Di depan pintu, Arumi jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya sembari memandang nanar ke arah mobil Bu Melinda yang dengan perlahan mulai bergerak meninggalkan rumah. Arumi menatap mobil itu hingga hilang di ujung jalan.
Setelah beberapa lama menangis, ia berusaha untuk bangkit dan kembali masuk ke dalam rumah dengan tubuh yang lemas. "Ibu gak apa, kan?!" sambut seorang wanita paruh baya saat Arumi masuk ke dalam rumah. "Saya tidak kenapa-napa, Mbok." kilah Arumi. Padahal saat ini jantungnya masih berdetak kencang dan air matanya masih saja menetes dengan deras. Di sisi lain, kepalanya juga menjadi pusing setelah mendengar ucapan sang mertua tadi. "Apa perlu saya teleponkan Bapak?!" tanya Mbok Piah, orang yang sudah bekerja menjadi asisten di rumah Arumi sejak hari pertama Arumi dan Prayoga menempati rumah itu. Wanita paruh baya itu sudah paham betul bagaimana kondisi Arumi saat ini. Itulah sebabnya, saat tahu kalau Bu Melinda datang, ia terus mengawasi Arumi dari jauh. Bukan untuk menguping pembicaraan Arumi dan Bu Melinda, tapi karena ia cemas dengan kondisi fisik Arumi yang akhir-akhir ini menjadi lemah. "Mbok, saya mau istirahat dulu!" pamit Arumi sambil mengumpulkan tenaga yang ada untuk menggerakkan kedua kakinya. "Saya antar, Bu!" Mbok Piah dengan sigap hendak membantu menopang tubuh Arumi. Namun, Arumi menolak dengan halus. Ia masih berusaha meyakinkan Mbok Piah, bahwa ia masih kuat untuk berjalan sampai ke kamarnya. Dengan langkah tertatih, Arumi akhirnya sampai juga ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Sesampainya di kamar, ia langsung menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur dan kembali menangis sejadinya. Ia tak menduga kalau pernikahan yang sangat indah dahulu, kini sudah berubah menjadi begitu buruk. Orang tua Prayoga yang dulu sangat menyayanginya selayaknya anak sendiri, dan selalu mendukung setiap hal yang Arumi lakukan, kini perlahan tapi pasti menunjukkan perubahan yang signifikan. Tak ada lagi dukungan dan kasih sayang, yang ada hujatan demi hujatan yang terus dilayangkan pada Arumi. Tuntutan untuk segera memiliki anak, membuat Arumi menjadi sangat tertekan. Ia bahkan menjadi tak fokus lagi dalam bekerja, karena terus kepikiran akan hal itu. Entah bagaimana ia bisa mengatasi semua masalah itu, yang dari hari ke hari terasa kian bertambah rumit. _____ “Rum?" panggil Pria bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang menggerakkan perlahan tubuh Arumi yang terbaring di atas kasur. "Mas Yoga?!!" Arumi membuka perlahan kedua matanya dan mencoba membuka lebih lebar lagi untuk memastikan siapa orang yang sudah membuat ia terjaga dari tidurnya. "Kata Mbok Piah, Ibu tadi kesini?" tanya Prayoga, suami Arumi yang baru pulang dari kantor, sambil meletakkan tas yang ia bawa, di atas meja. Arumi segera bangun dari tidurnya, ia merasa senang karena Prayoga sudah pulang. Ia memang sejak tadi sudah tak sabar menunggu suaminya pulang, karena ia ingin menceritakan tentang apa yang terjadi tadi pagi antara ia dan Bu Melinda. "Mas, aku jadi khawatir, sepertinya Ibu memang benar sudah lelah menunggu program kehamilan kita berhasil" Arumi mulai mengadu pada suaminya tentang kegelisahan yang selama ini ia rasakan. Prayoga belum menanggapi ucapan Arumi itu, ia masih