Waktu seakan berjalan lambat, selambat hatinya yang masih terus melamunkan Hazimah. Sengaja dia mencari tempat duduk di bagian belakang, jauh dari pemimpin rapat. Haidar masih ingin mengenang kebersamaannya dengan sang gadis. Jika kepala desa nanti menanyakan hasil rapat kali ini, maka dia tinggal menyodorkan hasil rekaman dari ponselnya.
Terkesan licik memang cara Haidar, tetapi itulah yang mampu dia pikirkan saat ini. Fokusnya masih terbagi dengan kenangan bersama Hazimah. Sebelum rapat dimulai, banyak kawan sejawatnya memberikan ucapan selamat. Berita pertunangannya memang cepat sekali menyebar. Seandainya bisa, dia ingin menyembunyikan kabar pertunangan itu sampai nanti hari pernikahan tiba. Dua jam telah berlalu, rapat pun sudah selesai. Haidar beranjak dari duduknya setelah membereskan semua barang-barang yang ada di meja, berniat meninggalkan ruangan. Sebelum menyentuh gagang pintu, ada seseorang yang memanggilnya. "Tunggu, Mas. Bisa kita bicara sebentar?" Haidar membalikkan badan, pandangannya menelisik orang yang memanggilnya tadi. Seingatnya, dia tak pernah mengenal orang tersebut. Apa dia kepala desa baru di kecamatan ini, hal itu yang pertama terpikirkan oleh Haidar. "Ya, boleh. Ada hal apa, Pak?" tanyanya. Lawan bicaranya mulai menyungingkan senyuman, tidak salah jika Haidar terkenal ramah, sekalipun kepada orang yang belum dikenalnya. Hanya saja dia orang yang irit bicara. "Selamat, Mas, atas pertunangannya semalam. Jaga Aliyah baik-baik! Maaf aku tak bisa hadir, ada kerjaan yang tak bisa aku tinggal." Kening Haidar mulai berkerut, mempertanyakan ada hubungan apa antara dia dengan keluarga Aliyah. Namun, Haidar masih bergeming, dia berharap lelaki ini masih mau menjelaskan siapa dia. Sepertinya, pria di hadapannya mengerti maksud tatapan Haidar kepadanya. "Kenalkan! Aku sepupu Aliyah, anak dari adik ayahnya." Barulah Haidar bernapas lega mengetahui hal itu. Apa yang dipikirannya tadi ternyata salah. "Terima kasih. Jika sudah, saya permisi karena ada banyak hal yang harus saya kerjakan setelah ini," pamitnya, tanpa menghiraukan keheranan sepupu Aliyah lagi. Pria itu hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kelakuan Haidar. Dia tak menyangka jika calon suami Aliyah memiliki sifat yang bertolak belakang dengannya. Semoga saja mereka bisa bersama selamanya. Dia pun pergi mengikuti langkah Haidar keluar ruangan rapat, tetapi tangannya sebelah kanan sibuk mencari kontak Aliyah. Dia ingin memberitahukan kelakuan tunangannya itu. Sembari menunggu panggilannya diterima, lelaki itu mencari tempat duduk di pendopo kecamatan. Dering keempat panggilannya diangkat oleh Aliyah. "Asalamualaikum, Al." "Waalaikumsalam," jawab di seberang. "Barusan, aku ketemu calonmu. Ternyata orangnya irit bicara. Ramah, sih, tapi iritnya itu bikin jengkel," adunya. Disertai senyuman, meskipun ia tahu Aliyah tak melihat senyumannya. "Masak, sih? Gimana dong aku udah terlanjur jatuh sama dia? Bagaimanapun sikapnya. Hhm, tapi ganteng 'kan orangnya?" kata Aliyah di seberang disertai tawanya. "Yakin, nih, udah jatuh dalam perangkap cinta? Ya, kalau masalah itu gak usah diragukan lagi. Ganteng, dilihat dari sisi mana pun, aku aja kalah gantengnya. Selama rapat pun, terlihat dia melamun saja. Apa mungkin lagi mikirin kamu, Al? Tertawamu bahagia sekali. Ya, udah, aku cuma mau ngasih info itu