Jam menunjukkan pukul lima sore. Ia terpaksa menambah jam kerjanya karena pekerjaan itu belum selesai. Ia harus menyelesaikan pekerjaan ini. Anna menatap layar komputernya sampai matanya memerah.
Ia berdiri sejenak, melepaskan otot yang sudah kaku seharian duduk di kursi putarnya. Berjalan menuju jendela. Melihat keluar, terlihat lampu-lampu kota Jakarta bersinar, namun beberapa saat kemudian hujan deras turun, menciptakan suasana yang semakin menambah berat beban di pundaknya. Beberapa saat berlalu, ia kembali menduduki kursinya. Anna telah menghabiskan berjam-jam mengerjakan laporan itu. Beberapa kali ia mengecek ulang hasilnya. Kini, dia yakin bahwa setiap detail telah sesuai dengan standar yang diharapkan. Anna akhirnya memutuskan untuk mengirimkan laporan yang telah dikerjakannya ke email Damar. Setelah menekan tombol "Kirim," dia duduk sejenak, merasakan kelelahan dan stres yang melanda tubuhnya. Namun, rasa lega juga mengalir dalam dirinya karena dia merasa telah memberikan yang terbaik. Sejenak ia menyandarkan tubuhnya di dinding kursi. Tanpa sengaja ia pun tertidur. Suasana damai tidak bertahan lama untuknya. Pintu ruang kantornya terbuka dengan kasar. Anna terkejut melihat Damar Wijaya berdiri di sampingnya. Terasa sakit sekali ia menarik bahunya, ekspresinya kaku dan penuh kemarahan. "Anna!" Wanita itu berdiri terburu-buru dari kursinya, berusaha menenangkan diri. "Tuan Damar, saya sudah memperbaiki laporan sesuai dengan arahan Anda. Saya baru saja mengirimkan hasilnya ke email Anda" "Aku sudah melihatnya. Kamu pikir pekerjaan kamu sudah benar?" Damar menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan email Anna. "Laporan ini masih jauh dari yang aku inginkan. Masih ada kekurangan di bagian analisis pasar dan proyeksi keuangan." Terasa seluruh tubuh Anna gemetar. "Tapi saya sudah memperbaiki semua yang Bapak sebutkan sebelumnya. Apakah ada yang masih belum sesuai?" Anna masih konsentrasi melihat gerak bibir Damar. Damar menghela napas panjang. "Masih banyak hal yang harus kamu perbaiki. Ini tidak bisa diterima. Kamu harusnya bisa melakukan lebih baik dari ini." Rasa frustrasi Anna memuncak, namun dia mencoba untuk tetap tenang. "Tuan Damar, saya sudah berusaha keras dan menambah ja kerja untuk memperbaiki laporan ini. Mohon berikan saya kesempatan untuk memperbaikinya lebih lanjut." Damar memandang Anna dengan tatapan tajam. "Kamu memang menunjukkan dedikasi, tapi dedikasi saja tidak cukup. Yang aku butuhkan adalah hasil yang sempurna. Kamu seharusnya tahu itu!!!" Anna merasa keputusasaan merayapi hatinya. "Baik, saya akan memperbaikinya esok hari, Tuan. Malam ini saya harus membeli ulang alat bantu pendengaran yang baru," jelasnya. Hati Damar sedikit melandai. "Baiklah. TERSERAH!! Jam sembilan pagi, hasilnya bawa ke ruanganku!" Anna menarik bibirnya berat. Ia mengangguk patuh. Damar pun mengizinkannya pulang. Anna berjalan keluar menunggu taksi online yang lewat. Hujan pun sudah reda. Hanya tersisa titik air yang jatuh berselang. Bug! Sebuah pukulan mengenai tubuhnya, ia terhuyung dan jatuh. Seseorang mengenakan menutup kepala, menarik tangannya kuat. Ia merampas gelang hitam yang di pakai Anna. Meski sekuat tenaga ia berusaha merebut kembali gelang itu, ia tak bisa melawan tenaga orang itu begitu kuat. "Kembalikan gelang itu!!" Tidak ada jawaban darinya, setelah gelang berada di tangannya. Ia pun berlari. Anna tak bisa mengejarnya. "Penjahat bodoh!! Meski kau jual pun itu tidak ada harganya!! Aku akan tukar dengan perhiasanku!!! Tolong kembalikan gelang itu!!" Teriakan Anna tidak didengarnya. Anna pun pasrah. Jika ia tidak mungkin bertemu dengan Amar nya. "Amar, maafkan aku tidak bisa menjaga pemberianmu!" Anna menundukkan kepala lemas. Setelah melihat sebuah taksi lewat ia pun menaikinya, dengan tujuan pertokoan dipusat kota. .... Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. "Tuan Damar, ini adalah hasil revisi pekerjaan saya kemarin. Mohon Anda periksa dan tandatangani," ucap Anna. Setelah ia masuk dengan menyerahkan berkas yang telah digarap. Damar melihat alat bantu pendengaran telah terpasang di telinganya. Ia tidak perlu susah payah menunjukkan lekuk bibirnya untuk memperjelas kalimat yang diucapkannya. Damar meraih berkasnya dan mulai membuka hasilnya dari lembar pertama. Manik matanya seakan menunjukkan suatu apresiasi atas pekerjaan Anna. Tapi mungkin ia enggan mengungkapkan. "Kamu boleh pergi!!" Setelah mengatakan itu, ia mengibaskan tangan, mengusir Anna layaknya nyamuk. Anna pun menurut saja. Saat punggung Anna tak lagi terlihat, tanpa sadar ia mengulas senyumnya. "Pekerjaan wanita itu sangat memuaskan! Tidak pernah aku mendapatkan sekretaris dengan pola pikir kuas sepertinya. Tapi sayangnya, aku sangat membencinya!" Dering ponsel Damar berbunyi. Segera ia meraih untuk menerima panggilannya. "Asisten Lian." [Katakan urusanmu, cepat!] titah Damar, tidak pernah menunjukkan kelembutan. [Tuan Damar, apakah Anda saat ini memiliki waktu bertemu gadis masa lalu, Tuan?] terdengar suara Asisten Lian dari seberang telpon. Damar mengembangkan senyumnya. Ia berdiri karena tidak sabar. [Tentu aku mempunyai banyak waktu untuk menemuinya. Bahkan seluruh waktuku hanya untuk wanita itu! Atur waktu dan tempatnya segera beritahu aku!!] [Baik, Tuan.] Setelah panggilan telpon berakhir, ia meraih jas yang tergantung di kursinya. Lekas ia pakai dan berlari keluar. Sepanjang koridor, ia tak bisa mengontrol diri saking bahagianya. Hingga senyumnya tanpa disadari ditunjukkan pada pegawai yang dilewatinya. Banyak pegawai wanita hampir jatuh pingsan melihat senyum Bosnya. Mereka tidak pernah menjumpai pria itu memasang wajah lembutnya, kali ini mereka seperti tersihir oleh pesona Damar. "Tolong tampar pipiku, apa aku sedang bermimpi melihat Pak Sabar tersenyum!" ucap salah satu pegawai. Plak!! "Aduh sakit! Kok di tampar beneran sih!!" "Lah, kamu sendiri minta di tampar, aku tak salah dong!""Hanna, apa yang terjadi terhadapmu? Bagaimana bisa kamu pingsan?" Damar mengelus pipi Delia penuh kecemasan."Maaf Damar, membuatmu khawatir. Aku hanya telat makan, tubuhku gemetar dan aku sudah biasa seperti ini jika memikirkan suatu hal."Damar mengecup kening Hanna pelan. "Maafkan aku, Hanna. Karena Anna, aku harus mengabaikan mu. Sudah yang terpenting kamu sehat dulu. Kamu jangan mikir apapun tentang aku dan Anna, ya? Aku tak ingin terjadi sesuatu terhadapmu." Sementara Assisten Lian ingin menghajar Damar, karena ia berani mencium kekasihnya. Ia hanya bisa mengumpat dalam hati. 'Majikan tak tahu malu! Beraninya dia mencium Delia! Dia pikir dia siapa! Lama-lama aku kesal sekali melihat pemandangan panas ini!'Damar baru ingat, ia semula memerintahkan Lian untuk mencari tahu pelaku yang membuat Anna celaka. "Kerjakan apa ya g kuperintahkan padamu sebelumnya!!"Lian mengangguk, sadar. "Ya, Tuan. Maaf saya tadi panik, hingga tidak konsentrasi dengan pekerjaan saya. Baik, saya permis
'Wanita itu lebih baik mati, daripada menjadi penghambat rencanaku!'Karena Lian mengemukakan kendaraan dalam lanjutan maximal, kuda bermesin milik Damar tersebut telah sampai di rumah sakit swasta terdekat.Damar sendiri yang membawa tubuh Anna masuk melewati pintu utama rumah sakit, sembari berteriak keras, "Dokter! Tolong istri saya!" Lian dan Delia saling pandang. Mengerutkan alis, lalu mengangkat salah satu sudut bibirnya. Mereka mentertawakan Damar yang menyebut Anna istrinya. Secara tidak sengaja Damar telah mengakui jika didalam hatinya ada nama Anna."Cepat dokter!!" Kembali mereka dikejutkan suara Damar.Beberapa perawat pria mendorong tubuh Anna di atas ranjang dorong pasien menuju UGD. "Kalian tunggu diluar!! Biarkan kami menangani pasien! Urus administrasi agar penanganan dilakukan dipercepat!" Salah satu dari pria berseragam putih tersebut mengingatkan.Dengan cepat Damar meriah kerah bajunya, menunjukkan deretan giginya yang putih, "Cepat tangani istriku! Jangan ingat
