Share

6. Pernikahan

Author: pramudining
last update Last Updated: 2025-03-19 20:38:07

Tepat di hari ini, Haidar Izadin Narain akan mengikat seorang gadis bernama Aliyah fadwah dengan akad yang dia ucapkan. Musala di samping rumahnya sebagai panggungnya dan setelah salat subuh sebagai waktunya. Bukan tanpa alasan Haidar mengajukan waktu itu karena setelah salat subuh adalah waktu yang diberkahi oleh Allah. Waktu yang digunakan untuk mengawali hari. Waktu ketika begitu banyak orang berzikir dan bertasbih, di mana udara masih terasa kesejukannya dan bising kehidupan dunia belum dimulai. Kesemuanya menjadi pengantar dan pelebur penantian bagi bundanya untuk memiliki seorang menantu.

Allah adalah pemilik skenario mutlak jodoh seseorang. Kita sebagai manusia hanya pelaksana dan penjemput jodoh itu. Menguatkan keyakinan bahwa jodoh tak akan pernah tertukar, dijemput dengan cara bagaimanapun pada akhirnya akan tetap bermuara pada satu nama. Nama yang telah Allah tuliskan jauh sebelum kelahiran kita di dunia.

Haidar masih duduk bertafakur di musala, tangan kanannya terus menggerakkan rangkain tasbih. Berzikir untuk menenangkan hatinya. Sebelumnya, dia sempat beradu argumen dengan bundanya, jika nanti dalam akad nikah Aliyah masih tak mengenakan hijab sebagai penutup kepala, maka dia bersikeras akan membatalkan acara hari ini. Di hari ia mengucap ikrar suci Haidar tak ingin dilaknat Allah karena calon istrinya yang tak taat atas perintah-Nya.

Pernikahan bukanlah hal sepele bagi Haidar. Perjanjiannya jelas tertulis dalam al-qur'an, di antara tiga perjanjian yang tersebut di dalamnya. Perjanjian pertama disebutkan dalam surat An-nisa ayat 21 tentang pernikahan. Perjanjian kedua dalam surat An-nisa ayat 154 yang merupakan perjanjian Allah dengan kaum Yahudi. Ketiga dalam surat Al-Ahzab ayat 7 yaitu perjanjian Allah dengan para Nabi.

Nanti, ketika akad telah terucap oleh Haidar. Maka, dia bukan hanya sedang melakukan perjanjian dengan Aliyah atau ayahnya, melainkan dia juga sedang melakukan perjanjian dengan Allah. Begitu sakralnya akad nikah sehingga Allah menyebutnya dengan mitsakon gholizho yang artinya perjanjian yang berat atau perjanjian yang kuat.

Mitsaqon gholizho memberikan pemahaman bahwa pernikahan itu bukanlah sekedar penghalalan terhadap yang haram saja, tetapi merupakam janji cinta suci yang agung. Pelaksanaannya bukan hanya sehari atau dua hari. Namun, selamanya sampai kelak bertemu kembali di janah-Nya. Maka, ketika Aliyah dan bundanya bersikeras agar riasan pengantinnya nanti tak perlu mengenakan hijab, Haidar dengan tegas menolak bahkan ia mengancam akan membatalkan acara akad hari ini. Haidar tahu bahwa di pundaknya telah dibebankan tanggung jawab yang sangat berat. Hanya lelaki sejati yang berani mengucapkan mitshaqon ghalizho.

Ditegakkannya kembali tubuh yang begitu lemah karena penyesalan. Beberapa waktu lalu ia masih bertafakur memohon ampunan atas semua perkataannya dengan nada tinggi kepada sang Bunda. Penyesalan yang cukup dalam bagi Haidar, demi tegaknya ketaatan akan perintah Allah dia melakukannya. Kaca-kaca di matanya mulai terlihat, sedih hatinya atas semua yang terjadi.

Beberapa kerabat mulai memasuki musala, Haidar mengusap kasar air yang mengaliri pipinya. Dia tak ingin terlihat lemah oleh siapa pun termasuk bundanya, biarlah hanya dia dan Rabbnya saja yang tahu begitu dalam penyesalannya. Terasa tepukan lembut di pundak Haidar, dia pun memalingkan pandangannya kepada orang yang melakukan tadi.

"Sabar, Nang. Iki ujian awal kanggo awakmu (ini ujian awal buatmu)." Ternyata pamannya yang melakukan tadi.

"Inggih (ya). Doakan saja, saya kuat, Paman." Raut muka kesedihan jelas tampak di wajah Haidar. Pamannya hanya bisa tersenyum getir dengan jawabannya.