sibuk menikmati segelas jus jeruk dingin yang tadi dibuatkan oleh Mbok Piah. "Mas..?" "Iya, aku dengar" jawab Prayoga santai, seolah ia tak terbebani sama sekali dengan kegelisahan Arumi itu. "Aku takut Mas" keluh Arumi. Prayoga menaruh gelas yang sudah kosong ke atas meja di hadapannya. "Apa yang kau takutkan?" "Ibu tadi sangat marah padaku" Mendengar ucapan Arumi, Prayoga menatap sang istri dalam-dalam, seolah ia sedang berusaha menerka apa yang terjadi. "Marah?!" "Iya Mas, Ibu marah karena menganggap aku tak serius menjalani program kehamilan itu" "Ah!, kalau soal itu biarkan saja, abaikan!' ucap Prayoga sambil melepas kaos kakinya. "Abaikan katamu?!" Arumi tak menduga Prayoga akan sesantai itu menanggapi keluhannya dan seolah menganggap ketakutan Arumi itu sebagai hal yang tak penting. "Mana bisa aku mengabaikan hal sepenting itu, Ibu sudah keterlaluan kali ini Mas!" emosi Arumi mulai naik. "Apa kau bilang?!!" kedua mata Prayoga melotot saat mendengar Ibunya dimaki oleh Arumi. Arumi yang sadar jika suaminya mulai menunjukkan sikap yang tak biasa akhir-akhir ini merasa tersudut dengan reaksi Prayoga. Tapi ia tetap berusaha untuk mengeluarkan semua beban yang ada dipikirannya. "Jangan asal bicara kau Rum!" sergah Prayoga yang tak terima dengan pernyataan Arumi. "Aku tak asal bicara Mas!. Ibu memang sudah keterlaluan, bukankah selama ini beliau tahu kalau kita berdua sama-sama sehat dan subur, tapi dengan tega Ibu bilang kalau akulah penyebab kita tak bisa memiliki keturunan. Ibu bilang aku mandul Mas" suara Arumi mulai parau, rasa sakit yang begitu terasa membuat ia tak kuasa menahan rasa sedihnya. "Iya, aku juga sependapat denganmu, kita memang sehat Rum, tapi, lima tahun itu waktu yang sangat lama Rum" "Kita mungkin bisa sabar untuk menunggu lebih lama lagi, tapi Ibu dan Ayah tidak Rum. Mereka sudah semakin tua, sedang ada lini bisnis yang harus tetap diurus dan dikembangkan, oleh siapa lagi kalau bukan oleh keluarga kami, keturunan kami!" Prayoga mencoba memberi penjelasan pada Arumi. "Ja-jadi, jadi, apa maksudmu Mas?" Arumi kian gusar setelah mendengar pendapat Prayoga. Prayoga bangkit dari duduknya dsn lalu mendekati Arumi yang masih duduk di tepi tempat tidur. "Maaf Rum, tapi, sepertinya dengan berat hati aku harus coba saran Ibu" ucap Prayoga lirih, ia sebenarnya tak suka mengatakan itu, tapi jika permintaan sang Ibu agar ia menikah lagi tak segera dituruti, yang ada masalah pasti tak akan kunjung usai. "Saran?, sa-saran apa Mas?!" tanya Arumi penuh rasa takut. Prayoga menatap Arumi penuh rasa bersalah. "Ibu, Ibu..." lidah Prayoga terasa sangat berat untuk mengatakan yang sebenarnya. "Ibu apa Mas?!!" desak Arumi. Prayoga masih belum juga kuasa untuk jujur pada Arumi. "Ayo Mas, katakan!!" "Maaf Rum, sekali lagi aku sungguh minta maaf" "Iya, tapi apa Mas?, apa yang mereka inginkan?!" perasaan Arumi kian bercampur aduk tak karuan. "Ibu ingin aku, e, aku untuk me-menikah lagi" ("Bum!!") seketika Arumi merasa seperti langit runtuh dan menimpa tubuhnya hingga hancur berkeping-keping setelah mendengar kejujuran dari Prayoga. Ia sungguh tak menduga jika Bu Melinda justru berencana untuk membuat rumah tangganya bersama Prayoga hancur. "Su-sungguh Mas?" tanya Arumi dengan mata yang mulai mengembun. "Maaf Rum, ini sungguh