerinduan yang terpendam selama dua belas tahun. "Asisten Lian, apakah kamu lupa untuk memesan makanan istimewa kami?" "Ah, maaf Tuan." Asisten Lian memanggil pramusaji untuk memesannya. "Hanna, kau masih ingat tidak, apa makanan kesukaan ku saat kecil dulu?" Hanna tampak pucat. 'Bagaimana ini? Aku tidak tahu makanan favorit Damar! Dasar Lian b0d0h! Hal sebesar itu lupa memberitahukannya padaku!!'Cepat ia merogoh saku mengambil gawai pintarnya. Menghubungi pihak berwajib. Terlihat Delia duduk berjongkok memegangi kaki Damar. "Tolong jangan penjarakan aku," pintanya dengan memasang wajah menyedihkan. Ia sudah tidak dapat melanjutkan drama itu karena Damar sudah membuka kedoknya. Dengan satu kakinya ia menendang tubuh Delia hingga tersungkur. Ia meraih gelang hitam ditangannya, menariknya paksa. "Aku tidak mau mendengar apapun lagi dari mulutmu!! Kau sudah menunjukkan betapa dirimu sangat menjijikkan!!""Cukup Damar, cukup!!" serunya masih tidak terima atas umpatan Damar padanya. Tubuhnya gemetaran karena ia tak siap untuk dipenjarakan."Ternyata selama ini, kalian bersekongkol untuk menipuku!! Lian telah menyuruhmu menjadi Hanna. Dan kau membuat sandiwara yang sangat hebat, wanita penipu!! Aku sangat bodoh telah mempercayaimu. Malah aku sudah menyia-nyiakannya cinta tulus Anna untukku, harusnya aku dari awal percaya pada Anna. Saat ini aku sadar, jika Lian berusaha membunvh
"Sudahlah Kakek ... Kakek terlalu mengkhawatirkan Anna. Damar yang menyuruh Anna memasak! Biar dia ada gunanya di rumah ini!"Kemarahan kakek yang sudah diambang batas akhirnya meledak. Ia melempar piring ke lantai hingga pecah berkeping-keping."Kamu sudah keterlaluan!! Dasar cucu bodoh!! Sampai kapan kau buta!! Kamu tak bisa melihat wanita didepan kau ini siapa??!" Kakek ingin membongkar rahasia Anna sekarang. Rasanya ia tak sanggup melihat penindasan Damar pada Anna. Anna yang mengerti jika Kakek akan membongkar rahasianya itu menggeleng kepala. Sebagai isyarat, 'Jangan katakan pada Damar sekarang.'Tanpa Damar tahu, Anna memohon untuk tidak mengatakannya. Kakek yang melihat wajah Anna penuh permohonan itu pun menggeleng. 'Maaf Nona Anna. Kali ini Kakek akan mengatakan semuanya pada Damar.' Seketika Anna menunduk lemas."Maksud Kakek apa?? Apa kakek juga ingin menjelaskan jika Anna adalah Hanna? Begitukah?" tanya Damar dengan emosi tersulut."Tuan Damar, alangkah baiknya jika na
Sebuah tamparan mendarat di pipi Damar. "Cucu kurang ajar!!" umpatnya. "Kakek tidak mendidik mu untuk melukai hati wanita yang baik seperti Nona Anna."Manik mata Damar sedikit melebar, sembari memegangi pipinya karena panas. "Bisa-bisanya kakek membela Anna!" bantah Damar."Ya karena kamu adalah cucu kurang ajar!! Kamu bicara seolah tak punya otak. Mudah sekali mengatakan perceraian! Memang kau pikir pernikahan adalah sebuah mainan?? Kakek sudah mempertemukan kau denhan Nona Anna. Wanita yang tulus." Rasanya Kakek geram melihat cucunya."Kakek telah diperdaya oleh wanita hina itu!!" ucap Damar dengan menunjuk ke arah Anna berdiri."Diam kau Damar!!"Kakek Wijaya menatap tajam ke arah Delia. Menumpahkan kemarahannya yang tertahan. "Dan kau!! Aku muak melihat wanita sepertimu! Lekas kau angkat kaki dari rumah ini!! Wanita penuh dengan kemunafikan!! Pembohong!!" cemooh kakek. Damar yang mendengarnya tak terima. "Cukup Kakek! Hentikan ucapan Kakek!! Dari dulu sampai sekarang kakek tida