aja. Asalamualaikum," salamnya. Setelah mendengar balasan salam dari Aliyah dia pun segera menutup teleponnya. Sementara di tempat parkiran, Haidar mulai menjalankan motornya untuk kembali ke kantor desa. Isi kepalanya hari ini hanya ada Hazimah seorang. Nanti setelah sampai di kantor, dia berniat menghubungi teman lamanya waktu kuliah. Siapa tahu melalui dia, Haidar menemukan keberadaan Hazimah.Happy Reading*****"Mas, aku seorang perempuan yang bisa merasakan sedih dan juga khawatir jika ada sahabat atau bahkan orang di sekitar kita yang mengalami masalah. Contohnya seperti Mbak Azza," sahut Aliyah, menjawab perkataan sang suami sebelumnya. "Aku pasti memprioritaskan kesembuhan dan kesehatanku karena aku ingin hidup selama mungkin bersama njenengan, tapi jika aku nggak bisa lepas dari rasa was-was akan kesehatan Mbak Azza."Haidar terdiam mendengar semua penjelasan yang diucapkan wanita yang terbaring lemah di hadapannya. Aliyah sudah sangat jauh berbeda dari pertama yang dikenalnya. Kini, perempuan itu lebih bijaksana dan berhati-hati saat berkata apalagi ketika hatinya tidak sependapat dengan Haidar."Mas, ayolah. Jangan pelit memberitahukan tentang keadaan Mbak Azza. Aku juga perlu tahu tentang keadaannya." Aliyah menyentuh lengan sang suami dengan tangannya yang terbebas dari selang infus karena Haidar terlihat diam dan pandangannya lurus seperti ada banyak beban di pi
Happy reading*****Melangkahkan kaki dengan perasaan jengkel, Haidar benar-benar tidak mengerti dengan pemikiran Hazimah. Bukankah pembicaraan mereka semula sudah jelas bahwa mereka telah saling memaafkan dan berusaha berdamai dengan masa lalu. Namun, mengapa kalimat terakhir yang terlontar tadi seakan mengoyak harga diri Haidar sebagai seorang lelaki. "Huh, harus seperti apa lagi aku bertindak agar kebencianmu itu mereda," gumam Haidar sepanjang perjalanan menuju rumah sakit tempat Aliyah dirawat.Sekitar lima belas menit kemudian, lelaki itu sudah berhasil memarkirkan kendaraannya di halaman rumah sakit. Penuh kerinduan, Haidar keluar dan berjalan cepat menuju ruang perawatan sang istri. Setelah sampai di depan kamar inap Aliyah, Haidar sengaja mengintip dari kaca pintu. Melihat keadaan sang istri di dalam."Maaf, ya, Sayang. Terlalu lama, Mas, ninggalin kamu. Sampai tertidur pulas begitu," gumam Haidar sambil mencoba membuka pintu sepelan mungkin. Namun, pintu tersebut tetap meni
Happy Reading*****"Andai tak pernah ada fotomu yang aku coret dengan tinta merah, Mas Zafran nggak akan pernah curiga dan bertanya macam-macam," sahut Hazimah, "mengapa ... mengapa takdir kita bertiga harus seperti ini?"Deg ... Jantung Haidar rasanya akan terlempar keluar saat itu juga ketika mendengar pengakuan jujur Hazimah."Ya Allah. Segitu bencinya kamu padaku."Hazimah membuang muka, mengusap kembali lelehan air matanya. Ya, perempuan itu memang sangat membenci Haidar walau dulu sempat mengagumi lelaki tersebut. Namun ternyata, perangai dan tingkah laku Haidar membuat rasa kagum itu hilang."Enggak heran jika kamu membenciku sampai berbuat segitunya. Aku juga ikut andil menumbuhkan perasaan itu," tambah Haidar setelah beberapa menit, perempuan berjilbab di depannya terdiam."Nggak seperti itu, Ain. Aku saja yang terlalu kekanakan. Mungkin, saat itu usia kita masih terlalu muda dan egois. Jadi, aku menumpahkan semua kekesalan itu pada fotomu." Tangis Hazimah kembali pecah.