"Siapkan hati dan keberanianmu! Sebentar lagi acara akad dimulai."

"Insya Allah," jawabnya singkat.

Ya Allah, jika nanti Engkau telah menghadirkan rasa ini kepada Aliyah. Ijinkan hamba menyentuh hatinya dengan rida-Mu. Hati yang akan selalu tertaut kepada-Mu, agar aku tak terjatuh kedalam jurang cinta semu.

Beberapa menit kemudian, penghulu dan para undangan walimah telah datang. Ayah Aliyah pun telah duduk di hadapan Haidar, di sampingnya ada penghulu. Sebelum pengucapan akad dilakukan, penghulu menyampaikan beberapa pengantar dan nasihat pernikahan secara singkat.

Pengucapan akad nikah telah dilakukan oleh Haidar dengan satu tarikan napas. Para saksi pun mengatakan sah atas pelafalannya tadi. Kini, tanggung jawab besar sudah ada di hadapannya. Tangis haru terdengar dari bundanya ketika Haidar meminta maaf setelah akad.

Haidar masih mencari keberadaan sahabatnya, Zafran. Dia menyapukan pandangan mata kepada seluruh tamu yang hadir, tak terlihat kehadiran Zafran di sana. Kemarin, dia sudah berjanji padanya akan hadir di acara akad ini, tetapi sampai acara selesai kehadirannya tak nampak sedikit pun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Warisan Sahabat   189. Tempat Ternyaman

    Happy Reading*****"Selamat datang di kantor baru, Mas. Semoga bisa betah," ucap Dwi. Eza menatap ruangan baru miliknya. Hampir tiga bulan dalam masa rehabilitasi kesehatan membuatnya sadar. Siapa orang yang paling tulus menyayangi dan siapa orang yang tidak mempedulikan keadaannya. "Pucuk pimpinan usaha Papa sekarang ada di tangan Mas. Selama ini, aku cuma membantu saja." Dwi menambahkan."Aku nggak mau nerima. Biarlah tetap kamu yang megang kendali. Kita bangun sama-sama usaha Papa." Eza menepuk bahu adiknya. Jarak beberapa senti tak jauh dari keduanya, orang tua mereka tersenyum bahagia. Demikian juga dengan si bungsu dan juga suaminya. Sikap keras kepala Eza nyaris lenyap, dia kembali menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Rasa sakit yang dirasakan lelaki itu telah mengajarkan banyak hal. Si istri yang masih tetap kukuh tidak bersedia pulang ke rumah, dia biarkan. Sisa tabungan dan pesangon dari perusahaan tempatnya bekerja, Eza gunakan untuk menafkahi Mufidah dan Haikal selam

  • Istri Warisan Sahabat   188. Tanpa Dendam

    Happy Reading*****Empat hari berlalu, masa kritis Eza memang sudah lewat. Namun, kondisi lelaki itu tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Apalagi ketika sang istri menjenguk. Bukannya mendukung sembuh, Mufidah malah memperkeruh suasana dengan mempersoalkan biaya perawatan selama di rumah sakit."Aku nggak mau ngeluarin biaya buat perawatan Mas Eza, Ma. Uang belanja dari dia aja kurang, gimana bisa bayar biaya rumah sakit." Mufidah memutar bola mata. "Lagian anak minta warisan aja nggak dikabulin.""Mbak, jaga ucapanmu! Ini rumah sakit. Bukannya Papa nggak mau ngabulin, tapi keadaan memang nggak seperti ketika usaha sedang bagus-bagusnya. Tahu sendiri di mana-mana banyak pengusaha gulung tikar. Jika usaha beliau masih berdiri sampai saat ini adalah suatu rejeki dan berkah bagi keluarga." Dwi memulai kalimat panjang. Merasa jengah dengan semua keluhan iparnya."Halah! Sok banget kamu, Dik. Kamu sama suamiku itu nggak jauh beda. Lihat aja istrimu juga pergi. Kalian emang nggak becus jad

  • Istri Warisan Sahabat   187. Di atas Kesadaran

    Happy Reading*****Pulang dari klinik bersalin menjenguk adiknya, Eza melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Pikirannya kacau, harta yang diinginkan tak kunjung didapat. Sementara anak serta istrinya sudah meninggalkannya. Tanpa sadar dia menerobos lampu lalu lintas yang berwarna merah. Dari arah samping kanan tepat di hadapannya, seseorang dengan kecepatan sama tingginya tengah melaju. Kecelakaan pun tak terhindarkan lagi. Tubuh Eza terpelanting ke sisi kiri. Darah segar keluar mengaliri wajah. Sebagian orang berteriak meminta tolong. Saudara tertua Nafeeza tak lagi bisa berbuat apa pun. Matanya mulai meredup seiring bayangan-bayangan kesalahan yang dilakukannya pada orang tua. Sebelum inderanya menutup sempurna, lelaki itu sempat berucap istigfar atas semua kelakuan buruknya. Setelah itu dia tidak mengingat apa pun lagi. *****Dering ponsel Khoirul terdengar, nama Eza terlihat. "Mau apa lagi, Mas. Belum puas dengan kalimat kasarmu tadi?""Maaf, Pak. Saya Nadim, ingi