Delia bingung apa yang ingin dijawabnya. Sedangkan ia tak mendengar pria itu mengatakan apa."Hanna ... Sepertinya kamu sangat merindukan tempat ini. Hingga kamu tidak dengar perkataanku."Hanna tersenyum. "Ya, Damar. Banyak kenangan di sini." Tidak berani bicara banyak-banyak takut Damar bertanya macam-macam.Beberapa kali ia bertanya lewat ponselnya pada Asisten Lian, ia tidak ingin salah dalam menjawab. Ia mengetik cepat dalam pesan chat. [Ini rumah siapa, Sayang?]Lian pun lekas membalas. [Rumah Damar, Sayang.]Damar hanya melihat Hanna sepintas. Ia membebaskan dia bermain dengan gawainya. Ia pun tidak curiga dengan mereka.Damar pun berjalan melihat-lihat kondisi ruangan yang tidak terawat itu. Tanpa sadar ia menginjak sesuatu. Melihat ke bawah sebuah pigura yang dijatuhkan Anna tadi.Gegas ia membungkuk untuk mengambil. 'Foto ini terjatuh di lantai. Dan kacanya bersih dari debu. Aneh sekali.' pikir Damar.Menepis semua praduga. Senyum terbit di sudut ditunjukan di bibirnya. Ia
Damar segera memeluk tubuh Delia erat. "Jangan katakan apapun lagi, aku sudah katakan. Tidak terjadi apapun di dalam kamar mandi itu, Hanna. Percayalah."***Pagi itu ..."Tuan Damar, hari ini aku minta izin untuk keluar. Aku sangat merindukan tempat tinggal ku dulu. " Anna berdiri dengan takut—meminta izin pada Damar yang kala itu sedang menyeruput kopi di depan rumah. Tidak sedetikpun ia menengok Anna disampingnya."Tuan ... Apa saya mohon berikan saya izin."Karena risih Damar menoleh cepat. Tangannya yang Kokok dan kekar menggebrak meja. Hingga cangkir berisi kopi yang tinggal separuh itu tumpah."Aku tidak perduli, kamu mau pergi ke manapun! Pergi saja sesuka hatimu, wanita hina!" umpatnya. Setelah itu ia berdiri meninggalkan Anna seorang diri.Karena Damar telah menjawab demikian, ia pun pergi. Anna mengayunkan kakinya pergi, sampai di pintu gerbang, Anna berpapasan dengan Asisten Lian. Pria itu menghentikan mobilnya, dan keluar menghampiri Anna."Maaf Nyonya, saya menghalangi p
Sore itu, Anna yang baru selesai mandi di kamar tamunya merasa panik. Keran air tiba-tiba berhenti mengalir saat ia masih penuh dengan busa sabun. Matanya perih karena busa yang masuk ke dalamnya, dan dalam kebingungan, ia meraba-raba keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuhnya.Anna dalam hati, panik. "Aduh, kenapa airnya mati sih sekarang?! Aduh, mataku... Pedih! Bibi! Bibi! Tolong!"Sambil meraba-raba dengan satu tangan, yang lain mengusap-usap matanya yang perih, ia berhasil menangkap lengan seseorang yang ia kira adalah asisten rumah tangga. Tanpa berpikir panjang, Anna langsung ditarik olehnya.Anna berjalan penuh kehati-hatian. Ia mengira seseorang yang berada di hadapannya itu adalah asisten rumah tangga yang akan membantunya. Tapi ..."Bik. Antarkan aku ke kamar mandi kamu Bik! Kran dikamar mandi ku tidak keluar. Cepat Bik, tuntun aku. Mataku pedih sekali. Aku malu jika Tuan Damar nanti melihatku seperti ini, aku takut jika dia berpikir macam-macam terhadapku,
Delia mendekati Anna dan bertanya, "Aku tidak akan membiarkan Damar meninggalkan kamu, Ann."Anna tersenyum tanpa sepengatahuan nya. 'Dasar pembohong besar kau. Bilang saja saat ini kau tengah ketakutan, jika kedokmu Terbongkar!' batin Anna."Sudahlah. Banyak asisten rumah tangga yang akan menemani dia. Lagian, aku tidak ingin melihatnya bermanja-manja di kediaman ku. Aku bisa tegaskan padanya, jika dia bukan siapa-siapaku? Dia hanya istri di atas kertas!!" Berbicara tanpa melihat ke arah Anna. Hanna palsu datang menghampirinya dengan senyum yang tampak tidak tenang, meski dalam hatinya, rasa takut menggeliat. Ia tahu, jika Damar benar-benar akan membawanya ke desa itu, semua kebohongan yang selama ini ia jalin bisa runtuh dalam sekejap. "Aku sudah memutuskan, Hanna. Kita akan pergi ke desa itu sekarang. Hari ini aku mau libur untuk bersamamu saja. Aku ingin kembali ke tempat di mana semuanya dimulai," ucap Damar dengan nada datar.Delia terkejut mendengar ketegasan suara Damar. Jan