bukan keinginanku, semua ini Ibu yang inginkan!" Prayoga mencoba meyakinkan Arumi. Arumi menggeleng lemah, ia tak percaya Prayoga akhirnya akan menyerah dari pergulatan ini. "Aku, aku sejujurnya tak ingin Rum, kau tahu, aku sangat mencintaimu Rum" "Percayalah, aku hanya ingin hidup denganmu, tapi, Ibu dan Ayah ingin segera memiliki sang pewaris dariku" Prayoga mencoba membela diri. "Aku terpaksa Rum" Arumi sekali lagi hanya bisa menggeleng lemah dan membiarkan air mata tumpah membasahi pipinya, ia merasa dunianya saat ini sudah hancur karena satu-satunya orang yang selama ini mendukung dirinya, sekarang justru mengkhianatinya. ______Satu hari sebelumnya.. "Siapa kau?!" tanya Arumi pada seorang wanita yang datang ke rumahnya. "Apa kabar Bu Arumi?" wanita itu tersenyum manis sambil melenggang masuk ke dalam rumah meski Arumi belum memintanya. Arumi bingung, ia mengekori langkah wanita yang berpenampilan seksi itu. "Hei, siapa kau?!" tanya Arumi lagi dengan nada tinggi. "Oh ya, aku lupa, perkenalan, aku Nurselia!" wanita itu mengulurkan tangannya. Arumi bengong saat wanita itu menyebut namanya. "Selia?" gumam Arumi sambil terus mengamati wanita yang ada dihadapannya itu. "Kau tentu masih ingat aku, kan Bu?" tanya Selia dengan senyum misterius, seolah menyimpan sebuah rahasia yang besar. "Bagaimana bisa kau Selia?" tanya Arumi ragu, sebab wanita yang ada di hadapannya itu tak mirip sedikitpun dengan Selia. Wanita itu, Selia, menyeringai membuat Arumi sedikit cemas. "Ku dengar kau akan menikah dengan mantan suamiku, oh, bukan, mantan suamimu?" tanya Selia yang terus mempermainkan bibirnya, seolah
"Ada apa lagi Mas?" tanya Arumi kesal, ia sebenarnya sudah merasa malas untuk bertemu lagi dengan Prayoga, semenjak ia mendapat video dari perempuan bernama Aulia itu. "Rum, aku mohon, maafkan aku!" Prayoga langsung menghambur kearah Arumi yang berdiri dengan wajah datar. "Percayalah, semua itu nggak benar!. A-ku udah ditipu Rum!" ucap Prayoga dengan menggebu-gebu. "Apa, ditipu katamu?!" Arumi memicingkan matanya, merasa aneh dengan pernyataan mantan suaminya itu. "Iya Rum, aku nggak kenal siapa wanita itu, sungguh!" Prayoga hendak meraih tangan Arumi untuk ia genggam, agar dramanya terlihat begitu realistis. Tapi Arumi dengan cekatan menghindar. Ia tak ingin lengah lagi, ia sudah sadar kini, karena kelengahannya itulah yang membuat ia akhirnya jatuh kembali ke dalam jeratan cinta Prayoga yang sesungguhnya kini sudah tak lagi sama seperti enam tahun yang lalu. Prayoga terperanjat melihat reaksi ketus Arumi. "Rum?!" "Huhh!!" Arumi menarik nafas dan mengembuskan nya begitu
"apa kabar Mas Yoga?!" seorang wanita tiba-tiba menegur Prayoga yang sedang duduk santai menikmati secangkir es kopi di sebuah cafe. Prayoga kaget dan segera meletakkan gelas berisi es kopi americano di atas meja. "hai!" seorang wanita melambaikan tangannya pada Prayoga sambil tersenyum manis. Prayoga tertegun melihat wanita itu, ia coba untuk mengingat-ingat, siapa tahu ia mengenal wanita itu, tapi ia ternyata tak bisa mengenalinya dengan mudah sebab wanita itu mengenakan kacamata hitam. "sendiri aja?" tanya wanita itu setelah berada tepat di dekat Prayoga. Prayoga tak menjawab, ia malah memandangi wanita itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. wanita itu berpenampilan cukup seksi dengan hot pant jeans yang di padu atasan rajut berbelahan dada cukup rendah hingga membuat area privasi miliknya sedikit terlihat. "kok bengong?!" ucap wanita itu sambil menjentikkan jarinya, membuat lamunan Prayoga buyar seketika. "e, si-apa kau?!" tanya Prayoga gugup. "astaga, apa waktu b