  • Istri Warisan Sahabat   186. Si Sulung Eza

    Happy Reading*****Kecemasan dua keluarga itu sedikit berkurang setelah mendapat penjelasan dari dokter. Ilyas, hanya diminta untuk mengazani putrinya sebelum mereka membawa ke ruang observasi. Ada sedikit pemeriksaan khusus dari dokter karena kelahiran yang terlalu cepat."Putrimu pasti sehat, Bang." Haidar menepuk pundak putra sulungnya yang terlihat khawatir."Amin, Yah. Semoga enggak ada apa-apa sama dia seperti yang dikatakan dokter tadi.""Sebaiknya Abang temani Mbak Feeza. Dia lebih membutuhkanmu sekarang. Biarlah kami yang akan dampingi putrimu," kata Aliyah."Terima kasih, Bu."Ditemani mertuanya, Ilyas kembali masuk ke ruangan ICU. Di sana terlihat Nafeeza yang memejamkan mata masih bersama para suster yang sedang memasang selang infus. Sepertinya, tenaga istrinya terkuras habis saat melahirkan. Si Abang tahu betul proses bagaimana lahirnya sang putri.Sekali lagi, air mata Ilyas menetes. Lelaki itu mendekati istrinya dan mencium kening serta kedua pipi. Mengucapkan terima

  • Istri Warisan Sahabat   185. Kebahagiaan Baru

    Happy Reading*****Pulang dari rumah Dwi, Ilyas langsung menghubungi Khoirul walau belum sampai di rumah. Sedang asyik berbicara dengan sang mertua, si Abang mendengar rintihan istrinya. Lelaki itu menjeda percakapan dan melirik Nafeeza. "Sayang kenapa?" Menengok ke arah Nafeeza."Ndak tahu, Bang. Tiba-tiba aja perutku mules banget."Ilyas kembali berbincang dengan Khoirul, hanya mengucap satu kalimat untuk memberitahukan keadaan istrinya dan diakhiri dengan salam. "Kita ke dokter sekarang. Abang enggak mau ambil resiko." Dia memutar haluan, kembali pada jalan yang mereka lalui. Tak jauh dari tempat mereka sekarang ada sebuah klinik. Wajah Nafeeza terlihat memucat, meskipun bukan rintihan keras. Namun, si suami tetap khawatir. "Apa waktunya si dedek keluar?" Sebelum menjawab pertanyaan suaminya, Nafeeza mendesis kesakitan. "Kata dokter masih dua minggu lagi, Bang," jelasnya, "Ya Allah! Kenapa rasanya ada yang mau keluar." Tangan perempuan itu memegang perut bagian bawah. "Sabar,

  • Istri Warisan Sahabat   184. Tanda-tanda

    Happy Reading*****Hari berlalu begitu cepat bagi Ilyas dan Nafeeza. Kini, mereka sudah kembali ke rumah sendiri sambil menunggu proses kelahiran. Sesekali, Ilyas masih membantu mertuanya mengurus usaha yang mulai bangkit kembali.Masalah dengan kedua iparnya masih terus berlanjut, tetapi ada sedikit harapan Ilyas kepada salah satu saudara Nafeeza. Beberapa kali, Dwi sempat menghubunginya untuk menanyakan kiat-kiat menjadi seorang pengusaha sukses. Tak jarang, si sulung menyarankan untuk terjun langsung saja. Membantu usaha papanya bahkan menggantikan posisinya."Abang mau pergi?" Nafeeza menatap suaminya yang sibuk menyisir rambut dan sudah berpakaian rapi."Sayang enggak inget? Kita ada janji ke rumah Mas Dwi malam ini." Menatap si istri, lalu tersenyum saat perempuan itu masih mengenakan mukenanya dan menepuk kening."Astagfirullah. Kenapa aku sampai lupa," kata Nafeeza sambil melepas mukena. "Sebenarnya, kenapa Mas Dwi ngundang kita ke rumahnya? Padahal dia begitu benci njenenga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status