Happy Reading*****Haidar tersenyum setelah mematikan sambungan telepon dengan Aliyah. "Al ... Al, kamu itu benar-benar sudah mengubah hidupku. Dari yang semula tidak berwarna sama sekali, menjadi begitu berwarna," gumamnya. "Mas," panggil Yana ketika Haidar terlihat tidak sibuk dengan ponselnya."Ya, Tan?""Kenapa lama sekali Azza keluar dari ruangan itu?" tanya perempuan paruh baya tersebut. "Sabar, Tan. Mungkin tindakannya memerlukan cukup banyak waktu," jawab Haidar.Yana pun mengangguk dan kembali duduk, menunggu dokter atau salah satu tim medis keluar dari ruangan tersebut. Beberapa puluh menit menunggu, Hazimah keluar dari ruangan tersebut memakai kursi roda. Yana dan Haidar pun mengucap syukur karena melihat wajah perempuan itu yang sedikit cerah dari sebelumnya. Hari mulai terlihat gelap, awan putih yang menghiasi langit kini telah berganti warna menjadi kekuningan. Haidar membuka pintu rumah Yana dengan cepat agar Hazimah segera beristirahat. Dari belakang Haidar, pere
Happy Reading*****"Mas, ih," ucap Aliyah sambil mengerucutkan bibirnya. Lalu, meminta sang mertua membantunya mengubah posisi menjadi setengah duduk. "Tunggu, ya."Tangan kiri Haidar kini berada di bawah dagu, menunggu Sania yang membantu Aliyah duduk di pembaringannya. Sekali lagi, dia melihat ketidakberdayaan Aliyah karena penyakitnya. Ah, suami mana yang tidak sedih jika sudah melihat seorang istri kesakitan seperti itu. Haidar berusaha menahan genangan air yang mulai terkumpul di pelupuknya."Mas, kamu nggak apa-apa?" Terdengar suara Aliyah menyapa. Haidar mencoba menganggukkan kepala demi menjaga suasana hati sang istri. "Bagaimana keadaan Mbak Azza? Dia kenapa, Mas?" Sekalipun keadaan Aliyah sakit, ternyata masih ada kekhawatiran terhadap keadaan Hazimah. Haidar begitu salut dengan sikap perempuan yang dinikahinya itu. Sungguh, Haidar begitu menyesal telah mengabaikan Aliyah di awal pernikahan mereka."Dia masih dalam ruang penanganan." Tak ada kalimat yang bisa Haidar sampai
Happy Reading*****Haidar keluar dari ruangan dokter yang menangani Hazimah. Keseluruhan jasadnya menjadi lemah setelah mendengar penjelasan tentang kondisi janin, bakal calon anak Zafran. Masih dengan pikiran yang berkelana ke segala arah, Haidar duduk di sebelah Yana. "Apa yang dokter katakan, Mas?" tanya Yana. Tatapan penuh pengharapan dari seorang ibu yang telah kehilangan putranya jelas sekali terlihat oleh Haidar. Hampir ... hampir saja Haidar meneteskan air matanya. Namun, ketika melihat raut kesedihan di mata perempuan yang telah melahirkan Zafran itu, Haidar berhasil menghalau semuanya. Lelaki itu mendongakkan kepala agar air matanya tidak terjatuh dan Yana tidak melihat kelemahannya saat ini."Tante, maafkan saya jika telah lancang mendahului dan menyetujui saran dokter untuk mengambil tindakan pada Hazimah." Haidar menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Yana. Tangan kanannya berusaha menggenggam jemari perempuan yang sudah dianggapnya Ibu sendiri untuk menenan