Siang itu, matahari menggantung malas di langit yang sedikit berawan. Setelah melewati masa krisis dan perawatan intensif, Anna akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter. Meski tubuhnya masih lemah, senyum hangat tetap menghiasi wajahnya yang pucat. Di sisinya, Damar berjalan pelan, membawa tas kecil berisi obat dan perlengkapan pribadi Anna.Karena Damar pun harus kembali ke rutinitas kerjanya di kantor, beberapa hari ia terpaksa absen, demi menuruti perintah kakeknya menjaga Anna. Ada dokter juga yang akan memeriksanya, memantau perkembangan keadaan Anna setiap harinya.Damar tanpa Lian bekerja lebih berat, ia turun dari mobilnya membuka pintu untuk istrinya. Bukan tanpa alasan, ini atas dasar perintah sang kakek."Turun, tak usah manja!" celotehnya. Anna turun dengan perlahan-lahan. Mobil kakek yang menyusul dari belakang pun berhenti tepat disamping mobil Damar.Ia dengan bantuan supir segera turun, melihat perlakuan Damar pada Anna, ia pun berteriak. "Damar!! Papah istrimu! Kea
Ruangan rumah sakit dipenuhi ketegangan. Suara detak jam di dinding terdengar jelas, seakan menghitung waktu. Di ranjang mayat, Mira, perawat yang sebelumnya dibius oleh Lian, kini telah sadar. Wajahnya masih pucat. Ia menekan kepalanya pusing. Matanya mengedar ke sekelilingnya, banyak orang dalam ruangan itu. Dokter kembali bertanya, "Perawat Mira, coba ceritakan pada Pak Damar, apa yang sebenarnya terjadi terhadapmu?" Ini adalah kesempatan terbaik untuk mengatakan pada Damar. Karena posisi Lian sudah terpojok. Ia menceritakan semua, tentang kejahatan Asisten Lian, ia telah membiusnya, karena perawat Mira mengetahui jika suntikan yang berisi cairan racun itu adalah milik Lian. "Tuan Damar, suntikan racun itu adalah milik asisten Anda. Pria itu berusaha membunuh istri Anda!" serunya, menatap langsung ke arah Damar dan petugas keamanan yang mengelilingi ruangan. Tidak tinggal diam, Lian segera membela diri. "Bohong, dia berkata bohong, Tuan percayalah pada saya. Saya telah
Malam itu, rumah sakit terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya sesekali terdengar suara langkah kaki para perawat yang bergantian berjaga. Di koridor yang temaram, perawat Mira—wanita yang sebelumnya bertugas menangani hasil laboratorium Anna—melangkah dengan perasaan waspada.Entah kenapa, sejak tadi ia merasa ada seseorang yang mengikutinya. Ia menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Namun, perasaan tidak nyaman itu semakin kuat. Kali ini memang ia harus lebih berhati-hati, karena ia telah mengetahui satu hal dan ia harus segera memberitahukan pada Damar akan perbuatan asistennya yang tidak ia ketahui."Seharusnya aku tidak melewati lorong sepi ini. Aku merasa takut sendri. Takut jika pria itu akan berbuat sesuatu yang membuatku celaka. Semoga Tuhan menyelamatkan nyawaku." Dengan sedikit mempercepat langkahnya, ia menuju ruang arsip, tempat ia harus menyerahkan beberapa laporan terakhir sebelum pulang.Di tikungan lorong yang sepi, bayangan hitam muncul dari balik pilar. Sebelu