"sial!, bagaimana bisa wanita itu punya video seperti itu?, ku rasa aku udah dijebak malam itu?, tapi atas dasar apa dia lakukan itu?!" Prayoga mondar-mandir sambil terus mengoceh. "loh Yoga?!, kok udah pulang?!" Bu Melinda kaget ketika melihat keberadaan Prayoga di ruang tengah. "bukankah hari ini kau dan Arumi akan fitting baju ya?" tanya Bu Melinda sambil mendekati anaknya itu. "apa terjadi sesuatu?" selidik Bu Melinda yang mulai merasa ada hal aneh yang terjadi jika melihat gelagat yang ditunjukkan Prayoga. "Yoga, kamu dengar Ibu nggak?!" pekik Bu Melinda. "iya Bu, Yoga dengar!" jawab Prayoga ketus. "kalo dengar kenapa kamu nggak jawab?!" Bu Melinda nggak kalah ketus. "Yoga lagi bingung Bu!" "bingung kenapa?, apa baju yang kalian pesan nggak sesuai?" tanya Bu Melinda sambil duduk di sofa dan menikmati secangkir teh Kamomil yang hangat dan harum. "bukan soal baju, tapi ini soal Arumi!" "crutt!" air teh yang sedang di seruput Bu Melinda muncrat seketika saat ia me
"Kok lama banget Mbok?" Prayoga bertanya pada Mbok Piah dengan gusar. Ini sudah hampir setengah jam ia menunggu Arumi yang kata Mbok Piah tadi sedang bersiap-siap. Kedua matanya terus menatap ke lantai atas, berharap Arumi segera turun untuk menemui dirinya. Prayoga merasa aneh, ia pernah hidup bersama Arumi selama enam tahun lamanya. Ia paham betul jika Arumi bukanlah tipikal wanita yang akan menghabiskan banyak waktu hanya untuk berkutat di meja rias. "Coba panggil lagi Mbok, ini udah siang!" pinta Prayoga, Mbok Piah mengangguk ragu namun ia bergegas naik ke lantai atas untuk memanggil Arumi. Prayoga gelisah, ia terus mondar-mandir kesana-kemari sambil menggerutu tak jelas. Dan tak berselang lama Arumi pun turun di ikuti oleh Mbok Piah. Prayoga tertegun melihat Arumi. Tadi menurut Mbok Piah Arumi sedang bersiap diri, tapi kini yang nampak justru berbeda. Arumi masih mengenakan daster panjang berwarna biru gelap dengan Khimar peach yang menutup kepalanya. Wajah Arumi juga
"Siapa ya?!" Mbok Piah menatap bingung pada seseorang yang berdiri di hadapannya. Sepagi itu ada seorang wanita muda yang Dadang berkunjung. Wanita itu masih sangat mudah, usianya sepertinya belum genap dua puluh tahun. Paras wajahnya cukup cantik, tubuhnya tak terlalu tinggi namun cukup sintal, apalagi ditambah dengan pakaian yang ketat membuat setiap lekuk di tubuhnya tergambar dengan jelas. Mbok Piah nampak tak suka melihat penampilan wanita itu yang terlalu seksi. "Perkenalkan, saya Aulia!" wanita itu mengulurkan tangannya pada Mbok Piah yang masih bingung. Dengan ragu Mbok Piah menerima uluran tangan wanita itu. "Maaf Bu, apa Bu Arumi nya ada?" tanya wanita bernama Aulia itu dengan ramah seolah sudah sangat mengenal Arumi. Mbok Piah memicingkan matanya, mencoba untuk menyelidiki siapa wanita itu. "E, Ibu dia, dia su-dah pergi!" jawab Mbok Piah berdusta, sebenarnya Arumi ada di rumah, tapi semalam Arumi bilang pada Mbok Piah jika hari ini ia berencana untuk melakukan fittin