Happy Reading*****"Mbak, tolong sekali ini saja," pinta Yana bahkan perempuan paruh baya itu sampai harus menangkupkan kedua tangannya agar sang menantu tidak memikirkan hal lain, selain keselamatannya dan janin yang dikandung. Sebuah isyarat persetujuan dari Hazimah, membulatkan tekad Haidar menyentuh istri sahabatnya itu. "Ayo, Tan," ajak Haidar ketika dia berhasil membopong Hazimah. "Hati, ya, Mas, Bu. Saya pamit juga," kata sang Bidan.Gegas mereka masuk ke mobil dan melaju ke klinik sang dokter obstetri, hanya sekitar 15 menit ketiganya sudah sampai. Tak perlu banyak perkataan, ketika Yana turun dan memanggil perawat untuk segera menangani sang menantu. Haidar dengan sigap kembali membopong Hazimah. Kali ini, perempuan itu tidak protes sama sekali, keadaan yang begitu lemah itulah penyebabnya.Dalam gendongan Haidar, Hazimah merapalkankan istigfar lirih dengan mata terpejam. Dari jarak beberapa langkah di depannya, Haidar melihat perawat yang mendorong ranjang. Di sampingnya
Happy Reading*****"Iya, beliau mengatakan jika Hazimah mengeluhkan kondisi perutnnya," Haidar mennatap sang istri, seolah meminta persetujuan untuk menjenguk istri almarhum sahabatnya itu."Mas, njenengan harus segera datang menolong mereka. Aku takut Mbak Aza kenapa-napa. Njenengan kan tahu kalau di rumah itu nggak ada lelaaki," kata Aliyah yang juga mulai panik mendengar penjelasan Haidar."Al, Mas minta maaf. Mungkin, enggak bisa menemanimu seharian ini." Haidar mencium pucuk kepala Aliyah. "Bunda segera datang, beliau sudah ada di parkiran saat ini. Maaf, ya, Sayang." Panggilan terakhir yang diucapkan lelaki itu membuat Aliyah berbunga-bunga, meskipun dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Sekali lagi, Haidar mencium istrinya, tetapi tidak di bagian kepala melainkan di kedua pipi dan juga keningnya."Mas, tenang saja. Al, nggak masalah kalau ditinggal njenengan. Keselamatan Mbak Azza jauh lebih penting saat ini. Dia sudah menjadi bagian dari tanggung jawabmu setelah kepergian
Happy Reading*****Haidar menatap Aliyah dengan tatapan seperti waktu pertama kali perempuan itu bertanya dan mengajak suaminya melakukan hal-hal romantis. Tatapan yang senantiasa membuat jantung si perempuan berdetak lebih cepat bahkan mungkin segera copot. Begitu menegangkan sekaligus misterius."Al, jangan pernah mendahului kehendak Allah. Semua mungkin jika Allah sudah menghendaki. Kita sebagai hamba-Nya, hanya perlu berdoa dan pasrah. Kamu enggak boleh mengatakan hal seeburuk itu lagi. Apa kamu enggak mau menua bersama Mas dan anak-anak kita nantinya?" Sendok yang berisi makanan di tangan Haidar kini berpindah ke mulut Aliyah. Lelaki itu dengan telaten menyuapi istrinya. "Jadi, kamu harus semangat untuk sembuh supaya semua impian kita segera terwujud," katanya sambil menaikkan garis bibirnya."Mas," panggil Aliyah ketika makanan yang masuk ke mulutnya sudah berhasil Aliyah telan. "Kenapa, Al?""Seandainya, kita nggak pernah diberikan amanah keturunan, apa yang akan njenengan la